BAHASA ARAB AMIYAH DAN FUSHAH Suatu Narasi Deskriptif* Oleh: Dr. Muhammad Noupal 1 Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung ABSTRACT By using comparative analysis, this article explores the case of bilingualism in Arabic language: the usage of its colloquial Arabic and standarded ones. In addition, this article also exposes the main cause of Arabic decline among its native speakers native Muslim community. Keyword: Bilingualism, colloquial, standarded Arabic Studi komparasi berikut akan memaparkan dualisme bahasa (tsana`iyyat al-lughah) antara bahasa Arab amiyah dan bahasa Arab fushah. Bahasa Arab amiyah disebut dengan bahasa pasar, sedangkan fushah disebut dengan bahasa asli (baku). Istilah dualisme yang menjadi kajian linguistik ini, banyak ditemukan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk juga bahasa Indonesia. Kita menyebutnya dengan bahasa baku dan bahasa tidak baku. Bahasa tidak baku (pasaran), tidak dapat disamakan dengan bahasa fokem, dengan sebab bahwa ketidakbakuannya adalah karena tidak menggunakan persyaratan gramatikal, baik dalam aspek morfologis, sintaksis atau fonemik. Sedangkan bahasa fokem diartikan dengan bahasa periodik, dadakan dan dipakai dalam ruang dan waktu yang terbatas. Disarikan dari Emil Badi Ya kub dalam Fiqh al-lughah al- Arabiyyah wa Khasaishuha, Dar al-tsaqafat, Beirut, tt, h. 144. 1
Perbedaan antara bahasa pasar dengan bahasa fokem, terletak pada si pemakai bahasa. Bahasa pasar digunakan oleh mayoritas pengguna bahasa di beberapa tempat yang memiliki persamaan dalam fonem, morfem dan sintaksis. Sedangkan bahasa fokem digunakan oleh sebagian pengguna bahasa, terutama kalangan remaja, sesuai dengan mode dan bentuk yang mereka inginkan. Dengan kata lain, bahasa fokem tidak digunakan oleh sejumlah besar pengguna bahasa, berbeda dengan bahasa pasar ( amiyah) yang secara mayoritas menjadi bahasa penghubung dalam komunikasi. Bahasa pasar ( amiyah) yang dicirikan dengan bahasa yang tidak baku, dilawankan dengan bahasa baku (fushah). Untuk istilah Indonesia, bahasa fushah telah dikenal sebagai bahasa yang sesuai dengan tata bahasa (Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD), sedangkan bahasa tidak baku dikenal sebagai bahasa yang tidak memakai tata bahasa. Dari sini, perbedaan yang terlihat ternyata ada pada grammar. Fungsi grammar sebagai pedoman berbahasa, tidak terlalu dipakai dalam bahasa pasar. Sedangkan bahasa baku, selalu memakai grammar untuk setiap aspeknya. Karena itu, bahasa baku sering dikatakan sebagai bahasa yang kaku alias statis, sedangkan bahasa pasar disebut dengan bahasa yang dinamis. Perbedaan seperti itu juga dialami bahasa Arab. Antara bahasa Arab amiyah dan fushah, kateogri-kategori linguistik yang ada di dalamnya memang terlihat berbeda. Perbedaan yang terjadi seperti pada bahasa-bahasa lain juga sama dialami dalam bahasa Arab, baik dari aspek fonem, morfem atau sintaksis. Karena adanya perbedaan ini, muncul dua persoalan yang saling bertolak belakang; satu pihak ingin agar bahasa fushah dipakai dalam komunikasi seharihari, sementara pihak lain ingin agar dalam komunikasi tidak dibatasi dengan aturan-aturan yang kaku seperti yang terdapat dalam bahasa fushah. Dalam aspek lain, perbedaan fushah dan amiyah, kadang dilihat dari sudut manfaat dan efektivitasnya dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa fushah sering dikatakan sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan statis, sementara bahasa amiyah sering dianggap sebagai bahasa yang menyalahi aturan gramatikal bahasa Arab. Sudut-sudut seperti itulah yang ingin dikaji dalam sub 2
bab ini, terutama pada deskripsi yang diungkapkan beberapa linguis berkenaan dengan kelebihan dan kekurangan antara bahasa amiyah dan fushah. 3
Persoalan Ontologis Emil Badi Ya qub dalam Fiqh al-lughah al- Arabiyah wa Khasha`ishuha, mengatakan bahwa secara global bahasa Arab fushah adalah bahasa yang terdapat di dalam al-quran dan peninggalan-peninggalan bangsa Arab yang dipakai pada pertemuan-pertemuan resmi mereka, dan secara khusus juga dipakai dalam penulisan puisi, prosa maupun hasil-hasil pemikiran bangsa Arab. Sedangkan bahasa amiyah adalah bahasa yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Arab fushah biasanya ditujukan kepada dialek Qurais, salah satu klan (marga) bangsa Arab yang tinggal di Makkah. Klan Qurais yang mendiami kota Makkah ini, memiliki kefasihan (fushah) dalam berbahasa Arab; terutama ketika Nabi Muhammad datang dengan membawa al-quran, pengakuan tersebut menjadi lebih bertambah menjadi suatu keyakinan akan kemukjizatan bahasa al- Quran yang banyak memakai dialek Qurais. Sementara itu, bahasa amiyah yang banyak dipakai dalam komunikasi bangsa Arab sehari-hari, timbul pasca perkembangan Islam ke berbagai daerah di luar jazirah Arab. Pada perkembangan ini, pencampuran antara bangsa Arab dan non-arab ( ajam) diyakini sebagai salah satu penyebab terjadinya dualisme bahasa. Akan tetapi, pencampuran ini tidak sampai melebihi batas keaslian bahasa fushah ketika itu, kecuali hanya menyentuh sebagian aspek fonetik, morfologis, sintaksis, gramatikal (nahwu) dan cara pengungkapan. Al-Jahidz menyebut kondisi bahasa amiyah saat itu sebagai bahasa blasteran (muwallidin dan baladiyyin). Berdasarkan hal tersebut, antara fushah dan amiyah sebenarnya tidak dapat dimasukkan dalam dualisme bahasa (tsanaiyyat al-lughah). Istilah ini ditujukan kepada dua bahasa yang berbeda, yang digunakan oleh satu orang atau sekelompok masyarakat pada satu waktu. Sekalipun sebagian pendapat para ahli bahasa mengatakan fushah dan amiyah sebagai bentuk dari dualisme bahasa, namun perbedaan keduanya hanya berada pada masalah parsial (cabang), bukan masalah pokok. Sedangkan dualisme bahasa terjadi antara dua bahasa yang saling berbeda; seperti bahasa Prancis dengan Arab, bahasa Jerman dengan Turki dan 4
sebagainya. Di sini perlu diperjelas bahwa dalam bahasa Arab ada dua bahasa; satu fushah dan yang lain adalah amiyah. Bangsa Arab dan Dualisme Bahasa Memang banyak asumsi bahwa bangsa Arab sebenarnya telah mengenal dualisme bahasa sejak masa jahiliyah. Banyaknya jumlah kabilah dengan setiap dialek bahasa Arab yang berbeda, dapat menjadi faktor untuk membenarkan adanya dualisme tersebut, terutama yang terdapat di bagian tengah dan timur jazirah Arab akibat pengaruh dari perdagangan dan ibadah haji. Sekalipun demikian, bangsa Arab juga diyakini telah memakai satu bahasa yang berlaku secara menyeluruh di antara mereka (lughat al-musytarakah jami ah). Komunikasi antara orang Arab kepada seseorang dari kabilahnya, dapat berjalan dengan baik jika dilakukan dengan memakai bahasa kabilah tersebut. Jika mereka melakukan khutbah atau membuat puisi, atau jika salah seorang dari kabilah lain melakukan hal yang sama, maka mereka pasti akan menggunakan bahasa yang sama. Kondisi ini masih berjalan sampai kedatangan Islam. Dualisme bahasa antara fushah dan amiyah menjadi semakin nyata setelah berkembangnya bahasa amiyah itu sendiri, yaitu sejak fase perkembangan Islam pertama yang ditandai dengan bercampurnya bangsa Arab dengan non-arab ( ajam). Namun demikian, munculnya dualisme kala itu, tidak terjadi pada masyarakat bangsa Arab, melainkan pada masyrakat-masyarakat bangsa lain yang jumlahnya sudah mulai meningkat. Sebagian ahli melihat fenomena seperti ini, menganggapnya termasuk dalam persoalan bahasa asing; sebagian lain melihatnya sebagai persoalan dualisme bahasa. Kamal al-hajj, menanggapi masalah tersebut berpendapat bahwa dualisme bahasa terjadi karena ada dualitas dalam penggunaan akal dan perasaan manusia. Menurutnya, dualisme bahasa tersebut (fushah dan amiyah) tidak terjadi pada bangsa Arab sendiri. Setiap bahasa mengandung lisan umum (lisan amiy) dan lisan fasih (lisan fasih). Tetapi dualisme ini memiliki perbedaan antara satu bahasa dengan bahasa lain, dan yang paling penting, ia terjadi pada setiap bahasa. 5
Komentar mengenai dualisme dalam bahasa Arab ini dapat dibagi dalam dua kelompok; pertama, mereka yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan salah satu bukti dari kreatifitas manusia, dan kedua, mereka yang melihat bahwa dualisme bahasa tidak lebih dari kesulitan besar, di mana ketika seorang murid berada di sekolahnya, maka ia merasa tidak nyaman terhadap bahan bacaan. Lebih dari itu, bahasa fushah menuntut waktu yang panjang untuk mempelajarinya. Karena itu, dualisme bahasa kemudian menjadi sebab ketinggalan dan kebodohan. Kelompok kedua ini kemudian mengajukan beberapa keberatan terhadap masalah fushah dan amiyah yang dapat dirangkum dalam lima hal : Pertama, bahwa bahasa amiyah itu dimasukkan saja ke dalam bahasa fushah. Untuk itu kita harus dapat melakukan berbagai cara agar masyarakat dapat berbahasa Arab fushah dalam semua bidang kehidupan mereka. Bahasa fushah dengan demikian dapat menjadi bahasa yang sifatnya alamiah; yang telah berlaku dari zaman dulu sampai sekarang. Dengan demikian, seorang murid tidak akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Hal ini nantinya akan sangat bermanfaat ketika mereka mempelajari ilmu pengetahuan dan persoalanpersoalan sosial. Kedua, bahwa bahasa fushah dan amiyah itu dihilangkan saja dan diganti dengan bahasa asing yang lebih aktual, baik dari segi ilmu, budaya atau ekonomi. Mereka ini berpendapat bahwa bahasa fushah itu hanya akan membawa kepada kehancuran. Ketiga, pendapat yang mengarah pada penyatuan antara fushah dan amiyah dapat dilakukan dengan cara mengambil semua aspek-aspek yang ada pada dua bahasa tersebut. Keempat, istilah yang mengacu pada bahasa Arab yang resmi dan universal (al-lughat al-arabiyah al-muhakkiyah al-musytarakah), atau bahasa akademisi seluruh negeri Arab (al-lughat al-mutaaddibin fi jami al-aqthar al- Arabiyah), atau bahasa budayawan Arab (lughat mutsqifi al-arab). Istilah-istilah tersebut diartikan sebagai bahasa Arab yang sama digunakan oleh seluruh masyarakat Arab sebagai akibat dari proses budaya, sosial dan politik selama 30 6
tahun terakhir. Bahasa ini juga dikenal dengan nama bahasa Arab resmi yang dipakai oleh seluruh masyarakat Mesir, Irak, Syria, Lebanon, Palestina dan sebagainya. Bahasa inilah yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat, seperti di sekolah, surat kabar, radio, olahraga, perdagangan, pertemuan politik dan hubungan sosial. Dalam pendapat kelompok ini, bahasa merupakan mata rantai yang kuat yang dapat menjadikan bangsa Arab menjadi bangsa yang berbudaya. Salah satu ciri penting dalam bahasa ini adalah pemakaian i rab, norma yang umum dan bersandar pada bahasa fushah yang jelas. Kelima, pendapat terakhir yang menginginkan bahasa amiyah dapat dipakai dalam bahasa ilmiyah dan sastra. Pada aspek-aspek yang berbeda, bahasa fushah juga boleh digunakan. Asumsi yang timbul dari pengaruh pendapat ini adalah adanya kecenderungan masyarakat untuk melakukan apa yang bisa mereka lakukan; dan karena itu banyak yang mendukung pendapat ini. Untuk pembahasan ini kita perlu sedikit lebih merincinya. Seruan Kepada Bahasa Amiyah Seruan atau katakanlah ide untuk menggunakan bahasa amiyah pertama kali diakukan pada tahun 1880 oleh Wllhelm Spitta, direktur pada Dar al-kutub al-mishriyyah. Ia menulis buku yang berjudul Qawa id al- Arabiyyah al- Amiyyah fi Mishr. Selain itu pada tahun 1881, majalah al-muqtathif juga pernah memuat suatu tulisan dengan memakai bahasa (amiyah) yang digunakan masyarakat. Isi tulisan itu mengatakan bahwa perbedaan antara bahasa ucap dengan bahasa tulisan menjadi sebab utama kemunduran bangsa Arab. Majalah itu juga mengajak para tokoh untuk membahas kembali dan mendiskusikannya; yang ternyata kemudian diminati banyak ilmuwan dan cendekiawan. Tahun 1893, William Willcoks, insinyur berkebangsaan Inggris juga pernah menyampaikan orasi ilmiah di Nadi al-uzbakiyah (Mesir) dengan tema Lima Lam Tujad Quwwatu al-ikhtira Lada al-mishriyyin al-an?. Di situ ia berpendapat bahwa salah satu penyebab mengapa orang Mesir tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pemberontakan adalah karena mereka masih 7
menggunakan bahasa Arab fushah baik dalam tulisan atau bacaaan mereka. Ia menyarankan agar bahasa fushah segera ditinggalkan dan diganti dengan bahasa amiyah. Menurutnya bahasa fushah sangat susah dan sudah kuno. Tahun 1901, J. Seldon Wilmore, seorang hakim berkebangsaan Inggris, menerbitkan suatu buku dalam bahasa Inggris tentang bahasa amiyah Mesir dengan judul al- Arabiyyah al-muhakkiyah fi Mishr. Di dalamnya ia mengajak untuk menggunakan bahasa amiyah sebagai sarana dalam tulisan atau percakapan. Tahun 1902, Iskandar Ma luf pernah menulis artikel di majalah al-hilal. Di situ ia juga mengatakan bahwa banyak sekali masyarakat yang menggunakan bahasa amiyah dimana mereka percaya akan kebenarannya dan merasa wajib menggunakannya. Ia berharap dapat melihat majalah-majalah yang ada di negeri Arab dapat merubah bahasa mereka seperti yang telah dilakukan oleh majalah al- Hilal. Tahun 1913, Ahmad Luthfi al-sayyid juga menulis tujuh makalah tentang Mesirisasi Bahasa Arab yang dimuat di dalam surat kabar setempat. Di dalamnya ia mengatakan bahwa metode yang utama untuk menghidupkan bahasa Arab adalah dengan menghidupkan bahasa yang dipakai oleh masyarakat umum; dan di sisi lain dengan jalan menggunakan bahasa al-quran. Hal itu dapat dilakukan jika bahasa amiyah digunakan dalam tulisan-tulisan. Tahun 1925, seorang pendeta yang bernama Maron Ghozn menerbitkan sebuah buku yang berjudul Darsun wa Muthala atun. Salah satu babnya berjudul Hayat al-lughah wa Mautiha; al-lughah al- amiyah mengatakan bahwa matinya bahasa Arab fushah dapat dianggap sama dalam sejarah dua bahasa Yunani dan Latin; hal mana dapat dijadikan seruan untuk menuliskan bahasa amiyah Suriyah. Tahun 1955, Anis Farihah membuat tulisan yang berjudul Nahwa Arabiyah Muyassarah yang menyarankan penggunaan bahasa masyarakat umum sebagai satu-satunya bahasa. Ia beranggapan bahwa bahasa fushah sebenarnya adalah bahasa generasi yang sudah lama berlalu. Karena itu bahasa fushah tidak dapat dipakai lagi dalam kehidupan sosial sekarang. Sedangkan bahasa amiyah 8
adalah bahasa yang hidup dan berkembang. Banyak sarana untuk memahami dan mengerti bahasa amiyah, apalagi untuk urusan intern manusia. Seruan kepada bahasa amiyah di atas, pada dasarnya dilandasi dengan hal-hal berikut; 1) Bahasa fushah adalah bahasa generasi yang sudah lama yang tidak dapat lagi menggambarkan kehidupan saat ini. Sebabnya karena kita kesulitan untuk mempelajari dan mengajarkannya. Kesulitan tersebut terletak pada bidang nahwu (sintaksis), sharf (morfologi) dan mufradat kosa kata. Berbeda dengan bahasa amiyah yang mudah diucapkan dan dibuat, hal itu dikarenakan ia tidak perlu memakai i rab, tidak mempunyai lafadz-lafadz yang njelimet, sinonim atau antonim, juga tidak memiliki kesulitan dalam menerima istilah-istilah asing ataupun kecenderungan dalam menerima perubahan bentuk kata secara morfologis baik sebagai perkembangan atau perluasan kata. 2) Banyak orang Islam yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai media komunikasi, baik secara lisan atau tulisan, karena itu kondisi ini tidak membuat orang Islam memiliki keterkaitan dengan bahasa fushah. Sedangkan bahasa al- Quran diyakini akan tetap ada sehubungan dengan adanya pemerhati bahasa dan ahli-ahli bahasa. 3) Salah satu sebab kemunduran bangsa Arab adalah karena perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Karena itu dengan memakai bahasa amiyah akan dapat mencegah perbedaan ini, terutama terhadap gejala dualisme bahasa. Pendapat terakhir ini dikemukakan oleh Anis Farihah. Mengingat pentingnya tema ini dan ada hubungannya dengan objek bahasan kita, maka paragraf berikut akan kita fokuskan kepada pendapat Anis Farihah untuk dapat kita ekspoitasi dan kita didiskusikan. Dualisme Bahasa: Pandangan Anis Farihah Menurut Anis Farihah, pengaruh dualisme bahasa terjadi dalam bidang pemikiran, pendidikan, kepribadian, akhlak dan segi estetis lainnnya. Dalam bidang pemikiran, Anis Farihah menyimpulkan bahwa seseorang yang berbicara dengan bahasa Arab fushah akan memberikan perhatian kepada bahasanya lebih banyak dari pemikirannya sendiri. Terutama mereka yeng lebih khusus seperti 9
pemikir, ilmuwan atau filosof, Ketika mereka mengedepankan pandanganpandangan ilmiah, filsafat dan sosial mereka, kadang-kadang mereka merasakan kesulitan untuk menyusun suatu kalimat yang baik. Begitu juga sebagian besar pemirsa, peserta dan pembicara akan mengeluarkan banyak usaha untuk memahami arti secara baik, apalagi jika dilakukan secara spontan. Dalam bidang pendidikan, pengaruh dualisme ini juga karena bangsa Arab selalu berubah ketika mempelajari bahasanya, sama seperti bangsa barat ketika mempelajari bahasanya. Tujuan manusia membaca, olah bahasa para murid, serta struktur tulisan yang membawa pada makna tertentu, adalah persoalan-persoalan dasar dalam perbedaan amiyah dan fushah. Karena itulah bahasa fushah susah di lidah anak kecil. Dalam pembentukan pribadi, pengaruh ini karena dalam masyarakat Arab, seorang ayah dan ibu merasa kalau bahasa amiyah bukanlah bahasa pertumbuhan yang harus tumbuh bersama dengan seorang anak. Mereka akan menyerahkan persoalan ini kepada sekolah yang dalam pikiran si anak mewakili vokalisasi bahasa yang asing dan jauh dari kehidupan mereka. Karena itulah si anak tersebut akhirnya tumbuh dalam dua bentuk kepribadian; secara alamiah mereka suka berbicara dengan bahasa mereka yang sangat khusus, dan kepribadian yang terbentuk ketika mereka berbicara dengan bahasa fushah mereka dalam pertemuan-pertemuan yang resmi. Dalam segi akhlak, pengaruh ini menurut Farihah karena suatu bahasa memiliki pengaruh terhadap perubahan manusia. Dualisme bahasa ada pada tabiat dan akhlak masyarakat kita. Masyarakat kita tidak menggunakan bahasa fushah kecuali pada keadaan yang resmi. Ketika si anak menggunakan bahasa amiyah dalam kebiasaan mereka, mereka mengungkapkannya dengan santai dan rileks. Dalam bidang seni, terutama seni drama, menurut Farihah bahwa sebab kurang berbobotnya drama kita karena selalu menggunakan bahasa fushah; sekalipun sangat jelas perbedaan antara naskah drama dengan bahasa fushah. Seni drama adalah gambaran kehidupan dan perjalanan dengan segala macam jenisnya, harus dapat mengungkapkan kesaksian hidup. Di sinilah bahasa fushah 10
dianggap tidak mampu mengungkapkan realitas kehidupan. Ia lebih dianggap sebagai bahasa generasi yang sudah asing. Penutup Persoalan fushah dan amiyah yang ditampilkan dalam tulisan ini mungkin dapat menjadi wacana awal dalam proses pembelajaran bahasa Arab, terutama jika kita ingin meningkatkan kemampuan berbicara (maharat al-kalam) para siswa dan santri kita. Sekalipun tidak mengarah kepada persoalan metodologis, tulisan ini juga menyadarkan akan pentingnya sikap konsisten khususya kepada anak didik untuk menerapkan dan mempergunakan bahasa arab fushah dalam percakapan mereka sehari-hari. Hal ini didasari karena penggunaan kosa kata bahasa amiyah yang terkadang dipakai, dapat mengacaukan kemampuan berbicara fushah mereka. Padahal penguasaan bahasa fushah, baik dalam lisan atau tulisan, adalah modal utama kemampuan siswa kita memahami hazanah intelektual Islam. [] 11