TITIS RONALITA RESMADEWI NIM

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5/3/2011 DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) OBJEK BEA PEROLEHAN HAK ATAS PENGERTIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

PERPAJAKAN (SEBUAH PENGANTAR) Disampaikan oleh: Rr. Indah Mustikawati, M.Si., Ak.

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

POSBAKUMADIN CIREBON

BAHAN MATERI MATA PELAJARAN EKONOMI DAN BISNIS KOMPETENSI DASAR KETENTUAN PERPAJAKAN KELAS XI AP TAHUN PELAJARAN 2014/2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Perpajakan / Elearning BPHTB Dosen: VED.,SE.,MSi

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

BAB II BAHAN RUJUKAN

Pembedaan dan Penggolongan Pajak didasarkan pada suatu kriteria,seperti:

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. ini pemungutnya dilaksakan oleh Pemerintah Pusat khususnya Depertemen

BAB II LANDASAN TEORI

TATA CARA PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ATAS JASA ANGKUT DAN PEMASANGAN BANTALAN BESI REL KERETA API OLEH CV

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

Disusun Oleh : Amalia Majid ( ) Dwi Fatehatul Ula ( ) Aulia Amrina Rosada ( ) Silvia Kusumawati ( ) Kelas B

BAB II TINJAUAN PUSATAKA

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perpajakan. Aryo Prasetyo, S.Kom., MMSI Vokasi Akuntansi UI, STIE Dewantara, IBI K-57. (Sesi 1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

KETENTUN PELAKSANA 14/PMK.03/2009 (NPOPTKP) DST. atep adya barata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Anggaran

TINJAUAN UMUM HUKUM PAJAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara.adapun beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

SISTEM PENGAWASAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA TEGAL

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang,

Dasar-dasar Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah khususnya pemerintah kota merupakan

TENTANG` BUPATI PATI,

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERAN ADMINISTRASI NOTARIS/PPAT DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN BPHTB TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI STUDI KASUS PADA KANTOR NOTARIS DAN PPAT IS HARIYANTO IMAM SALWAWI, SH JEMBER LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md.) Perpajakan Program Studi Diploma III Perpajakan Jurusan Ilmu Administrasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember Oleh TITIS RONALITA RESMADEWI NIM 040903101098 PROGRAM STUDI DIPLOMA III PERPAJAKAN JURUSAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER 2007

DAFTAR ISI Judul... Halaman Persembahan... Halaman Motto... Halaman Pernyataan... Halaman Pengesahan... Halaman Persetujuan... Ringkasan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... BAB 1. PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah.... 1.3 Tujuan dan Manfaat PKN... 1.3.1 Tujuan PKN... 1.3.2 Manfaat PKN... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.. 2.1.Pengertian dan Fungsi Pajak.. 2.1.1 Pengertian Pajak..... 2.1.2 Fungsi Pajak..... 2.1.3 Pengelompokan Pajak..... 2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak.. 2.2.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 2.2.1 Pengertian BPHTB... 2.2.2 Dasar Hukum BPHTB... 2.2.3 Dasar Pengenaan Pajak... 2.2.4 Nilai Perolehan Objek Tidak Kena... 2.2.5 Tarif Pajak... 2.2.6 Saat Terutangnya Pajak... 2.2.7 Tempat pajak terutang...... Halaman i ii iii iv v vi vii viii x xii xiii xiv 1 1 3 3 3 3 5 5 5 5 6 7 8 8 9 9 9 10 11 11 x

2.2.8 Tempat pembayaran... 2.2.9 SKBKB... 2.2.10 SKBKBT... 2.2.11 STB... 2.2.12 Keberatan dan Banding... 2.2.13 Tata Cara Penyelesaian Banding... 2.2.14 Pengembalian dan Pembayaran BPHTB... 2.2.15 Ketentuan Bagi Pejabat... 2.2.16 Pengertian Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan BPHTB BAB 3. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 3.1 Sejarah Singkat.... 3.2 Struktur Organisasi..... 3.3 Kegiatan Usaha... 3.4 Personalia.... BAB 4. HASIL PRAKTEK KERJA NYATA (PKN)...... 4.1 Deskripsi Pelaksanaan PKN... 4.1.1 Tempat, Waktu dan Kegiatan PKN.... 4.1.2 Prosedur Pembuatan Akta Otentik... 4.2 Mekanisme Pembayaran Pajak... 4.3 Tata Cara Pelaksanaan BPHTB..... 4.3.1 Perhitungan BPHTB di Kantor Notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH... 4.3.2 Pemungutan BPHTB di Kantor Notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH... 4.3.3 Penyetoran BPHTB di Kantor Notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH.... 4.3.4 Pelaporan BPHTB di Kantor Notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH.... 4.4 Penilaian Terhadap Lembaga Tempat PKN dalam Melaksanaan Kewajiban Perpajakan... BAB 5. SIMPULAN....... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 11 12 13 13 14 15 15 16 17 19 19 20 22 22 24 24 26 27 41 43 43 44 45 45 45 47 xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu pemerintah menetapkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional. Sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri yang berupa pajak. Peran pajak di negara kita sangatlah penting, pajak tidak hanya mempunyai arti penting untuk meningkatkan penerimaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga sebagai kewajiban dalam kebijaksanaan fiscal dalam rangka menjaga perekonomian nasional untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi. Negara yang sedang berkembang melaksanakan tujuan tersebut sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan pekerjaan, stabilisasi, distribusi, pendapatan dan kekayaan. Salah satu sumber penerimaan negara terbesar adalah dari sektor pajak, dan memberikan sumbangan yang sangat besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Definisi pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara yang sifatnya dapat dipaksakan karena berdasarkan pada undang-undang dan tidak mendapatkan kontraprestasi individual oleh pemerintah secara langsung dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2003). Pengeluaran umum yang dimaksud adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang ditujukan untuk pembangunan masyarakat. Fungsi pajak adalah sebagai sumber dana pemerintahan untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya (fungsi budgeter) dan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (fungsi reguler). Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : pajak negara atau pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang sedang berlaku di Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak 1

2 Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pajak daerah dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu Pajak Daerah Tingkat I dan Pajak Daerah Tingkat II. Pada setiap jenis pajak terdapat cara penghitungan yang berbeda tetapi pada dasarnya tata cara pelaporan dan penyetoran pajak adalah sama. Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Peranan penerimaan pajak untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan tersebut sangat penting, sehingga pemerintah dengan berbagai cara selalu berusaha untuk mensukseskan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan ketentuan peraturan undang undang perpajakan yang berlaku, maka Menteri Keuangan menunjuk badan tertentu atau instansi pemerintah sebagai pemungut Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang bertugas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak kepada badan atau instansi tertentu. Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember sebagai badan usaha milik perseorangan yang bergerak di bidang penyelesaian masalah administrasi dan hukum jual beli tanah dan bangunan serta aktiva tetap lainnya. Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diterima oleh Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan tanah dan bangunan yang berasal dari transaksi yang dilakukan oleh klien Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember dengan pihak lain. Hasil penerimaan

3 BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud membahas masalah pengenaan dan proses pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sehingga penulis menulis laporan Praktek Kerja Nyata dengan judul Mekanisme pengadministrasian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam laporan ini adalah Bagaimanakah pelaksanaan kegiatan administrasi perpajakan khususnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku? 1.3 Tujuan dan Manfaat Praktek Kerja Nyata (PKN) 1.3.1 Tujuan Praktek Kerja Nyata Tujuan Praktek Kerja Nyata adalah sebagai berikut. a. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. b. Mengetahui secara langsung mengenai pelaksanaan perpajakan, khususnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada Kantor notaris dan PPAT Is Hariyanto Imam Salwawi, SH Jember. c. Menambah wawasan dan pengalaman kerja sebagai penerapan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan pada program studi DIII Perpajakan.

4 1.3.2 Manfaat Praktek Kerja Nyata Manfaat Praktek Kerja Nyata antara lain : a. Sebagai bekal pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam menghadapi tantangan kerja nyata dimasa yang akan datang sehubungan dengan perpajakan. b. Memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kantor Akta Notaris Ishariyanto Imam Salwawi, SH Jember. c. Sebagai sarana pembanding antara ilmu yang di dapat di bangku perkuliahan dengan kondisi yang sebenarnya di tempat kerja.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2003 :1 ). Hal ini dipertegas pendapatnya oleh Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat kontraprestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Brotodiharjo,1978 : 2 ). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: a. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak adalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan Undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan ayat dengan ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2.1.2 Fungsi Pajak Fungsi pajak menurut Soemitro dibedakan menjadi dua yaitu: 5

6 a. Fungsi Budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara (Mardiasmo, 2003 :1). Pengeluaran negara terdiri dari: 1) Pengeluaran Rutin: APBN/APBD, Pembayaran Pegawai Negeri. 2) Pengeluaran Pembangunan: Pembangunan Jalan-jalan umum. b. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial. (Mardiasmo, 2003 :2 ) 1) Bidang Ekonomi: a) Pajak yang tinggi dikenakan pada minuman keras untuk mengurangi konsumsi atas minuman keras. b) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c) Tarip pajak untuk ekspor 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia 2) Bidang Sosial: a) Menciptakan jaminan sosial untuk golongan-golongan yang berpenghasilan kecil b) Mengusahakan pembagian lebih merata dalam penghasilan dan kekayaan nasional. 2.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut golongannya pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain (Mardiasmo, 2003 : 5 ). Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Tidak Langsung

7 Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (Mardiasmo, 2003:5 ) Contoh: Pajak Pertambahan Nilai Menurut sifatnya pajak dibedakan menjadi dua yaitu: a. Pajak Subyektif Pajak subyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak (Mardiasmo, 2003 : 6 ). b. Pajak Obyektif Pajak obyektif adalah pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak (Mardiasmo, 2003 : 6 ). Menurut lembaga pemungutannya pajak dibedakan menjadi dua yaitu: a. Pajak Pusat Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara (Mardiasmo, 2003 : 6 ). Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah (Mardiasmo, 2003 : 6). Pajak Daerah terdiri atas: 1) Pajak Propinsi Contohnya: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Kabupaten Pajak kabupaten atau kota contohnya: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan. 2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Prof. Dr. AJ. Adriani membagi sistem pemungutan pajak menjadi tiga yaitu sebagai berikut:

8 a. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. b. Ada kerjasama antara wajib pajak dengan pihak fiskus. c. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang. Dalam literatur yang terbaru, sistem atau teknik pemungutan pajak dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada wajib pajak sendiri. 2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. b. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah atau pihak fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak fiskus 2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. c. With holding System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah atau pihak fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 2.2 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

9 2.2.1 Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak. (Mardiasmo, 2003:298). Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dikenakan atas perolehan tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. 2.2.2 Dasar Hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Undangundang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 (Mardiasmo, 2003:298). Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas barang dan jasa harus didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku dan terbaru karena pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus didasarkan pada hukum yang berlaku. 2.2.3 Dasar Pengenaan Pajak Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP ditentukan sebesar (Mardiasmo, 2003:300): a. Harga transaksi, dalam hal: jual beli. b. Nilai pasar objek pajak, dalam hal: 1) Tukar-menukar; 2) Hibah; 3) Hibah wasiat; 4) Waris; 5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya; 6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 7) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 8) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;

10 9) Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak; 10) Penggabungan usaha; 11) Peleburan usaha; 12) Pemekaran usaha; 13) Hadiah. c. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal: penunjukan pembeli dalam lelang. d. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besar NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari pada NJOP PBB. Contoh : Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan dengan NPOP (harga transaksi) Rp. 100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam pengenaan PBB adalah Rp.120.000.000,00, maka yang dikenakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah Rp.120.000.000,00 dan bukan Rp.100.000.000,00. 2.2.4 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan (Mardiasmo, 2003:300). 2.2.5 Tarif Pajak Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Cara Menghitung BPHTB (Mardiasmo, 2003:301):

11 BPHTB= Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif = (NPOP NPOPTKP) x 5% Contoh: Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten Jember tersebut Rp.20.000.000,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.70.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp. 20.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp. 50.000.000,00 BPHTB yang terutang = Rp.50.000.000,00 x 5% =Rp.2.500.000,00 2.2.6 Saat Terutangnya Pajak Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah (Mardiasmo, 2003:302) a. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk: 1) Jual-beli; 2) Tukar-menukar; 3) Hibah; 4) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya; 5) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 6) Penggabungan usaha; 7) Peleburan usaha; 8) Pemekaran usaha; 9) Hadiah. b. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk : lelang. c. Sejak tanggal putusan pengadilan yang memunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk : putusan hakim. d. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan, untuk : hibah wasiat dan waris. e. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak,

12 untuk : f. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak. g. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak. 2.2.7 Tempat Pajak Terutang Tempat pajak terutang adalah di wilayah: a. Kabupaten, b. Kota, atau c. Propinsi. Tempat tersebut meliputi tanah dan atau bangunan (Mardiasmo, 2003:302). 2.2.8 Tempat Pembayaran Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui (Mardiasmo, 2003:303): a. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah. b. Kantor Pos dan Giro c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 2.2.9 Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) Menurut (Mardiasmo, 2003:303), SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak. Sanksi SKBKB terjadi jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi adminstrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB. Contoh : Tuan Adi memperoleh tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Jember pada tanggal 29 Maret 2002 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.240.000.000,00. Nilai

13 Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Jember ditetapkan sebesar Rp.20.000.000,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.240.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp. 20.000.000,00 - Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp.180.000.000,00 BPHTB yang terutang = 180 juta x 5% = Rp. 9.000.000,00 Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Pajak sebenarnya adalah Rp.310.000.000,00. Oleh karena itu, diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2002. Besarnya BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut : Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.310.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp. 20.000.000,00 - Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp.290.000.000,00 BPHTB yang seharusnya terutang = Rp.290.000.000,00 x 5% Rp.14.500.000,00 BPHTB yang telah dibayar Rp 9.000.000,00 BPHTB yang kurang dibayar Rp. 5.500.000,00 Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2002 sampai dengan 30 Desember 2002 = 10 bulan x 2% x Rp.5.500.000,00 = Rp.1.100.000,00 Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB = Rp.5.500.000,00 + Rp.1.100.000,00 = Rp.6.600.000,00. 2.2.10 Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2003:304).