BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan tugas kelompok semakin populer dalam dunia

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) pendidikan merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkuliahan merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat merealisasikan dan mewujudkan suatu tujuan pendidikan nasional. Perguruan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan olahraga sepak bola dan bulutangkis. Peminat olahraga hoki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tugas merupakan suatu hal yang sangat dekat dengan perkuliahan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB II LANDASAN TEORI. Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Istilah procrastination berasal dari bahasa latin procrastinare dengan

Bab I Pendahuluan. Untuk mengembangkan dirinya, mahasiswa tidak hanya bisa memanfaatkan ruang kuliah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II LANDASAN TEORI. individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

PENGUKURAN SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI MTs N 2 CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang percaya bahwa jika suatu pekerjaan dikerjakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hidup manusia sebagai makhluk sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan. semua mencapai hasil belajar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali

HUBUNGAN ANTARA PEMALASAN SOSIAL DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK. S K R I P S I Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Representasi Matematis

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Djamarah dan Zain, 1996:53).

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. Belajar dapat diartikan sebagai proses berpikir untuk mendapatkan

kelas, yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa saat ini diharapkan menjadi sosok manusia yang berintelektual

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

adalah proses beregu (berkelompok) di mana anggota-anggotanya mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis. matematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. yang kini lebih dikenal sebagai KKNI (Kurikulum Berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional

Prinsip dalam Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan proses globalisasi, terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN PEMODELAN TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang

BAB II LANDASAN TEORI. Motivasi berasal dari kata latin motivus yang artinya : sebab, alasan, dasar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

EFIKASI DIRI MAHASISWA YANG BEKERJA PADA SAAT PENYUSUNAN SKRIPSI SKRIPSI

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia berada pada kemajuan jaman yang sangat pesat. Karenanya setiap

MOTIVASI DALAM BELAJAR. Saifuddin Azwar

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SOCIAL LOAFING 1. Pengertian Social loafing Social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja sama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri (Latane, 1979). Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual. (Karau & Williams, 1993). Menurut Ringelmann dalam Latane, Williams, & Harkins (1979), social loafing berarti penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri. Dari definisi di atas saya dapat menyimpulkan bahwa social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha yang dikeluarkannya ketika bekerja di dalam kelompok dan dibandingkan ketika bekerja secara individual. 10

2. Dimensi Social loafing Menurut Latane (1981), social loafing dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu: a. Dilution Effect Individu kurang termotivasi karena merasa kontribusinya tidak berarti atau menyadari bahwa penghargaan yang diberikan kepada tiap individu tidak ada. b. Immediacy gap Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh anggota kelompok dari anggotanya maka ia akan semakin jauh dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. 3. Faktor-faktor Penyebab Social loafing Faktor penyebab seseorang melakukan social loafing adalah: a. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989). b. Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing. Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umunya berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999). c. Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan sebagai sebuah tugas yang harus diselesaikan dengan saling bergantung antara satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan individu tersebut kurang 11

senang dengan hasil yang harus ia bagi dengan anggota yang lainnya (Manz & Angle, 1986). d. Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell & Benner, 1993). e. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992). f. Tugas yang terlalu mudah. Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas yang sulit untuk diselesaikan, maka akan sedikit kemungkinan anggota di dalam kelompok melakukan social loafing (Harkins & Petty, 1982). g. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok lebih rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan kelompok (Early, 1989). 12

h. Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, & Harkins, 1979). i. Ketidak-lekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Hal ini dapat didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama (Mudrack, 1989). j. Evaluation Apprehension atau ada tidak adanya evaluasi yang diberikan oleh pemberi tugas ataupun sesama rekan kerja (Geen, 1991). k. Kepercayaan diri juga dapat membuat perilaku social loafing menurun (Mukti, 2013) Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan social loafing dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah tidak adanya evaluasi (Harkins & Szymanski, 1989), gender (Kugihara, 1999), tugas yang dirasa harus dikerjakan secara berkelompok (Manz & Angle, 1986), menumpang kesuksesan (Kidwell & Benner, 1993), ketidakjelasan tugas (George, 1992), faktor budaya (Early, 1989), kemudahan tugas (Harkins & Petty, 1982), besarnya kelompok (Jones, 1984), kepercayaan diri (Mukti, 2013), dan kelekatan kelompok (Karau & Williams, 1997). 13

B. SELF-EFFICACY 1. Pengertian Self-efficacy Konsep self-efficacy pertama kali diungkapkan oleh Bandura. Menurut Bandura (1997), Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Selfefficacy juga memiliki arti sebagai penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu (Baron & Byne, 2000). Dari definisi di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa self-efficacy adalah persepsi, penilaian, dan perasaan tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi suatu tindakan, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu dengan kecakapan tertentu. 2. Ciri-Ciri Individu dengan Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah Bandura (1997) menjelaskan bahwa individu dengan self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa memiliki keyakinan bahwa ia dapat menangani dengan baik keadaan dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam mengerjakan tugas-tugas, memiliki keinginan yang besar dalam memotivasi diri untuk menyelesaikan tugas yang sulit, percaya pada kemampuan diri sendiri, 14

memandang kesulitas sebagai tantangan, mampu membuat tujuan dan meningkatkan komitmen terhadap apa yang dilakukan, menanamkan usaha pada apa yang dilakukannya, bila gagal maka akan memikirkan strategi dalam menghadapinya dan mudah bangkit setelah mengalami kegagalan. Sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, menghindari kegiatan-kegiatan yang menantang, cepat menyerah, mudah cemas, apatis, upaya yang rendah dan komitmen yang lemah pada sebuah tujuan yang ingin digapai, cenderung akan memikirkan kekurangan dan konsekuensi akan kegagalan, serta lambat untuk membangkitkan kembali perasaan bahwa ia mampu menghadapi kegagalan. 3. Dimensi Self-efficacy Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni: a. Level Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan. 15

b. Generality Generality sejauh mana inidividu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya. c. Strength Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi. C. Mahasiswa Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di Universitas, institut atau akademi. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual (Knopfemacher, 1978). Menurut Winkel (1997) masa 16

mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Mahasiswa biasa belajar di kelas, membaca buku, membuat makalah, presentasi, diskusi dan lain sebagainya. Mereka sangat erat kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh para pengajar atau dosen. Tugas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) memiliki arti sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau pekerjaan yang wajib dibebankan. Mahasiswa sudah pasti pernah merasakan saat-saat dimana membuat laporan, makalah, mencari bahan kuliah, tugas praktek dan presentasi. Tugas itu sendiri dapat diberikan secara individual ataupun berkelompok (Sudjana, 2001). D. Hubungan antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa Mahasiswa yang sangat erat kaitannya dengan tugas seringkali diberikan tugas dengan bentuk kelompok. Biasanya, ketika dosen memberikan tugas secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian tugas lebih mendalam dan sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari beberapa orang. Mahasiswa juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar untuk mengambil keputusan dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai sesama mahasiswa lain. Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu mereka dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini sesungguhnya juga memiliki satu kelemahan yang sangat sering terjadi. Pada 17

satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif berpartisipasi dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai social loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Social loafing memiliki dampak yang sangat banyak khususnya terhadap sebuah kelompok. Dampak yang diberikan juga merupakan dampak yang bersifat merugikan. Seringkali terdapat banyak mahasiswa yang melakukan loafing karena berbagai hal. Seperti karena tidak adanya kelekatan pada setiap anggota kelompok (Karau & Williams, 1997), terlalu besarnya sebuah kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979), atau bahkan karena terlalu mudahnya tugas yang diberikan oleh dosen (Harkins & Petty, 1982). Social loafing yakni kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Tidak sedikit faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan social loafing. Kugihara menemukan bahwa laki-laki cenderung melakukan social loafing daripada perempuan (Kugihara, 1999). Faktor eksternal yang kerap dihubungkan adalah besarnya kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979) yang dibuktikan dengan semakin banyak nya anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang individu akan semakin meningkat. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989). Kelekatan 18

antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Jika individu tidak menyukai anggota yang lain maka ia akan lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing. Budaya yang dimiliki dan dianut oleh individu juga membuat seseorang seperti individualis atau kolektivis (Earley, 1993). Pada penelitian Early (1993) dikatakan bahwa Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada budaya kolektivis. Performa seorang individu yang berasal dari budaya individualis lebih rendah ketika bekerja dalam sebuah kelompok dibandingkan ketika ia bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis mempercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan kelompok. Hasil dari penelitian Ames (1992) dan Dweck & Legger (1988) mengungkapkan bahwa orang yang menganut budaya individualis merupakan orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini dikarenakan orang dalam budaya individualis akan mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk belajar serta lebih memberikan usaha yang lebih untuk performanya. Sebaliknya, orang dengan budaya kolektivis merupakan orang dengan self-efficacy yang rendah. 19

Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya (Bandura, 1997). Lawrence (1992) yang melakukan 2 eksperimen di mana eksperimen pertama self-efficacy dimanipuasi dengan evaluasi yang salah dan hasil yang diharapkan dimanipulasi dengan 3 kelompok yang memiliki kondisi yang berbeda (sendiri, bekerja bersama tetapi dengan melihat hasil individu, dan bekerja bersama dengan melihat hasil dari kelompok). Pada ekperimen kedua, self-efficacy yang diinginkan ditingkatkan secara tiba-tiba ketika para partisipan mengerjakan tugas yang mudah ke yang sulit, dan hasil yang diharapkan dimanipulasi dengan 3 kondisi evaluasi yang berbeda (sendiri, dievaluasi, dan tidak dievaluasi). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa seseorang dengan self-efficacy yang tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan diberikan evaluasi akan memiliki performa yang lebih baik daripada melakukan tugas secara individual. Sebaliknya, jika seseorang dengan self-efficacy yang rendah dan mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan dievaluasi, maka ia akan memiliki performa yang buruk daripada melakukannya secara individual. Schmuck & Schmuck (1980) menyatakan bahwa membentuk kelompok kecil dan dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks adalah strategi untuk meningkatkan self-efficacy seseorang. Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa orang dengan self-efficacy yang tinggi justru akan membuat tindakan social loafing menurun. Hal ini dikarenakan orang tersebut diberikan evaluasi saat 20

mengerjakan tugas (Lawrence, 1992) dan dapat saling membantu saat bekerja kelompok (Schmuck & Schmuck, 1980) sehingga akan mengurangi perilaku social loafing seseorang. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi self-efficacy yang telah dipaparkan oleh peneliti, hipotesa yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan negatif antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa dimana semakin tinggi derajat self-efficacy yang dimiliki individu justru membuat tindakan social loafing menurun. 21