DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

Mempertahankan Tanah Agraris

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. politik. Oleh karena itu, ketersediaan beras yang aman menjadi sangat penting. untuk mencapai ketahanan pangan yang stabil.

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA : POTENSI, PERMASALAHAN, DAN STRATEGI PEMANFAATAN. Indonesian Land Resources: Potency, Problems, and Utilization Strategy

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Pendahuluan ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih.

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE SEKTOR NON PERTANIAN TERHADAP KETERSEDIAAN BERAS DI KABUPATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG

Transkripsi:

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Kasdi Subagyono Pesatnya pembangunan sektor industri, perumahan, transportasi, wisata dan sektor perekonomian lainnya di provinsi Jawa Tengah menuntut tersedianya lahan yang cukup. Dalam mencukupi kebutuhan tersebut, konversi lahan pertanian sektor-sektor tersebut tidak dapat dihindarkan bahkan akselerasinya relatif tinggi, dan ironinya yang dijadikan sasaran adalah lahan pertanian produktif seperti lahan sawah beririgasi. Perkembangan perkotaan merupakan salah satu yang sangat signifikan menggeser lahan-lahan produktif untuk pertanian yang dikonversi ke pemanfaatan lain selaras dengan pesatnya perkembangan kota tersebut. Menurut Wahyunto et al. (2001), pada umumnya konversi lahan terjadi dari penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan dari penggunaan pertanian untuk kawasan pemukiman dan kawasan industri. Khususnya pada lahan sawah di kawasan pengembangan, Agus dan Mulyani (2005) mencatat bahwa konversi lahan berlangsung makin cepat. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah berkurangnya lahan pertanian produktif yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi pangan secara berkelanjutan. Hal tersebut akan mengganggu ketahanan pangan. Ketahanan pangan mempunyai peran strategis karena beberapa alasan, yaitu (a) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak asasi bagi manusia, (b) pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, dan (c) ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, ketersediaan pangan yang cukup dalam skala waktu, bermutu, bergizi, aman, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan dan PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Pada sisi lain, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya sangat strategis sering diabaikan dalam proses perencanaan pembangunan wilayah. Sementara itu, dinamika kebutuhan masyarakat senantiasa berkembang yang menuntut ketersediaan lahan yang sesuai dengan peruntukannya dan mencukupi. Oleh karena itu, konversi lahan menjadi suatu fenomena yang sulit dicegah, meski masih dapat dikendalikan pada taraf yang diperbolehkan.

KONVERSI LAHAN Artikel ini membahas proses dan akselerasi konversi lahan di Jawa Tengah dan dampaknya terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi pangan dan ketahanan pangan serta peluang pengendaliannya yang dapat diterima oleh setiap sektor pembangunan dan aman terhadap lingkungan. Penggunaan Lahan di Jawa Tengah Dari aspek geografis dan ekonomi, posisi Jawa Tengah sangat strategis, karena diapit oleh tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta yang prospektif baik untuk pasar bagi produk-produk sektor ekonomi untuk dipasarkan maupun pusat pemasaran produk-produk dari provinsi-provinsi tersebut. Luas wilayah Jawa Tengah adalah 3.254.412 ha terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota dengan 563 kecamatan dan 8.553 desa/kelurahan. Wilayah terluas adalah kabupaten Cilacap dengan luas 213.851 ha atau sekitar 6,57% dari total wilayah Jawa Tengah. Sedangkan wilayah yang paling kecil adalah kota Magelang yang memiliki luas 1.812 ha. Berdasarkan topografinya, Jawa Tengah terbagi dalam 4 wilayah dengan ketinggian yang berbeda, yaitu (a) wilayah dengan ketinggian 0 100 m di atas permukaan laut (dpl) yang memanjang di wilayah pantai utara dan selatan mencakup luasan 53,3%, (b) wilayah dengan ketinggian 100 500 m dpl yang memanjang di bagian tengah mencakup luasan 27,4%, (c) wilayah dengan ketinggian 500 1.000 m dpl seluas 14,7%, dan (d) wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl seluas 4,6%. Macam dan luasan penggunaan lahan di provinsi Jawa Tengah sangat beragam yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti agro-ekosistem (jenis tanah, tipe iklim, kondisi hidrologi, dan landform), sosial, ekonomi, budaya, dan manajemen lahan. Untuk menyederhanakan gambaran penggunaan lahan dan untuk mendapatkan gambaran pergeseran lahan sawah menjadi penggunaan lain melalui konversi, wilayah dibagi ke dalam (a) lahan sawah dan (b) lahan bukan sawah. Pada Tabel 1 disajikan data penggunaan lahan di Jawa Tengah tahun 1999 2008. Sebagai gambaran, pada tahun 2003, luas lahan sawah 995.469 ha dan lahan bukan sawah 1.353.832 ha. Dalam periode yang relatif singkat (5 tahun), luas areal sawah menurun dari tahun 1999 ke tahun 2003 seluas 6.837 ha (0,68%) dengan rata-rata per tahun seluas 1.367 ha (0,14%). Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah pada tahun 2003 menurun 0,3%, sebaliknya lahan bukan sawah meluas 0,3%. Pada tahun 2004, luas lahan sawah 996.197 ha dan lahan bukan sawah 1.352.089 ha. Pada periode 2004 2008, luas areal sawah berkurang 5.545 ha (0,6%), sedangkan lahan bukan sawah menurun sebesar 78.422 ha (5,8%). Dari lahan bukan sawah yang mengalami peningkatan adalah untuk penggunaan ladang/huma sebesar 3.759 ha (39,2%). 150

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Tabel 1. Penggunaan lahan 1999 2008 di Jawa Tengah Pengguaan Lahan Luas (ha) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Lahan sawah 1.002.306 998.008 999.136 998.456 995.469 996.197 995.972 992.455 990.824 990.652 Lahan Bukan Sawah : 1.350.908 1.350.528 1.353.825 1.349.673 1.353.832 1.352.089 1.352.043 1.344.519 1.273.512 1.273.667 Bangunan/Pekarangan 571.421 580.079 581.491 574.620 572.012 575.916 580.976 581.011 521.769 524.465 Tegal/Kebun 766.599 755.394 760.180 759.931 763.249 759.028 752.842 744.343 737.677 732.853 Ladang/Huma 7.251 5.889 5.769 8.391 9.811 9.587 10.642 12.205 10.341 13.346 Padang rumput 2.699 6.322 3.699 3.098 2.723 2.662 2.709 1.846 1.906 1.231 Sementara tidak diusahakan 2.938 2.844 2.686 2.633 6.022 4.896 4.874 5.114 1.819 1.772 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tangah (Jawa Tengah dalam Angka 2009) Sesuai dengan penggunaannya, lahan sawah sebagian besar digunakan untuk lahan sawah beririgasi teknis dengan luasan sebesar 39,26%, selebihnya digunakan untuk lahan sawah beririgasi setengah teknis, lahan sawah beririgasi sederhana, lahan sawah beririgasi desa/non PU, sawah tadah hujan dan lainnya. Sedangkan lahan bukan sawah digunakan untuk berbagai peruntukan yaitu tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, bangunan/ pekarangan, dan lahan yang tidak diusahakan. Dampak Konversi Lahan Pertanian Laju Konversi Lahan Dalam sepuluh tahun terakhir, secara umum lahan sawah di Jawa Tengah mengalami penyempitan dengan variasi dari tahun ke tahun akibat konversi ke penggunaan lain. Dari luas 1.002.236 ha pada tahun 1999, lahan sawah menyempit seluas 11.654 ha menjadi 990.652 ha pada tahun 2008 dengan laju konversi rata-rata 1.930 ha/tahun (Gambar 1). Konversi lahan sawah tercepat terjadi pada tahun 1999 2000 dengan laju 4.298 ha per tahun, sedangkan laju konversi lahan terendah terjadi pada tahun 2007 2008 dengan laju 172 ha/tahun. Lahan sawah umumnya dikonversi untuk bangunan baik perumahan maupun sarana industri, sebagian lain dikonversi untuk penggunaan lainnya seperti jalan. Luas areal untuk penggunaan bangunan/pekarangan relatif meningkat dari tahun 1999 hingga 2006. 151

KONVERSI LAHAN Luas Sawah (x 1.000 ha) 1004 1002 1000 998 996 994 992 990 988 986 984 Sawah 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 590 580 570 560 550 540 530 520 Luas Bangunan (x 1.000 ha) Gambar 1. Penurunan luas lahan sawah dari tahun 1999 sampai dengan 2008 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah Perubahan penggunaan lahan lebih nyata terlihat di wilayah perkotaan karena pesatnya proses pembangunan terutama pada sektor ekonomi. Penggunaan lahan untuk kawasan industri, pemukiman, dan jalan merupakan yang dominan dalam perubahannya. Konversi lahan sawah dan lahan pertanian lainnya terjadi relatif cepat sehingga lahan pertanian mengalami penyusutan. Pada Gambar 2 disajikan penggunaan lahan di DAS Garang yang berada di wilayah kabupaten dan kota Semarang tahun 1939, 1988, dan 2000. Dari kawasan pantai hingga hulu DAS Garang yang luasnya 20.080 ha, perubahan penggunaan lahan terlihat secara nyata. Secara rinci perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut diilustrasikan pada Gambar 3. Di wilayah pantai, dari tahun 1939 hingga 2000, perubahan garis pantai dan terganggunya wilayah ini jelas terlihat sebagai pengaruh proses abrasi akibat perkembangan pesat areal pemukiman dan terganggunya lingkungan akibat aktivitas masyarakat yang sangat tinggi. Demikian pula halnya di wilayah hulu hingga hilir DAS Garang, perubahan penggunaan lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian menunjukkan laju yang relatif cepat. Perkembangan sektor ekonomi ditunjukkan oleh berkembangnya kawasan industri, perumahan dan jalan serta infrastruktur lain yang membutuhkan lahan. Menurut Puslitbangtanak (2001), akibat konversi lahan, areal sawah berkurang 10 ha/ tahun, dan perkembangan wilayah perkotaan menyita lahan 50 ha/tahun dan kawasan industri 2 ha/tahun. 152

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Gambar 2. Penggunaan lahan wilayah DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang tahun 1939, 1988, dan 2000 Sumber: Puslitbangtanak (2001) 153

KONVERSI LAHAN 1939-1988 1988-2000 Gambar 3. Konversi lahan pertanian di wilayah DAS Garang, kabupaten/kota Semarang Sumber: Puslitbangtanak (2001) 154

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Dampak Konversi Lahan Pertanian Dampak langsung dari konversi lahan pertanian adalah berkurangnya luas areal tanam dan panen khususnya tanaman pangan, karena sebagian besar lahan yang dikonversi adalah lahan sawah yang seharusnya menjadi tumpuan proses produksi pangan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sasaran lahan yang dikonversi adalah lahan-lahan pertanian dengan produktivitas yang relatif tinggi. Pada sisi lain, kondisi ini tidak diimbangi dengan laju ekstensifikasi yang memadai, sehingga pengurangan luas lahan pertanian berlangsung secara terus menerus dalam waktu yang relatif cepat. Dampak lain dari konversi lahan antara lain adalah (a) berkurangnya lahan pertanian produktif, (b) menurunnya produksi dan produktivitas tanaman (khususnya tanaman pangan), (c) terganggunya potensi dan ketersediaan sumber daya air, (d) ketahanan pangan dalam jangka panjang. Dalam banyak kasus, konversi lahan selalu terjadi pada kawasan lahan kelas I dengan produktivitas tinggi, terutama di kawasan sekitar perkotaan sebagai dampak dari perkembangan dan perluasan kota. Sebagai akibat dari hilangnya sebagian besar lahan produktif, proses produksi tanaman pangan khususnya, terganggu dan berujung pada menurunnya produksi dan produktivitas tanaman pangan. Konversi lahan juga sering berdampak buruk terhadap kawasan-kawasan tangkapan air dan kelestarian sumber daya air, menyebabkan ketersediaan air khususnya untuk proses produksi tanaman pangan terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam kondisi seperti ini, keberlanjutan ketahanan pangan terancam. Pengendalian Konversi Lahan Pengendalian konversi lahan dilakukan dengan berbagai pendekatan, beberapa di antaranya adalah melalui (a) perencanaan penggunaan lahan, dan (b) kebijakan penggunaan lahan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang pada saat ini sering dikesampingkan dalam setiap perencanaan pembangunan, pada masa yang akan datang harus diimplementasikan dengan konsisten. Peran pemerintah daerah dan pusat sangat strategis dalam menetapkan kebijakan penggunaan lahan dan pengendalian konversi lahan. Perencanaan Penggunaan Lahan Perencanaan penggunaan lahan dilakukan di kabupaten/kota atau provinsi didasarkan pada perubahan penggunaan lahan sebelumnya dan arah pembangunan. Hal ini sangat penting untuk memberikan gambaran ketersediaan lahan sawah saat ini yang masih dapat digunakan untuk proses produksi pangan (padi, jagung, kedelai, ubi jalar, dan lain-lain). Pada sisi lain, perencenaan tersebut sekaligus mengontrol konversi lahan. Pada Tabel 2 disajikan data konversi lahan sawah, penambahan areal sawah, dan perimbangannya di Jawa Tengah. Meskipun masih lebih rendah dari Jawa dan Bali serta nasional, konversi lahan 155

KONVERSI LAHAN sudah mendekati 39%. Kondisi ini menunjukkan bahwa konversi lahan sulit dicegah tetapi masih memungkinkan untuk dikendalikan (Agus dan Irawan 2006). Perencanaan konversi lahan yang lamban akan menyebabkan pengembang tidak tertarik untuk memanfaatkan lahan, sebaliknya konversi lahan yang cepat akan terus menstimulasi terjadinya konversi lahan. Jika 39% lahan sawah di Jawa Tengah dikonversi untuk penggunaan selain pertanian, kondisi ini akan sangat mengancam ketahanan pangan. Tabel 2. Perencanaan spasial sawah beririgasi dalam hubungannya dengan konversi lahan di Jawa Tengah Total Sawah Sawah Tadah Hujan Sawah Beririgasi Perencanaan Spasial Sawah Beririgasi Provinsi Konversi Dipertahankan ha % ha % ha % ha % ha % Jawa Tengah 1.124.940 12,64 331.910 20,89 793.030 10,84 310.410 39,14 482.620 60,86 Jawa dan Bali 3.933.370 44,18 442.120 34,13 3.391.250 46,36 1.669.600 49,23 1.721.650 50,77 Indonesia 8.903.220 100,00 1.488.480 17,84 7.314.740 82,16 3.099.020 42,37 4.215.740 57,63 Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (2004) dalam Winoto (2005) dengan modifikasi Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Konversi lahan akan selalu terjadi, karena perkembangan pesat pembangunan sektor ekonomi yang menyita potensi dan ketersediaan lahan. Selain melalui perencanaan penggunaan lahan yang tepat, kebijakan pengendalian konversi lahan merupakan alternatif yang dapat dilakukan. Kebijakan yang langsung melalui regulasi tata ruang yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan lahan merupakan yang utama, namun demikian masih diperlukan alternatif lain dari kebijakan yang mampu memfasilitasi terimplementasikannya pengendalian konversi lahan secara berkelanjutan. Menurut Pasandaran (2006), alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan pada lahan sawah beririgasi yang dapat diimplementasikan antara lain adalah kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang perlu dilindungi, dan membangun kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Lebih jauh dikemukakan bahwa model kebijakan yang terakhir apabila difasilitasi dengan baik dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Penerapan UU lahan pertanian pangan berkelanjutan diimplementasikan sebagai upaya untuk mengendalikan konversi lahan sawah dan mendukung ketahanan pangan daerah maupun nasional. RTRW Provinsi Jawa Tengah menetapkan bahwa 983.598 ha atau 93% dari luas lahan sawah keseluruhan (1.054.903 ha berdasarkan data tahun 2008) tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Sementara itu, sebesar 20.055 156

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH ha (2%) lahan sawah dapat dialihfungsikan dengan syarat dan 42.448 ha (4%) sisanya boleh dialihfungsikan. Ketahanan Pangan Berkelanjutan Untuk mendukung ketahanan pangan di Jawa Tengah, ketersediaan lahan sawah khususnya untuk proses produksi padi sangat diperlukan. Jika konversi lahan berlangsung cepat, keberlanjutan proses produksi padi terganggu dan bukan tidak mungkin akan menggoyahkan ketahanan pangan. Konversi lahan harus terkendali pada tingkat yang masih diperbolehkan untuk mendukung ketahanan pangan berkelanjutan. Data lima tahun terakhir (2005 2009), BPS mencatat produksi padi meningkat dari 8,42 juta ton pada tahun 2005 meningkat menjadi 9,33 juta ton pada tahun 2009, produksi jagung meningkat dari 2,19 juta ton tahun 2005 menjadi 2,80 juta ton pada tahun 2009, ubi kayu meningkat dari 3,48 juta ton tahun 2005 menjadi 3,55 juta ton pada tahun berikutnya kemudian cenderung menurun dari tahun ke tahun hingga tahun 2009. Produksi ubi jalar umumnya lebih rendah dari produksi sumber bahan pangan padi, jagung dan ubi kayu, dan produksinya lebih rendah dari Provinsi Jawa Barat (Tabel 3). Tabel 3. Produksi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di Jawa Tengah tahun 2005 2009 Komoditas Produksi (ton) 2005 2006 2007 2008 2009 Padi 8.424.096 8.729.291 8.616.855 9.136.405 9.326.123 Jagung 2.191.258 1.856.023 2.233.992 2.679.914 2.796.274 Ubi Kayu 3.478.970 3.553.820 3.410.469 3.325.099 3.369.046 Ubi Jalar 144.598 123.485 143.364 117.159 119.670 Sumber: BPS Produksi bahan pangan dari ubi kayu dan ubi jalar cenderung menurun dalam 5 tahun terakhir (2005 2009), sebaliknya produksi padi dan jagung cenderung meningkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa intensifikasi tanaman pangan yang mengintroduksikan inovasi teknologi budi daya masih prioritas pada padi dan jagung, dan relatif kurang pada ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan beras tahun 2010 sebagai bahan pangan telah melebihi (surplus) 2,9 juta ton. Hal ini disebabkan produksi padi meningkat setiap tahunnya. Dari target produksi 9.733.950 ton GKG, data ARAM III menunjukkan realisasi produksi mencapai 10.078.084 ton GKG. 157

KONVERSI LAHAN Konversi dan Ekstensifikasi Lahan Sawah Agus dan Irawan (2006) menganalisis hubungan antara maksimum laju konversi lahan yang diperbolehkan dengan laju ekstensifikasi sawah untuk mempertahankan keberlanjutan swasembada pangan (Gambar 4). Sebagai gambaran, jika pencetakan sawah di suatu wilayah seluas 50.000 ha/tahun, maksimum konversi yang diperbolehkan harus tidak melebihi 50.000 ha/tahun. Jika konversi lahan sawah dapat dikurangi menjadi 75.000 ha th -1, masih diperlukan ekstensifikasi sekurang-kurangnya 100,000 ha th -1 dari sekarang sampai tahun 2025. 400000 350000 y = 2.196x - 64212 Ekstensifikasi (ha/tahun) 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 0 50000 100000 150000 200000 Maksimum konversi yang diperbolehkan (ha/tahun) Gambar 4. Hubungan antara maksimum konversi lahan yang diperbolehkan dengan ekstensifikasi untuk swasembada beras berkelanjutan Sumber: Agus and Irawan (2006) Pada awalnya, perluasan areal (ekstensifikasi) untuk sawah di Jawa (termasuk Jawa Tengah) umumnya dilakukan oleh petani, pemerintah memfasilitasi upaya tersebut sejak era 1980-an. Namun, fasilitasi pemerintah saat ini dan ke depan tampaknya menurun dan akan menurunkan laju ekstensifikasi. Upaya untuk mengontrol laju konversi yang semakin cepat harus dilakukan dan ini harus disadari masyarakat bahwa laju konversi yang tidak terkontrol akan mengancam ketahanan pangan. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk menetapkan maksimum konversi lahan sawah yang masih diperbolehkan, agar konversi lahan dapat dikontrol dan ketahanan pangan dapat dipertahankan. 158

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Penutup Konversi lahan pertanian produktif di Jawa Tengah terus berlangsung dengan laju yang cenderung meningkat. Dari luas 1.002.236 ha pada tahun 1999, lahan sawah menyempit seluas 11.654 ha menjadi 990.652 ha pada tahun 2008 dengan laju konversi rata-rata 1.930 ha/tahun. Meskipun produksi pangan terutama padi dan jangung masih cenderung meningkat dalam 5 tahun terakhir (2005 2009), konversi lahan relatif belum mengganggu produksi kedua komoditas tersebut. Peningkatan produksi tersebut terjadi lebih diakibatkan oleh intervensi upaya intensifikasi daripada ekstensifikasi. Namun, ketidak seimbangan antara perluasan areal lahan pertanian khususnya sawah dengan laju konversi lahan pada saat tertentu akan mengganggu proses produksi bahan pangan dan ketahanan pangan di Jawa Tengah. Meski sulit dicegah, konversi lahan masih memungkinkan untuk dikendalikan pada tingkat yang masih diperbolehkan.di Jawa Tengah, luas lahan yang dikonversi, 310.410 ha (39,14%) masih pada tingkat yang lebih rendah dari yang dipertahankan, 482.620 ha (60,86%). Perimbangan laju konversi dengan laju ekstensifikasi lahan sawah harus diwujudkan sebagai upaya kontrol terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi pangan. Menurut Fahmudin Agus dan Irawan (2006), maksimum konversi lahan yang diperbolehkan harus diimbangi dengan ekstensifikasi yang tepat untuk swasembada beras berkelanjutan. Daftar Pustaka Agus F, Mulyani A. 2005. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice self-sufficiency. Presented at International Rice Conference 12-14 September, Denpasar, Bali, Indonesia.Agus F and Irawan. 2006. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality. Seminar Multifungsi Pertanian (Multifuctionality of Agriculture), Bogor 27 28 Juni 2006. BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa Tengah dalam Angka 2009. Semarang: BPS. Pasandaran E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi di indonesia. Seminar Multifungsi Pertanian (Multifuctionility of Agricultuture), Bogor 27 28 Juni 2006. Puslitbangtanak. 2001. Environmental and Economic Functions of Paddy Field (Sawah) in Case Watersheds in Java. Bogor: Puslitbangtanak. Wahyunto, Abidin Z, Priyono A, Sunaryo. 2001. Landuse Change in Citarik Watershed West Java and Garang Watershed Central Java. In Proceedings National Seminar on the Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. (In Indonesian). pp 39 63. 159