ANALISIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM PROSES AKUISISI LAHAN BERIKUT PENGENAAN BPHTB DI BEBERAPA DAERAH Oleh : Ian Maradona Tanah sejak dahulu, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia, sejak masa perjuangan, kemerdekaan, revolusi sampai reformasi dewasa ini, permasalahan kepemilikan tanah dan pengalihannya kerapkali menjadi polemik dan berujung pada persengketaan dan gugatan. Banyaknya peralihan hak atas tanah yang tidak didasari pada ketentuan yang sah kerapkali dituding sebagai biang keladi persengketaan dan berujung pada gugatan tersebut. Permasalahan kepemilikan atas tanah merupakan hal yang menarik, namun kiranya bahasan tersebut akan kami bahas pada sesi Legal Knowledge berikutnya mengingat keterbatasan data dan bahan yang hendak dianalisis. Pada kesempatan kali ini, kami akan coba untuk membahas mengenai proses dan mekanisme atas pengenaan BPHTB dan sampling pengenaan BPHTB di beberapa daerah di Indonesia atas proses perolehan hak atas tanah. BPHTB adalah Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB dikenakan kepada Pembeli atau pihak yang memperoleh hak atas tanah. Perolehan hak atas tanah tersebut bisa melalui jual-beli, hibah, warisan, tukar-menukar, dll. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan secara formal dapat diartikan sebagai perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB di Indonesia adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat NPOP. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 6 Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB (UU BPHTB). Adapun berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 1. Jual Beli = Harga Transaksi 2. Tukar Menukar = Nilai Pasar 3. Hibah = Nilai Pasar 4. Hibah Wasiat = Nilai Pasar 5. Waris = Nilai Pasar 6. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar 7. Pemisahan Hak = Nilai Pasar 8. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar 9. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar 10. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar 11. Peleburan Usaha = Nilai Pasar 12. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar 13. Hadiah = Nilai Pasar 14. Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang
Pertanyaan : Bagaimana pembayaran BPHTB atas tanah, yang NPOP-nya tidak diketahui nilainya? Berdasarkan ketentuan pasal 6 (3) UU BPHTB, bila NPOP tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB dan apabila NJOP PBB belum ditetapkan maka sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (4) besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 UU BPHTB dijabarkan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajaak Tidak Kena Pajak BPHTB. Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai berikut: a. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) b. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp. 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah) c. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) d. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) e. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d f. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d.
Dalam pasal 7 UU BPHTB dan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB, besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan. Mengingat adanya perbedaan tingkat perekonomian antar daerah, maka penetapan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat dibedakan antar daerah satu dengan daerah lainnya sesuai dengan semangat Otonomi Daerah yang lebih memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk mengatur sendiri rumah tangganya. 1 PENGENAAN BPHTB DI BEBERAPA DAERAH 1. DKI JAKARTA Sebagaimana diatur dalam Perda Pemprop DKI No. 18/2010, Bab IV Mengenai Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak, Bagian Kesatu mengenai Dasar Pengenaan Pajak, Pasal 5 : (1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. Jual beli adalah harga transaksi b. Tukar menukar adalah nilai pasar c. Hibah adalah nilai pasar d. Hibah wasiat adalah nilai pasar e. Waris adalah nilai pasar f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar j. Pemberian hak atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar l. Peleburan usaha adalah nilai pasar m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar n. Hadiah adalah nilai pasar, dan/atau o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercentum dalam risalah lelang (3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf o tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (4) Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak, NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat didasarkan pada surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (5) Surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat sementara 1 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000
(6) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bagnunan sebagai mana dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak atau Instansi yang yang berwenang sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan (7) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) (8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) (9) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dapat ditinjau atau dievaluasi kembali setiap tahun dengan Peraturan Gubernur setelah mendapat persetujuan DPRD Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di propinsi DKI ditetapkan Sebesar 5% (lima persen). Cara Perhitungan Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Perda DKI No. 18/2010 (1) Besarnya Pokok bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimkasud dalam pasal 5 setalah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) atau ayat (8). (2) Dalam Hal Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dengan NJOP setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (7) atau ayat (8) Adapun menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 103/2011 Tentang Pemberian Pengurangan Keringanan Dan Pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) telah diatur mengenai mekanisme pengurangan BPHTB bago OP dan Badan yaitu : 1. Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan pengurangan BPHTB setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak. 2. Pemberian pengurangan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan pertimbangan untuk kepentingan daerah, kepentingan sosial dan keagamaan, antara lain sebagai berikut : Pengurangan BPHTB sebesar 50% (lima puluh persen) untuk : (1) Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan/atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan dan keterangan dari pejabat pemerintah setempat, atau (5) Wajib Pajak Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan nilai buku
dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Dinas Pelayanan Pajak; Mengenai mekanisme pemberiannya, dalam Pasal 7 Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 103/2011 diatur bahwa : 1. Pemberian pengurangan BPHTB hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) SSPD- BPHTB per objek pajak, 2. Terhadap Wajib Pajak yang sama yang memiliki beberapa objek pajak hanya dapat mengajukan permohonan pengurangan BPHTB untuk 1 (satu) objek pajak yang Nilai Perolehan Objek Pajaknya (NPOP) terbesar diantara objek pajak yang lainnya, 3. Dalam hal Wajib Pajak telah diberikan pengurangan BPHTB dan telah diterbitkan keputusan pengurangan, maka Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau keringanan atau pembebasan BPHTB atas objek yang sama. Contoh (ilustrasi): PT. A melakukan pembelian tanah di Kota Jakarta Utara, sebanyak 5 (lima) persil, dengan nilai NJOP yang berbeda-beda. Untuk 4 (empat) persil nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 800.000,-, untuk 1 (satu) persil dengan posisi strategis nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 1.500.000,-. Nilai jual beli (transaksi) per-meter persegi untuk keseluruhan tanah tersebut senilai Rp. 1.200.000,-. Pertanyaan : Berapakah besar nominal BPHTB yang wajib disetorkan PT. A ke kas daerah kota Jakarta Utara? Jawab : Apabila mengacu dari pasal 6 (3) UU BPHTB, bila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB, sehingga untuk pengenaan BPHTB 1 persil strategis tersebut pengenaannya adalah (XX M2 x Rp. 1.500.000,- ) x 5 % = Rp. YY,-, Sedangkan untuk 4 (empat) persil nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 800.000,-, pengenaan BPHTB-nya senilai Harga Transaksi untuk masingmasing persil tanah (XX1 M2 x Rp. 1.200.000,- ) x 5 % = Rp. YY1,-, dan seterusnya (XX4 M2 x Rp. 1.200.000,- ) x 5 % = Rp. YY4,-. Menurut ketentuan Pasal 5 (7) Perda DKI No. No. 18/2010, NPOPKP ditetapkan sebesar Rp. 80.000.000,- sehingga pengenaan BPHTB-nya menjadi (dengan perincian) : 1. XX M2 x Rp. 1.500.000,- x 5 % = Rp. YY,-, 2. (XX1 M2 x Rp. 1.200.000,- ) Rp. 80.000.000,- x 5 % = Rp. YY1,-, 3. XX2 M2 x Rp. 1.200.000,- x 5 % = Rp. YY2,-, 4. XX3 M2 x Rp. 1.200.000,- x 5 % = Rp. YY3,-, 5. XX4 M2 x Rp. 1.200.000,- x 5 % = Rp. YY4,-,
2. GRESIK Mengingat ketentuan mengenai otonomi daerah yang telah dibahas diatas, melalui Peraturan daerah kabupaten Gresik Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, pasal 84 (4) diatur Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Adapun penerapannya dalam folks law (hukum kebiasaan yang dikodifikasi dalam peraturan daerah) di Gresik adalah transaksi yang dilakukan dalam satu tahun pajak hanya dikenakan NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000,-, dan peraturan regional ini mengatur pengenaan NPOPTKP dikenakan untuk per-wajib pajak per-tahun pajak, bukan per-transaksi. Contoh (ilustrasi): PT. B melakukan pembelian tanah di kabupaten Gresik, sebanyak 10 (sepuluh) persil, dengan nilai NJOP yang berbeda-beda. Untuk 9 (sembilan) persil nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 82.000,-, untuk 1 (satu) persil dengan posisi strategis nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 464.000,-. Nilai jual beli (transaksi) per-meter persegi untuk keseluruhan tanah tersebut senilai Rp. 360.000,-. Pertanyaan : Berapakah besar nominal BPHTB yang wajib disetorkan PT. B ke kas daerah kabupaten Gresik? Jawab : Apabila mengacu dari pasal 6 (3) UU BPHTB, bila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB, sehingga untuk pengenaan BPHTB 1 persil strategis tersebut pengenaannya adalah (XX M2 x Rp. 464.000,- ) x 5 % = Rp. YY,-, Sedangkan untuk 9 (sembilan) persil nilai NJOP PBB atas tanah non bangunan sebesar Rp. 82.000,-, pengenaan BPHTB-nya senilai Harga Transaksi untuk masingmasing persil tanah (XX1 M2 x Rp. 360.000,- ) x 5 % = Rp. YY1,-, dan seterusnya (XX9 M2 x Rp. 360.000,- ) x 5 % = Rp. YY9,-. Dengan perincian : 1. XX M2 x Rp. 464.000,- x 5 % = Rp. YY,-, 2. (XX1 M2 x Rp. 360.000,- ) Rp. 60.000.000,- x 5 % = Rp. YY1,-, 3. XX2 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY2,-, 4. XX3 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY3,-, 5. XX4 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY4,-, 6. XX5 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY5,-, 7. XX6 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY6,-, 8. XX7 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY7,-, 9. XX8 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY8,-, 10. XX9 M2 x Rp. 360.000,- x 5 % = Rp. YY9,-, Note : XX1 XX9 (NJOP Rp. 82.000,-) dan atas transaksi diatas dapat dikurangi 1 (satu) kali NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000,- yang dikenakan untuk keseluruhan transaksi.
Tetapi kelemahan daripada otonomi daerah. Kabupaten Gresik juga punya faham berbeda antara penetapan NPOP dengan Harga Pasar sebagaimana di beberapa daerah lain di Indonesia sehingga pengenaan BPHTB tidak dapat diterapkan seperti ideal diatas. Ada kalanya untuk keamanan Pembeli atau badan yang menerima hak atas tanah, melakukan beberapa langkah strategik untuk penyetoran BPHTB antara lain : 1. Pembayaran keseluruhan BPHTB untuk keseluruhan persil dengan nilai NPOP (Rp. 360.000,-) atau sama dengan harga transaksi yang kemudian dilakukan divalidasi. 2. Apabila ada kekurangan, yang memang kemungkinan akan terjadi kurang bayar, sesuai ketentuan Pasal 6 (3) UU BPHTB, bila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB, Dispenda akan lakukan koreksi ulang dan minta PT. B bayar atas kekurangannya, khusus untuk persil dengan NJOP paling tinggi. 3. Apabila sedari awal dibayarkan senilai (XX M2 x Rp. 464.000,- ) x 5 % = Rp. YY,- khusus untuk persil dengan lokasi strategis, dan (XX1 M2 x Rp. 360.000,- ) x 5 % = Rp. YY1,-, dan seterusnya (XX9 M2 x Rp. 360.000,- ) x 5 % = Rp. YY9,-. Untuk masing-masing persil 1-9 dengan nilai NJOP Rp. 82.000,-, dikhawatirkan dikarenakan transaksi dilakukan pada saat yang bersamaan, Dispenda kabupaten Gresik akan melakukan pengenaan BPHTB senilai NJOP tertinggi untuk keseluruhan persil (10 persil) sehingga nilai pengenaan BPHTB menjadi lebih tinggi. Demikian pemaparan disertai beberapa contoh penerapan pengenaan BPHTB di beberapa daerah di Indonesia ini, semoga menjadi informasi yang berguna dalam melaksanakan jual beli atas tanah dalam kaitan penyetoran BPHTB dan pengenaan NPOPTKP di masing-masing daerah, agar penerima hak dapat terhindar dari kesalahan informasi dan resiko validasi BPHTB yang terhambat yang dapat ber-implikasi pada time frame yang mundur dalam pemanfaatan lahan dan pengurusan balik nama sertifikat kepemilikan tanah dimaksud yang dikarenakan perbedaan persepsi antara penerima hak dengan institusi penerima BPHTB. SEKIAN