BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, hubungan sosial mengambil peran yang penting. Mereka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

1. PENDAHULUAN. Peningkatan kemajuan teknologi merupakan suatu proses yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan kehidupannya. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, sampai

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana

merugikan tidak hanya dirinya tapi juga orang lain.

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. psikis, maupun secara social (Sudarsono, 2004). Inilah yang disebut sebagai

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pertama kalinya. Menurut Santrock 2002: 56 ( dalam Arif 2013 : 1),

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

I. PENDAHULUAN. lalu lintas, dan lain sebagainya (Soekanto, 2007: 101). undang-undang yang berlaku secara sah, sedangkan pelaksananya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan manusia lain. Hubungan antar manusia dapat terjalin ketika

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. yang berpendidikan akan mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dan

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan kecepatan tumbuh dan gaya penampilannya (Sujiono, 2007). Perbedaan tersebut

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang menarik dibanyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, hubungan sosial mengambil peran yang penting. Mereka mulai memperluas pergaulan sosial dengan teman-teman sebayanya. Menurut Santrock (2003: 219), teman sebaya adalah seseorang dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya inilah, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Hasil laporan penelitian Afiatin pada tahun 1996 (Pohan, 2005: 1) menyebutkan bahwa hampir semua responden yang terdiri dari para remaja memiliki masalah yang berkaitan dengan masalah psikis dan masalah-masalah sosial. Masalah sosial mereka adalah konflik dengan teman sebayanya. Munculnya konflik interpersonal adalah suatu hal yang normal dan akan selalu menjadi bagian yang tidak dapat dielakkan dari semua hubungan interpersonal yaitu hubungan yang ditandai adanya ketergantungan satu sama lain sehingga membutuhkan suatu kesepakatan atau persetujuan satu dengan yang lainnya (Dayaksini & Hudaniah, 2009: 162). Hasil penelitian Latipun (2006: 2) di Malang menunjukkan prevalensi remaja yang mengalami konflik dengan teman sebaya sebanyak 21%, dan sebanyak 81% dari 141 remaja yang menjadi sampel menyatakan pernah 1

2 mengalami perselisihan dan konflik dengan teman sebaya di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli psikologi (Shantz & Hartup, 1995:7) bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya konflik. Konflik interpersonal mengandung dampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik adalah menumbuhkan dorongan yang kuat untuk menyelidiki suatu masalah dan berbuat yang mengarah pada penyelesaian masalah tersebut. Sedangkan dampak negatifnya adalah dapat meningkatkan anggapan negatif pada pihak lain dan hal ini dapat menciptakan masalah yang serius. Salah satu masalah adalah kebanyakan konflik melibatkan suatu metode penanganan yang tidak baik dan fokusnya sebagian besar untuk menyakiti yang lainnya (Dayaksini & Hudaniah, 2009: 162). Perilaku yang ditujukan untuk menyakiti makhluk hidup lain baik secara fisik maupun secara mental disebut perilaku agresif (Setiadi, 2001: 60). Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia. Konflik seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak berkonflik dengan disertai tindakan agresif (Latipun, 2006: 1, Wirawan, 2010: 182). Hal ini sesuai dengan pendapat Shantz & Hartup (1995: 4) bahwa konflik umumnya menjadi latar belakang dimana agresi terjadi. Menurut Nevid, Rathus, Greene (2003: 208) perilaku agresi yang dilakukan oleh remaja terjadi dalam situasi-situasi konflik. Salah satu masalah sosial sangat genting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah maraknya aksi kekerasan di berbagai lapisan kehidupan bermasyarakat, termasuk di kalangan remaja dan pelajar (Khisbiyah, 2000: 18). Agresi pada

3 remaja memiliki tipe tertentu walau tidak dapat dipisahkan secara jelas dengan agresi pada anak-anak dan orang dewasa. Menurut Bolman (Dayaksini & Hudaniah. 2009: 211), perilaku agresi yang timbul pada usia 6-14 tahun adalah berupa kemarahan, kejengkelan, rasa iri, tamak, cemburu dan suka mengkritik. Mereka mengarahkan perilakunya kepada teman sebaya, saudara sekandung, dan juga kepada dirinya sendiri. Selain itu, mereka juga senang berkelahi secara fisik untuk anak laki-laki dan perang mulut untuk wanita. Pada usia 14 tahun sampai dewasa, mereka sudah mulai memodifikasi perasaan agresif, misalnya dalam bentuk aktivitas kerja dan olah raga. Perilaku tersebut bertujuan untuk keseimbangan emosi, khususnya harga diri. Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada saat ini, pelajar yang berusia 14 tahun ke atas yang seharusnya memodifikasi perilaku agresif dalam bentuk olah raga atau aktivitas lain, justru terlibat dalam agresi fisik. Perilaku agresi yang dilakukan oleh pelajar seringkali diberitakan di beberapa media, seperti perkelahian (Wasita, 2010), tawuran (Nugraha, 2010), bahkan pembunuhan (Sulistyawati, 2011). Peneliti telah melakukan survei di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Harapan Kartasura untuk mengetahui konflik interpersonal yang dialami para siswa. Didapatkan hasil sebanyak 96% dari 73 siswa yang menjadi responden pernah mengalami konflik dengan temannya, dan 36% siswa tergolong sering mengalami konflik dengan temannya di sekolah. Statistik tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Hasil survei tersebut sesuai dengan keterangan dari guru bimbingan konseling (BK) sekolah bahwa siswa yang terlibat konflik dengan temannya

4 sering padu (perang mulut), diam-diaman selama berhari-hari, bahkan ada beberapa siswa yang sampai berkelahi. Hasil survei tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 1. Tabel 1 Hasil angket survei konflik NO PERTANYAAN JAWABAN JML PERSEN 1. Apakah anda pernah mengalami konflik dengan teman anda? 2. Seberapa sering anda mengalami konflik dengan teman anda? 3. Masalah apa yang biasa memunculkan konflik dengan teman anda? 4. Apakah anda dan teman anda pernah bertengkar ketika mengalami konflik? 5. Apakah guru kelas atau guru BK memberi sanksi jika anda berkonflik dengan teman anda? Ya 70 96 % Tidak 3 4 % Tidak begitu sering 20 27% Jarang 18 25% Kadang-kadang 11 15% Tergantung situasi 7 10% Sering 7 10% Seminggu sekali 4 5% Banyak 3 4% Tidak 2 3% Sebulan sekali 1 1% Ejekan 30 43% Salah paham, beda 14 20% pendapat Rahasia 8 11% Cewek, teman 7 10% Usil, bercanda 4 6% Musuhan, 2 3% pertengkaran Bermain 2 3% Lain-lain 2 3% Apapun 1 1% Ya 56 77% Tidak 17 23% Ya 56 80% Tidak 17 20%

5 Reaksi yang muncul ketika menghadapi konflik perang mulut 6% bingung 4% berkelahi 6% minta maaf 3% biasa saja 10% cuek 4% hadapi dengan kepala dingin 1% coba sabar dulu, baru balas 1% marah, kesal, emosi 65% Gambar 1 Hasil survei reaksi siswa ketika menghadapi konflik interpersonal Cara paling umum yang digunakan oleh pihak sekolah untuk menyelesaikan konflik siswanya adalah dengan memberikan sanksi, ancaman, dan sebagainya. Survei yang telah dilakukan di berbagai propinsi di Indonesia mengenai hal-hal yang dilakukan sekolah terhadap siswa yang terlibat dalam konflik, yaitu dengan memberikan tindakan yang tegas kepada siswa, mulai dari peringatan hingga pemberian sanksi (Latipun, 2006: 43). Hal ini sesuai dengan hasil survei peneliti di SMK Harapan Kartasura, yaitu 80% dari 70 siswa yang pernah terlibat konflik mengaku bahwa guru kelas atau guru bimbingan konseling (BK) memberi sanksi jika mereka mengalami konflik dengan temannya. Meski demikian, perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan pelajar justru semakin mengkhawatirkan. Cara-cara nonagresif dalam mengelola situasi-situasi bermasalah dapat mengurangi perilaku agresif dan meningkatkan perilaku sosial (Nevid, Rathus,

6 Greene, 2003: 213). Tiga pendekatan edukatif dapat diterapkan di sekolah untuk mengatasi konflik di kalangan pelajar, yaitu: 1) pendidikan damai yang diintegrasikan dengan kurikulum sekolah, 2) latihan penyelesaian konflik secara konstruktif, dan 3) mediasi dan negosiasi oleh teman sebaya. Pada dasarnya, remaja yang mengalami konflik perlu ditolong dengan metode yang sesuai sehingga mereka dapat menyelesaikannya secara konstruktif dan dapat menyelesaikan masalah psikologis yang menyertainya (Latipun, 2006: 2). Berdasarkan berbagai penelitian (Latipun, 2006: 2), model penyelesaian konflik tersebut adalah efektif, di antaranya dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam menyelesaikan konflik secara konstruktif, lebih bersikap prososial, dan dapat menghindari tindak kekerasan. Kemampuan untuk dapat menyelesaikan konflik yang dihadapi remaja menjadi penting. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, konflik itu sendiri dapat berakibat positif atau negatif. Remaja yang memiliki kemampuan pemecahan konflik yang baik akan memberi efek yang baik pada hubungan sosialnya. Sementara jika ia gagal melakukan pemecahan konflik dengan baik, bertentangan dengan harapan sosial, akibatnya timbul penolakan dari sosial karena ia dianggap melakukan perilaku yang negatif dan tidak sewajarnya (Pohan, 2005: 2). Hasil penelitian Faturrohman, dkk (1995) (Pohan, 2005: 2) menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama dari perilaku negatif antisosial adalah kemampuan siswa yang terbatas dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Mereka melakukan itu karena tidak tahu cara menghadapi konflik tersebut. Hasil survei yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa sebanyak 77% dari

7 siswa yang mengalami konflik interpersonal dengan temannya di sekolah, menghadapinya dengan perilaku agresif, yaitu marah, kesal, emosi, perang mulut, dan bahkan berkelahi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk membuat model pelatihan manajemen konflik bagi siswa SMK. Pelatihan ini oleh peneliti diberi nama pelatihan Fun Fauna Games. Perlakuan pelatihan manajemen konflik ini dilakukan dengan menggunakan teori strategi manajemen konflik menurut Johnson & Johnson (Dayaksini & Hudaniah, 2009: 166), yaitu: kurakura, ikan hiu, beruang, rubah, dan burung hantu. Oleh karena strategi tersebut adalah nama-nama hewan dan metode yang akan digunakan dalam pelatihan ini adalah permainan, yaitu metode yang menyenangkan (Roqib, 2009: 115), maka pelatihan manajemen konflik ini disebut juga fun fauna games. Rumusan masalah yang diajukan peneliti adalah, apakah pelatihan fun fauna games dapat menurunkan perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan pelajar?. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas pelatihan fun fauna games terhadap perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan pelajar.

8 C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Pihak Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi berupa efektivitas pelatihan fun fauna games terhadap perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan remaja, sehingga pihak sekolah dapat bekerjasama dengan para orang tua dan guru terkait perilaku agresif siswanya dalam menyelesaikan konflik interpersonal. 2. Guru Bimbingan Konseling Jika hipotesis penelitian terbukti, hasil penelitian ini dapat memberikan solusi yang direkomendasikan bagi siswanya yang sedang mengalami konflik dengan temannya, dan juga dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya siswa. 3. Siswa Bagi subjek penelitian, jika hipotesis dalam penelitian ini terbukti, maka penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam mengelola konflik sehingga dapat menurunkan perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal. 4. Ilmuwan Psikologi dan Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa wacana pemikiran dan data-data empirik tentang model pelatihan fun fauna games untuk menurunkan perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan remaja, dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

9 D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pelatihan manajemen konflik dan perilaku agresif telah banyak dilakukan. Penelitian Diana (2007: 57) misalnya, judul penelitiannya adalah Agresivitas siswa SMA dan SMK Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan agresivitas antara siswa SMA dan SMK. Tidak pula ada perbedaan kelapangdadaan antara siswa SMA dan siswa SMK. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil studi tentang intensi agresi di kalangan siswa milik Abidin, Djunaidi, dan Utomo (2003: 1) bahwa: (1) tingkat intensi agresi pada siswa sekolah menengah umum rendah, (2) tidak terdapat perbedaan signifikan antara siswa sekolah menengah teknik dan sekolah menengah umum, (3) agresi fisik lebih merupakan intensi daripada agresi verbal. Hasil penelitian ini menggambarkan kondisi riil, dimana di Bandung kurang ditemukan kenakalan remaja dan kekerasan massa (tawuran) di antara para pelajar. Di samping itu, siswa wanita kurang memiliki intensi agresi dibandingkan siswa pria. Temuan ini sesuai dengan temuan-temuan dari tempat lain di mana pria lebih agresif dari pada wanita. Selanjutnya, penelitian tentang perilaku agresi juga dilakukan oleh Khisbiyah (2000: 23) dengan judul program pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di kalangan pelajar. Penelitian miliknya telah diterbitkan dalam jurnal. Di dalam jurnal tersebut menyebutkan beberapa program untuk dikembangkan guna mencegah terjadinya kekerasan, salah satunya adalah mengembangkan keterampilan menyelesaikan konflik.

10 Hasil penelitian tentang pelatihan manajemen konflik milik Amira (2008: 4) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang bermakna pada kinerja perawat pelaksana sesudah dibimbing kepala ruangan yang telah diberi pelatihan manajemen konflik. Berdasarkan hasil penelitian di atas, belum ditemukan penelitian dengan judul penelitian yang sama dengan judul penelitian peneliti, yaitu model pelatihan fun fauna games untuk menurunkan perilaku agresif dalam menyelesaikan konflik interpersonal di kalangan pelajar.