Gambar 4. Uji Saponin

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

Naufan Indra Ikhsan, Mochamad Untung Kurnia Agung, Sri Astuty, dan Rosidah Universitas Padjadjaran

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

: GRANULASI EKSTRAK BIJI BUAH KEBEN (Barringtonia asiatica) SEBAGAI PRODUK ANESTESI UNTUK TRANSPORTASI IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

III. BAHAN DAN METODA

BABm METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.)

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA ANTRAQUINON PADA FRAKSI KLOROFORM AKAR KAYU MENGKUDU ( Morinda Citrifolia, L) ABSTRAK

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.)

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Lampiran 1. Identifikasi Tumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

3 Percobaan dan Hasil

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kandungan Senyawa Saponin Pada Biji Barringtonia asiatica Biji Barringtonia asiatica memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder triterpenoid dan saponin. Ini dibuktikan dengan melakukan uji fitokimia pada sampel biji Barringtonia asiatica. Saponin merupakan senyawa yang sangat diperlukan dalam penelitian ini. Uji saponin dilakukan dengan menambahkan akuades pada 1 g serbuk biji buah keben yang kemudian dipanaskan selama 15 menit, kemudian setelah panas diambil 10 ml dan dikocok secara vertikal. Setelah dilakukan pengocokan secara vertikal, terbentuk busa stabil setinggi 7 cm dan busa tidak hilang ketika ditambahkan pereaksi HCl 2N. Gambar 4. Uji Saponin Hal ini menunjukkan bahwa sampel biji Barringtonia asiatica memiliki kandungan senyawa saponin. Busa terbentuk dikarenakan adanya kandungan glikosidan yang memiliki kemampuan membentuk busa dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa (Chaniago 2003). Menurut Hartono (2009), saponin merupakan senyawa yang mengandung racun yang dapat mengahancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, oleh

karena itu sering digunakan sebagai racun ikan. Saponin dapat juga disebut dengan sapotoksin. Melihat dengan kemampuan senyawa saponin tersebut, senyawa ini berpotensi sebagai zat anestesi. 4.2 Ekstraksi Biji Buah Keben (Barringtonia asiatica) Proses ekstraksi dilakukan dengan melihat sifat senyawa yang akan diekstraksi. Senyawa saponin bersifat polar oleh karena itu digunakan pelarut organik metanol yang bersifat polar agar senyawa dapat mudah terikat dan terekstraksi (Hartono 2009). Ekstraksi yang dilakukan dengan merendam 150 g sampel biji Barringtonia asiatica pada 1,5 L pelarut metanol selama 3 hari dan 3 kali pengulangan. Setelah maserasi 3 hari, hasil perendaman disaring kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dengan suhu 65 o C. a b c Gambar 5. Proses Ekstraksi (a) proses maserasi (b) evaporasi (c) hasil evaporasi berupa ekstrak Hasil rendemen yang didapat dari proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 12. Ekstrak yang dihasilkan berupa pasta berwarna putih kekuningan. Sampel Tabel 12. Rendemen Ekstrak Biji Barringtonia asiatica Berat Rendemen Warna dan Berat Awal Ekstrak (%) Bentuk Ekstrak (g) (g) (w/w)

Biji Buah Keben 150 54,7978 36,53 Putih kekuningan, Berbentuk pasta Hasil ekstraksi menggunakan berat sampel 150 g menghasilkan rendemen sebesar 35, 53 %. Sedangkan pada penelitian Septiarusli (2012) rendemen yang dihasilkan sebesar 13, 5 %. Perbedaan hasil rendemen ini dikarenakan adanya perbedaan perbandingan pelarut pada saat proses maserasi. Perbandingan yang digunakan pada penelitian ini adalah 1:10, sedangkan pada penelitian Septiarusli menggunakan perbandingan 1:5. Inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan rendemen. Untuk menghasilkan rendemen yang besar perbandingan yang digunakan adalah 1:10 (w:v). 4.3 Fraksinasi Biji Buah Keben (Barringtonia asiatica) Fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah fraksinasi bertingkat. Fraksinasi dilakukan dengan melihat sifat pelarut yang digunakan mulai dari pelarut non-polar, semi polar hingga pelarut yang sifatnya polar. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut (Adijuwana dan Nur 1989). Fraksi yang pertama dilakukan adalah fraksi non-polar dengan menggunakan pelarut n-heksan. Dari hasil fraksinasi diperoleh berat fraksi 3,93 gr dengan nilai rendemen 19,65 %. Hasil dari fraksi n-heksan selanjutnya dilakukan uji fitokimia untuk melihat senyawa apa yang terdapat pada fraksi n-heksan. Dari hasil uji fitokimia, fraksi n-heksan positif mengandung senyawa triterpenoid.

Gambar 6. Fraksinasi Fraksi selanjutnya yaitu dengan menggunakan kloroform yang bersifat semi polar, hasil fraksi yang dihasilkan dari fraksinasi menggunakan kloroform didapatkan fraksi seberat 2,7468 gr dengan nilai rendemen 13,73 %. Pada fraksi kloroform, dilakukan uji saponin yang hasilnya terdapat busa setinggi 2 cm tetapi busa tersebut hilang ketika ditambahkan pereaksi HCl 2N. Fraksi yang terakhir adalah fraksi polar dengan menggunakan pelarut n- butanol. Hasil fraksi butanol adalah 4,86 gr dengan nilai rendemen 24,3% (Tabel 12). Dari semua fraksi, fraksi butanol memiliki jumlah fraksi yang paling banyak dikarenakan senyawa yang terkandung di dalam biji buah keben (Barringtonia asiatica) mengandung saponin yang sifat senyawanya lebih terikat kepada fraksi polar. Fraksi butanol memiliki kandungan senyawa saponin yang ditandai dengan adanya busa setinggi 4 cm dan tidak hilang ketika ditambahkan pereaksi HCl 2N. Busa yang terbentuk tidak hilang dalam waktu 20 menit.

Gambar 7. Uji Saponin Fraksi Butanol Hasil rendemen dari proses fraksinasi dapat dilihat pada Tabel 13. Rendemen dari fraksi butanol merupakan rendemen terbesar dari tiga fraksi dikarenakan sampel biji Barringtonia asiatica mengandung banyak saponin yang merupakan senyawa yang terikat pada pelarut polar. Berat Ekstrak Awal 20 g Fraksi n- heksan Fraksi Hasil Fraksi (g) Tabel 13. Hasil Fraksinasi Rendemen (%) (w/w) 3,93 19,65 2,7468 13,73 Kloroform Fraksi n-butanol 4,86 24,3 Warna dan Bentuk Ekstrak Putih, Berbentuk pasta cair Putih, Berbentuk pasta cair Putih, Berbentuk pasta cair 4.4 Uji KLT Preparatif KLT preparatif dilakukan untuk melihat senyawa saponin yang terkandung dalam ekstrak kasar B.asiatica dan fraksi butanol. KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 14 mg yang ditambahkan pelarut serta pengembang untuk mengejar senyawa target yaitu saponin. Sampel dilarutkan dengan menggunakan pelarut dan ditotolkan pada plat KLT preparatif. Kemudian plat tersebut dimasukkan ke dalam bejana dan ditambahkan pelarut pengembang. Ekstrak kasar dan fraksi butanol ditambahkan dengan pelarut pengembang kloroform dan

aseton dengan perbandingan 9:1, pelarut kloroform dan aseton dengan perbandingan 8:2, pelarut pengembang etil asetat 100 % dan pelarut pengembang etil asetat dan methanol dengan perbandingan 8:2. a b c Gambar 8. KLT Preparatif (a) Uji Kromatografi Kertas (b) Plat KLT Preparatif (c) Hasil Uji KLT Preparatif Kemudian spot target saponin dilihat menggunakan lampu ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 254 nm, yang menunjukkan adanya spot senyawa saponin terlihat dari warna yang dihasilkan dari fasa gerak yaitu warna biru. Untuk lebih meyakinkan plat KLT kemudian disemprotkan dengan pelarut H 2 SO 4 selanjutnya dilihat kembali menggunakan UV dengan panjang gelombang 365 nm. Penyemprotan dilakukan untuk memunculkan warna spot target agar dapat dibandingkan dengan hasil kromatografi kertas. Menurut Gritter et al 1991, sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm memantulkan warna biru-hijau yang menunjukkan adanya spot senyawa saponin. Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Untuk mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan larutan (Hostettmann, et al, 1995). Setelah pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang tidak berwarna dengan penjerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk

memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter, et al, 1991). Setelah didapatkan senyawa murni, kemudian dikeringkan dan kemudian ditimbang. Senyawa saponin yang terkandung dalam ekstrak kasar sebesar 2,14 % dan senyawa saponin yang terkandung dalam fraksi butanol sebesar 0,71 % seperti terlihat pada Tabel 14. Sampel awal (g) Tabel 14. Kandungan Senyawa Saponin Kandungan Saponin Kandungan Saponin dalam Ekstrak kasar dalam Fraksi butanol (%) (%) (w/w) 14 mg 2,14 0,71 Pelarut yang digunakan pada KLT preparatif yang terbaik adalah menggunakan pelarut etil asetat : metanol dengan perbandingan 8 : 2. Pelarut ini digunakan karena perbandingan pelarut ini mengalami pemisahan yang baik. 4.5 Formulasi Granulasi Proses formulasi granulasi dilakukan dengan menggunakan metode granulasi kering. Metode granulasi kering digunakan karena partikel dapat diagregasi pada saat kompresi karena adanya kekuatan pengikatan yang terjadi saat kontak langsung permukaan zat padat. Proses pembuatan granul awalnya dengan menimbang ekstrak kasar dan fraksi masing-masing sebanyak 14 mg yang kemudian ditambahkan amylum pregelatinized yang berfungsi sebagai zat pengikat senyawa, kemudian ditambahka laktosa yang berguna untuk membantu granul agar mudah larut di air, dan ditambahkan pvp sebagai bahan pengikat lalu kemudian alkohol 2 tetes.

a b c d e Gambar 9. (a) Bahan Pengikat dan Pengisi (b) Mesh 20 (c) Proses Pencampuran Granul (d) Pengovenan Granul (e) Hasil Granul Pada saat proses pencampuran bahan pengikat dan bahan pengisi serta bahan aktifnya, berat yang dihasilkan granul ekstrak kasar sebelum mengalami pengeringan di oven sebesar 0,324 g, sednangkan berat granul fraksi sebelum dikeringkan menggunakan oven sebesar 0,319 g. Namun setelah granul dikeringkan menggunakan oven, granul yang dihasilkan sebesar 0,2 g untuk granul ekstrak kasar dan 0,18 g untuk granul fraksi. Hal ini terjadi karena adanya penyusutan granul pada saat proses pengeringan di oven. Hasil granul yang telah dikeringkan kemudian ditimbang merupakan konsentrasi granul yang akan diujicobakan ke ikan uji (Tabel 15). Adapun perbandingan komposisi antara bahan pengikat dan bahan pengisi pada penelitian ini (Lampiran. 3) masih dalam batas normal (Lieberman et al 1989) yang

mengungkapkan bahwa bahan pengisi dalam proses granulasi memiliki komposisi 25 % sampai 45%. Hasil perbandingan komposisi formulasi granulasi adalah bahan pengisi sebesar 43,8 % dan bahan pengikat sebesar 3,13 %,. Tabel 15. Hasil Granul Jenis Granul Berat Granul Warna dan Bentuk (g) Granul Granul Ekstrak 0,2 Putih, butiran Granul Fraksi 0,18 Putih, butiran 4.6 Pengamatan Granul Larut Dalam Air Granul yang dihasilkan pada saat proses granulasi, dicampurkan kedalam 20 L air laut untuk melihat daya larut granul ke dalam air. Pada saat granul dicampurkan ke dalam air hingga tidak terbentuknya endapan waktu yang dihasilkan kurang dari 1 menit seluruh granul telah larut ke dalam air dapat dilihat pada Tabel 16. Setelah granul larut, air warnanya berubah menjadi putih-bening dikarenakan pengaruh dari granul yang dicampurkan dan masih adanya bau khas Barringtonia asiatica. Tabel 16. Lama Granul Larut dalam 20 Liter Jenis Granul Lama Granul Larut dalam 20 Liter (Detik) Granul Ekstrak 50-60 Granul Fraksi 50-60

Gambar 10. Proses Granul Di Masukkan ke Air 4.7 Pengamatan Kualitas Air Parameter kualitas air diamati sebelum dan sesudah granul dicampurkan. Pengukuran kualitas air ini dilakukan untuk melihat pengaruh granul yang dicampurkan kedalam air terhadap kualitas air. Hal ini sangat penting dilakukan karena kualitas air dapat mempengaruhi kehidupan kerapu. Kualitas air yang diujikan adalah salinitas, oksigen terlarut (DO), ph, dan suhu menunjukkan bahwa kualitas air masih dalam kisaran kualitas air yang dapat menunjang kelangsungan hidup yang optimal bagi kerapu (Lampiran 4). Kisaran kualitas air yang optimal untuk kerapu adalah salinitas 25 37 ppt, oksigen terlarut 4 8 ppm, ph 6,5-8, dan suhu 24 32 o C (Rahman 2010). Hasil pengamatan kualitas air sebelum dan sesudah dicampurkan granul menunjukkan tidak adanya perubahan kualitas air. Kualitas air setelah dicampurkan granul masih dalam kisaran kualitas air yang bdapat menunjang kelangsungan hidup kerapu. 4.8 Penerapan Terhadap Ikan Uji Penerapan terhadap ikan uji dilakukan menggunakan transportasi darat dan transportasi laut. Pada saat uji transportasi darat, granul yang digunakan adalah granul fraksi dengan lama pingsan 2 jam, sedangkan uji transportasi laut digunakan granul ekstrak kasar. Sebelum uji transportasi dilakukan, ikan terlebih dahulu

dipingsankan dan kemudian dikemas kedalam styrofoam lalu selanjutnya dilakukan uji transportasi dengan kondisi perjalanan yang memiliki guncangan yang cukup kuat. Setelah dilakukan uji transportasi, ikan kemudian disadarkan kembali. Lama waktu proses pemingsanan dan penyadaran dapat dilihat pada Tabel 17. Jenis Granul Granul Fraksi Granul Ekstrak Kasar Tabel 17. Waktu Ikan Kerapu Pingsan dan Pulih Konsentrasi Granul (g/l) Waktu Induksi (menit) Waktu Kerapu Semua Pingsan (menit) Lama Pingsan Kerapu (Jam) Waktu Semua Kerapu Pulih (menit) Kelangsungan Hidup Kerapu Setelah disadarkan (%) 0,18 10 12 15 2 16 20 100 0,2 10 16 20 5 10 20 100 Hasil pengujian terhadap ikan uji kerapu menggunakan granul ekstrak dan granul fraksi menghasilkan waktu induksi kerapu selama 10 menit. Waktu induksi merupakan waktu dimana ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang telah dicampurkan dengan granul hingga ikan uji terlihat panik. Terjadi perbedaan waktu semua ikan uji pingsan antara granul fraksi dan granul ekstrak, dimana pada granul fraksi ikan uji mengalami fase pingsan 100 % pada menit ke 12-15, sedangkan pada granul ekstrak, ikan baru mengalami fase pingsan 100 % pada menit ke 16-20. Perbedaan waktu pingsan ikan uji antara granul fraksi dan granul ekstrak disebabkan oleh senyawa saponin yang terkandung dalam granul fraksi lebih murni dibandingkan senyawa saponin yang terkandung dalam granul ekstrak. Penelitan Septiarusli (2012) mengenai waktu induksi, waktu kerapu semua pingsan, lama pingsan, dan waktu pulih menunjukkan waktu induksi ikan kerapu pada menit ke-10, tidak terjadi perbedaan waktu induksi antara anastesi ikan menggunakan granul ekstrak kasar dan anastesi ikan menggunakan ekstrak kasar. Sedangkan untuk waktu seluruh kerapu pingsan dan kerapu kembali pulih tidak ada perbedaan lama waktu yang diperlukan

antara anastesi menggunakan granul ekstrak kasar dan anastesi menggunakan ekstrak kasar. Perbedaan terjadi pada waktu semua kerapu pingsan antara granul fraksi dan ekstrak kasar yang disebabkan granul fraksi memiliki senyawa saponin yang berpotensi sebagai zat anastesi lebih murni dibandingkan ekstrak kasar yang digunakan Septiarusli (2012) pada penelitian mengenai anastesi ikan. Perbedaan juga terjadi pada lama pingsan kerapu. Penelitian Septiarusli (2012) kerapu dapat pingsan selama 6 jam menggunakan ekstrak kasar sedangkan pada penelitian ini kerapu dapat pingsan selama 5 jam menggunakan granul ekstrak. Perbedan lama pingsan kerapu antara ekstrak kasar yang digunakan Septiarusli (2012) dengan granul fraksi pada penelitian ini disebabkan oleh kandungan senyawa saponin ekstrak kasar lebih besar dibandingkan fraksi. Hanya saja granul fraksi memiliki kandungan saponin yang lebih murni dibandingkan ekstrak kasar. Perbedaan lama pingsan antara ekstrak kasar dan granul ekstrak ini dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain kondisi fisiologis kerapu dan faktor transportasi yang dilakukan menggunakan transportasi laut yang memiliki guncangan serta dipengaruhi suhu di luar styrofoam yang tidak stabil. Lama pingsan kerapu merupakan waktu pada saat semua kerapu pingsan hingga kerapu mengalami fasa sadar. Kerapu yang telah mengalami fase pingsan tingkat kepekaan terhadap rangsangan akan menurun akibat proses terkendali saraf pusat oleh zat anastesi yang berfungsi memperlambat laju metabolism tubuh ikan(dewi 2009). Granul fraksi dapat memingsan ikan dengan lama pingsan kerapu selama 2 jam sedangkan pada granul fraksi dapat memingsankan ikan kerapu selama 5 jam. Granul ekstrak dapat memingsankan ikan lebih lama dibandingkan granul fraksi dikarenakan berdasarkan uji KLT preparatif, senyawa saponin yang terkandung dalam ekstrak lebih tinggi dibandingkan senyawa saponin yang terkandung dalam fraksi. Kandungan saponin dalam granul fraksi lebih murni, ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lama pingsan kerapu lebih cepat dibandingkan granul

ekstrak. Senyawa saponin yang lebih murni lebih berpotensi menjadi racun untuk ikan karena saponin merupakan zat beracun apabila konsentrasi yang digunakan tidak tepat. Ini yang menyebabkan lama pingsan kerapu menggunakan granul ekstrak lebih lama dibandingkan granul fraksi. Setelah ikan mengalami fase pingsan, kemudian ikan dimasukkan ke dalam bak pemulihan yang berisi air laut segar yang diberi aerasi untuk membersihkan zat pembius (Rafael 1996 dalam Septiarusli 2012). Ikan uji yang dipingsankan menggunakan granul fraksi mengalami fase sadar pada menit 16-20 menit, sedangkan ikan yang dipingsankan menggunakan granul ekstrak mengalami fase pulih pada menit ke 10-20. 4.8.1 Uji Transportasi Darat Penerapan terhadap ikan uji dilakukan menggunakan tranportasi darat yang dilakukan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Pada saat uji transportasi darat, ikan dibius dengan menggunakan granul yang mengandung senyawa saponin dari hasil fraksi mengingat granul fraksi memiliki daya bius ikan selama 2 jam, oleh karena itu pada transportasi darat tidak menggunakan granul ekstrak yang memiliki daya tahan bius ikan selama 5 jam. Pada penelitian ini granul ekstrak digunakan pada saat ujicoba transportasi laut yang membutuhkan waktu mulai dari persiapan hingga pembongkaran selama 5 jam. Ikan yang telah dibius menggunakan granul fraksi dengan konsentrasi 0,18 g/l sebanyak 10 ekor dikemas dengan kertas HVS dan dimasukkan kedalam styrofoam yang berisi es batu yang diatasnya diberi serbuk kayu setebal 10 cm dan suhu 14 o C (Septiarusli 2012). Pada saat ikan dimasukkan kedalam akuarium yang airnya telah dicampurkan granul fraksi, ikan terlihat berenang aktif untuk beberapa saat dan kemudian mengalami kegelisahan dan kemudian pingsan. Ikan yang mengalami fase pingsan yang cepat, akan mengurangi keadaan stress, kecepatan metabolisme dan penggunaan oksigen. Dengan kondisi tersebut dapat merendahkan tingkat kematian ikan sehingga memungkinkan dilakukan

pengangkutan jarak jauh dan meningkatkan kepadatan dalam kemasan (Septiarusli 2012). Hal ini dapat dijelaskan karena ikan yang mengalami fase panik dan gelisah yang lama akan lebih lemah kondisinya sehingga mempengaruhi kelulusan hidup selama pengangkutan (Septiarusli 2012). Penurunan laju konsumsi oksigen pada ikan akan mengakibatkan oksigen yang terikat oleh darah jumlahnya sedikit sehingga oksihemoglobinnya juga rendah (Rahayu 1995). Ikan yang mengalami fase pingsan dikemas didalam styrofoam kemudian diuji menggunakan transportasi darat roda dua atau motor mengelilingi Pulau Pramuka selama 2 jam. Setelah uji transportasi darat, selanjutnya styrofoam dibongkar dan terlihat ikan masih dalam tersusun rapi seperti pada saat penyusunan awal. Ini membuktikan bahwa kondisi ikan masih dalam keadaan pingsan karena tidak adanya gerakan memberontak yang menyebabkan ikan keluar dari kertas pembungkusnya. Saat pembongkaran, ikan dibuka dan dimasukkan kedalam air laut segar yang telah diberi dengan aerasi untuk disadarkan. Hasil uji transportasi darat dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Uji Transportasi Darat Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Kerapu Dengan Dosis Granul 0,18 g/l Lama Kelangsungan Hidup(%) Jenis Granul Transportasi (Jam) Setelah Pembongkaran Setelah Penyadaran Granul Fraksi 2 100 80 Berdasarkan hasil uji transportasi darat menggunakan granul fraksi dengan konsentrasi 0,18 g/l dapat dilihat tingkat kelangsungan hidup kerapu dalam uji transportasi media kering sebesar 80% dengan lama perjalanan 2 jam. Pada saat pembongkaran, ikan kerapu masih diam dengan gerakan insang yang sangat lemah, sedangkan ditemukan 2 ekor kerapu dari 10 ekor yang diujikan yang gerakan insangnya sangat lemah dibandingkan yang lainnya. Setelah semua ikan dimasukkan

ke dalam akuarium yang berisi air laut segar, pada saat menit ke 30 terlihat 8 ekor kerapu dapat kembali berenang dengan normal dan 2 ekor kerapu ditemukan mati pada saat proses penyadaran. Berdasarkan hasil uji transportasi darat, tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu sebesar 80%. 4.8.2 Uji Transportasi Laut Pada saat uji transportasi laut, granul yang digunakan dalam proses anestesi adalah granul dari ekstrak kasar dengan dosis 0,2 g/l. Ikan uji sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam akuarium yang telah dicampurkan granul ekstrak kasar. Pada uji transportasi laut tidak menggunakan granul fraksi dikarenakan granul fraksi memilki daya tahan bius hanya 2 jam. Ikan kemudian dipingsankan kemudian setelah pingsan ikan bungkus dengan kertas HVS dan dimasukkan kedalam styrofoam berisi batu es dan serbuk gergaji setebal 10 cm dengan suhu 14 o C (Septiarusli 2012). Setelah dimasukkan, ikan terlihat berenang aktif untuk beberapa saat dan kemudian mengalami kegelisahan lalu pingsan. Ikan yang cepat mengalami fase pingsan yang cepat akan mengurangi keadaan stress, kecepatan metabolisme dan penggunaan oksigen. Dengan kondisi tersebut dapat merendahkan tingkat kematian ikan sehingga memungkinkan dilakukan pengangkutan jarak jauh dan meningkatkan kepadatan dalam kemasan (Septiarusli 2012). Hal ini dapat dijelaskan karena ikan yang mengalami fase panik dan gelisah yang lama akan lebih lemah kondisinya sehingga mempengaruhi kelulusan hidup selama pengangkutan (Septiarusli 2012). Penurunan laju konsumsi oksigen pada ikan akan mengakibatkan oksigen yang terikat oleh darah jumlahnya sedikit sehingga oksihemoglobinnya juga rendah (Rahayu 1995). Setelah ikan mengalami fase pingsan dan dikemas didalam styrofoam, kemudian kotak styrofoam ditutup rapat dan dibawa ke dermaga Pulau Seribu. Setelah sampai di dermaga, kotak styrofoam berisi ikan kemudian diletakkan ke dalam kapal untuk dibawa ke pelabuhan muara angke. Kapal yang digunakan pada uji transportasi laut adalah jenis kapal cepat yang memiliki guncangan cukup kuat

dibandingkan kapal yang umum digunakan. Selama perjalanan kotak styrofoam mengalami guncangan yang cukup kuat. Setibanya di pelabuhan Muara Angke Jakarta, styrofoam dibongkar untuk proses penyadaran. Pada saat styrofoam dibongkar, keadaan ikan kerapu masih tersusun rapi seperti semula. Hasil uji transportasi laut dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Uji Transportasi Laut Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Kerapu Dengan Dosis Granul 0,2 g/l Lama Kelangsungan Hidup(%) Jenis Granul Transportasi (Jam) Setelah Pembongkaran Setelah Penyadaran Granul Ekstrak Kasar 5 90 70 Hasil uji transportasi laut menunjukkan kelangsungan hidup ikan kerapu sebesar 70% dengan lama perjalanan 5 jam. Pada saat pembongkaran ditemukan 2 ekor ikan yang mati pada saat proses pembongkaran dari 10 ekor ikan yang diujikan, sedangkan 9 ekor ikan lainnya masih dalam keadaaan pingsan dengan gerakan insang yang sangat lemah. Pada saat proses pemingsanan hingga proses penyadaran waktu yang digunakan 5 jam. Ikan yang masih hidup kemudian dimasukkan kedalam akuarium yang berisi air laut segar yang diberi diaerasi untuk disadarkan. Ikan mengalami fase sadar pada menit ke-20 dan ditemukan 2 ekor ikan mati pada saat proses penyadaran. Tingkat kelangsungan hidup kerapu pada uji transportasi laut sebesar 70%. Kematian 3 ekor kerapu dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor guncangan pada saat ikan dibawa menggunakan kapal yang dapat menyebabkan ikan kembali sadar sebelum waktunya. Ikan yang dalam keadaan pingsan sangat rentan terhadap guncangan, karena ikan yang posisinya terguncang dapat kembali sadar. Faktor lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan adalah kondisi fisiologis ikan.