NOTA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

NOTA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

1. Tinjauan Umum

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

Kondisi Perekonomian Indonesia

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PERKEMBANGAN EKONOMI SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II TAHUN 2009

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2004

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2007 REPUBLIK INDONESIA

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi Pendahuluan Ekonomi Global...

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001

Kinerja CARLISYA PRO MIXED

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

ASUMSI NILAI TUKAR, INFLASI DAN SUKU BUNGA SBI/SPN APBN 2012

BAB II PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Kinerja CARLISYA PRO SAFE

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

CATATAN ATAS ASUMSI MAKRO DALAM RAPBN

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN APRIL 2002

3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2006

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005

PERKEMBANGAN EKONOMI TERKINI, PROSPEK DAN RISIKO

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

Kinerja CARLISYA PRO FIXED

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JUNI 2001

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2014 REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

Mengobati Penyakit Ekonomi Oleh: Mudrajad Kuncoro

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

Analisis Perkembangan Industri

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007

Kinerja CENTURY PRO FIXED

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

4. Outlook Perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

CENTURY PRO MIXED Dana Investasi Campuran

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003

NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi negara terbuka. Keterbukaan ekonomi Indonesia akan membawa konsekuensi pada

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO INDONESIA

PRUlink Quarterly Newsletter

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I-2003

Transkripsi:

NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006 REPUBLIK INDONESIA

Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... i iii iv BAB I PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN TAHUN ANGGARAN 2006... Pendahuluan... Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Tahun 2005... Perkembangan Indikator Ekonomi Makro 2004-2005... Pertumbuhan Ekonomi... Inflasi... Nilai Tukar Rupiah... Suku Bunga SBI 3 Bulan... Harga Minyak Internasional... Neraca Pembayaran... 1 1 2 5 5 10 12 14 16 17 BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA... Pendahuluan... Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah... Penerimaan Dalam Negeri... Penerimaan Perpajakan... Penerimaan PPh... Penerimaan PPN dan PPnBM... Penerimaan PBB dan BPHTB... Penerimaan Cukai dan Pajak Lainnya... Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional... Penerimaan Negara Bukan Pajak... Hibah... Perkiraan Belanja Negara... Anggaran Belanja Pemerintah Pusat... 21 21 25 26 26 27 29 30 31 32 33 36 37 38 i

Daftar Isi Halaman Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis... Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi... Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi... Anggaran Belanja Ke Daerah... Dana Perimbangan... Dana Bagi Hasil... Dana Alokasi Umum... Dana Alokasi Khusus... Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian... Dana Otonomi Khusus... Dana Penyesuaian... Defisit Anggaran... Pembiayaan Anggaran... 39 46 50 51 52 52 54 55 55 55 56 57 58 LAMPIRAN : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006... 63 ii

Daftar Tabel DAFTAR TABEL Halaman Tabel I.1 Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro, 2005 2006... Tabel I.2 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-0-y), 2004-2006... Tabel I.3 Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan, 2001-2006... Tabel I.4 Neraca Pembayaran Indonesia, 2005 2006... Tabel II.1 Perkiraan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2006... Tabel II.2 Perkiraan Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah, Tahun 2006... Tabel II.3 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis, Tahun 2006... Tabel II.4 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi, Tahun 2006... Tabel II.5 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Tahun 2006... Tabel II.6 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Untuk Daerah, Tahun 2006... Tabel II.7 Perkiraan Realisasi Pembiayaan Anggaran, Tahun 2006... 5 9 15 20 25 37 45 49 51 57 62 iii

Daftar Grafik DAFTAR GRAFIK Halaman Grafik I.1 Perkembangan Inflasi, 2005-2006... Grafik I.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER, 2004-2006... Grafik I.3 Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah di Pasar Internasional, Desember 2004 - Mei 2006... 11 13 17 iv

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 BAB I PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN TAHUN ANGGARAN 2006 PENDAHULUAN Kebijakan ekonomi makro 2006 merupakan satu bagian integral dari kebijakan ekonomi jangka menengah tahun 2004-2009 yang mengarah kepada tiga strategi dasar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, yaitu pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Kinerja ekonomi Indonesia tahun 2006 sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, yang meliputi kinerja perekonomian dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam tahun-tahun sebelumnya. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, kinerja ekonomi Indonesia tahun 2006 ini juga tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh eksternal, antara lain terjadinya global imbalances seperti kenaikan harga minyak mentah dunia dan kinerja ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam mengelola perekonomian yang dapat dilihat dari kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjalankan fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan stimulasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun peran kebijakan fiskal sendiri tidak akan mencukupi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran yang lebih besar dari sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menjadi suatu keharusan. Ada dua prakondisi yang diperlukan untuk menggerakkan sektor swasta yaitu stabilitas ekonomi yang terjaga dan iklim investasi yang kondusif, yang antara lain telah diupayakan oleh Pemerintah dengan regulasi kebijakan sektor riil melalui Inpres No. 3 Tahun 2006. Iklim investasi yang kondusif dapat diciptakan melalui koordinasi yang baik dan harmonis dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan perbankan, serta kebijakan di sektor riil. Pemerintah terus berusaha melakukan perbaikan dalam rancangan, pelaksanaan, dan koordinasi kebijakan-kebijakan di berbagai bidang tersebut agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dan terus terbangun. Undang-undang Nomor 13 tahun 2005 tentang APBN Tahun 2006 menetapkan bahwa penyusunan APBN 2006 didasarkan pada asumsiasumsi pertumbuhan ekonomi 6,2 persen, tingkat inflasi 8,0 persen (y-oy), rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.900 per dolar Amerika Serikat, ratarata suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan 9,5 persen, rata- Kebijakan ekonomi makro 2006 merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi jangka menengah tahun 2004 2009. Kebijakan fiskal memiliki peran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejak ditetapkannya UU No. 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan. 1

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Perubahan atas APBN 2006 juga dimaksud untuk mengakomodasikan tambahan kebutuhan dana. rata harga minyak mentah US$57 per barel, dan rata-rata volume lifting minyak mentah 1,05 juta barel per hari. Namun demikian, sejak ditetapkannya undang-undang tersebut telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang cukup berarti, baik yang bersumber dari perubahan faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi pokok-pokok kebijakan fiskal dan pelaksanaan APBN 2006. Berdasarkan perubahan dan perkembangan yang terjadi tersebut, Pemerintah mengajukan perubahan atas Undang-undang APBN 2006 dengan tujuan agar keberlangsungan kebijakan fiskal dapat terjaga dan sasaran pembangunan ekonomi 2006 dapat tercapai. Dengan memperhatikan kondisi terkini, asumsi dasar ekonomi makro yang terdapat dalam APBN 2006 perlu disesuaikan dalam APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2006 sehingga menjadi sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi 5,8 persen, inflasi 8,0 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.300 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan 12,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$64 per barel, dan rata-rata lifting minyak 1,0 juta barel per hari. Perubahan asumsi dasar ekonomi makro, khususnya asumsi harga minyak mentah akan membawa perubahan APBN secara signifikan, terutama terhadap besaran penerimaan minyak dan gas (migas), dana bagi hasil untuk daerah, dan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Demikian pula dengan perubahan asumsi nilai tukar rupiah dan suku bunga yang akan berpengaruh terhadap besaran pengeluaran negara terutama pembayaran bunga surat utang negara. Perubahan atas APBN 2006 juga dimaksudkan untuk mengakomodasikan pertambahan kebutuhan dana yang diperlukan untuk anggaran pendidikan, subsidi terhadap PT Perusahaan Listrik Negara akibat tidak dinaikkannya tarif dasar listrik (TDL), rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, serta penanganan bencana alam Yogyakarta dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya. GAMBARAN UMUM EKONOMI INDONESIA TAHUN 2006 Memasuki tahun 2006 kinerja ekonomi Indonesia cukup menggembirakan. Memasuki tahun 2006, kinerja perekonomian Indonesia diwarnai oleh dinamika berbagai perubahan baik yang menggembirakan maupun yang kurang menggembirakan. Salah satu aspek kinerja ekonomi yang cukup menggembirakan adalah cukup terkendalinya stabilitas ekonomi yang merupakan salah satu kondisi penting dalam upaya pemulihan kepercayaan 2

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 para pelaku pasar dan investor di Indonesia. Secara kumulatif, dalam periode Januari Oktober 2006, inflasi terkendali di tingkat 4,96 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005 (15,65 persen). Selain itu, pada periode Januari Oktober 2006 rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika mencapai Rp9.177 per US$, relatif lebih kuat dibandingkan dengan nilai tukar rupiah periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.705 per US$. Dalam kurun waktu tersebut, nilai tukar rupiah bahkan pernah mencapai level terkuat sebesar Rp8.775/US$ pada akhir April 2006. Demikian pula dengan suku bunga SBI 3 bulan yang menunjukkan kecenderungan menurun sejak awal tahun 2006. Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta juga menunjukkan kenaikan yang cukup menggembirakan, dimana pada penutupan perdagangan pada akhir Oktober 2006 mencapai 1.583, lebih baik dibandingkan akhir tahun 2005 yang mencapai 1.162,63. Di pihak lain, data dari sisi penanaman modal riil, memperlihatkan bahwa persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam periode Januari Oktober 2006 mencapai nilai investasi sekitar Rp143,7 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang besarnya sekitar Rp44,6 triliun, atau meningkat sekitar 222,2 persen. Terkendalinya stabilitas ekonomi makro ini diiringi pula dengan meningkatnya posisi cadangan devisa dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya. Bila dalam tahun 2005 cadangan devisa mencapai US$34,7 miliar, maka pada tahun 2006 cadangan devisa diperkirakan naik sebesar US$4,8 miliar menjadi US$39,5 miliar, yang antara lain disebabkan oleh meningkatnya surplus neraca transaksi berjalan (current accounts) dalam tahun 2006 dibandingkan dengan perkiraan neraca transaksi berjalan dalam APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$1,66 miliar. Walaupun dari aspek stabilitas perekonomian Indonesia tahun 2006 memperlihatkan kinerja yang cukup menggembirakan, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, kinerja perekonomian Indonesia dihadapkan pada kendala dan tantangan yang cukup berat. Pertumbuhan ekonomi dalam semester I tahun 2006 tercatat hanya mencapai 5,0 persen, lebih rendah dari angka pertumbuhan semester I tahun 2005 sebesar 6,0 persen. Angka pertumbuhan yang relatif rendah ini diiringi dengan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang relatif masih cukup tinggi. Sampai akhir tahun 2006, jumlah pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,4 juta orang (10,6 persen IHSG dan persetujuan PMDN meningkat. Dari sisi pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, ekonomi Indonesia dihadapkan pada kendala dan tantangan yang cukup besar. 3

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Rendahnya angka pertumbuhan dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Masih ada peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baik dari sisi eksternal maupun internal. Perlu diwujudkan pemulihan kepercayaan pelaku dunia usaha. dari total angkatan kerja) lebih tinggi dari jumlah pengangguran tahun 2005 yang sebesar 10,9 juta (10,3 persen dari total angkatan kerja). Peningkatan jumlah pengangguran ini diperkirakan akan menambah jumlah penduduk miskin yang tercatat sebesar 35,1 juta jiwa pada akhir tahun 2005. Relatif rendahnya angka pertumbuhan ini tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal yang berkembang dalam tahun ini maupun dalam tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi internal, hal tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) akibat belum terciptanya iklim investasi dan usaha yang kondusif, menurunnya aktivitas konsumsi masyarakat, serta terbatasnya ketersediaan infrastruktur yang memadai. Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat ini juga disebabkan oleh berbagai musibah dan bencana alam, seperti merebaknya penyakit flu burung, gempa bumi dan banjir yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di lain pihak, faktor-faktor eksternal, seperti naiknya harga minyak mentah dunia dan kenaikan Fed Rate telah memberikan tambahan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi perekonomian domestik, antara lain meningkatkan tekanan inflasi sehingga mengurangi daya beli dan konsumsi rumah tangga, dan sekaligus meningkatkan ongkos produksi sektor usaha di dalam negeri. Di tengah beratnya kendala dan tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini, masih ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia yang diperkirakan masih cukup kuat di tahun 2006, khususnya di negara-negara mitra dagang utama Indonesia, diharapkan mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor. Dari sisi internal, kebijakan pengendalian inflasi yang cukup efektif dalam enam bulan pertama tahun 2006 dapat diharapkan memberikan sedikit ruang kepada otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga secara bertahap, di tengah tekanan meningkatnya Fed Rate. Hal ini sekaligus diharapkan dapat menjadi langkah awal pemulihan kepercayaan pasar bagi dunia usaha dan mendorong kembali daya beli masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Dalam kondisi dan situasi seperti yang digambarkan di atas, pemulihan kepercayaan pelaku dunia usaha untuk kembali melakukan dan mengembangkan investasi di dalam negeri merupakan suatu keharusan yang perlu diwujudkan. Salah satu langkah penting dalam upaya tersebut adalah mempercepat penyelesaian, penyempurnaan dan pelaksanaan paket-paket kebijakan reformasi sektor riil seperti di bidang investasi, 4

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 perpajakan, bea cukai, perburuhan, dan perbaikan kinerja birokrasi, disamping pembangunan infrastruktur yang perlu segera direalisasikan. Untuk itu diperlukan suatu langkah kebersamaan dan koordinasi yang erat dan konsisten di kalangan otoritas fiskal dan moneter, pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, politisi, dan masyarakat pada umumnya. PERKEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO 2005-2006 Beberapa variabel ekonomi makro tahun 2006 yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan APBN 2006 adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, rata-rata nilai tukar rupiah, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan, rata-rata harga dan volume lifting minyak mentah. Perkembangan indikator-indikator ekonomi makro tersebut dapat dilihat dalam Tabel I.1. Tabel I.1 Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro, 2005-2006 Indikator 2005 2006 Realisasi APBN APBN-P 1 Pertumbuhan ekonomi (%) 5,6 6,2 5,8 2 Tingkat inflasi (%) 17,11 8,0 8,0 3 Rata-rata Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) 9.705 9.900 9.300 4 Suku bunga SBI-3 bulan (%) 9,09 9,5 12,0 5 Harga Minyak ICP (US$/Barel) 51,81 57,0 64 6 Lifting Minyak (Juta Barel/Hari) 0,999 1,050 1,000 Pertumbuhan Ekonomi Dalam tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan banyak kalangan dan lembaga-lembaga internasional sebelumnya. Meskipun demikian, angka pertumbuhan tersebut masih berada di bawah sasaran asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2005 sebesar 6,0 persen. Lebih rendahnya angka realisasi laju pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2005 tersebut, terutama disebabkan oleh tekanan tingginya biaya produksi terkait dengan tingginya harga minyak dunia, naiknya ongkos angkut (freight), naiknya harga barang modal, serta bahan baku dan penolong yang sebagian harus diimpor. Selain itu, tingginya harga minyak dunia juga menyebabkan Pemerintah memandang perlu untuk menaikkan harga BBM domestik guna mengurangi beban pengeluaran APBN 2005 pada bulan Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,6 persen dalam tahun 2005. 5

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Tekanan pada stabilitas ekonomi makro di penghujung tahun 2005 tercermin pada terjadinya perlambatan di hampir semua komponen permintaan agregat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2005 ditandai dengan pertumbuhan positif pada hampir semua lapangan usaha. Laju pertumbuhan ekonomi pada semesteri 2006 mencapai 5,0 persen. Maret dan Oktober 2005. Hal ini, telah menyebabkan meningkatnya tekanan inflasi secara keseluruhan. Meningkatnya inflasi tersebut selain telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat juga mendorong kenaikan upah buruh yang harus ditanggung sektor produksi. Pada sisi lain, depresiasi rupiah yang mulai terjadi sejak akhir triwulan III hingga akhir tahun 2005 menjadi faktor lain yang mendorong meningkatnya inflasi. Sebagai reaksi naiknya tekanan inflasi dan depresiasi rupiah tersebut, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan menaikkan suku bunga (BI Rate). Dari sisi penggunaan, tekanan terhadap ekonomi makro di penghujung tahun 2005 tercermin pada terjadinya perlambatan di hampir semua komponen permintaan agregat. Konsumsi rumah tangga melambat dari 5,0 persen pada tahun 2004 menjadi 4,0 persen dalam tahun 2005 terkait dengan melemahnya daya beli masyarakat. Sementara itu, investasi yang telah menunjukkan pemulihan yang cukup berarti dalam tahun 2004 yang tumbuh sebesar 14,1 persen, mengalami perlambatan menjadi 9,9 persen dalam tahun 2005. Dari sisi sektoral, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2005 ditandai dengan pertumbuhan positif pada hampir semua lapangan usaha. Pertumbuhan tinggi masih ditunjukkan oleh sektor-sektor nontradable seperti pengangkutan dan komunikasi (13 persen), bangunan (7,4 persen), keuangan, real estat dan jasa perusahaan (6,8 persen), serta listrik, gas, dan air bersih (6,3 persen). Sementara itu, kinerja sektor industri manufaktur mengalami perlambatan dari 6,4 persen menjadi 4,6 persen disebabkan oleh menurunnya kegiatan subsektor industri migas yang tumbuh negatif sebesar 5,9 persen. Pada saat yang sama juga terjadi perlambatan pada subsektor industri non-migas dari 7,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,9 persen disebabkan oleh meningkatnya ongkos produksi akibat penyesuaian harga BBM domestik serta tekanan stabilitas ekonomi makro pada paroh kedua tahun 2005. Memasuki paroh pertama tahun 2006, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0 persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan ekonomi periode yang sama tahun 2005. Dari sisi permintaan agregat, pengeluaran konsumsi yang masih memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDB menunjukkan kecenderungan menurun khususnya dalam tiga triwulan terakhir. Penurunan ini disebabkan oleh besarnya tekanan inflasi yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM dalam negeri pada bulan Oktober 2005 serta tingginya tingkat suku bunga domestik. Terkait dengan tingginya suku bunga 6

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 domestik, laju pertumbuhan kredit konsumsi dalam bulan Agustus 2006 hanya mencapai sebesar 11,8 persen (y-o-y), lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 46,5 persen (y-o-y). Menurunnya tingkat konsumsi masyarakat tercermin pada menurunnya penjualan mobil dan motor dalam tujuh bulan pertama tahun 2006 masingmasing sebesar 50,2 persen dan 25,5 persen dibanding periode yang sama tahun 2005. Di lain pihak, konsumsi pemerintah meningkat yang disebabkan karena pembenahan pada sistem penganggaran baru yang mulai berlaku sejak tahun 2005 yang berdampak positif pada kelancaran proses pencairan anggaran pemerintah. Dalam semester I tahun 2006, konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 20,4 persen, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni tumbuh negatif sebesar 8,1 persen. Namun, tingginya konsumsi Pemerintah ini belum dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan. Sementara itu, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami penurunan yang cukup berarti dari semula 15,8 persen dalam semester I tahun 2005 menjadi 1,1 persen dalam semester I tahun 2006. Perlambatan kinerja investasi (PMTB) tersebut juga tercermin pada perlambatan yang terjadi pada pertumbuhan kredit investasi. Kredit investasi dalam bulan Oktober 2006 hanya tumbuh sebesar 6,3 persen, jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2005 sebesar 17,9 persen. Menurunnya tingkat PMTB disebabkan oleh belum terealisasinya program percepatan pembangunan infrastruktur, meningkatnya suku bunga, dan tertundanya upaya perbaikan iklim investasi, meskipun kemajuan telah dicapai dalam bentuk peluncuran paket kebijakan reformasi di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Pembenahan di sektor riil terutama yang berkaitan dengan perubahan kebijakan, regulasi seperti di bidang investasi, pajak, bea cukai, perburuhan, dan perbaikan kinerja birokrasi membutuhkan waktu cukup lama untuk menghasilkan dampak langsung dan segera. Upaya perbaikan tata pengelolaan publik (good public governance) serta pemberantasan korupsi telah menyebabkan beberapa ekses perlambatan pelaksanaan kebijakan di sektor publik. Dengan meningkatnya prinsip kehati-hatian dan munculnya kekhawatiran yang tinggi terhadap tindakan law enforcement, telah menyebabkan berbagai kelambatan dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan anggaran. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab menurunnya kegiatan investasi swasta baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kinerja ekspor barang dan jasa dalam semester I tahun 2006 masih cukup menjanjikan di tengah gejolak eksternal terkait dengan tingginya harga minyak dunia. Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa dalam semester PMTB pada semester I tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup berarti. Kinerja ekspor barang dan jasa dalam semester I tahun 2006 masih cukup menjanjikan. 7

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Dalam tahun 2006 seluruh sektor usaha diperkirakan mengalami pertumbuhan positif, kecuali subsektor industri pengolahan migas. Laju pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. I tahun 2006 mencapai sebesar 11,4 persen. Meskipun mengalami perlambatan bila dibandingkan laju pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya, ekspor barang dan jasa mencatat angka tertinggi dalam tiga triwulan terakhir. Pada sisi lain, seiring dengan perlambatan pada konsumsi dan investasi riil, kinerja impor barang dan jasa juga mengalami perlambatan. Laju pertumbuhan impor barang dan jasa dalam semester I tahun 2006 hanya sebesar 5,2 persen, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan impor barang dan jasa periode yang sama tahun 2005 sebesar 22,8 persen. Sementara itu, kecenderungan penguatan kinerja ekspor barang dan jasa dalam semester I tahun 2006 diperkirakan terus berlanjut dalam semester berikutnya guna menopang kinerja pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dalam tahun 2006. Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sebesar 9,4 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 8,6 persen. Seiring menurunnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan akan menurun dari sekitar 12,3 persen dalam tahun 2005 menjadi 8,4 persen dalam tahun 2006. Dari sisi penawaran, dalam tahun 2006, seluruh sektor usaha diperkirakan mengalami pertumbuhan positif, kecuali subsektor industri pengolahan minyak dan gas yang dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif terkait dengan menurunnya investasi untuk kegiatan eksplorasi migas. Walaupun hampir semua sektor mengalami pertumbuhan, namun hanya beberapa sektor yang diperkirakan akan mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang melambat ini terkait dengan kecenderungan menurunnya kinerja subsektor pengangkutan akibat kebijakan penyesuaian harga BBM pada bulan Maret dan Oktober tahun 2005 yang lalu terutama pengangkutan laut dan udara serta jenis-jenis usaha terkait lainnya. Pada sisi lain, subsektor komunikasi masih mencatat laju pertumbuhan yang cukup tinggi dalam beberapa triwulan terakhir dengan rata-rata sekitar 24 persen, dan sektor bangunan diperkirakan akan tumbuh sebesar 7,4 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan mencapai sekitar 2,6 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 2,5 persen. Dengan iklim berusaha yang relatif kondusif serta harga produk pertanian yang cukup fleksibel diharapkan dapat mendorong kinerja sektor pertanian dalam tahun 2006. Sampai dengan semester I tahun 2006, laju pertumbuhan sektor pertanian mencapai sebesar 3,9 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 0,9 persen. 8

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Sementara itu, dalam tahun 2006, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan khususnya non migas diperkirakan dapat tumbuh sebesar 5,0 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahun sebelumnya. Faktor pendorong meningkatnya sektor manufaktur ini diperkirakan bersumber dari meningkatnya pasar domestik bagi produk lokal yang disebabkan oleh mulai meningkatnya daya beli masyarakat akibat menurunnya tekanan inflasi dan tingkat suku bunga pada paroh kedua tahun 2006. Di sisi lain, meningkatnya permintaan untuk ekspor pada semester I tahun 2006 diharapkan dapat berlanjut dalam periodeperiode berikutnya sehingga dapat memacu kinerja sektor industri pengolahan. Realisasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2004-2006 dapat dilihat dalam Tabel I.2. Sektor industri pengolahan nonmigas diperkirakan tumbuh 6,2 persen. Tabel I.2 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-o-y), 2004-2006 (persen) Uraian 2004 2005 2006 Produk Domestik Bruto 4,9 5,6 5,8 Menurut Penggunaan Pengeluaran Konsumsi 4,9 4,4 4,7 Masyarakat 5,0 4,0 3,5 Pemerintah 4,0 8,1 13,4 Pembentukan Modal Tetap Bruto 14,1 9,9 7,7 Ekspor Barang dan Jasa 11,1 8,6 9,4 Impor Barang dan Jasa 25,6 12,3 8,4 Menurut Lapangan Usaha Pertanian 2,1 2,5 2,6 Pertambangan dan Penggalian -4,9 1,6 2,0 Industri Pengolahan 6,4 4,6 5,0 Migas -1,9-5,3-3,1 Non migas 7,5 5,9 6,0 Listrik, gas, air bersih 4,2 6,5 6,3 Bangunan 6,9 7,3 7,6 Perdagangan, hotel, dan restoran 5,8 8,6 8,3 Pengangkutan dan komunikasi 14,0 13,0 12,9 Keuangan, persewaan, jasa perush. 7,9 7,1 6,3 Jasa-jasa 5,4 5,2 5,6 Sumber: BPS, diolah Prospek ekonomi Indonesia dalam paroh kedua 2006 diperkirakan akan membaik sejalan dengan berkurangnya tekanan inflasi yang juga diharapkan akan diikuti dengan menurunnya suku bunga secara bertahap. 9

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2006 sekitar 5,8 persen. Selain itu stabilitas nilai tukar rupiah yang terkendali, kemajuan realisasi percepatan pembangunan infrastruktur dan pembenahan sektor riil, serta tambahan stimulasi yang berasal dari dana luncuran anggaran tahun 2005, juga diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2006. Dari sisi eksternal, kinerja perekonomian global yang masih relatif cukup kuat diharapkan akan memberikan peluang bagi perekonomian Indonesia. Dengan demikian, sasaran pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 5,8 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar 6,2 persen. Inflasi Inflasi pada tahun 2006 diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Laju inflasi pada bulan Februari, Maret, dan April relatif rendah. Inflasi pada bulan Juni 2006 mencapai 0,45 persen atau inflasi y-o-y sekitar 15,53 persen. Inflasi pada tahun 2006 diperkirakan cenderung menurun, setelah mengalami peningkatan pada tahun 2005 yang mencapai 17,11 persen (y-o-y). Tingginya inflasi pada tahun 2005 tersebut disebabkan oleh penyesuaian harga BBM dalam negeri pada bulan Maret dan Oktober 2005. Pada bulan-bulan tersebut inflasi masing-masing mencapai 1,91 persen pada bulan Maret dan 8,70 persen pada bulan Oktober 2005. Memasuki tahun 2006 harga beras mengalami peningkatan yang disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga pembelian beras (HPB) sebesar 28 persen. Hal tersebut juga diperkuat dengan meningkatnya harga bumbu-bumbuan, tarif telepon, dan air minum, yang telah menyebabkan inflasi pada bulan Januari 2006 mencapai 1,36 persen, atau inflasi y-o-y sebesar 17,03 persen. Namun, seiring dengan datangnya musim panen di beberapa daerah pada bulan Februari, Maret, dan April 2006, harga bahan makanan seperti beras, bumbu-bumbuan, sayur-sayuran, daging dan telor ayam ras, serta lainnya mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Penurunan harga tersebut menyebabkan laju inflasi pada bulan Februari, Maret, April relatif rendah, masing-masing menjadi sebesar 0,58 persen, 0,03 persen, dan 0,05 persen, atau inflasi y-o-y masing-masing sebesar 17,92 persen, 15,74 persen, dan 15,40 persen. Sementara itu, inflasi inti (core inflation) pada bulan Februari, Maret, dan April masing-masing mencapai 0,63 persen, 0,26 persen, dan 0,32 persen. Setelah tercatat mengalami peningkatan indeks harga yang cukup rendah di bulan-bulan tersebut di atas, pada bulan Juni 2006, hampir semua indeks harga kelompok pengeluaran kecuali kelompok sandang, mengalami sedikit peningkatan sehingga inflasi pada bulan tersebut mencapai 0,45 persen, atau inflasi y-o-y sebesar 15,53 persen. Beberapa kelompok barang menunjukkan peningkatan indeks harga antara 0,1 persen sampai dengan 1,12 persen. Peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok bahan 10

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 makanan, dan terendah terjadi pada kelompok transport dan komunikasi. Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan cukup tajam antara lain adalah beras, daging ayam ras, cabe rawit, dan tarif kontrak rumah. Peningkatan indek harga, terutama untuk kelompok bahan makanan kembali terjadi pada bulan Oktober 2006 hingga mencapai 2,17 persen. Perkembangan inflasi tahun 2005-2006 dapat dilihat pada Grafik I.1 m-t-m, % 10 8 6 4 2 0-2 Grafik I.1 Perkembangan Inflasi Umum, Bahan Makanan dan Inflasi Inti, 2005-2006 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt y-o-y, % 20 15 10 5 0 Sumber: Badan Pusat Statistik 2005 2006 Umum (y-o-y) Umum (m-t-m) Bahan Makanan Dengan perkembangan tersebut, inflasi kumulatif selama Januari Oktober 2006 sebesar 4,96 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005 (15,65 persen). Berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi kumulatif selama Januari-Oktober 2006 bersumber dari peningkatan indeks harga kelompok bahan makanan (8,81 persen), pendidikan, rekreasi dan olah raga (8,02 persen), sandang (5,96 persen), makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (4,70 persen), kesehatan (4,33 persen), perumahan (3,76 persen), serta transpor, komunikasi dan jasa keuangan (1,12 persen). Dilihat dari komponennya, selama sepuluh bulan pertama tahun 2006 inflasi inti sebesar 5,02 persen, inflasi volatile foods sebesar 10,08 persen, dan inflasi administered prices sebesar 1,42 persen. Selama Januari - Oktober 2006, laju inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 1,36 persen dan laju inflasi terendah terjadi pada bulan Maret sebesar 0,03 persen. Sementara itu dilihat menurut daerah, inflasi tertinggi terjadi di kota Banjarmasin dan inflasi terendah terjadi di Sibolga. Penundaan rencana penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) diperkirakan akan mengurangi tekanan inflasi pada tahun 2006. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang perlu diwaspadai yang diperkirakan berpotensi memberi tekanan inflasi pada dua bulan mendatang, seperti masih tingginya harga minyak dunia dan adanya tekanan musiman akibat meningkatnya permintaan barang kebutuhan pokok masyarakat terkait dengan Natal dan Tahun Baru. Inflasi kumulatif selama Januari Oktober 2006 sekitar 4,96 persen. 11

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Asumsi laju inflasi sebesar 8,0 persen dalam APBN 2006 diperkirakan dapat dicapai. Dalam rangka pengendalian laju inflasi, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa meningkatkan koordinasi dalam melakukan pemantauan dan pengendalian inflasi, yang ditempuh melalui berbagai kebijakan, antara lain menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok, menurunkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi, dan meminimalkan gejolak harga yang berasal dari kebijakan administered prices. Dengan mempertimbangkan realisasi laju inflasi sampai dengan bulan Oktober 2006, berbagai kebijakan yang dilakukan, dan perkiraan inflasi pada dua bulan ke depan, maka asumsi laju inflasi dalam APBN-P diperkirakan sama dengan APBN 2006 yaitu sebesar 8 persen. Nilai Tukar Rupiah Selama tahun 2005 ratarata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.705/US$. Selama Januari Oktober 2006 rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.177/ US$. Nilai tukar rupiah yang pada awal tahun 2005 rata-rata sebesar Rp9.195/ US$ cenderung melemah hingga bulan November 2005, bahkan pernah mencapai Rp10.345/US$ pada awal September 2005. Namun, seiring dengan meningkatnya aliran masuk investasi portofolio, rupiah kembali menguat dari bulan sebelumnya, hingga mencapai rata-rata Rp9.841/US$ pada bulan Desember 2005. Dengan perkembangan tersebut, selama tahun 2005 rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.705/US$. Memasuki tahun 2006, penguatan nilai tukar rupiah tersebut terus berlanjut dengan volatilitas yang menurun. Sampai dengan akhir Oktober 2006, rupiah menguat cukup signifikan, yaitu dari sekitar Rp9.841/US$ pada Desember tahun 2005, menjadi sekitar Rp9.170/US$ atau mengalami apresiasi sekitar 6,8 persen. Dengan perkembangan tersebut selama Januari Oktober 2006, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai sebesar Rp9.177 per US$, menguat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.705 per US$. Secara fundamental, penguatan rupiah tersebut didukung oleh membaiknya pasokan valas terkait dengan surplus neraca pembayaran. Surplus neraca pembayaran didukung oleh terjadinya surplus, baik pada kinerja neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. Surplus neraca berjalan terutama disebabkan oleh rendahnya impor, dan surplus pada neraca modal terutama terkait dengan meningkatnya pemasukan modal langsung dan investasi portofolio di pasar saham, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), serta Surat Utang Negara (SUN). Meskipun nilai tukar rupiah mengalami penguatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, namun masih terdapat beberapa faktor negatif yang perlu diwaspadai. Hal ini disebabkan karena sebagian besar investasi yang masuk didominasi oleh investasi portofolio jangka pendek yang mempunyai potensi risiko terjadinya pembalikan (capital 12

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 reversal). Selain itu, meningkatnya harga minyak mentah dunia juga berpotensi meningkatnya kebutuhan valas. Dua hal di atas pada gilirannya dapat menekan nilai tukar rupiah. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia terus melanjutkan kebijakan moneter yang tight bias, yang tercermin pada masih tingginya suku bunga Bank Indonesia. Kebijakan lainnya adalah melakukan sterilisasi valas, pengelolaan risiko bank, pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit dalam valas oleh bank, serta memperkuat sistem monitoring transaksi devisa yang terintegrasi serta meningkatkan koordinasi antara Pemerintah dan Otoritas Moneter khususnya untuk memperkuat pasokan valas dan mengelola permintaan valas. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan transaksi valas yang bersifat fluktuatif akan berkurang dan sekaligus dapat memperkuat struktur valas domestik Indeks nilai tukar rupiah secara riil (real effective exchange rate, REER) dengan tahun dasar tahun 2003 menunjukkan peningkatan, yaitu dari 105,38 pada Desember 2005 menjadi 117,30 pada Oktober 2006. Demikian pula indeks nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (bilateral regional exchange rate, BRER) juga menunjukkan peningkatan dari 70,21 pada Desember 2005 menjadi 78,57 pada Oktober 2006. Peningkatan BRER terhadap dolar Amerika juga terjadi pada mata uang bath Thailand, ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan won Korea. Diantara negara-negara tersebut, indeks nilai tukar riil won Korea terhadap dolar Amerika merupakan yang tertinggi, disusul kemudian oleh nilai tukar rupiah. Hal ini mengindikasikan bahwa daya saing Indonesia cenderung menurun dan sedikit lebih rendah dibandingkan negara-negara kawasan regional kecuali Korea. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dapat dilihat pada Grafik I.2 Kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Daya saing Indonesia cenderung menurun dan sedikit lebih rendah dibandingkan negaranegara sekawasan, kecuali Korea. 10.500 10.000 9.500 9.000 8.500 8.000 Jan 04 Sumber : Bank Indonesia Grafik I.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER, 2004-2006 Apr Jul Okt Jan 05 Apr Jul Okt Jan 06 Nominal REER Apr Jul Okt 125 115 105 95 85 75 65 55 13

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Dengan memperhatikan realisasi Januari Oktober 2006, dan perkiraan dua bulan ke depan, maka dalam APBN-P tahun 2006 rata-rata nilai tukar rupiah diperkirakan mencapai sekitar Rp9.300/US$, lebih rendah dari perkiraan APBN sebesar Rp9.900/US$. Suku Bunga SBI 3 Bulan Dalam tahun 2005 ratarata suku bunga SBI 3 bulan mencapai 9,09 persen. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan Januari- Oktober 2006 mencapai 12,18 persen. Dalam tahun 2005, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan mencapai 9,09 persen, lebih tinggi dari rata-rata tahun 2004 sebesar 7,39 persen. Hal ini disebabkan karena Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat terkait dengan masih tingginya ekses likuiditas di sektor perbankan, tingginya laju inflasi, melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya suku bunga internasional. Kebijakan tersebut dilakukan melalui peningkatan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dari 8,25 persen pada bulan Juni menjadi 12,75 persen pada akhir tahun 2005. Seiring dengan meningkatnya suku bunga Bank Indonesia, suku bunga SBI 3 bulan juga meningkat dari 8,05 persen pada bulan Juni menjadi 12,83 persen pada Desember 2005. Memasuki tahun 2006 (Januari dan Februari), suku bunga SBI 3 bulan masih cukup tinggi yaitu 12,92 persen. Seiring dengan menurunnya inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah maka sejak Mei 2006, Bank Indonesia secara hati-hati dan terukur mulai menurunkan suku bunga BI Rate (cautious easing), sehingga pada bulan Oktober 2006 BI Rate mencapai 10,75 persen, atau lebih rendah 200 basis points dibanding posisi pada akhir tahun 2005 sekitar 12,75 persen. Penurunan ini diikuti oleh menurunnya suku bunga SBI 3 bulan secara bertahap, yaitu dari 12,83 persen pada akhir tahun 2005 menjadi 11,36 persen pada bulan Oktober 2006. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan selama Januari - Oktober 2006 mencapai 12,18 persen. Meskipun suku bunga SBI 3 bulan cenderung menurun dalam periode Januari - Oktober 2006, namun masih lebih tinggi 382 basis points (bps) dibandingkan periode yang sama tahun 2005 sebesar 8,36 persen. Pada bulan-bulan mendatang, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan akan menurun seiring dengan menurunnya BI Rate dan laju inflasi (y-o-y), sehingga perkiraan suku bunga rata-rata SBI 3 bulan sebesar 12,0 persen dalam APBN-P tahun 2006 optimis dapat dicapai atau bahkan bisa lebih rendah dari 12 persen. Sama halnya dengan SBI 3 bulan, suku bunga SBI 1 bulan juga mengalami penurunan, walaupun masih berada pada level yang cukup tinggi, yaitu dari 12,75 persen pada akhir Januari 2006 menjadi 10,75 persen pada akhir Oktober 2006. Penurunan suku bunga SBI ini juga direspon oleh turunnya 14

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 suku bunga deposito pada semua tenor. Suku bunga deposito yang cenderung meningkat sejak Juli 2005 hingga mencapai 12,01 persen pada Januari 2006, sejak bulan Februari 2006 mulai menunjukkan penurunan menjadi 11,85 persen dan terus berlanjut hingga menjadi 10,01 persen pada Oktober 2006. Namun demikian, penurunan BI Rate dan suku bunga SBI tersebut masih ditransmisikan secara terbatas ke suku bunga kredit dalam arti penurunan suku bunga kredit berlangsung lebih lambat daripada penurunan BI Rate dan SBI. Hal ini terlihat pada penurunan suku bunga kredit modal kerja (KMK) dari 16,32 persen pada Januari 2006 menjadi 15,62 persen pada Oktober 2006. Demikian pula dengan suku bungan kredit investasi (KI), dalam periode yang sama juga mengalami penurunan dari 15,81 persen pada Januari 2006 menjadi 15,54 persen pada Oktober 2006. Sedangkan suku bunga kredit konsumsi (KK) dalam periode yang sama justru menunjukkan peningkatan, yaitu dari 17,08 persen menjadi 17,85 persen. Perkembangan suku bunga SBI dan perbankan dapat dilihat pada Tabel I.3 Tabel I.3 Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan 2001-2006 Periode SBI Kredit Deposito PUAB 1 Bln 3 Bln KMK KI KK 1 Bulan 2001 Desember 17,62 17,60 15,66 19,19 17,90 19,85 16,07 2002 Desember 12,99 13,12 8,89 18,25 17,82 20,21 12,81 2003 Desember 8,31 10,16 4,65 15,07 15,68 18,69 6,62 2004 Desember 7,43 7,29 3,76 13,41 14,05 16,57 6,43 2005 Januari 7,42 7,30 5,21 13,40 13,98 16,32 6,46 Februari 7,43 7,27 5,20 13,37 13,87 16,23 6,46 Maret 7,44 7,31 5,95 13,31 13,78 16,33 6,50 April 7,70 7,51 6,21 13,31 13,74 16,23 6,58 Mei 7,95 7,81 6,07 13,20 13,68 16,17 6,76 Juni 8,25 8,05 6,95 13,36 13,65 16,04 6,98 Juli 8,49 8,45 5,29 13,42 13,65 16,02 7,22 Agustus 8,75 8,54 8,55 13,40 13,62 15,96 7,55 September 10,00 9,25 6,92 14,51 14,47 16,27 9,16 Oktober 11,00 12,09 7,79 15,18 14,92 16,33 10,43 Nopember 12,25 12,6892 7,73 15,92 15,43 16,6 11,46 Desember 12,75 12,83 9,44 16,23 15,66 16,83 11,98, 2006 Januari 12,75 12,91 9,32 16,32 15,81 17,08 12,01 Februari 12,74 12,92 10,09 16,34 15,87 17,28 11,85 Maret 12,73 12,73 10,28 16,35 15,90 17,52 11,61 April 12,74 12,65 10,59 16,29 15,90 17,65 11,51 Mei 12,50 12,15 10,35 16,25 15,89 17,77 11,45 Juni 12,50 12,15 10,23 16,15 15,94 17,82 11,34 Juli 12,25 12,15 10,95 16,14 15,91 17,87 11,09 Agustus 11,75 11,36 11,00 16,05 15,85 17,83 10,80 September 11,75 11,36 8,90 15,82 15,66 17,88 10,47 Oktober 10,75 11,36 6,75 15,62 15,54 17,85 10,01 Sumber: Bank Indonesia 15

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Dengan memperhatikan realisasi SBI 3 bulan dalam sepuluh bulan pertama tahun 2006 dan perkiraan dalam dua bulan kedepan, maka selama tahun 2006 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 12 persen, lebih tinggi dari perkiraan semula dalam APBN sebesar 9,5 persen. Harga Minyak Internasional Dalam tahun 2006 harga minyak mentah internasional diperkirakan masih tinggi. Dalam tahun 2006, harga minyak mentah internasional diperkirakan masih akan berada pada level yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga minyak adalah kondisi geopolitik yang masih belum menentu di Irak, Nigeria, dan sengketa pengembangan teknologi nuklir oleh Iran. Konflik politik yang terjadi sampai saat ini di Irak telah menimbulkan gangguan terhadap pasokan minyak mentah dari negara tersebut. Pasokan minyak dari Nigeria juga mengalami gangguan sebagai akibat serangan yang dilakukan oleh kelompok militan terhadap fasilitas minyak di negara tersebut. Penolakan Iran atas permintaan dari negara-negara barat khususnya Amerika Serikat untuk menghentikan program nuklirnya menimbulkan ketegangan politik internasional yang berujung kepada meningkatnya harga minyak mentah internasional. Di samping faktor ketidakstabilan geopolitik di atas, tingginya harga minyak mentah internasional juga didorong oleh tetap kuatnya kinerja perekonomian Cina dan India yang menyebabkan tingginya permintaan minyak dari negara-negara tersebut. Meningkatnya harga minyak dunia juga disebabkan oleh kecemasan pasar atas menurunnya spare capacity produksi minyak dunia, dan kekhawatiran akan terbatasnya pasokan minyak mentah internasional di masa depan. Dalam tahun 2006 permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat sebesar 1,9 persen, lebih tinggi dari peningkatan permintaan yang terjadi selama tahun 2005 sebesar 1,7 persen. Sementara itu dari sisi pasokan, dalam tahun 2006 diperkirakan meningkat sebesar 800 ribu barel per hari (0,95 persen) dibandingkan tahun 2005, dari 84,4 juta barel per hari menjadi 85,2 juta barel per hari, yang terutama bersumber dari produksi minyak di negara-negara bekas Uni Soviet. Harga rata-rata minyak mentah jenis Dated Brent di pasar internasional pada periode Desember 2005 - Oktober 2006 mencapai US$63,33 per barel atau meningkat US$12,89 per barel (24,58 persen) dibanding harga pada periode Desember 2004 Oktober 2005 yang mencapai US$52,44 per barel. Harga rata-rata minyak mentah basket OPEC pada periode Desember 2005 - Oktober 2006 juga mengalami kenaikan dibanding periode Desember 2004 Oktober 2005, yaitu dari US$49,43 per barel menjadi US$61,02 per barel (naik 23,44 persen). 16

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Sejalan dengan meningkatnya harga minyak mentah internasional tersebut, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ ICP) dalam periode Desember 2005 - Oktober 2006 juga menunjukkan kecenderungan peningkatan yang relatif tinggi. Realisasi harga rata-rata minyak mentah ICP dalam periode tersebut sebesar US$64,52 per barel atau meningkat US$12,79 per barel (24,73 persen) dibandingkan periode Desember 2004 Oktober 2005. Dengan memperhatikan perkembangan harga minyak yang terjadi di pasar internasional dalam periode Desember 2005 - Oktober 2006, maka realisasi harga minyak mentah ICP dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai US$64 per barel. Perkembangan harga rata-rata minyak mentah di pasar internasional dapat dilihat pada Grafik I.3. Harga minyak mentah Indonesia(ICP) cenderung meningkat. 80 Grafik I.3 Perkembangan Harga Minyak Indonesia ICP, Desember 2004 - Oktober 2006 70 US$/barel 60 50 40 30 Des '04 Jan'05 Peb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan'06 Peb Mrt Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Dated Brent OPEC ICP Sumber: ESDM, Bloomberg Volume lifting minyak mentah Indonesia dalam APBN-P 2006 diperkirakan mencapai 1,0 juta barel per hari atau sama dengan realisasi tahun 2005, namun lebih rendah dibanding asumsi lifting dalam APBN 2006 sebesar 1,05 juta barel per hari. Belum berkembangnya lifting minyak tersebut terkait dengan cukup tingginya natural declining rate sumur-sumur minyak di Indonesia yang sudah tua yang mencapai sekitar 10 persen per tahun, sementara minyak dari sumur-sumur baru seperti Blok Cepu dan Lapangan Jeruk masih belum dapat berproduksi secara optimal. Dalam tahun 2006 volume lifting ICP diperkirakan sebesar1,0 juta barel per hari. Neraca Pembayaran Perkiraan membaiknya perekonomian dunia tahun 2006 dan terjaganya stabilitas ekonomi makro Indonesia berdampak terhadap kinerja neraca pembayaran. Hal ini terlihat pada posisi cadangan devisa yang diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bila Pada tahun 2006 cadangan devisa diperkirakan meningkat. 17

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 Dalam tahun 2006, realisasi surplus neraca transaksi berjalan (current accounts) diperkirakan lebih tinggi. Realisasi surplus neraca perdagangan dalam tahun 2006 diperkirakan meningkat. Realisasi neraca jasajasa dalam tahun 2006 diperkirakan defisit. dalam tahun 2005 cadangan devisa mencapai US$34.724 juta, maka dalam APBN-P 2006 cadangan devisa diperkirakan naik sebesar US$4.780 juta menjadi US$39.504 juta. Meningkatnya posisi cadangan devisa tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya ekspor terkait dengan menguatnya permintaan dunia dan meningkatnya arus masuk modal asing. Dalam APBN-P 2006, realisasi surplus neraca transaksi berjalan (current accounts) diperkirakan sebesar US$4.864 juta, yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan neraca transaksi berjalan di dalam APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$1.661 juta. Meningkatnya surplus transaksi berjalan tersebut terutama bersumber dari meningkatnya surplus neraca perdagangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan meningkatnya defisit neraca jasa-jasa. Realisasi surplus neraca perdagangan dalam APBN-P 2006 diperkirakan mencapai US$28.360 juta atau meningkat dari perkiraan dalam APBN 2006 sebesar US$16.421 juta. Kenaikan tersebut terkait dengan peningkatan ekspor di satu sisi dan di sisi lain impor mengalami penurunan. Realisasi nilai ekspor diperkirakan mencapai US$96.134 juta, atau 9,98 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan APBN 2006. Meningkatnya ekspor tersebut antara lain bersumber dari ekspor nonmigas dan migas sebagai akibat dari perkiraan lebih tingginya harga beberapa komoditas dan harga minyak di pasar internasional. Sementara itu, realisasi nilai impor diperkirakan mencapai US$67.774 juta atau lebih rendah 4,53 persen dari perkiraan pada APBN 2006 sebesar US$70.987 juta. Nilai impor yang lebih rendah tersebut terutama didorong oleh menurunnya impor migas sebagai dampak dari kenaikan harga BBM yang dapat menahan laju kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri. Sedangkan penurunan impor nonmigas diperkirakan karena adanya penurunan domestic demand. Dari sisi neraca jasa-jasa, dampak Bom Bali II masih dirasakan di daerah tujuan wisata utama yang menyebabkan penerimaan devisa dari sektor pariwisata mengalami penurunan yang cukup signifikan. Di samping itu, cukup besarnya transfer ke luar negeri atas pendapatan investasi asing yang berasal dari PMA berdampak pada semakin besarnya defisit neraca jasa-jasa secara keseluruhan. Realisasi neraca jasa-jasa dalam APBN-P 2006 diperkirakan defisit sebesar US$23.496 juta atau lebih besar daripada defisit pada tahun 2005 yang mencapai sebesar US$21.982 juta. Dalam APBN-P 2006, realisasi neraca modal secara keseluruhan diperkirakan surplus sebesar US$3.255 juta dibandingkan dengan APBN 18

Bab I Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2006 tahun 2006 yang mengalami defisit sekitar US$68 juta. Surplus tersebut juga lebih baik dibandingkan dengan realisasi neraca modal tahun sebelumnya yang mengalami defisit sebesar US$3.064 juta. Membaiknya posisi neraca modal tersebut terkait dengan membaiknya perkiraan realisasi neraca modal sektor publik yang mengalami surplus sebesar US$836 juta dibandingkan dengan APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$2.493 juta. Surplus neraca modal sektor publik tersebut disebabkan karena penerbitan obligasi pemerintah dalam valuta asing (global bond) pada bulan Maret 2006 dan tingginya pembelian surat utang negara (SUN) oleh investor luar negeri. Realisasi neraca modal sektor swasta dalam APBN-P 2006 diperkirakan mencatat surplus sebesar US$2.419 juta, lebih tinggi dari realisasi tahun 2005 yang mencatat defisit sebesar US$7.069 juta, namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN tahun 2006 sebesar US$2.425 juta. Aliran masuk penanaman modal asing (PMA) diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan APBN 2006 antara lain karena belum kondusifnya iklim investasi di Indonesia. Dengan demikian, PMA dalam APBN-P 2006 diperkirakan mengalami penurunan surplus menjadi US$121 juta dibandingkan dengan APBN 2006 sebesar US$2.874 juta. Investasi jangka pendek (portfolio investment) diperkirakan masih surplus sebesar US$1.110 juta, lebih baik dibandingkan dengan posisi tahun 2005, meskipun tidak sebesar APBN 2006 yang mencapai US$2.449 juta. Sementara itu, investasi lainnya (neto) dalam APBN-P 2006 diperkirakan mengalami surplus sebesar US$1.188 juta, lebih baik dibandingkan dengan APBN 2006 yang mengalami defisit sebesar US$2.898 juta. Hal tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya kewajiban pembayaran luar negeri yang telah jatuh tempo. Ringkasan neraca pembayaran Indonesia tahun 2005, APBN dan APBN-P tahun 2006 dapat dicermati pada Tabel I.4. Dalam tahun 2006, realisasi neraca modal secara keseluruhan diperkirakan surplus. 19