I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI PAPUA BARAT MICHAEL ALBERT BARANSANO

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAPPEDA Planning for a better Babel

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

VISI PAPUA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA YANG BERBASIS SUMBER DAYA DAN KONTRIBUSINYA UNTUK PEMBANGUNAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

Transkripsi:

1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1) pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta (6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah, diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang ditujukan untuk:

2 (1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas kelembagaan; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah; (3) Memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju; serta (4) Meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik keterisolasian. Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, dimana faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas antar wilayah menurut Rustiadi et. al. (2009) adalah: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial budaya dan (7) ekonomi. Sejak bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, terlebih lagi otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paradigma baru pembangunan yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang cukup luas dan signifikan dalam tata kehidupan masyarakat baik di tingkat regional dan lokal. Wujud otonomi daerah adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Secara harfiah otonomi daerah berarti hak, wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh urusan pemerintahan

3 didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut hubungan luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Daerah menjadi memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya buatan (man made capital), sumberdaya manusia (human capital) maupun sumberdaya sosial (social capital). Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah. Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih intensif terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal dan sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua telah secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti Sumber daya alam Papua dan Papua Barat yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan konservasi yang luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang sehingga masih banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya masih tinggi, kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber daya manusia yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta kondisi sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi pertanian modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan biofisik. Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya

4 Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Provinsi Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143.185 km 2 dari luas total 8 (delapan) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan 1 (satu) kota madya yaitu Kota Madya Sorong. Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan dirasakan sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum adanya jaringan sentra produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan kawasan. Sumber : http://www.slideshare.net/ekpd/hasil-evaluasi-kinerja-pembangunandaerah-tahun-2009-provinsi-papua-barat 2 Gambar 1 Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan Nasional tahun 2004-2009 2 Seminar Nasional Hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 Provinsi Papua Barat, Pelaksana Universitas Negeri Papua. Hotel Santika Premiere 18-20 Desember 2009 [februari 2011]

Pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat jika dilihat secara nasional selama periode 2004-2009 masih berada di bawah tingkat pembangunan ekonomi nasional dan menunjukan trend yang sangat fluktuatif dibanding dengan trend pembangunan ekonomi nasional. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa fluktuasi indikator capaian outcomes Papua Barat yang menurun drastis pada tahun 2006 hingga berada di bawah rata-rata nasional, kemudian meningkat melampaui rata-rata nasional pada tahun 2007 dan selanjutnya turun secara drastis di bawah rata-rata nasional dan mencapai minimum pada tahun 2009 menunjukan bahwa kinerja pemerintah Provinsi Papua Barat dalam pembangunan ekonomi relatif belum relevan dan efektif dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah. Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi disparitas dalam perkembangan ekonomi pada Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong dibanding dengan kabupaten lainnya. Secara spasial ketiga wilayah tersebut memiliki aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi utama baik laut dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi Papua Barat. Tabel 1 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007 Kabupaten/ Kota Fak-Fak Kaimana Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Luas Wilayah Jumlah Penduduk Km2 (%) Jiwa (%) 14.320,00 18.500,00 12.146,62 18.637,00 14.448,50 29.810,00 28.894,00 6.084,50 344,49 10,00 12,82 8,48 13,02 10,09 20,82 20,18 4,25 0,24 66.254 41.660 22.936 53.664 171.222 60.934 97.810 40.912 167.589 9,16 5,76 3,17 7,42 23,68 8,43 13,53 5,66 23,18 5 PDRB atas dasar harga berlaku Nilai (Jutaan Rp) (%) 912.368,45 8,87 534.432,78 5,20 172.899,41 1,68 640.772,08 6,23 1.686.242,76 16,39 327.559,71 3,18 3.345.501,50 32,53 796.193,43 7,74 1.869.355,55 18,17 Jumlah 143.185,1 100,00 722.981 100,00 10.285.325,67 100,0 Sumber : BPS Papua Barat, 2008

6 Kondisi lainnya yang menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas) pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa, perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati pendapatan per kapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) cenderung meningkat. Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat dan ada yang lambat baik pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran. Kondisi ini dipengaruhi oleh variasi komponen tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah. Peningkatan Tingkat kesehatan yang dihitung dari Angka Harapan Hidup di Papua Barat sebesar 67,90 tahun pada 2008. Artinya rata-rata masyarakat Papua Barat usia hidupnya 67 tahun. Kota Sorong memiliki Angka Harapan hidup tertinggi sebesar 71,12 tahun dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat sebesar 65,43 tahun. Bila dibandingkan dengan kabupaten pemekaran lainnya, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) lebih tinggi (67,55 tahun) dari kabupaten induk Manokwari (67,38 tahun). Peningkatan tingkat pendidikan di Papua Barat dalam kriteria Angka Melek Huruf (AMH), terendah di Kabupaten Teluk Bintuni dalam periode tahun 2006-2008. Pada kriteria lama sekolah, secara keseluruhan Papua Barat memiliki ratarata bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) meskipun pada Kabupaten Teluk wondama terendah dalam periode tahun 2006-2008 (6,39 tahun) sehingga dapat dikatakan bahwa penduduk hanya mampu bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Sangat jauh bila dibandingkan dengan penduduk Kota Sorong dengan rata-rata lama sekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Daya beli masyarakat Papua Barat juga terus meningkat selama periode tahun 2006-2008

7 dengan rata-rata sebesar Rp 593, 13 ribu dengan daya beli tertinggi pada Kota Sorong dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat. Data laporan Tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat Tahun 2008 menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi relatif kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75. Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4,28 triliun disusul Kota sorong sebesar Rp 2,15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2,03 triliun. Kabupaten Wondama merupakan kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB terendah sebesar Rp 0,27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15, 57 juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14,31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12,7 juta). Hal ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di kabupaten induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi, PDRB per kapitanya masih rendah. Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota maupun di Provinsi Papua Barat. Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil, dimana pemberian DAU tahun berjalan selalu lebih besar dari tahun sebelumnya (DAU t > DAU t-1 ). Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal

8 yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. 3 Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selama periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan lebih besar dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota Sorong. Sementara untuk alokasi DAK selama periode tersebut lebih besar alokasinya bagi Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Wondama dan Kabupaten Fak-Fak. 4 Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun 2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dari Provinsi lain di Indonesia. Dalam konteks ini, dokumen rencana pembangunan jangka 3 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16852/5/chapter%20i.pdf [februari 2011] 4 http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk [juli 2010]

9 menengah Papua Barat 2006-2011 serta kebijakan percepatan pembangunan Pemerintah Pusat melalui Inpres 5/2007 merupakan arah utama dari proses percepatan dan harmonisasi program pembangunan di Provinsi Papua Barat. Dokumen RPJMD Buku IV Misi dan Visi Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah merumuskan secara operasional 6 agenda pokok pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pertama, membangun kapasitas kelembagaan dengan sasaran meningkatnya kapasitas kelembagaan yang mampu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat sampai pada tingkat kampung serta mampu melaksanakan tugas pokok kelembagaan. Kedua, meningkatkan mutu sumber daya manusia Papua Barat, dengan sasaran meningkatnya kwalitas sumber daya manusia Papua Barat dalam berbagai bidang sehingga mampu dan mandiri mengelola sumber daya alam bagi kesejahteraan. Ketiga, mengembangkan dan memperkuat basis ekonomi wilayah Provinsi Papua Barat, dengan sasaran utama terbangunnya kemampuan ekonomi di wilayah Provinsi Papua Barat untuk mempercepat perbaikan taraf hidup masyarakat serta menciptakan landasan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Keempat, program penanggulangan kemiskinan, dengan sasaran menurunnya angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat menjadi sepertiga (35 %) dari angka kemiskinan saat ini (70 %). Kelima, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua Barat yang terjamin kelestariannya, dengan sasaran termanfaatkannya sumber daya alam bagi kepentingan masyarakat dan terpelihara kelestariannya. Keenam, revitalisasi dari nilai sosial masyarakat sebagai modal pembangunan di Provinsi Papua Barat, dengan sasaran tumbuhnya nilai sosial masyakat sebagai kekuatan yang berperan aktif dalam pembangunan. Dalam konteks kebijakan pembangunan, Provinsi Papua Barat sangat terkait dengan berbagai indikator Millenium Development Goals (MDGs), pada dasarnya ada 2 kerangka acuan utama yaitu INPRES 5/2007 dengan RPJMD Provinsi Papua Barat 2006-2011 terdiri dari pembangunan infrastruktur fisik, dan juga 3 sektor utama pembangunan (pendidikan, kesehatan,

10 perekonomian rakyat) serta investasi pengembangan wilayah yang merupakan prioritas pembangunan utama Provinsi Papua Barat. 5 Potensi Sumber Daya Alam, Walaupun memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namum perlu disadari bahwa kondisi fisik dasar wilayah yang ditandai dengan geografis dan topografis yang variatif, dimana 15% adalah wilayah kepulauan, 65% adalah wilayah dataran yang bergelombang dan 20% adalah wilayah yang datar dan sungai. Di sisi lain kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang rendah merupakan issue strategis daerah yang menjadi tuntutan bagi kebutuhan pembangunan di wilayah Papua Barat 6. 1.2. Perumusan Masalah Sebenarnya beberapa daerah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat memiliki potensi sumberdaya seperti Sumber Daya Laut, serta potensi mineral gas bumi, pertambangan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini merupakan keunggulan komperatif dan kompetitif untuk akselerasi pembangunan Papua Barat ke depan.yang dapat diandalkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan mengurangi disparitas pembangunan yang terjadi. Tabel 2 Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat Luas Lahan Telah Kab/Kota Sesuai Masih Tersedia Digunakan (ha) (%) (%) Fak-fak 553.784 33,34 66,66 Kaimana 312.807 22,80 77,20 Teluk Wondama 46.342 31,50 68,50 Teluk Bintuni 783.176 3,37 96,63 Manokwari 145.977 67,61 32,29 Sorong Selatan 477.321 6,48 93,52 Sorong/Kota 454.140 36,60 63,40 Raja Ampat 20.854 100,00 0,00 Jumlah 2.794.441 22,34 78,04 Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah) 5 Arah Kebijakan Harmonisasi Papua Barat http://www.westpapuamdgs.com/?p=82&lang=id [februari 2011] 6 Potensi Daerah Papua Barat http://www.papuabarat.info/content/potensi.php [februari 2011]

11 Data pada Tabel 2 di atas menunjukan bahwa ternyata potensi ketersediaan luasan lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat sangat luas sehingga dapat digunakan untuk memacu produksi komoditaskomoditas unggulan (Gambar 2) masing-masing kabupaten dan kota melalui extensifikasi pertanian. Namun realitasnya, masih sangat kecil total luasan lahan yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian pada tiap kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Selain itu potensi perikanan yang ada di Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Wondama tidak ditunjang dengan unit penangkapan yang memadai, sehingga produksi perikanan tangkapnya masih rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten Manokwari (BPS Papua Barat, 2008). Sumber : Supriadi, 2008 Gambar 2 Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Uraian masalah tersebut di atas merupakan beberapa indikasi bahwa pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Papua Barat selama ini masih belum merata dan belum dioptimalkan sesuai dengan potensi sumberdaya yang ada, sehingga menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.

12 Mengacu pada Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2008), disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat cenderung melebar (divergence). Hal ini diakibatkan oleh mobilitas faktor produksi yang kurang lancar pada permulaan proses pembangunan pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat yang baru memekarkan diri (Kabupaten Kaimana, Kabupaten Wondama, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin membaiknya mobilitas faktor produksi maka disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat akan berkurang (convergence). Secara khusus konsep yang dapat ditawarkan agar tercapai konvergensi (convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu diperlukan analisis mengenai disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat 2. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat. 3. Apa yang menjadi sektor unggulan dari tiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat 4. Bagaimana Strategi Pengembangan wilayah di Provinsi Papua Barat 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menentukan/mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

13 2. Mengetahui tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat. 3. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap wilayah di Provinsi Papua Barat 4. Merumuskan strategi pengembangan wilayah dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat ke depan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan masingmasing kabupaten/kota, terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan. 2. Sebagai rujukan informasi bagi kegiatan penelitian lanjutan mengenai disparitas pembangunan wilayah baik dalam skala nasional, regional dan lokal. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan disparitas pembangunan yang disebabkan oleh perbedaan pada PDRB per Kapita, Alokasi Dana Perimbangan (DAK, DAU, DBH), Jumlah Penduduk dan Indeks Pembangunan Mmanusia.