BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS EFEKTIVITAS PAJAK HOTEL DAN PAJAK HIBURAN SEBAGAI PENUNJANG PAD KOTA SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 18 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG,

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR,

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB II LANDASAN TEORI. (2011), pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pajak

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

1 PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 28 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANGKA TENGAH

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI,

BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 2 14 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 3 WALIKOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

BUPATI BULULUKUMBA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA Nomor : 7 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

PEMERINTAH KOTA BLITAR

Menimbang: a. bahwa pajak hiburan merupakan salah satu sum be r pendapatan daerah yang penting guna membiayai

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH KOTA MALANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 27 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. warga negaranya yang memenuhi syarat secara hukum berhak wajib untuk

PROVINSI BANTEN BUPATI TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

TINJAUAN HUKUM MEKANISME PENGELOLAAN PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 3 Tahun 2011 Seri: C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2011

PEMERINTAH KABUPATEN TANGGAMUS

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGGAI,

BAB II LANDASAN TEORI. Undang nomor 16 tahun 2009, sebagai berikut :

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 10 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal dengan istilah

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 49 TAHUN 2012 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK DAERAH (SSPD)

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 26 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HOTEL

BUPATI WONOSOBO PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar negri. Kondisi di

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BANTUL PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PAJAK HIBURAN BUPATI BANTUL,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN

WALIKOTA SALATIGA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SALATIGA,

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENT ANG TATACARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAERAH WALIKOTA MOJOKERTO

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA TAHUN : 2014

WALIKOTA MADIUN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 18 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 17 TAHUN 2012 SERI B.9 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SUMBAWA BARAT

BUPATI MOJOKERTO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN,

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HOTEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR,

BUPATI PELALAWAN PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Tujuan lainnya untuk

PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR : 12 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

WALIKOTA TEGAL PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL

Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Malang (Periode )

WALIKOTA PEMATANGSIANTAR PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HOTEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HOTEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak terlepas dari adanya pembangunan daerah. Saat ini di Indonesia telah

BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 08 TAHUN 2005 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI,

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA BANDA ACEH,

BUPATI TELUK WONDAMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pajak dan Ruang Lingkupnya Menurut Marihot P. Siahaan (2005:7), Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Menurut Marihot P. Siahaan (2005:7), Berdasarkan definisi pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu sebagai berikut : a. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya. b. Pembayaran pajak harus masuk kepada kas Negara, yaitu kas pemerintah pusat atau kas pemerintah daerah (sesuai dengan jenis pajak yang dipungut). c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi dari Negara kepada para pembayar pajak.

d. Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontraprestasi dari Negara kepada para pembayar pajak. e. Pajak dipungut karena adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang menurut peraturan perundang undangan pajak dikenakan pajak. f. Pajak memiliki sifat dipaksakan. Artinya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban membayar pajak, dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Erly Suandy (2005 : 14), terdapat dua fungsi pajak yaitu fungsi budgetair (finansial) dan fungsi regulerend (fungsi mengatur) : a. Fungsi Budgetair / Finansial Fungsi budgetair / finansial yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas Negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran Negara. Penerimaan dari sektor dewasa ini menjadi tulang punggung penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahun anggaran 2004 penerimaan dalam negeri Rp 403 triliun, terdiri dari penerimaan pajak Rp 279,2 triliun sedangkan penerimaan Negara bukan pajak Rp 123,8 triliun terdiri dari penerimaan sumber daya alam Rp 92,4 triliun, laba BUMN Rp 9,1 triliun dan pendapatan lainnya Rp 22,3 triliun. Penerimaan pajak selama pelita VI ditargetkan tumbuh 17,3% rata rata per tahun.

b. Fungsi Regulerend / Fungsi Mengatur Fungsi regulerend / fungsi mengatur pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur baik masyarakat di bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut : a) Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. b) Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. c) Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk dalam negeri. 2.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut Mardismo (2005: 5), pengelompokan pajak terdiri dari: a. Menurut Golongan 1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

b. Menurut Sifatnya 1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. 2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. c. Menurut lembaga pemungutanya 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. 2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : (a) Pajak Propinsi, terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaran di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. (b) Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir.

2.1.4 Cara Pemungutan Pajak Menurut Erly Suandy (2005:41); dalam era globalisasi sekarang ini batas Negara menjadi tidak jelas bagi wajib pajak dalam mencari dan memperoleh penghasilan, sehingga pemungutan pajak ini penting untuk menentukan Negara mana yang berhak memungut pajak. Ada tiga macam cara dalam pemungutan pajak : 1) Asas Domisili (tempat tinggal) Dalam asas ini pemungutan pajak penghasilan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak dalam suatu Negara. Negara dimana wajib pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap wajib pajak tanpa melihat darimana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh, baik dalam negeri maupun luar negeri dan tanpa melihat kebangsaan / kewarganegaraan wajib pajak tersebut. 2) Asas Sumber Dalam asas ini pemungutan pajak didasarkan pada sumber pendapatan/penghasilan dalam suatu Negara. Menurut asas ini, Negara yang menjadi sumber pendapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili kewarganegaraan wajib pajak. 3) Asas Kebangsaan (Nationaliteit) Dalam asas ini, pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari wajib pajak, tanpa melihat darimana

sumber pendapatan/penghasilan tersebut maupun dinegara mana tempat tinggal (domisili) dari wajib pajak yang bersangkutan. 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2005:7), sistem pemungutan pajak terbagi menjadi tiga, yaitu : 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus; b. Wajib pajak bersifat pasif; c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri;

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3) WithHolding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-Cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 2.1.6 Manfaat Pajak Masyarakat jelas perlu melihat apa manfaat nyata dari pajak yang telah mereka bayarkan. Dengan begitu, mereka dapat melihat bahwa pajak yang mereka bayarkan ada kegunaannya untuk bangsa, dan mereka dapat bangga karena telah membayar pajak. Pemerintah perlu transparansi terhadap penggunaan dana pajak. Jika pemerintah mampu melakukan hal ini, maka beban membayar pajak bukan tidak mungkin akan terasa jauh lebih ringan di pundak wajib pajak. 2.2 Pajak Daerah Menurut Marihot P. Siahaan (2005:10), Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut Indonesia Tax Review (2007: 17) terdapat dalam Rencana Undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah adalah pemberian sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak memenuhi aturan pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 139 ayat (1) dan ayat (5) RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, mengatur tentang kewajiban daerah untuk meminta persetujuan pihak di atasnya sebelum dan sesudah menetapkan suatu peraturan daerah baru, serta kewajiban memperhatikan pemberlakuan yang telah dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan menurut Kaho (1985: 17) pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public Investment. 2.2.1 Fungsi Pajak Daerah Sebagaimana fungsi pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai fungsi utama namun membedakan pajak pada umumnya di peruntukkan untuk Negara sedangkan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah. 2.2.2 Objek, Subjek, dan Wajib Pajak Daerah Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan, yang dapat dikenakan pajak. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer,

Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 1. Pajak Hotel a. Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan. Termasuk dalam objek hotel yang dimaksud adalah: hotel, motel, losmen, gubug pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10, rumah penginapan, dan kegiatan usaha lainnya yang sejenis. b. Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel c. Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. 2. Pajak Restoran a. Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran. Termasuk dalam objek restoran yang dimaksud adalah: restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, warung, depot, bar, pujasera/food court, toko roti/bakery, jasa boga/katering dan kegiatan usaha lainnya.

b. Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman restoran. c. Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran. 3. Pajak Hiburan a. Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Termasuk dalam objek hiburan yang dimaksud adalah: tontonan film; pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana; kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya; pameran; diskotik, karaoke, klab malam dan sejenisnya; sirkus, akrobat, dan sulap; permainan bilyard, golf dan bowling; pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran; dan pertandingan olahraga. b. Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan. c. Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. 4. Pajak Reklame a. Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame. Termasuk dalam objek reklame yang dimaksud adalah: reklame papan/billboard. 2.2.3 Jenis Pajak Daerah Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 tahun 2008 tentang Pajak Daerah, jenis pajak daerah meliputi:

a. Pajak Hotel adalah pajak yang dipungut atas pelayanan yang disediakan dengan pembayaran kepada hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan/atau fasilitas lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali pertokoan dan perkantoran. b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk boga/katering. c. Pajak Hiburan adalah pajak atas pelayanan hiburan, sedangkan yang dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga. d. Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau badan

yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. e. Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. f. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. g. Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bantuan dibawah permukaan tanah. h. Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchilap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. 2.2.4 Tarif Pajak Daerah Menurut Marihot P. Siahaan (2005:61), tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah, yaitu : a. Tarif PKB & KAA ditetapkan paling tinggi 5%; b. Tarif BBNKB & KAA ditetapkan paling tinggi 10%;

c. Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi 5%; d. Tarif PPPABTAP ditetapkan paling tinggi 20%; e. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10%; f. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10%; g. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35%; h. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%; i. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tiggi 10%; j. Tarif Pajak Pengembalian Bahan Galian Golongan C ditetapkan paling tinggi 20%; dan k. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 20%. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang membebani. Sedangkan tarif paling rendah untuk memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk menetapkan dan mengatur sendiri besarnya tarif sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya. Tarif pajak daerah kota ditetapkan dengan memperhatikan kondisi masing-masing daerah. Sedangkan Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 tahun 2008 tentang Pajak Daerah, tarif pajak daerah yaitu: 1. Tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); 2. Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen); 3. Tarif pajak hiburan ditetapkan sebagai berikut : a. Tontonan film dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);

b. Pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); c. Pagelaran kesenian, musik dan/atau tari yang bersifat tradisional yang perlu dilindungi dan dilestarikan karena mengandung nilai-nilai tradisi yang luhur dan kesenian yang bersifat kreatif yang bersumber dari kesenian tradisional dikenakan pajak 5% (lima persen); d. Kontes kecantikan dan sejenisnya dikenakan pajak 35% (tiga puluh lima persen); e. Kontes binaraga dan sejenisnya dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); f. Pameran komputer, elektronik, otomotif, seni budaya, seni ukir, busana dan/atau pameran lainnya dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); g. Diskotik, karaoke, kelab malam dan sejenisnya dikenakan pajak 35% (tiga puluh lima persen); h. Sirkus, akrobat, sulap dan sejenisnya dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); i. Permainan bilyard dikenakan pajak 25% (dua puluh lima persen); j. Permainan golf dan bowling dikenakan pajak 35% (tiga puluh lima persen);

k. Pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan dikenakan pajak 15% (lima belas persen); l. Panti pijat, refleksi dan mandi uap/spa, dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); m. Pusat kebugaran (fitness center) dikenakan pajak 10% (sepuluh persen); n. Pertandingan olahraga dikenakan pajak 15% (lima belas persen). 4. Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen); 5. Tarif pajak penggunaan listrik ditetapkan paling tinggi 6% (enam persen); 6. Tarif pajak parkir ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen); 7. Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen); 8. Tarif pajak sarang burung wallet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). 2.2.5 Cara Perhitungan Pajak Daerah Menurut Marihot P. Siahaan (2005:61), besarnya pokok pajak dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dasar pengenaan pajak. Dalam menghitung pajak daerah yang dimaksud dengan dasar pengenaan pajak adalah besarnya uang yang dikeluarkan oleh subjek pajak. Cara perhitungan ini digunakan untuk setiap jenis pajak daerah, yang juga merupakan dasar perhitungan untuk semua jenis pajak pusat.

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak 1. Pajak Hotel Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Pajak hotel terhutang = penghasilan bruto dalam 1 bulan x tarif pajak. 2. Pajak Restoran Besarnya pokok pajak restoran yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Pajak restoran terhutang = penghasilan bruto dalam 1 bulan x tarif pajak. 3. Pajak Hiburan Menghitung pajak hiburan didasarkan atas objek pajak hiburan yang terdiri dari pertunjukan film, pertunjukan kesenian dan sejenisnya, pergelaran musik dan tari, diskotik, karaoke, klub malam, permainan billiard, permainan ketangkasan dan sejenisnya. Panti pijat dan mandi uap, pertandingan olah raga, taman wisata, dan sejenisnya. Pajak hiburan terhutang = jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton atau menikmati hiburan x tarif pajak.

4. Pajak Reklame Besarnya pajak reklame dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame. Pajak reklame terutang = nilai sewa x tarif pajak. Nilai sewa adalah menjumlahkan nilai strategis dan nilai jual objek pajak. Sedangkan nilai strategis adalah tempat yang sudah ditentukan nilai jualnya/meter persegi berdasarkan tabel yang ditetapkan oleh kepala daerah. 5. Pajak Penerangan Jalan Besarnya pajak penerangan jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik. Pajak penerangan jalan = tarif pajak x nilai jual listrik. 6. Pajak Parkir Besarnya pajak parkir terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak daerah. Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Pajak parkir terhutang = tarif pajak x pembayaran yang dibayar untuk pemakaian tempat parkir.

2.2.6 Sistem Pemungutan Pajak Daerah Menurut Marihot P. Siahaan (2005:61), pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem yaitu : a. Dibayar sendiri oleh wajib pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem self assessment, yaitu sistem pengenaan pajak yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD b. Ditetapkan oleh kepala daerah. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem official assessment, yaitu sistem pengenaan pajak yang dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan. c. Dipungut oleh pemungut pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem with holding, yaitu sistem pengenaan pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya, antara lain Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, sebagai pemungut Pajak Penerangan Jalan atas penggunaan tenaga listrik yang disediakan PLN. 2.2.7 Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Penghapusan Piutang Pajak Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 31 menentukan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak kedaluwarsa setelah melampaui jangka

waktu lima tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali wajib pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah. Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Kedaluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila terpenuhi keadaan diantaranya : a. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; dan b. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung. Jika diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. Piutang pajak daerah yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak daerah yang kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 pasal 74. Penghapusan piutang pajak dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah. Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana sekurang-kurangnya memuat : a. Nama dan alamat wajib pajak atau penanggung pajak; b. Jumlah piutang pajak; c. Tahun pajak; dan d. Jenis pajak.

Permohonan penghapusan piutang pajak dilampiri dengan beberapa dokumen pendukung, yaitu : a. Bukti salinan/tindasan SKPD, SKPDKB, dan SKPDKBT b. Surat keterangan dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah bahwa piutang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi; dan c. Daftar piutang pajak yang tidak tertagih Berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak daerah yang diajukan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah, kepala daerah menetapkan penghapusan piutang pajak dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari tim yang dibentuk oleh kepala daerah. 2.3 Pendapatan Asli Daerah Setiap daerah memiliki wewenang dan kewajiban untuk menggali sumber keuntungan sendiri dengan melakukan segala upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan demikian pemerintah daerah dapat melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan yang semakin mantap demi kesejahteraan masyarakatnya. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah merupakan suatu penerimaan daerah yang berasal dari sumber sumber wilayahnya sendiri

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan asli daerah harus betul betul dominan dan mampu memikul beban kerja yang diperlukan hingga pelaksanaan otonomi daerah tidak dibiayai dari subsidi atau dari sumbangan dari pihak ketiga atau pinjaman daerah. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri atas: 1. Pajak Daerah: a. Pajak Propinsi: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. b. Pajak Kabupaten / Kota: (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian. Gol. C; (vii) Pajak Parkir. 2. Retribusi daerah: (i) Retribusi Jasa Umum; (ii) Retribusi Jasa Usaha;

(iii) Retribusi Perijinan Tertentu. 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain PAD yang sah mencakup: a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b.hasil pemanfaatan/pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; c. Jasa giro; d. Pendapatan bunga; e. Tuntutan ganti rugi; f. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan g. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2.3.1 Sumber Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan bagian dari sumber pendapatan daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah. Sumber sumber pendapatan asli daerah tidak dapat dipisahkan dari pendapatan daerah secara keseluruhan. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. 2.4 Pajak Hotel Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 dan 21, pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh

hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh (Siahaan,2009:299-300). 2.4.1 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel Siahaan (2009:301) menyatakan bahwa dasar hukum pemungutan pajak hotel adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 4. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 5. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 09 tahun 2003 tentang Pajak Hotel. 2.4.2 Objek Pajak Hotel Siahaan (2009:301-303) menyatakan bahwa objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.

Jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. 2.4.3 Subjek dan Wajib Pajak Hotel Siahaan (2009:303-304) menyatakan yang menjadi subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sedangkan wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang penginapan, termasuk di dalamnya pengusaha tempat kos, wisma, pondok wisata, dan gedung pertemuan yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk menyetor pajak yang terutang. 2.4.4 Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Hotel Siahaan (2009:304-305) menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel. Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel. Tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

2.4.5 Pelaporan Pajak Hotel Siahaan (2009:309-310) menyatakan bahwa wajib pajak hotel wajib melaporkan kepada bupati/walikota. Wajib pajak yang telah memiliki NPWPD setiap awal masa pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). SPTPD diisi dengan jelas, lengkap, dan benar serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan disampaikan kepada walikota/bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. 2.4.6 Perhitungan Pajak Hotel Siahaan (2009:305) menyatakan bahwa perhitungan pajak hotel adalah sesuai dengan rumus berikut: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran atau yang Seharusnya dibayar Kepada Hotel 2.5 Pajak Hiburan Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia popular, hiburan adalah sesuatu yang sifatnya menyenangkan. Hiburan itu sendiri berasal dari kata hibur (menghibur) yang artinya membuat senang orang lain. Dengan demikian pajak hiburan dapat dikatakan sebagai pajak yang dipungut terhadap sesuatu yang sifatnya dapat menyenangkan atau membuat senang orang lain atau membuat orang lain terhibur. Soelarno (1999:186) mendefinisikan pajak hiburan sebagai pertunjukan dan keramaian berupa sandiwara, wayang, bioskop,

pertunjukan-pertunjukan di dalam warung-warung kopi, cabaret, variete dan sirkus, pertunjukan menyanyi dan musik, balet, dansa, fancy, fair, pesta-pesta, pameran dan pidato-pidato kecuali pameran dan pidato-pidato yang sifatnya penerangan, ilmiah, atau keagamaan. Pertunjukan-pertunjukan di dalam pasar malam, pertunjukan dengan alat musik, pertandingan-pertandingan, dan pertunjukan olah raga, permainan-permainan yang tergabung meminta pembayaran dari penontonnya. Untuk sejumlah kabupaten/kota, pajak hiburan adalah salah satu jenis pajak dengan hasil yang besar. Disamping itu, ini juga cukup berhubungan penetapannya berdasarkan presentase tertentu dari harga masuk (karcis), dengan biaya pengumpulan yang relatif rendah. Pajak ini juga dianggap adil karena tarif yang ditentukan bervariasi sesuai dengan jenis hiburan tersebut, misalnya hiburan yang sifatnya tradisional atau adat istiadat biasanya bertarif rendah. (Ismail, 2005:204). 2.5.1 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hiburan Dasar hukum pemungutan pajak hiburan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

4. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 5. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 09 tahun 2002 tentang Pajak Hiburan. 2.5.2 Objek Pajak Hiburan Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Termasuk dalam objek hiburan yang dimaksud adalah: tontonan film; pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana; kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya; pameran; diskotik, karaoke, klab malam dan sejenisnya; sirkus, akrobat, dan sulap; permainan bilyard, golf dan bowling; pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran; dan pertandingan olahraga. 2.5.3 Subjek dan Wajib Pajak Hiburan Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan

lainnya. Sedangkan wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. 2.5.4 Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Hiburan Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Tarif pajak hiburan yang menggunakan Harga Tanda Masuk (HTM) ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen), tarif pajak hiburan yang tidak menggunakan Harga Tanda Masuk (HTM) ditetapkan juga paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2.5.5 Pelaporan Pajak Hiburan Wajib pajak hiburan wajib melaporkan kepada bupati/walikota. Wajib pajak yang telah memiliki NPWPD setiap awal masa pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). SPTPD diisi dengan jelas, lengkap, dan benar serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan disampaikan kepada walikota/bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. 2.5.6 Perhitungan Pajak Hiburan Perhitungan pajak hiburan adalah sesuai dengan rumus berikut: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton atau menikmati hiburan

2.6 Efektivitas berikut : Berikut ini adalah definisi efektivitas dari beberapa ahli sebagai 1. Anthony and Vijay (2003:149) Efektivitas adalah hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggungjawaban dengan sasaran yang harus dicapainya. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan semakin efektif pula unit tersebut. 2. Tunggal (2000: 12) Efektivitas adalah ukuran keluaran (measure of output). Efektivitas dalam garis-garis besar dapat dirumuskan sebagai hal yang berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan yang ditetapkan tercapai. 3. Supriyono (2002: 24) Efektivitas adalah hubungan antara keluaran pusat pertanggungjawaban dengan tujuannya. Semakin besar kontribusi keluaran suatu pusat pertanggungjawaban terhadap pencapaian tujuan perusahaan semakin efektif kegiatan pertanggungjawaban tersebut. 4. Kartikahadi (2004: 15) Efektivitas adalah bahwa produk akhir suatu kegiatan operasi telah mencapai tujuannya baik ditinjau dari segi kulitas hasil

kerja, kuantitas hasil kerja maupun batas waktu yang ditargetkan, sedangkan efisiensi berarti bertindak dengan cara yang dapat meminimalir kerugian atau pemborosan sumber daya dalam melaksanakan atau menghasilkan sesuatu. Efektivitas ditentukan oleh hubungan antara output yang dihasilkan oleh suatu pusat tanggung jawab dengan tujuannya. Semakin besar output yang kontribusikan terhadap tujuan, maka semakin efektiflah unit tersebut. Efesiensi dan efektivitas berkaitan satu sama lain, merupakan setiap pusat tanggung jawab harus efektif dan efisien, dimana organisasi harus mencapai tujuannya dengan cara optimal. Suatu pusat tanggung jawab yang menjalankan tugasnya dengan konsumsi terendah atas sumber daya, mungkin akan efisien, tetapi jika output yang dihasilkan gagal dalam memberikan kontribusinya yang memadai pada pencapaian cita-cita organisasi, maka pusat tanggung jawab tersebut tidaklah efektif. 2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya dilakukan oleh : 1. Edward W. Memah (2013) yang meneliti tentang Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran Terhadap PAD kota Manado Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa tingkat efektivitas dari pajak hotel dan pajak restoran Kota Manado sudah sangat efektif karena secara keseluruhan tingkat efektivitas mencapai persentase lebih dari 100%. Secara

keseluruhan kontribusi pajak hotel dan pajak restoran pada tahun 2007-2011 memberikan kontribusi yang baik terhadap PAD sehingga dapat mempengaruhi jumlah PAD yang diterima. 2. Prizka Anindya Rahmi (2012) yang meneliti Analisis Implementasi Kebijakan Pajak Hiburan Atas Penyelenggaraan Usaha SPA (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Sleman Tahun 2011). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Implementasi kebijakan pajak hiburan atas penyelenggaraan usaha spa yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Sleman tidak berjalan optimal terkait dengn indikasi terjadinya double tax yang disebabkan karena pihak pemerintah pusat yang masih melaksanakan penagihan PPN atas usaha Spa berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. 3. Yulianti (2010) yang meneliti Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Terhadap Total Pendapatan Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kontribusi pajak daerah terhadap total pendapatan daerah mengalami penurunan dari tahun 2004 sampai tahun 2008, sedangkan kontribusi retribusi terhadap total pendapatan daerah mengalami peningkatan dari tahun anggaran 2004 sampai tahun 2008. Kontribusi pajak daerah masih lebih tinggi dibandingkan kontribusi retribusi terhadap total pendapatan daerah.

Berikut data perbedaan penelitian terdahulu: TABEL 1 Perbedaan Penelitian Terdahulu No Peneliti terdahulu Judul Tahun Perbedaan 1. Edward W. Memah Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran Terhadap PAD kota Manado 2013 Dikota Manado kontribusi pajak hotel dan restoran sudah sangat efektif, sedangkan Pajak hotel dan hiburan dikota Surabaya memberikan kontribusi yang kecil terhadap Pendapatan Asli Daerah. 2. Prizka Anindya Rahmi Analisis Implementasi Kebijakan Pajak Hiburan Atas Penyelenggaraan Usaha SPA (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Sleman Tahun 2011) 2012 Tidak berjalan optimal terkait dengn indikasi terjadinya double tax yang disebabkan karena pihak pemerintah pusat yang masih melaksanakan penagihan PPN atas usaha Spa berdasarkan Undang-undang Nomor 42Tahun 2009. 3. Yulianti Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Terhadap Total Pendapatan Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Timur 2010 Kontribusi pajak daerah mengalami penurunan dari tahun 2004 sampai tahun 2008,kontribusi retribusi mengalami peningkatan daritahun anggaran 2004 sampai tahun 2008. Sedangkan Pajak Hotel dan Hiburan yang saya teliti Tahun 2010-2013 realisasi PAD mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahwa peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor pajak hotel dan hiburan telah

dijalankan dengan baik oleh dinas pendapatan daerah Sumber : diolah oleh penulis 2.8 Rerangka Pemikiran Sebelum melakukan analisis dan pemecahan masalah yang ada dalam penelitian maka diperlukan rerangka pemikiran yang disusun atas dasar tinjauan teoritis yang tertuang dalam bentuk bagan sebagai berikut : Dinas Pendapatan Daerah Kota Surabaya Target Realisasi Tingkat Efektifitas Pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan Penunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumber : diolah oleh penulis Gambar 1 Rerangka Pemikiran

2.9 Proposisi Berdasarkan gambar kerangka pemikiran di atas dapat dijelaskan bahwa selisih yang terjadi antara besarnya realisasi penerimaan Pajak Hotel yang ada dengan target penerimaan Pajak Hotel yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Surabaya merupakan potensi dari Pajak Hotel yang belum tergali secara optimal. Ketika realisasi yang terjadi lebih besar dari target yang ditetapkan tentunya terdapat potensi pajak yang begitu besar sedangkan apabila nilai realisasi penerimaan pajak lebih kecil dari target berarti bahwa pelaksanaan pemungutan pajak tersebut belum didayagunakan secara maksimal. Besarnya potensi Pajak Hotel yang ada dibandingkan dengan realisasi penerimaan Pajak Hotel yang terjadi maka akan dapat diketahui seberapa besar tingkat efektivitas dari pajak Hotel tersebut. Analisis efektivitas ini mutlak diperlukan guna mengukur sejauh mana pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel di Kota Surabaya. Semakin tinggi nilai potensi yang ada, maka akan semakin tinggi efektivitas dari Pajak Hotel tersebut. Dengan demikian sangatlah penting dalam mengetahui potensi yang sebenarnya dimiliki oleh Pajak Hotel untuk mengukur efektivitas yang dimiliki sehingga dapat menjadi dasar dan panduan dalam pelaksanaan program-program peningkatan penerimaan daerah terutama dari sisi pajak. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teori, dan rerangka konseptual yang telah dijabarkan diatas, maka diharapkan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan memiliki peran penting untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Surabaya.