BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Gambar 1. Diagram TS

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

Musim Hujan. Musim Kemarau

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

I. INFORMASI METEOROLOGI

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

I. INFORMASI METEOROLOGI

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

I. INFORMASI METEOROLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kondisi Perairan Samudera Hindia Bagian Timur

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

PROSPEK KEJADIAN SIKLON TROPIS DI WILAYAH SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA PADA MUSIM SIKLON 2016/2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia. Dibagian barat laut perairan Selatan Jawa yakni berhubungan langsung dengan perairan Barat Sumatera dan juga Selat Sunda. Perairan Selatan Jawa berdasarkan letaknya dipengaruhi oleh Samudera Hindia, perairan Barat Sumatera dan juga massa air yang berasal dari laut Jawa yang masuk melalui Selat Sunda. Terdapat variasi pola pergerakan massa air laut di Selatan Jawa dikarenakan adanya variasi pergerakan angin sebagai pembangkit utama terjadinya pergerakan massa air laut tersebut. Dingele et al. (2001) menggambarkan pola pergerakan massa air laut di Selatan Jawa pada Agustus (mewakili musim timur) dan Februari (mewakili musim barat) (Gambar 2). Di wilayah perairan ini terjadi suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson Australia-Asia. Terjadinya angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan udara antara massa Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember- Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas sehingga terjadi pusat tekanan tinggi di Benua Asia dan pusat tekanan rendah di Benua Australia. Hal ini menyebabkan angin berhembus dari Benua Asia menuju ke Australia. Angin ini pada wilayah selatan katulistiwa dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut (Northwest Monsoon). Sebaliknya pada bulan Juli-Agustus berhembus Angin Muson Timur (East Monsoon). Adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun menyebabkan pola sirkulasi massa air dilautan juga turut berubah arah. Perubahan arah ini menjadi ciri sirkulasi massa air di perairan Indonesia (Wyrtki, 1961). Di Selatan Jawa terdapat dua jenis pola pergerakan massa air yakni Arus Katulistiwa Selatan (AKS) atau South Equatorial Current (SEC) dan Arus Pulau Jawa (APJ). AKS terbentuk di daerah antara Pantai Selatan Jawa dan Pantai Barat Laut Australia pada umumnya mengalir ke arah barat. Arus permukaan ini 6

7 menyebar dari barat laut Australia, antara 10º - 20º LS hingga ke arah barat Samudera Hindia mencapai Madagaskar (Purba 1992). APJ memiliki suhu yang lebih hangat, karena APJ terbentuk akibat Arus Sakal Katulistiwa Samudera Hindia (Equatorial Counter Current) yang menerima panas selama pergerakannya menuju Barat Sumatera di sekitar ekuator. Kemudian arus ini bertemu dengan AKS pada musim Barat sehingga AKS terdesak dan berbelok menyusuri pesisir Barat Sumatera dan menuju ke pantai Selatan Jawa ke arah timur sebagai APJ (Purba 1992). Gambar 2. Sirkulasi massa air di Selatan Jawa. (a) Agustus (b) Februari (Dingele et al. 2001)

8 1.2. Kenaikan Massa Air (Upwelling) Upwelling telah banyak dikaji oleh para peneliti baik mengenai proses terjadinya maupun akibat yang ditimbulkannya. Upwelling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses-proses yang menyebabkan air bergerak ke atas dari suatu kedalaman menuju lapisan permukaan. Kedalaman lapisan upwelling biasanya berkisar 200-300 m. Wilayah upwelling biasanya memiliki produktivitas biologi yang tinggi. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dapat mendukung konsentrasi zooplankton yang sangat besar dan mengakibatkan melimpahnya keberadaan ikan. Sekitar 90 % hasil perikanan dunia dipanen dari sekitar 2-3 % luasan lautan, dan sebagian sebar dari luasan ini adalah daerah upwelling (Dahuri et al. 1996). Proses Upwelling terjadi karena adanya kekosongan massa air pada lapisan permukaan akibat terbawa arus ke tempat lain. Upwelling dapat terjadi di daerah pantai dan juga lepas pantai. Di daerah pantai, upwelling terjadi jika lapisan massa air lapisan permukaan bergerak meninggalkan pantai sehingga terjadi kekosongan massa air. Di laut lepas, karena adanya pola arus permukaan yang menyebar (divergensi) sehingga massa air dari lapisan bawah akan naik dan mengisi kekosongan di permukaan akibat menyebarnya arus (Dahuri et al. 1996). Supangat dan Susanna (2003), menyatakan secara teoritis terjadinya upwelling karena adanya pengaruh angin dan adanya proses divergensi Ekman. Ekman mengungkapkan angin berhembus dipermukaan secara konstan dengan kedalaman laut dan lebar yang tidak terbatas. Angin mengakibatkan pergerakan arus secara vertikal disamping arus permukaan secara horizontal sehingga terjadi transpor massa lapisan permukaan 90º kearah kanan di belahan bumi utara dan terjadi gesekan hingga kedalaman tertentu. Karena adanya gaya coriolis dengan anggapan keseimbangan antara gaya-gaya gesekan dipermukaan dengan gaya coriolis, maka ditarik kesimpulan bahwa kecepatan dari arus yang disebabkan oleh angin berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman. Arah arus menyimpang 45 dari arah angin dan sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Pengaruh angin siklon pada permukaan air di kutub Utara juga mempengaruhi transpor Ekman sehingga pergerakan rata-rata lapisan

9 yang dibawa oleh angin berbelok ke kanan dari angin menyebabkan divergensi air permukaan dan naiknya massa air dari dalam ke permukaan atau upwelling (Gambar 3). Gambar 3. (a) Pola arus spiral Ekman, (b) proses upwelling akibat proses divergensi Ekman. (sumber : Supangat dan Susanna 2003) jenis, yaitu : Menurut Dahuri et al. (1996) upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa 1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah-ubah, seperti yang ditemukan di lepas pantai Peru. Disini akan berlangsung gerakan naiknya massa air dari lapisan bawah dan setelah mencapai permukaan, massa air akan bergerak secara horizontal keluar. 2. Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa.

10 3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang terjadi di laut Banda dan Arafura. Proses upwelling di perairan Selatan Jawa terjadi pada Musim Barat dikemukakan oleh Soriaatmadja (1957) dalam Wilopo (2005) disebabkan oleh proses penyebaran (divergensi) dengan intensitas yang lebih rendah daripada yang disebabkan oleh angin. Proses upwelling di perairan Selatan Jawa terjadi pada Musim Timur dikemukakan oleh Wyrtki (1962), hal tersebut disebabkan oleh Angin Muson Tenggara. Nontji (1987) mengungkapkan bahwa upwelling di Selatan Jawa disebabkan oleh adanya Arus Khatulistiwa Selatan dan juga adanya angin tenggara dan terjadi sekitar bulan Mei hingga September. Dapat dikemukakan bahwa upwelling di sekitar perairan Selatan Jawa selain terjadi akibat mekanisme Ekman pump pada saat bertiupnya Angin Muson Tenggara, juga disebabkan oleh mekanisme divergensi (Purba dkk. 1992).

11 1.3. Angin Angin adalah salah satu unsur meteorologi yang sangat penting diperhatikan dalam masalah kelautan. Pola angin yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah angin musim (monsoon). Angin musim bergerak kearah tertentu pada suatu periode sedangkan pada periode lainnya angin bergerak dengan arah yang berlainan. Posisi Indonesia yang diantara benua Asia dan Australia menyebabkan angin musim sangat mempengaruhi perairan Indonesia. Angin musim juga mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Pada musim Barat biasanya membawa hujan sedangkan pada musim timur sedikit membawa hujan (Nontji 1987). Menurut Wyrtki (1961), keadaan musim di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu : 1. Musim Barat (Desember-Februari) Pada musim Barat yakni Desember, Januari, Februari (DJA) pusat tekanan udara tinggi berkembang diatas Benua Asia dan pusat tekanan udara rendah terjadi diatas Benua Australia sehingga angin berhembus dari barat menuju tenggara. Di Pulau Jawa angin ini dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut. Musim Barat umumnya membawa curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa (Gambar 4a). 2. Musim Timur (Juni-Agustus) Pada musim Timur yakni Juni, Juli, Agustus (JJA) pusat tekanan udara rendah yang terjadi diatas Benua Asia dan pusat tekanan udara tinggi diatas Benua Australia menyebabkan angin berhembus dari tenggara menuju barat laut. Pada daerah Pulau Jawa bertiup Angin Muson Tenggara dan selama musim Timur Pulau Jawa biasanya mengalami kekeringan (Gambar 4b). 3. Musim Peralihan I dan II (Maret-Mei dan September-November) Periode Maret sampai Mei dikenal sebagai musim peralihan I atau muson pancaroba awal tahun, sedangkan periode September sampai November disebut musim peralihan II sebagai muson pancaroba akhir tahun. Pada musim peralihan ini matahari bergerak melintasi khatulistiwa, sehingga angin melemah dan memiliki arah yang tidak tentu.

12 Adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu menyebabkan pola sirkulasi massa air di lautan juga turut berubah arah. Perubahan arah ini menjadi ciri sirkulasi massa air di perairan Indonesia dan sekitarnya (Wyrtki 1961). Letak geografis perairan Selatan Jawa yang berada pada sistem angin muson menyebabkan kondisi oseanografis perairan ini dipengaruhi sistem angin muson tersebut (Wyrtki 1961), serta dipengaruhi oleh perubahan iklim global seperti El Niňo dan Indian Ocean Dipole (Saji et al. 1999). Gambar 4. Pola angin; a) Musim Barat b) Musim Timur (NOAA 2009)

13 1.4. Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Niňo Southern Oscillation (ENSO) di Perairan Selatan Jawa Indian Ocean Dipole (IOD) adalah fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara lautan dan atmosfer di Samudera Hindia. Fenomena ini terbentuk oleh dua kutub anomali suhu permukaan laut (SPL), antara perairan Selatan Jawa dan Barat Sumatera dengan perairan Afrika. Fenomena IOD merupakan suatu pola variabilitas di Samudera Hindia dimana SPL yang lebih rendah daripada biasanya ditemukan dilepas pantai Barat Sumatera dan SPL yang lebih hangat terdapat di sebagian besar Barat Samudera Hindia yang diikuti oleh anomali angin dan presipitasi (Saji et al. 1999). Fenomena IOD dapat diidentifikasi dengan menggunakan Diople Mode Index (DMI). Indeks ini menggambarkan perbedaan anomali SPL diantara bagian barat tropis Samudera Hindia (50ºBT-70ºBT, 10ºLS-10ºLU) dengan bagian tenggara tropis Samudera Hindia (90ºBT-110ºBT, 10ºLS-0ºLU). DMI memiliki akurasi 70% dalam mengidentifikasi IOD. Nilai DMI ekstrim positif merupakan indikasi terjadinya IOD. IOD dibagi menjadi dua fase yakni IOD positif dan IOD negatif. IOD positif terjadi pada saat tekanan udara permukaan di atas wilayah Barat Sumatera relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga udara mengalir dari bagian Barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan IOD negatif (Saji et al. 1999). Fenomena IOD diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut yang negatif di sekitar selat Lombok hingga Selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Kemudian pada bulan Juli-Agustus, anomali negatif SPL tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga pantai Barat Sumatera, sementara itu anomali positif SPL mulai muncul di Samudera Hindia bagian barat. Perbedaan tekanan di antara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang dan pantai Barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya

14 pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember (Saji et al. 1999) (Gambar 5). Gambar 5.Proses terjadinya fenomena IOD (Saji et al. 1999) Fenomena IOD memberikan dampak besar baik positif maupun negatif terhadap kondisi lingkungan laut dan atmosfer. Dampak positif di lingkungan laut terjadi pada saat IOD fase positif yang menyebabkan perairan pantai Barat Sumatera dan Selatan Jawa terjadi proses upwelling. Sebaliknya di atmosfer, dampak negatif terjadi pada saat IOD fase positif yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Sedangkan pada saat IOD fase negatif akan memiliki dampak positif dengan meningkatkan intesitas curah hujan dibeberapa wilayah Indonesia terutama bagian barat. Murtugudde et al. (1999) menyatakan bahwa IOD positif mempengaruhi produktivitas primer di lepas pantai Barat Sumatera dan Selatan Jawa dengan cara mengubah pola upwelling. El Niňo menggambarkan adanya anomali SPL di Pasifik tropis. Pada saat El Niňo terjadi, kolam air panas yang biasanya berada di sebelah Barat Samudera Pasifik Tropis mengalami pergerakan menuju bagian timur Samudera Pasifik sehingga terjadi penumpukan massa air yang bersuhu panas dan memungkinkan terjadinya pertemuan massa air yang memiliki suhu yang berbeda (thermal front). Pada saat kondisi normal di perairan selatan Samudera Pasifik bagian timur terjadi upwelling, yang menyebabkan SPL menjadi lebih rendah, proses sebaliknya

15 terjadi pada saat El Niňo. Hasil penelitian Susanto et al. (2001) mengungkapkan bahwa ENSO mempengaruhi penaikan massa air tahunan di perairan Selatan Jawa serta mengakibatkan adanya anomali angin dari timur. Pada saat El Niňo mengalir massa air dingin dari Pasifik menuju Samudera Hindia dan saat La Niňa mengalir massa air hangat. Kemudian istilah El Niňo berkembang menjadi El Niňo Southerm Oscillation (ENSO). Kata Southerm Oscillation diberikan oleh Sir Gilbert Walker pada tahun 1923 yang mencerminkan pola perubahan tekanan udara di belahan bumi selatan antara Pasifik (Tahiti) dan di Hindia (Darwin) saat terjadinya El Niňo. Dengan demikian El Niňo mencerminkan proses anomali SPL di Pasifik tropis sedangkan Southern Oscillation mencerminkan perubahan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Pada saat El Niňo terjadi, tekanan rendah terjadi di Tahiti sedangkan tekanan tinggi terjadi di Darwin (Philander 1990). Ada beberapa indikasi dalam memonitoring fenomena ENSO yakni dengan melihat anomali suhu muka laut Pasifik. Perhitungan anomali suhu permukaan laut Pasifik tersebut dibagi menjadi 4 kawasan yakni Niňo 1+2, Niňo 3, Niňo 4 dan Niňo 3.4 dan salah satunya yang mengindikasikan ENSO dengan melihat adanya anomali suhu muka laut di Ekuator Pasifik Tengah yakni Niňo 3.4 (Gambar 6). Niňo 3.4 memiliki dua jenis nilai yakni Niňo 3.4 positif dimana standar deviasi rata-rata 3 bulan lebih besar sama dengan 0.5 C merupakan indikasi terjadinya EL Niňo serta Niňo 3.4 negatif dimana standar deviasinya lebih kecil sama dengan -0.5 merupakan indikasi terjadinya La Niňa (NOAA 2005). Gambar 6. Pembagian daerah pemantauan ENSO (sumber : http://www.esrl.noaa.gov/)

16 Pada periode El Niňo (1972, 1982, 1986, 1994, 1997), Angin Muson Tenggara yang berhembus di perairan Indonesia semakin kuat sehingga intensitas penaikan massa air yang terjadi di Selatan Jawa juga bertambah kuat. Pada saat La Niňa, masuknya massa air permukaan yang relatif hangat ke Samudera Hindia melalui jalur Arlindo menyebabkan termoklin di Selatan Jawa bertambah dalam 20-30 meter daripada biasanya. Akibatnya, pada saat terjadi penaikan massa air, massa air yang naik ke permukaan adalah massa air yang suhunya relatif lebih hangat (Susanto et al. 2001). 1.5. Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Suhu perairan merupakan faktor yang penting dalam kelautan. Data suhu dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di laut, kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan laut serta dapat digunakan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air permukaan di Indonesia umumnya berkisar 28-31 C dengan suhu dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lepas pantai (Nontji 1987). Suhu permukaan laut mempunyai hubungan erat dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena-fenomena yang terjadi di laut seperti front (pertemuan dua massa air yang berbeda), arus, upwelling, sebaran suhu permukaan laut secara horizontal, dan aktifitas biologi (Robinson 1985). Menurut (Wyrtki 1961), tingginya suhu permukaan laut di Indonesia disebabkan oleh posisi geografis Indonesia yang terletak di wilayah ekuator yang merupakan daerah penerima panas matahari yang terbanyak. Suhu tertinggi 30 C umumnya terjadi pada bulan April Mei, sedangkan suhu terendah 27 C terjadi pada bulan Desember Januari dan suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh angin musiman dan pola curah hujan. Suhu perairan dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Peningkatan suhu sampai batas tertentu akan menaikkan laju fotosintesis.

17 Pengaruh tidak langsung adalah karena suhu akan menentukan struktur hidrologis suatu perairan dimana fitoplankton tersebut berada. Suhu akan sangat menentukan berat jenis air. Makin rendah suhu air akan semakin tinggi berat jenisnya (Nontji 2006). Analisis suhu pemukaan laut bukan hanya penting untuk mengetahui keberadaan dan tingkah laku ikan tetapi juga secara tidak langsung mengindikasikan beberapa proses lain di lautan seperti percampuran massa air, Thermal front, upwelling, arus, perbatasan arus, dan lain sebagainya yang keseluruhannya dapat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan (Laevastu dan Hela 1970 dalam Panjaitan 2009). Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang di dalam air dan mudah terbawa arus (Nontji 2005). Fitoplankton adalah tumbuhan yang melayang di laut dengan ukuran yang sangat kecil (berkisar antara 2-200μm) yang hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop, fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat (Nontji 2005). Kemampuan fitoplankton dalam hal sebagai penyedia energi tersebut, maka fitoplankton termasuk dalam golongan organisme autotroph. Sedangkan kemampuan fitoplankton membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer (primary producer) (Nontji 2005). Menurut Barnes dan Hughes (1988) dalam Panjaitan (2009), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada musim Timur, yakni pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, yakni pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling sehingga nilai konsentrasi nutrient di perairan lebih kecil.