SARI HASIL PENELITIAN ROTAN Oleh : Jasni, D. Martono dan Nana SuprianaI. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Jenis, sifat dan kegunaan rotan

Industri Kreatif berbasis Rotan

STUDI SIFAT FISIK DAN MEKANIK ROTAN MANAU (Calamus manan Miq) AZHAR NIM

PERLAKUAN KIMIA DAN FISIK EMPAT JENIS ROTAN SESUDAH PENEBANGAN CHEMICAL AND PHYSICAL TREATMENT OF FOUR RATTAN SPECIES AFTER FELLING

PERKEMBANGAN MATERIAL ROTAN DAN PENGGUNAAN DI DUNIA DESAIN INTERIOR

PENGAWETAN ROTAN KURANG DIKENAL SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL MENGGUNAKAN RENDAMAN DINGIN

IDENTIFIKASI JAMUR MOLD DAN BLUE STAIN PADA ROTAN Mold and Blue Stain Identification on Rattan

Panduan dan Laporan Kegiatan Pembuatan Furnitur Berbahan Dasar Rotan

PENGOLAHAN ROTAN untuk BAHAN BAKU MEBEL DAN KERAJINAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI BEBERAPA SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA ROTAN JELAYAN (Calamus ornatus Blume) DARI INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN PT RUDINA. Oleh:

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) DI PPIRT (PUSAT PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN TERPADU) PALU SULAWESI TENGAH. Oleh :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

STUDI BEBERAPA SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA ROTAN SEMAMBU (Calamus scipionum Loureiro) Oleh : JEMBAWAN NIM

Perlakuan Kimia dan Fisik Empat Jenis Rotan sesudah Penebangan (Chemical and Physical Treatments of Four Rattan Species after Felling)

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

PENGENALAN KUALITAS ROTAN DI LAPANGAN

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

DAYA TAHAN ROTAN YANG DIAWETKAN DENGAN CUKA KAYU GALAM TERHADAP SERANGAN BUBUK Dinoderus minutus Farb.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago

PENGUJIAN SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA ROTAN SEMAMBU (Calamus scipionum Loureiro) SETELAH PROSES PENGGORENGAN DI INDUSTRI RUDINA MOULDING

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka termasuk industri hilir, di mana industri ini melakukan proses pengolahan

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

PENDAHULUAN PENGOLAHAN METE 1

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGOLAHAN ROTAN OLEH Dra. Jasni, M.Si Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN ROTAN DAN BAMBU 1) Oleh : Karnita Yuniarti 2)

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kayu saat ini merupakan komponen yang dibutuhkan dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Jamur Tiram

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG ( PKL ) DI PPIRT ( PUSAT PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN TERPADU ) PALU SULAWESI TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANFAATAN ROTAN NON KOMERSIAL SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL DITINJAU DARI SIFAT FISIS DAN MEKANIS

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

TANAMAN PERKEBUNAN. Kelapa Melinjo Kakao

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

reversible yaitu kulit awetan harus dapat dikembalikan seperti keadaan semula (segar). Untari, (1999), mengemukakan bahwa mikro organisme yang ada pad

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman famili Palmae yang tumbuh memanjat yang disebut

HASIL DAN PEMBAHASAN

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

TEKNIK PEMBENGKOKAN ROTAN MANAU (Calamus manau) MENGGUNAKAN STEAMER Rattan Manau (Calamus manau) Bending Method by Using Steamer

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1:

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PENGOLAHAN BUAH LADA

MANISAN KERING JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

ALAT PEMISAH BIJI KAKAO SEDERHANA DITINJAU DARI SEGI KUALITAS DAN KAPASITAS HASIL

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

KAJIAN RUMAH PLASTIK PENGERING KOPRA KASUS DESA SIAW TANJUNG JABUNG TIMUR. Kiki Suheiti, Nur Asni, Endrizal

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

KOMPONEN KIMIA DAN KETAHANAN EMPAT JENIS ROTAN ( Chemical Compound and Resistance of Four Kinds of Rattan) Oleh/ By : Ina Winarni & Jasni

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN ( PKL ) PUSAT PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN TERPADU (PPIRT) AZHAR NIM

TEKNOLOGI PEMBUATAN BIOBRIKET DARI LIMBAH BAGLOG

PENDAHULUAN Latar Belakang

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

II. PENJELASAN ISI RISALAH

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

Rotan. Sifat Dasar dan Kegunaan. Seri Paket Iptek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. keputih-putihan atau kekuning-kuningan serta kehitam-hitaman. Batang tanaman

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

IBM KELOMPOK USAHA (UKM) JAGUNG DI KABUPATEN GOWA

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Transkripsi:

SARI HASIL PENELITIAN ROTAN Oleh : Jasni, D. Martono dan Nana SuprianaI. PENDAHULUAN Rotan berasal dari bahasa melayu yang berarti nama dari sekumpulan jenis tanaman famili Palmae yang tumbuh memanjat yang disebut "Lepidocaryodidae". Lepidocaryodidae berasal dari bahasa Yunani yang berarti mencakup ukuran buah. Kata rotan dalam bahasa Melayu diturunkan dari kata "raut" yang berarti mengupas (menguliti), menghaluskan (Menon, 1979 dalam Kalima, 1996). Rotan merupakan salah satu sumber hayati Indonesia, penghasil devisa negara yang cukup besar. Sebagai negara penghasil rotan terbesar, Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80% kebutuhan rotan dunia. Dari jumlah tersebut 90% rotan dihasilkan dari hutan alam yang terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10% dihasilkan dari budidaya rotan. Nilai ekspor rotan Indonesia pada tahun 1992 mencapai US$ 208,183 juta (Kalima, 1996). Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi Kehutanan, dari 143 juta hektar luas hutan di Indonesia diperkirakan hutan yang ditumbuhi rotan seluas kurang lebih 13,20 juta hektar, yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang memiliki hutan alam. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 jenis, hanya 51 jenis yang sudah dimanfaatkan. Hal ini berarti pemanfaatan jenis rotan masih rendah dan terbatas pada jenis-jenis yang sudah diketahui manfaatnya dan laku di pasaran. Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan terdapat di Asia Tenggara, yang berasal dari 8 genera, yaitu untuk genus Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Khorthalsia 30 jenis, Plectocomia 10 jenis, Plectocomiopsis 10 jenis, Calopspatha 2 jenis, Bejaudia 1 jenis dan Ceratolobus 6 jenis (Dransfield 1974, Menon 1979 dalam Alrasjid, 1989). Dari 8 genera tersebut dua genera rotan yang bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops. Soediwinardi (1996) menyatakan bahwa daerah perdagangan bebas ASEAN atau Asean Free Area (AFTA) akan berlaku penuh pada tahun 2000 yang berarti produk Indonesia yang masuk dalam pola Perdagangan Preferensi Efektif Bersama atau Common Effective Preferential Trade (CEPT) harus dapat bersaing dengan produk jenis dari sesama negara anggota ASEAN. Rotan masuk dalam pola CEPT tersebut. Untuk menghadapi persaingan tersebut maka jenis rotan apa saja yang harus ditingkatkan yang produksinya tergantung kepada kebutuhan pasar. Dari seluruh kebutuhan rotan tersebut, 68% rotan berdiameter besar, sedangkan rotan yang berdiameter kecil hanya 32%. Untuk dapat memanfaatkan jenis rotan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai cara pemanenan, sifat dasar rotan, cara pengolahan yang dapat memenuhi standar mutu yang ditentukan dan besarnya biaya yang dikeluarkan dengan biaya yang didapatkan dari hasil produk yang sudah dipasarkan, maka disusun hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam tulisan ini sebagai acuan penelitian yang akan dilakukan lebih lanjut. II. PEMANENAN Rotan yang akan dipanen adalah rotan yang masak tebang, dengan ciri-ciri bagian bawah batang sudah tidak tertutup lagi oleh daun kelopak atau selundang, sebagian daun sudah mengering, duri dan daun kelopak sudah rontok. Pemanenan rotan dilakukan dengan cara mencari rotan yang masak tebang, kemudian menebang pangkal rotan dengan pengkaitnya setinggi 10 sampai 50 cm, kemudian dengan pengait batang ditarik agar terlepas dari pohon penopangnya. Rotan yang telah dipanen kemudian dibersihkan dari daun dan duri serta dipotong-potong menurut ukuran yang diinginkan. Setelah itu rotan diangkut ke Tempat Pengumpulan. Sementara (TPS) sampai ke Tempat Penimbunan Rotan (TPR) dengan cara memikul, menggunakan perahu/sampan dan menggunakan kuda (Sinaga, 1986). Pada pemanenan besarnya limbah yang terjadi pada penebangan secara tradisional adalah 12,6-28,5%, dan dengan mengunakan alat bantu tirfor dan lir adalah 4,1-11,1%; sedangkan besarnya limbah yang dihasilkan selama pengangkutan berkisar antara 5-10% (Sinaga, 1986). III. SIFAT DASAR A. Anatomi Struktur anatomi batang rotan yang berhubungan erat dengan menentukan keawetan dan kekuatan rotan antara lain adalah besar pori dan tebalnya dinding sel serabut. Sel serabut diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan (Rachman, 1996). Bhat dan Thulasidas (1993) melaporkan bahwa tebal dinding sel serabut merupakan parameter anatomi yang paling penting

dalam menentukan kekuatan rotan, dinding yang lebih tebal membuat rotan manjadi lebih keras dan lebih berat. Sel-sel serabut yang berdinding tebal menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis. Hasil penelitian Jasni et al. (1997), terhadap tiga jenis rotan, yaitu rotan sampang (Khorthalsia junghunii Miq.), rotan seuti (Calamus ornatus Bl.) dan rotan bubuay (Plectocomia elongata Bl.), ternyata sel-sel serabut rotan sampang rata-rata dinding sel lebih tebal (4,89 mm), rotan seuti rata-rata 3,91 mm, kemudian rotan bubuay 3,49 mm. Ditinjau dari tebal dinding sel serabut maka dapat dikatakan rotan sampang lebih kuat dari pada rotan seuti dan kemudian bubuay. Selanjutnya sifat anatomi ketiga jenis rotan yang diteliti menunjukkan bahwa pada ikatan pembuluh sampang dan seuti terdapat satu metaxylem, sedangkan bubuay memiliki satu atau dua metaxylem. Pholem pada jenis rotan sampang dan seuti terdiri atas dua untaian yang terletak di kiri dan kanan metaxylem, sedangkan bubuay letaknya mengelompok. Bentuk sel bagian kulit rotan atau sel epidermis dari jenis rotan sampang adalah kubus, sedangkan seuti dan bubuay berbentuk balok. Di antara ketiga jenis rotan tersebut, hanya rotan seuti yang tidak mempunyai yellow cap (topi kuning). Beberpa pendapat mengatakan bahwa topi kuning mungkin mempengaruhi kekuatan rotan, terutama pada bagian kulit. Sifat kekuatan yang dipengaruhi adalah peningkatan kekerasan dan kekuatan barang anyaman. Hal ini mungkin disebabkan proporsi sel serabut pada bagian kulit bertambah banyak. Sel serabut diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada bahan berkayu. B. Sifat Kimia Komponen kimia rotan juga penting dalam menentukan kekuatan dan keawetan rotan. Rachman (1996), melaporkan secara umum komposisi kimia rotan terdiri dari holoselulosa (71%-76%), selulosa (39% - 58%), lignin (18% - 27%) dan silika (0,54 5-8 %). Hasil penelitian terhadap kandungan beberapa jenis rotan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan kimia beberapa jenis rotan. Jenis rotan Holoselulosa No. Nama daerah Nama latin (%) Selulosa (%) Lignin (%) Tanin (%) 1 Sampang K. junghunii Miq. 71,49 42,89 24,41 8,14 19,62 2 Bubuay P. elongata Becc. 73,84 40,89 16,85 8,88 23,57 3 Seuti C. ornathus Bl. 72,69 39,19 13,35 8,56 21,82 4 Semambu C. scipionum Burr. 70,07 37,36 22,19-21,35 5 Tretes D. heteroides Bl. 72,49 41,72 21,99-21,15 6 Balubuk C. burchianus Becc. 73,34 42,35 24,03-20,85 7 Batang C. zolineri Becc. 73,78 41,09 24,21-20,61 8 Galaka C. spp. 74,38 44,19 21,45-19,40 9 Tohiti C. inops Becc. 74,42 43,28 21,34-18,57 10 Manau C. manan Miq. 71,45 39,05 22,22-18,50 Pati (%) Sumber: Rachman (1996), Jasni et al. (1997 dan 1998), Jasni dan Supriana (1999) Komponen kimia rotan penting dalam menentukan kekuatan rotan. Selulosa yaitu molekul gula linear berantai panjang termasuk ke dalam holoselulosa. Rachman (1996), menyatakan selulosa berfungsi memberikan kekuatan tarik pada batang, karena adanya ikatan kovalen yang kuat dalam cincin piranosa dan antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa yang terdapat dalam rotan maka keteguhan lentur juga makin tinggi. Selain selulosa yang sangat penting juga adalah lignin. Lignin adalah merupakan suatu polimer yang komplek dengan berat molekul yang tinggi. Lignin juga berfungsi memberikan kekuatan pada batang dan makin tinggi kadar lignin dalam rotan makin kuat rotan karena ikatan antar serat juga makin kuat. Tanin nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500-3000, dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa komplek larut yang tidak larut. Tanin dapat dikategorikan sebagai "true artrigen" adalah rasa sepat. Rasa sepat timbul karena kuagulasi dari protein dari protein air liur dan mukosa ephitelium dengan tanin. Tanin atau sesungguhnya lebih tepat disebut asam tanat (tanic acid), monomer dari tanin adalah untuk penyamak kulit. Efek tanin adalah sebagai penangkal pemangsa. Pada konsentrasi tinggi tidak secara langsung beracun terhadap herbivora, tetapi dapat menyebabkan pengendapan protein sehingga pencernaan tidak efisien. Tanin hasil purifikasi dapat digunakan sebagai bahan anti rayap dan jamur (Jasni et al, 1997).

Pati adalah cadangan karbohidrat utama pada tumbuhan tingkat tinggi, yaitu sekitar 70% dari berat basah, berbentuk granula yang larut dalam air dan pati merupakan makanan utama serangga atau bubuk perusak kayu atau rotan. Makin tinggi kandungan pati dalam kayu atau rotan maka makin rentan serangan bubuk kayu kering (Jasni, 1998). C. Fisis dan Mekanis Sifat yang paling banyak mendapat perhatian dalam penggunaan rotan adalah sifat fisik dan mekanis. Nilai hasil uji fisis dan mekanis beberapa jenis rotan ialah asal Jawa, di antaranya berat jenis (BJ) 0,47-0,57, nilai kekuatan (MOR) antara 421-834 kg/cm2, nilai kelenturan (MOE) antara 14.548-22.000 kg/cm2. Berdasarkan penampakan secara visual, sifat fisis dan mekanis rotan tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Data pengujian sifat fisis dan mekanis rotan di Jawa Barat Kadar air Kadar air MOE MOR Panjang Tinggi Jenis BJ KU Warna basah (%) udara (%) (kg/cm2) (kg/cm2) ruas (cm) buku (cm) Seuti 142,22 13,76 0,511 17.089 441,96 Putih 20,76 0,31 Balubuk 167,11 13,87 0,500 14.585 431,61 Putih 32,15 0,39 Karokok 137,17 14,10 0,470 15.423 453,12 Kuning 24,47 0,26 Seel 138,80 14,25 0,490 10.017 421,16 Kuning 37,20 0,23 Manau alam 105,00-0,550 19.800 734,00 Kuning - 0,16 Sampang 84,32 18,19 0,580 22.00 834,00 Coklat - - Sumber: Anonim (1999) D. Keawetan dan Keterawetan Nilai suatu jenis rotan untuk keperluan mebel, barang kerajinan dan peralatan rumah tangga sangat ditentukan oleh keawetannya, Keawetan rotan adalah daya tahan sesuatu jenis rotan terhadap berbagai faktor perusak rotan, tetapi biasanya yang dimaksud ialah daya tahan terhadap faktor perusak biologis yang disebabkan oleh organisme perusak rotan yaitu jamur dan serangga. Dalam hal ini perlu diperhatikan terhadap organisme mana keawetan itu dimaksudkan, karena sesuatu jenis rotan yang tahan terhadap serangan jamur misalnya belum tentu akan tahan juga terhadap serangga atau organisme perusak lainnya. Keawetan rotan juga dipengaruhi pula faktor lain seperti kandungan selulosa, lignin, pati dan kimia lainnya. Keterawetan rotan adalah mudah atau tidaknya jenis rotan tersebut ditembus bahan pengawet jika diawetkan dengan proses tertentu sehingga rotan yang sudah diawetkan dengan suatu bahan kimia (pengawet) tahan terhadap serangan organisme perusak sehingga rotan tersebut awet. Jenis organisme tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengelompokan organisme perusak rotan Organisme Macam perusak perusak Kondisi rotan Jenis organisme Jamur Pewarna Basah Ascomycetes, Ceratocytis, Diplodia Lapuk, rengas Kering yang kebasahan Basidiomycetes (Schizophylum commune Fr., Dacryopinax spathularia Schw., Pycnoporus sanguineus (fr) Karts) Serangga Kumbang Basah penggerek basah Scolitydae, Platypodidae (Xyloborus, Platypus dan Diapus) (pinhole, ambrosiabeetle) Kumbang Kering Bostrychidae, Lyctidae, Cerambicidae, Anobiidae penggerek kering (Dinodrus minutus Farb., Heterobostrychus (powder post aequalis Wat., Lyctus sp., Mintea sp.) beetle) Rayap Lembab Rayap tanah, Termitidae, Rhinotermitidae (Coptotermes sp., Macrotermes sp., Microtermes sp.) Kering Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) Sumber : Jasni dan Martono (1999), Jasni dan Sumarni (1999)

Hasil penelitian secara laboratoris pada 8 jenis rotan (Tabel 4) terhadap organisme perusak dari jenis bubuk rotan kering Dinoderus minutus Farb. yang dilakukan oleh Jasni dan Supriana (1999), dibuat 5 kelas awet (ketahanan) berdasar penilaian penurunan berat rotan akibat diserang bubuk tersebut. Adapun klasifikasi tersebut tercantum pada Tabel 5. Tabel 4. Kelas awet (ketahanan) 8 jenis rotan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Nama jenis rotan Kelas awet No. Nama daerah Nama botanis (ketahanan) 1 Bubuay Plectocomia elongata Becc. V 2 Semambu Calamus scipionum Burr. III 3 Tretes Daemonorop heteroides Bl. III 4 Balubuk Calamus burchianus Becc. II 5 Batang Calamus Zolingerii Becc. II 6 Galaka Calamus sp. I 7 Tohiti Calamus inops Becc. I 8 Manau Calamus manan Miq. I Tabel 5. Klasifikasi keawetan (ketahanan) rotan terhadap bubuk Dinoderus minutus Farb. Kelas awet (ketahan) Penurunan berat (mg) I < 42 II 43-62 III 63-82 IV 83-102 V > 102 Penelitian yang dilakukan Suprapti dan Jasni (1992), kerentanan rotan terhadap bubuk perusak rotan yaitu bubuk Dinoderus minutus Farb. dan bubuk Heterobostrychus aequalis Wat. hasilnya menunjukkan jenis rotan yang rentan terhadap D. minutus adalah seel (Daemonorops melanochaetes Bl.), mandola (Calamus sp.), umbulu (C. symphysipus Mart.) dan seuti (C. ornatus Bl.). Kedua jenis bubuk tersebut umumnya tidak mampu hidup dan berkembang biak pada contoh uji dan derajat serangan bubuk dewasa maupun larva pada rotan umumnya ringan. Hasil penelitian yang dilakukan Jasni dan Suprapti (!992), mengenai serangga dan jamur perusak di industri rotan Jawa Timur, disimpulkan bahwa serangga penyerang rotan adalah kumbang ambrosia, bubuk Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Lyctus buneus Steph., Mynthea sp. dan rayap tanah yaitu Macrotermes sp. Jamur yang menyerang rotan terdiri dari blue stain Diplodia sp., mould jenis Penicilium sp., Aspergillus sp., A. niger Van Tieghem., dan Trychoderma sp. Jamur pelapuk yaitu Schizophyllum commune F., dan Polyporus sp. Serangga dan jamur tersebut menyerang rotan yang berupa bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. Rotan mandola merupakan jenis yang paling peka terhadap bubuk. Intensitas serangan bubuk pada bagian bontos lebih besar daripada di permukaan rotan. Sedangkan organisme lain yang ditemukan intensitas serangannya ringan. Intensitas serangan organisme di beberapa perusahaan tidak menunjukkan perbedaan nyata. IV. PENGOLAHAN Pengolahan rotan adalah pengerjaan lanjutan dari rotan bulat (rotan asalan) menjadi barang setengah jadi dan barang jadi (Gambar 1) atau siap dipakai atau dijual. Pengolahan dalam industri yaitu proses pemisahan rotan bulat menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati, masing-masing bagian tersebut diolah lagi sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Pengolahan rotan terdiri pengolahan rotan berdiameter kecil (< 18 mm) dan rotan berdiamerter besar (> 18 mm). Rotan yang berdiameter kecil seperti rotan seel (Daemonorop melanochaetes Becc.), yang telah dipanen dan dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan dengan mengunakan serbuk gergaji atau sabut kelapa. Kemudian dipotong-potong sesuai standarnya. Rotan tersebut lalu dibawa ke tempat penumpukan rotan, dan kemudian dijemur sampai kering dan juga dilakukan pengasapan. Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur. Proses pengolahan sampai tahap ini disebut rotan WS (Washed and Sulphurized). Kemudian rotan tersebut terus di jemur.

Rotan yang sudah kering, dilakukan pembelahan (rotan dibelah) dan juga ada yang diambil kulitnya, digunakan untuk pengikat atau dibuat lampit. Rotan juga bisa diambil hatinya saja, kalau ukurannya besar disebut cor rotan dan kalau ukuran lebih kecil disebut fitrit dan rotan ini digunakan untuk barang kerajinan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap rotan sega (Calamus caesius Bl.) dengan diameter 14 mm menghasilkan fitrit dengan diameter 3 mm berjumlah 11 buah (Komunikasi pribadi). A. Penggorengan Tujuan penggorengan adalah untuk menurunkan kadar air agar cepat kering dan juga untuk mencegah terjadinya serangan jamur. Cara penggorengannya adalah potongan-potongan rotan tersebut diikat menjadi suatu bundelan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan campuran solar dengan minyak kelapa (Gambar 2). Rachman (1984), meneliti rotan manau (Calamus manan Miq.) masih basah (segar). Rotan tersebut digoreng dengan berbagai komposisi minyak penggoreng yang terdiri atas 4 macam perbandingan volume, yaitu solar dan minyak kelapa (4:1); solar dan minyak tanah (4:1); solar, minyak tanah dan minyak kelapa (8:1:1) dan minyak tanah dan minyak kelapa (4:1). Lama waktu penggorengan 15 menit, 30 menit, 60 menit dan 120 menit. Ternyata hasilnya perbedaan campuran minyak penggoreng berpengaruh nyata terhadap warna kulit dan keteguhan tekan sejajar serat tetapi tidak memepengaruhi keteguhan geser rotan. Waktu penggorengan mempengaruhi warna kulit dan keteguhan geser rotan akan tetapi tidak mempengaruhi keteguhan tekan sejajar serat selama penggorengan. Campuran minyak penggoreng yang paling baik adalah terdiri atas solar dan minyak kelapa. Hubungan antara taraf waktu penggorengan dengan warna kulit, dan terhadap keteguhan geser masing-masing menunjukkan hubungan nyata. Baik warna kulit rotan maupun keteguhan geser cenderung menurun dengan hubungan linear yang negatif. Beberapa penelitian dilakukan umumnya menggunakan minyak penggoreng dengan komposisi minyak solar dengan minyak kelapa (9:1), juga akan menghasilkan rotan dengan warna cerah (Rachman et al, 1998). Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996) pada rotan kesur (Calamus ornatus Bl.), rotan tretes (Daemonorop heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus sp.), yang rata-rata kadar air awal (segar) adalah untuk rotan kesur 124,67%, rotan tretes 199,31% dan rotan omas 198,28%. Setelah dilakukan penggorengan dengan minyak solar dan minyak kelapa (9:1) selama 30 menit dengan suhu berkisar 80-120 C, maka terjadi penurunan kadar air dan setelah penggorengan, rata-rata kadar air rotan kesur menjadi 65,37%, rotan tretes 104,26% dan rotan omas 97,95%. Data tersebut menunjukkan bahwa penyusutan kadar air rotan akibat penggorengan sangat beragam. Penyusutan kadar air akibat penggorengan rotan kesur menyusut sekitar 52,29%, rotan tretes kurang lebih 95,05% dan rotan omas sekitar 100,33%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nampak rotan omas memiliki pori-pori yang lebih besar daripada rotan tretes dan rotan kesur karena nilai penyusutan kadar airnya paling tinggi. Penggorengan dapat mempercepat penurunan kadar air, sehingga sangat membantu percepatan pengeringan. Penggorengan bertujuan agar lapisan lilin dan silika pada

permukaan kulit rotan lebih mudah dihilangkan, sehingga pengeringan dapat berjalan lebih cepat. Keuntungan lain adalah terhindarnya serangan jamur atau serangga dan rotan menjadi lebih ulet dan tidak rapuh (Rachman, 1984). B. Penggosokan dan Pencucian Setelah rotan digoreng, ditiriskan beberapa menit, kemudian digosok dengan kain perca (sabut kelapa) atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji, agar sisa kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan, sehingga kulit rotan menjadi bersih dan akan dihasilkan warna rotan yang bewarna cerah dan mengkilap. Setelah digoreng rotan dicuci dengan air bersih sambil digosok dengan sabut kelapa untuk membersihkan kotoran yang melekat pada batang (Rachman 1984). C. Pengeringan Setelah rotan dicuci lalu dikeringkan dengan cara dijemur pada panas matahari sampai kering dengan kadar air berkisar 15% - 19% (Gambar 3). Hasil penelitian Basri dan Karnasudirja (1987) pada rotan manau (Calamus manan Miq.) dan rotan semambu (Calamus scipionum Burr.), menunjukkan bahwa lama pengeringan secara alami dari kedua jenis rotan tersebut berkisar 22 hari sampai 65,3 hari. Dengan menggunakan alat dehumidifier (cara masinal) diperoleh lama pengeringan dari kedua jenis rotan tersebut berkisar antara 5 sampai 8,5 hari. Lebih jauh, kadar air yang diperoleh dengan menggunakan alat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan cara alam. Kadar air yang dicapai berkisar antara 10,54% - 11,78% dengan alat dehumidifier dan antara 18,35 % sampai 19,19 % dengan cara alam. Warna rotan yang dihasilkan dengan cara alam lebih baik (lebih mengkilap) dibandingkan dengan alat dehumidifier. Penggorengan dan cara pengeringan rotan sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan rotan balubuk dan rotan seuti. Laju pengeringan terbesar terdapat pada rotan balubuk goreng yang dikeringkan di udara terbuka terkena sinar matahari langsung, yaitu rata-rata 6,3%. Laju pengeringan terkecil terdapat pada rotan balubuk dan seuti mentah yang dikeringkan di bawah atap, berturut-turut 1,2%/hari dan 1,5 %/hari. (Basri dan Karnasudirdja, 1987). Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996), pada rotan kesur (C. ornatus Bl.), rotan tretes (D. heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus sp.) dengan beberapa cara antara lain cara pertama setelah rotan digoreng langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, cara kedua rotan segar (basah), diawetkan dengan bahan pengawet, kemudian dipolis (dibuang kulitnya) dan langsung dikeringkan, cara ketiga rotan segar langsung dipolis (buang kulitnya) kemudian diawetkan dengan bahan pengawet dan langsung dikeringkan. Ternyata cara ketiga memerlukan waktu pengeringan tersingkat bila dibandingkan dengan cara perlakuan lain yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena pada perlakuan cara ketiga rotan tidak digoreng melainkan langsung dipolis, sehingga rotan tidak mengandung minyak dan kulit rotan, dengan demikian air yang menguap dari rotan itu cepat mengering. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa setiap jenis rotan memiliki kemampuan mengering yang berbeda. Untuk ketiga cara di atas semua perlakuan menunjukkan bahwa rotan kesur adalah yang terlama kering dibandingkan dengan rotan tretes dan omas. Rotan omas memerlukan waktu pengeringan yang tersingkat. Berdasarkan ketiga cara tersebut diatas, maka cara ketiga menunjukkan hasil pengeringan rotan tersingkat bila dibandingkan kedua cara lainnya. Rachman, Basri dan Santoso (1998) meneliti laju tiga cara pengeringan pada empat jenis rotan (Tabel 6). Ketiga cara pengeringan tersebut adalah cara konvensinal (rotan habis panen kemudian digoreng dengan minyak solar dan minyak kelapa dengan perbandingan 9:1, terus dijemur), cara alternatif I ( rotan

habis dipanen, kemudian digoreng dicampur bahan pengawet, terus dijemur dan dipolis setelah itu dijemur kembali), cara alternatif II (rotan habis panen langsung diawetkan, kemudian dipolis dan dijemur). Tabel 6. Laju pengeringan 4 jenis rotan dengan beberapa perlakuan berbeda No. Jenis rotan 1 Bubuay 2 Manau 3 Seuti 4 Seel Perlakuan pengolahan Kadar air Lama Laju pengeringan pengeringan Awal (%) Akhir (%) (hari) (%/hari) Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 6,07 Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,50 Alternatif I dan polis ½ kering 127,05 16,36 18 6,15 Alternatif I dan polis kering 126,83 15,89 21 5,28 Alternatif II dan polis ½ kering 128,29 16,89 45 2,48 Alternatif II dan polis kering 128,18 16,92 50 2,23 Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 1,12 Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,48 Alternatif I dan polis ½ kering 127,10 15,53 19 5,87 Alternatif I dan polis kering 126,87 15,53 22 5,06 Alternatif II dan polis ½ kering 127,18 17,76 35 3,13 Alternatif II dan polis kering 127,49 17,90 42 2,61 Konvensional dan polis ½ kering 129,56 16,17 17 6,67 Konvensional dan polis kering 128,18 16,57 17 6,63 Alternatif I dan polis ½ kering 129,16 16,38 20 5,58 Alternatif I dan polis kering 128,83 16,68 20 5,58 Alternatif II dan polis ½ kering 127,65 17,04 30 3,69 Alternatif II dan polis kering 127,18 17,12 33 3,34 Konvensional dan tanpa polis 127,28 14,27 15 7,53 Alternatif I dan tanpa polis 128,13 14,58 15 7,57 Alternatif II dan tanpa polis 128,17 16,17 27 4,15 Sumber: Rachman, et al. (1998) D. Pengupasan dan Pemolisan Pengupasan dan pemolisan umumnya dilakukan pada rotan besar pada keadaan kering, gunanya adalah untuk menghilangan kulit rotan tersebut, sehingga diameter dan warna menjadi lebih seragam dan merata. Basri et al. (1998) mencoba pengupasan dan pemolesan rotan manau (Calamus manan Miq.), seuti (Calamus ornatus Bl.) dan nunggal (Calamus ornatus Bl.) yang masih basah dan yang sudah kering. Dari hasil percobaan tersebut dapat diambil 4 kesimpulan berikut: 1. Proses pengupasan dan pemolisan rotan berdiameter besar dapat dilakukan dalam keadaan basah maupun kering. 2. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah, menghasilkan pengurangan diameter dan produktifitas yang sama dengan yang dikupas dan dipolis pada keadaan kering. 3. Pengupasan dan pemolisan rotan pada keadaan basah menghasilkan rendemen kupas dan polis yang lebih rendah serta serat berbulu dan serat patah yang lebih banyak dibandingkan pada keadaan kering. 4. Dari klasifikasi mutu, maka jenis rotan manau dan nunggal masuk ke dalam kelas mutu baik dan seuti kelas mutu sedang, apabila dikupas dan dipolis pada keadaan basah. Namun bila rotan tersebut dikupas dan dipolis dalam keadaan kering kelas mutunya naik, yaitu untuk manau dan nunggal masuk sangat baik sementara seuti tergolong baik. E. Pembengkokan Pembengkokan atau pelengkungan rotan dilakukan pada rotan berdiameter besar sesuai dengan pengunaannya. Cara pembengkokan ini dilakukan dengan cara rotan tersebut dilunakkan dengan uap air panas yang disebut steaming dengan tabung berbentuk silinder (steamer) agar jaringan rotan menjadi lunak sehingga mudah dibengkokan (Gambar 4). Ada beberapa kerusakan pada proses tersebut, seperti pecah, patah dan putusnya serat pada bagian permukaan yang dilengkungkan (Rachman, 1990). Penelitian Rachman, Harjo dan Suwirman (1997), pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida pada tiga jenis rotan yaitu, rotan manau (Calamus manan Miq.), rotan batang (Daemonorops robusta Warb.) dan rotan minong (Calamus optimus Becc.). Rotan yang digunakan

adalah rotan yang sudah dipolis halus dan sudah kering. Rotan tersebut direndam dalam wadah yang berisi larutan dimetil sulfoksida selama 8 jam pada suhu 82 C. Dari cara tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Perendaman dalam larutan Dimetil Sulfosida (DMSO) pada suhu 80 C selama 8 jam memudahkan pelengkungan rotan. Pada taraf konsentrasi yang sama, rotan batang paling sukar dilengkungkan dan rotan manau paling mudah dilengkungkan. Pelengkungan rotan batang menjadi mudah pada perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida konsentrasi 15% dan rotan minong pada konsentrasi 5%. Kerusakan berupa pecah permukaan dan putusnya ikatan serat terjadi pada rotan batang dan rotan minong pada perendaman konsentrasi 0. 2. Penggunaan larutan dimetil sulfoksida memudahkan pelengkungan, menurunkan tingkat kerusakan fisis dan tidak mempengaruhi kilap, namun cenderung meningkatkan nilai mulur dan sudut volume, serta menurunkan MOE dan rasio E/P. 3. Larutan dimetil sulfoksida berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE rotan (konsentrasi 0,5, dan 10 persen tidak berbeda), mulur dan rasio E/P rotan (semua tingkat konsentrasi berbeda); dan berpengaruh nyata terhadap sudut volume rotan (konsentrasi 10,15 dan 20 persen tidak berbeda). 4. Rotan yang sukar dilengkungkan (rotan minong dan batang) disarankan diberi uap panas dari DMSO pada konsentrasi 5-15% bergantung pada kerapatan dan distribusi ikatan pembuluh. Hasil penelitian (Jasni, 1992), menunjukkan bahwa pengrajin di industri rumah tangga di Semarang, Jepara dan Solo pada 7 industri rumah tangga, proses pembengkokan dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokkan pada api (kompor minyak tanah dan gas LPG). Kemudian bagian tersebut dibengkokkan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar, sehingga bewarna hitam. F. Pemutihan Pemutihan rotan bertujuan menghilangkan silika, mengurangi kromofort (gugus penyebab warna) oksidasi terhadap struktur aromatik dari lignin dan karbohidrat (dalam kalium hipoklorit). Pemutihan perlu dilakukan, dan harus diperhatikan bahan yang dipakai, karena pemakaian bahan dan cara yang salah mengakibatkan rotan rusak (mudah patah). Lukman (1992), meneliti pemutihan kulit rotan sega (Calamus caesius Bl.) dengan metoda perendaman dalam larutan hidrogenperoksida (H2O2). Penelitian tersebut menunjukkan hasil sbb: 1. Kulit rotan sega sebelum diputihkan mempunyai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat masing-masing sebesar 38,8% dan 412,1 kg/cm2. Setelah diputihkan dengan cara perendaman dalam larutan hidrogen peroksida masing-masing berubah menjadi rata-rata 44,7% dan 374,9 kg/cm2. 2. Proses pemutihan rotan dengan menggunakan H2O2 pada selang konsentrasi 1 sampai 7% dapat meningkatkan nilai derajat putih sampai 48,01%. Keteguhan tarik sejajar kulit rotan yang dihasilkan cenderung menurun dengan bertambahnya konsentrasi bahan pemutih yang digunakan. 3. Untuk menghasilkan kulit rotan yang memiliki nilai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat yang optimum maka dianjurkan menggunakan konsentrasi bahan pemutih sebesar 5%. Pada tingkat konsentrasi bahan pemutih H2O2 tersebut dihasilkan kulit rotan dengan nilai derajat putih rata-rata 46,00% dan keteguhan tarik sejajar serat sebesar 364,8 kg/cm2. 4. Perlakuan lama perendaman pada proses pemutihan rotan tidak memberikan pengaruh yang nyata, baik terhadap derajat putih maupun kekuatan tarik sejajar serat. Hal yang sama berlaku

pula untuk interaksi antara konsentrasi bahan pemutih dengan lama perendaman. Mengingat hal itu perendaman selama 1 jam dianggap cukup. Hasil penelitian di lapangan, untuk pemutihan dipakai zat-zat kimia, tetapi tidak semua perusahaan melakukan pemutihan, tergantung dari permintaan konsumen. Cara melakukan pemutihan di tiap perusahaan berbeda, ada yang mencelupkan rotan barang jadi dalam bak yang sudah berisi zat pemutih sambil digosok-gosok dengan sikat yang terbuat dari ijuk, ada juga yang mencelupkan barang setengah jadi kedalam bak yang sudah berisi bahan pemutih hanya satu detik saja dan ada pula dengan cara menyiram zat pemutih pada rotan. Bahan pemutih yang digunakan adalah perhydrol, air kaca, NaOh dan asap belerang (Jasni, 1992). G. Pengasapan Pengasapan dilakukan agar warna rotan menjadi kuning merata dan mengkilap. Pengasapan dilakukan pada rotan kering yang masih berkulit (alami) Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi rotan dengan belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan menjadi lebih putih. Pengasapan dilakukan dalam rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok kayu. Di dalam kubah dapat disusun 4000 batang rotan secara horizontal berlapis-lapis. Setiap lapisan diberi bantalan kayu agar asap bergerak bebas di antara lapisan rotan. Selanjutnya belerang dibakar di atas suatu wadah dan dimasukkan ke dalam rumah asap. Waktu pengasapan sekitar 12 jam dan menghabiskan sekitar 7,5 kg belerang atau 1,8 gr/batang rotan (Rachman 1990). H. Pengawetan Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisis terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan. Bahan kimia untuk mengawetkan rotan dirsebut bahan pengawet. Selain berfugsi untuk mencegah atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang umur pakai rotan. Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun terhadap organisme perusak baik pada rotan basah maupun rotan kering, permanen dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaan, tidak bersifat korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah. Pengawetan mulai dilakukan pada rotan masih berdiri atau rotan sebelum dipungut (Bucheri), pengawetan rotan setelah panenan (propilaktik) dan pengawetan rotan setelah kering (permanen). Cara pengawetan seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut. Barly ( 1991) mencoba pengawetan rotan bahan baku mebel pada rotan manau (Calamus manan Miq.), rotan batang (Calamus zollingerii Becc. atau Daemonorops robusta Warb.), rotan tohiti (Calamus inops Becc.) dan rotan tabu-tabu dengan bahan pengawet campuran garam yang mengandung bahan aktif boron (boraks, asam borat, timbor dan genapol X-80 (Isotridekanol polyglylether) sebagai bahan anti jamur biru (blue stain). Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan pengawetan ditentukan oleh retensi dan penetrasi bahan pengawet. Dengan retensi minimum 6,28 kg/m3 dan penetrasi 75% dapat dicapai rotan tabu-tabu dengan cara tekanan selama 5 menit dan vakum 15 menit, rotan batang setelah ditekan 15 menit dan vakum 15 menit, rotan tohiti setelah ditekan 25 menit dan vakum 15 menit dan rotan manau setelah ditekan > 25 menit dan vakum 15 menit. Jenis rotan yang dicoba termasuk mudah diawetkan dengan cara tekanan. Untuk mempersingkat waktu pengawetan khususnya pada rotan batang, tohiti dan manau dapat dilakukan dengan cara menaikkan konsentrasi larutan menjadi lebih besar dari 3%. Agar diperoleh hasil pengawetan yang efisien sebaiknya dalam pelaksanaan pengawetannya harus dipisahkan berdasarkan jenis atau setidaknya berdasarkan kelas diameter. Penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pada rotan semambu (Calamus scipionum Burr.) yang mempunyai kadar air 112% (segar) dan rotan seel (Daemonorops sp.) dengan kadar air berkisar 80%., ternyata rotan semambu dan seel rentan terhadap jamur pewarna (Martono, 1990). Oleh karena itu, pemungutan, pengangkutan dan pengolahan kedua jenis rotan ini perlu mendapat perhatian agar terhindar dari serangan jamur pewarna. Pencegahan serangan jamur pewarna dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida yang mengandung bahan aktif TCMTB/MTC; MBT; Thiobenzondazol + IF 1000 dengan konsentrasi 1% sesaat setelah pemungutan. Penggunaan pestisida pencegah jamur pewarna tidak tepat pada rotan yang telah mendapat serangan di bagian dalam, apalagi pada rotan yang kulit luarnya telah berubah warna. Pemotongan di bagian dekat buku lebih menguntungkan, karena dapat mengurangi laju serangan jamur pewarna di bagian dalam. Hasil penelitian terhadap rotan karokok (C. viminalis Wendl.), rotan seuti (C.ornatus Bl.), rotan lilin (Calamus. spp.) dan rotan irit (C.trachyoleus Becc.) dengan menggunakan bahan pengawet berbahan aktif metilenbisthiosianat 10g/l dengan konsentrasi 2% dan retensi 13,7 kg/ton pada saat pemanenan

rotan, ternyata mampu meningkatkan daya proteksi rata-rata terhadap serangan jamur biru mencapai 46 hari (Rachman, et al. 1996). Penelitian pada rotan seuti (C. ornatus Bl)., rotan pelah (Daemonorops ruber Bl.), rotan balubuk (Calamus burchianus Burr.) rotan irit (Calamus trachyoleus Becc. ) dan rotan lambang (Calamus sp.) dengan menggunakan bahan pengawet Enblu 1,5% dapat mencegah serangan jamur biru. Bahan pengawet Cislin dengan konsentrasi 1,5% dapat mencegah serangan bubuk basah, yaitu kumbang ambrosia (Jasni dan Martono, 1999). Penelitian terhadap rotan bubuay (Plectocomia elongata Bl.), rotan sampang (Khorthalsia junghunii Miq.), dan rotan seuti (Calamus ornatus Bl.), diuji ketahanannya dengan tiga jenis jamur pelapuk, yaitu Dacryopinax spathularia, Pycnoporus sanguineus dan Schizophyllum commune. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga jenis rotan tersebut tidak resisten (kelas awet IV) dan jamur yang memiliki kemampuan melapukkan rotan tertnggi adalah P. sanguineus dan terendah adalah D. spathularia (Djarwanto dan Jasni, 1999). Pengawetan dilakukan pada rotan kering, dan organisme perusak disebut bubuk rotan kering (powder post beetle), biasanya menyerang rotan yang sudah kering seperti bahan baku rotan, barang setengah jadi dan barang jadi. Jenis rotan yang banyak mengandung zat tepung (pati) mudah diserang oleh serangga ini. Serangan bubuk rotan dapat dikenal karena adanya tepung halus bekas gerekan bubuk tersebut. Serangga ini paling banyak ditemukan menyerang rotan antara lain Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Minthea sp. dan yang paling banyak merusak adalah Dinoderus minutus Farb. (Jasni, 1998). Penelitian dilakukan Sumarni (1994) adalah pengaruh pengukusan pada rotan batang (Daemonorops robusta Warb.) yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb., menunjukkan bahwa pengaruh pengukusan akan menurunkan retensi bahan pengawet pada rotan dengan persentase ratarata 14,20%. Rotan yang diawetkan dengan bahan pengawet yang mengandung permetrin 36,8% tanpa dikukus pada konsentrasi 0,15% dengan retensi 0,084 kg/m3 dapat mencegah serangan serangga secara total dan rotan yang diawetkan dengan cara dikukus pada konsentrasi 0,30% dengan retensi 0,147 kg/m3 dapat mencegah serangan serangga secara total. Djarwanto dan Jasni (1992), meneliti kemungkinan serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) terhadap rotan. Rotan yang digunakan adalah rotan seel (Demonorops melanochaetes Bl.), rotan manau (Calamus manan Miq.), rotan escot (Calamus sp.1), rotan lambang (Calamus. sp.2), rotan mandola (Calamus sp.3), rotan tohiti (Calamus inops Becc.) dan rotan terumpu (Calamus sp.4). Rotan ini diawetkan dengan boraks. Hasilnya menunjukkan bahwa rayap kayu kering kemungkinan besar dapat menyerang rotan. Jenis rotan yang paling peka terhadap serangan adalah rotan seel dan yang kurang peka adalah manau. Derajat serangan rayap pada contoh uji yang dihasilkan umumnya ringan. Senyawa boron mungkin dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap kayu kering pada rotan. Jasni et al. ( 1995) melaporkan bahwa permetrin dan methyl bisthiosianat 0,5% cukup efektif mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan mandola (Calamus sp.) yang masih segar. Pengawetan dilakukan secara rendaman selama 2 jam, kemudian rotan tersebut digoreng dan dikeringkan sampai kadar air 17%. Pada percobaan lain dengan rotan kering (k.a. 17%) bubuay (P. elongata Bl.), seuti (Calamus ornatus Bl.), dan sampang (Khorthalsia junghunii Miq.), permetrin 0,09 ppm efektif mencegah serangan bubuk di atas. Pengawetan dilakukan secara rendaman dingin selama 2 jam (Jasni et al, 1998). Phoxim dan klorofirifos ternyata lebih efektif lagi untuk mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Rotan batang (Daemonorops robusta Warb.) dapat diawetkan dengan phoxim 0,25% dan klorfirifos 0,5% secara rendaman dingin (Jasni, 1999). V. SOSIAL EKONOMI Nasendi (1995) dalam laporannya, menyimpulkan bahwa potensi rotan Indonesia masih baik. Disarankannya agar arah pengusahaan rotan dilakukan dengan pola Hutan Tanaman Industri secara Komersial dan Hutan Tanaman Rakyat. Penerobosan pasar ekspor menuju era ekonomi dunia yang lebih terbuka pasca Putaran Uruguay memerlukan strategi khusus sebagai tindak lanjut Indonesia memasuki ekspor barang jadi rotan yang berkualitas dan penting (sejak Januari 1989). Upaya penelitian pengembangan rotan masih terus harus dipacu khusus yang menyangkut aspek silvikultur, provenance, bibit dan biji, serta sosial ekonomi, Selain itu produksi dan pemasaran, teknologi pasca panen, sumber daya manusia dan pendidikan serta penyuluhan harus dilakukan pula secara terpadu. Survey potensi rotan alam yang lebih menyeluruh untuk memantau neraca stock dan sumber alamnya dari waktu ke waktu perlu dilakukan.

Rotan berperan sangat penting dalam peningkatan pendapatan petani peladang berpindah di Kalimantan. Mereka menanam rotan di ladang berpindah dengan memanfaatkan bibit rotan alam yang tumbuh liar di ladang mereka. Biaya penebangan kebun rotan di Kabupaten Pasir atau Kutai berkisar sekitar Rp 82.500,- yang terdiri dari upah buruh Rp 75.000,- dan yang lainnya untuk biaya peralatan (Purnama dan Prahasto, 1996). Sebagian besar produksi rotan dari Kabupaten Pasir diangkut ke propinsi Kalimantan Selatan. Di sana digunakan sebagai bahan baku industri tikar dan lampit. Lampit merupakan 80% nilai ekspor rotan. Rotan dari Kabupaten Kutai hanya sebagian kecil saja yang diangkut ke Pulau Jawa. Biaya produksi untuk mebel rotan, lampit dan anyaman berbeda tergantung pada tipe rotan dan jenis barang. Untuk mebel ruangan duduk sekitar Rp 73.130/unit, tikar rotan sekitar Rp 16.519/m2 dan penutup makanan sekitar Rp 1.615/20 buah. Upah yang diterima pengrajin mebel rotan di Kabupaten Samarinda dan Hulu Sungai Utara masingmasing adalah Rp 3.374.000 dan Rp 2.888.000 tiap tahun. Dibandingkan dengan KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) jumlah tersebut cukup baik, karena pendapatan dari penganyaman rotan hanya berjumlah Rp 63.500/bulan, dengan dugaan pekerjaan penganyaman rotan satu-satunya sumber pendapatan. Jalur distribusi dari produsen kepada konsumen beragam, pengamatan lapangan menunjukkan sekurang-kurangnya ada 10 pola jalur distribusi. Yang sangat nyata adalah pola pemasaran antar pulau, pola dari produsen rotan ke industri lampit dan pola ke pengrajin rotan (Purnama dan Parahasto, 1996). Irawati dan Dwiprabowo (1996), menganalisis sosial ekonomi rotan tanaman di Jawa, dengan kesimpulan bahwa pendapatan pekerja pada kegiatan perkecambahan, persemaian dan penanaman rotan berturutturut Rp 63.000,-, Rp 285.00,-, Rp 65.000,- dan Rp 81.000,- per bulan. Pendapatan ini memberikan konstribusi kepada pendapatan total keluarga pekerja berturut-turut sebesar 6-26%, 56% dan 17%. Pendapatan bersih dari tanaman pinus saja adalah Rp 9.430.866,- per ha untuk rotasi 25 tahun dan tingkat IRR 15,05%. Pendapatan bersih dari tanaman campuran pinus dan rotan adalah Rp 13.256.753,- dengan tingkat IRR sebesar 16,36% sehingga penanaman rotan dapat meningkatkan manfaat ekonomis hutan. Penanaman rotan di Jawa Barat sejak tahun 1993 menurun padahal luas hutan baru mencapai 4% dari hutan produksi. Demikian pula penanaman rotan di Jawa Timur telah terhenti sejak tahun 1993. Hasil kajian kelompok kerja rotan Badan Litbang Kehutanan (1997) tentang permasalahan rotan dalam rangka reorientasi kebijakan rotan Indonesia dilaporkan seperti berikut: 1) Keadaan rotan masih cukup baik, kerana dari 306 jenis rotan yang ada di Indonesia baru dimanfaatkan 51 jenis, sedangkan yang belum dimanfaatkan 255 jenis. Pekiraan luas areal berotan adalah 98,7 juta ha, yang terdiri dari 75% berhutan dan 25% tidak berhutan. Rata-rata potensi rotan diameter 18 mm sekitar 161.320,56 ton, dan secara total adalah 349.177 ton/tahun produksi netto lestari. Tanpa perhitungan Faktor Effisiensi (FE) dan faktor pengaman (FP) yang ± 0,5, maka AAC (tebang lestari) diperkirakan ± 698,254 ton/tahun (tidak berbeda dengan angka tahun 1986 pada 15 propinsi yaitu 696.000 ton/tahun). 2) Pola produksi bahan baku masih bersifat tradisional dengan pola pungut tanpa perangkat alat penarik. Tenaga pekerja untuk memungut rotan alam berkisar antara 5-10 orang/regu selama 10-15 hari di hutan. Rotan tanaman 2-3 orang/regu langsung diangkut. Status harga tidak jelas dan lebih ditentukan pemodal. 3) Jumlah industri pengolahan rotan dari tahun ketahun meningkat. Pada tahun 1988 berjumlah 381 perusahaan dan pada tahun 1995 menjadi 548 perusahaan. Kapasitas produsksi barang setengah jadi dan barang jadi pada tahun 1988 sebanyak 101.086 ton, sedangkan tahun 1995 meningkat menjadi 1.152.900 ton/tahun. Keadaan ini sudah mencapai target AAC tebang lestari rotan sebagai bahan baku; adanya perbedaan suplai sebesar 454.900 ton/tahun. Total investasi 1995 adalah 944 milyar dengan 584 perusahaan, 198.990 tenaga kerja pada industri. 4) Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan (a) Petani rotan Rp 350/kg (b) Pedagang pengumpul Rp 925/kg (c) Pedagang besar Rp 1.350 /kg (d) Pedagang antar pulau Rp 1.600/kg 5) Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi (a) Pemungut rotan Rp 200/kg (b) Ketua kelompok Rp 240 /kg

(c) KUD Pengumpul Rp 270/kg (d) KUD pengumpul dan pengolah Rp 565/kg (e) Pedagang antar pulau Rp 2.250/kg. 6) Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan (a) Pedagang pengumpul Rp 120/kg (b) Pedagang besar Rp 260/kg (c) Pedagang antar pulau Rp 170/kg 7) Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi (a) Ketua kelompok Rp 40/kg (b) KUD pengumpul Rp 20/kg (c) KUD pengumpul dan pengolah Rp 85/kg (d) Pedagang antar pulau Rp 520/kg Margin keuntungan yang diterima oleh lembaga tata niaga makin kecil makin ke hulu. Dampak sosial ekonomi rotan hasil kajian ini sebagai berikut: 1. Dampak kegiatan tata niaga ekspor rotan yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1986 dan seterusnya terhadap kesempatan kerja cukup tinggi khususnya dibidang industri pengolahan rotan (pengrajin rotan dan industri rumah tangga) serta petani/pemungut rotan di desa. Selama ini diperkirakan sektor ini mampu menyerap ± 200-250 orang pekerja per tahun. 2. Dampak kebijakan tata niaga ekspor rotan terhadap pendapatan petani pada awalnya dirasakan bergairah dan produktif. Namun akhir-akhir ini khususnya sejak tahun 1994-1997 margin keuntungan dan harga rotan tidak dirasakan lagi dapat memberikan dorongan yang berarti lagi bagi petani dan pemungut rotan di pedesaan di dalam/sekitar hutan. Harga rotan jatuh sampai Rp 250 - Rp 400 per kg (1996), dibandingkan dengan harga pada tahun 1986 Rp 2.750 per kg. Harga tersebut tidak cukup untuk membeli beras yang Rp 800 per kg. Rotan sudah tidak lagi menjadi komoditi dan aktivitas produksi andalan bagi petani/pemungut rotan di pedesaan sekitar hutan. 3. Banyak areal rotan yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan kebun karet khususnya di Kalimantan dan Sumatra. 4. Dampak terhadap penebangan liar dan perdagangan (ekspor) ilegal juga cukup tinggi (rata-rata 60-70 ton rotan per kapal motor per hari). Analisis biaya dan sosek pengolahan rotan alternatif, yaitu konvensional (panen - goreng - jemur - natural/polis), alternatif I (panen - goreng + bahan pengawet - jemur - polis - jemur) dan alternatif II (panen - pengawetan - polis - jemur). Hasilnya menunjukkan persentase rotan bebas serangan jamur pewarna untuk cara konvensional 74%, alternatif I 89% dan alternatif II 100%. Biaya pengolahan riil per batang rotan untuk cara pengolahan konvensional Rp 4.440,-, alternatif I Rp 4.767,-, dan alternatif II Rp 4.143,-. Perkiraan pendapatan kotor (termasuk upah kerja) per batang rotan untuk cara pengolahan konvensional Rp 4.920,- alternatif I Rp 4.593,- dan alternatif II Rp 5.217,- (Puspitodjati dan Supriadi, 1998). Hasil studi kasus alih teknologi pengolahan rotan lepas panen di KPH Kuningan (Martono dan Puspitodjati,1999), menunjukkan prestasi kerja 4 orang petani peserta alih teknologi pengolahan rotan asalan menjadi rotan W&S kering adalah 300 batang per hari (9 jam kerja). Alokasi waktu pengolahan 300 batang rotan tersebut : 0,5 jam untuk pemanasan tunggu, 3,5 jam untuk penggorengan, penggososkan dan penjemuran, 1 jam istirahat, 2 jam untuk pembalikan rotan yang dijemur dan 1 jam untuk sortasi. Rotan W&S hasil pengolahan masyarakat kualitas lebih baik tetapi hanya dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi (minimal Rp 944,- per batang) dibanding harga yang berlaku di pasar (Rp.900,- per batang). Hasil kerjasama Perhutani dengan Litbang Hasil Hutan (1999), tentang pedoman teknis pengembangan pengolahan Rotan Lepas Panen di Pulau Jawa dapat diuraikan dibawah ini. A. Biaya Investasi Investasi yang diperlukan untuk membangun unit pengolahan lepas panen (Gambar 5) adalah sebesar Rp 16.194.750,- (1 unit) dan perinciannya seperti Tabel 7. Tabel 7. Investasi pembangunan unit instalasi PRLP Uraian Biaya (Rp)

Wajan dan tunggu 2.700.000 Bangsal kerja 5.743.250 Gudang penyimpanan 7.751.500 Jumlah 16.194.750 Sumber : Anonim (1999) B. Biaya produksi dan Harga Pokok Besarnya biaya produksi dipengaruhi oleh tingkat pemakaian bahan baku pembantu serta produktivitas tenaga kerja. Biaya produksi terdiri dari biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung. Biaya produksi langsung merupakan biaya yang terkait langsung dengan proses pengolahan rotan. Biaya produksi tidak langsung antara lain adalah : biaya pemeliharaan, biaya penyusutan alat dan bangunan, biaya administrasi, bunga bank dan pajak. Dengan menghitung seluruh biaya yang terjadi, diperoleh harga pokok rotan W&S sebesar Rp 1427,- per batang. Rincian perhitungan harga pokok rotan W&S dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Harga pokok rotan W&S Biaya untuk produksi 100.000 batang No Uraian (Rp 1.000) I Biaya langsung : 1 Bahan baku rotan segar 80.000 2 Angkutan rotan segar 15.000 3 Bahan pembantu 6.355 4 Gaji dan upah 21.000 5 Angkutan rotan kering 15.000 II Biaya tidak langsung : 1 Pemeliharaan 1.620 2 Penyusutan alat dan bangunan 3.200 3 Bunga bank 480 Jumlah: I ± II 142.655 Harga pokok (Rp./batang) 1.427 Harga jual (Rp/batang) 2.000 Laba (Rp/batang) 0.573 Sumber : Anonim (1999) C. Analisis Finasial Analisis finasial dapat diketahui : Proyeksi pendapatan,bep, Payback period dan NVP sebagai berikut: 1. Proyeksi Pendapatan Proyeksi pendapatan dibuat mempertimbangkan kapasitas produksi pengolahan rotan lepas panen dan peluang pemasaran, ditambah dengan asumsi bahwa bahan baku rotan tersedia baik dalam jumlah maupun kesinambungan. Proyeksi pendapatan dibuat selama 5 tahun sesuai dengan umur proyek (Tabel 9). Tabel 9. Proyeksi pendapatan PRLP (Rp 1.000) Tahun Laba kotor Laba bersih Tahun 1 26.912 24.222 Tahun 2 47.128 42.415 Tahun 3 47.128 42.415 Tahun 4 47.128 42.415 Tahun 5 47.128 42.415 Ratarata 43.084 38.776 Keterangan : Anonim, 1999

2. Break Even Poit (BEP) Hasil analisis menunjukkan bahwa BEP produksi dan harga jual rotan W&S adalah 78.700 batang per tahun dan Rp 1.573,- per batang. Tingkat BEP produksi rotan W&S ini jauh di bawah nilai yang diproyeksikan. Hal ini berarti PRLP (Panen Rotan Lepas Panen) bila dioperasikan secara optimal (Produksi 100.000 batang per tahun) akan mendatangkan keuntungan yang tinggi. 3. Payback period Payback period adalah perkiraan lamanya jangka waktu yang diperlukan untuk kembalinya suatu investasi yang ditanamkan dalam sutu proyek. Dari Tabel proyeksi pendapatan diketahui bahwa selama 5 tahun operasi, PRLP selalu memperoleh pendapatan yang positif sehingga investasi dapat dikembalikan pada tahun pertama operasi. Payback period 1 tahun tersebut lebih pendek dibandingkan dengan umur bangunan dan peralatan unit PRLP, sehingga usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan. 4. Net Present Value (NPV) Hasil analisis diperoleh nilai NPV sebesar Rp 161.503.000,-. Nilai NPV yang positif menunjukkan bahwa usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan. (Tabel 10). Tabel 10. Analisis BEP, NPV, BC Ratio dan Payback Period 1. B E P Analisis Hasil Analisis - Harga jual (Rp) 1.573 - Produksi (batang) 78.700 2. NPV (Rp 1.000) 161.503 3. B/C Ratio 1,27 4. Payback period (tahun) 1 Sumber : Anonim (1999) D. Analisis Kepekaan Faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi keuangan industri adalah harga jual, biaya produksi dan tingkat produksi. 1. Volume produksi turun 20% Kerusakan peralatan dan kekurangan bahan baku dapat menyebabkan realisasi produksi di bawah tingkat produksi yang direncanakan. Apabila tingkat produksi hanya mencapai 80.000 batang (turun 20%) maka NPV menjadi Rp 126.439.000,- B/C ratio menjadi 1,26 dan BEP produksi harga jual menjadi 53.324 batang per tahun dan Rp. 1.583,- per batang. Meskipun, volume produksi turun, usaha pengolahan rotan lepas panen masih layak untuk dilaksanakan. 2. Harga jual turun 15% Dalam analisis kepekaan, penurunan harga rotan diperkirakan dapat mencapai 15%. Penurunan harga jual tersebut menyebabkan nilai NPV menjadi Rp. 47.769.000,- BEP produksi dan harga jual menjadi 92.588 batang per tahun dan Rp 1.573,- per batnag, dan niali B/C ratio 1,08. Penurunan harga jual ini tidak mempengaruhi kelayakan usaha pengolahan rotan lepas panen. 3. Biaya produksi naik 15% Kenaikan biaya produksi dapat disebabkan oleh kenaikan harga rotan asalan, harga bahan pembantu dan upah tenaga kerja. Apabila biaya produksi naik 15 % maka niali NPV menjadi Rp. 71.995.000,-, B/C