PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia (SDM) dikatakan berkualitas bila memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Pencapaian pembangunan manusia yang berkualitas dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Ada tiga faktor yang menjadi indikator IPM yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dengan status gizi masyarakat. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (BAPPENAS 2010) menyatakan bahwa dari laporan Human Development Reports, UNDP, tahun 2010 IPM Indonesia dikategorikan dalam medium human development dan menduduki ranking 108 dari 182 negara. Sejalan dengan itu status gizi balita di Indonesia juga masih sangat mengkhawatirkan. Terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 (Kemenkes Balitbang 2010) melaporkan bahwa prevalensi balita menderita status gizi kurang sebesar 17.9% dan gizi buruk sebesar 4.9%. Dimana kondisi kurang gizi akan berdampak pada penurunan kualitas SDM. Selain itu juga Depdiknas tahun 2002 melaporkan dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17% anak yang mengikuti pendidikan usia dini. Padahal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang diselenggarkan sebelum jenjang pedidikan dasar (Kemendiknas 2010). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 1 angka 14 yang menyatakan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Kualitas SDM ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada masa kanak-kanak. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak ada dua, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar (Darmadji et al. 1984). Faktor dari dalam ini bersifat genetik, dan faktor dari luar yaitu lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang sudah ada dalam diri anak sendiri, termasuk halhal yang diturunkan oleh orang tua, seperti warna rambut dan bentuk tubuh,
2 sedangkan faktor lingkungan adalah faktor keluarga (terutama sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak, dalam hubungan orang tua dengan anak), pemeliharan, budaya setempat, dan teman bermain. Menurut Martorell (1996) menyatakan bahwa kekurangan gizi pada balita akan berdampak pada pertumbuhan fisik tertunda, perkembangan motorik dan kognitif tergangguan. Pengaruh ini dapat menyebabkan penurunan IQ sebesar 15 poin. Khomsan (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak yang cepat terjadi pada usia di bawah lima tahun. Bahkan fase pertumbuhan otak cepat (growth spurt) terjadi sampai usia 18 bulan. Status gizi anak pada dua tahun pertama sangat menentukan perkembangan kognitif di masa yang akan datang. Ditambahkan Soedjatmiko (2008) bahwa sejak usia kehamilan enam bulan sampai anak berusia dua tahun, merupakan waktu pertumbuhan percabangan sel-sel otak paling cepat. Semakin sering, bervariasi dan teratur rangsangan atau stimulasi yang diterima sejak usia kehamilan enam bulan sampai usia dua tahun maka semakin kuat hubungan antara sinaps sel-sel di otak kiri dan kanan. Kualitas kecerdasan anak tergantung dari kualitas sel-sel otak yang terbentuk sampai usia 2-3 tahun. Kualitas sel-sel otak tergantung pada ransangan (stimulasi) dan kualitas gizi untuk perkembangan fungsi-fungsi sel-sel otak tersebut. Oleh karena itu kebutuhan gizi dan stimulasi dini sangat penting terutama sejak didalam kandungan sampai berusia 2-3 tahun (Soedjatmiko 2008). Kemudian Rahmaulina dan Hastuti (2008) menyatakan kualitas SDM sangat ditentukan oleh kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak yang dikembangkan melalui pengasuhan oleh keluarga, terutama orang tua. Selain itu, kurangnya gizi akan berdampak pada perubahan perilaku sosial, perhatian menurun, kemampuan belajar, dan rendahnya hasil belajar (Jalal 2009). Demikian juga dalam penelitian Grantham Mc-Gregor (1995) menemukan bahwa anak yang memiliki status gizi baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Status gizi anak usia dini dalam jangka pendek berdampak pada perkembangan otak, pertumbuhan massa otot dan komposisi tubuh, serta pemprograman metabolism zat-zat gizi, sedangkan dampak pda jangka panjang adalah performance kognitif, imunitas dan produktivtas kerja, serta meningkatkan kejadian-kejadian penyakit degeneratif (ACC/SCN 2000). Kemudian Jalal (2009) menyatakan bahwa anak yang memiliki status kesehatan dan gizi yang rendah, cenderung untuk tidak berprestasi di sekolah karena mereka memiliki kemampuan yang rendah dalam berkonsentrasi dan menyerap pembelajaran
3 yang diterima. Kemudian berdasarkan hasil studi Zeitlin (2000) menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Demikian pula hasil penelitian Anwar (2002) menemukan bahwa ada hubungan antara model pengasuhan anak di bawah dua tahun dengan peningkatkan perkembangan psikososial anak. Hastuti et al. (2010) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak yang rendah dapat mengindikasikan rendahnya tingkat pengasuhan orang tua kepada anak. Ditambahkan Evans et al. (2000) bahwa perkembangan anak bersifat holistic dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kesehatan, gizi, sosial, emosional, dan spiritual. Dengan kata lain, bila kekurangan gizi, status kesehatan rendah, dan tidak optimalnya pengasuhan anak akan menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kognitif, motorik, sosial dan emosional anak. Selain itu karakteristik ibu, yaitu pengetahuan dan status gizi ibu juga mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh ibu. Myers (1992) menyatakan bahwa banyaknya waktu yang digunakan ibu dalam mengasuh anaknya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Pengetahuan ibu tentang gizi dan penerapannya juga mempengaruhi status gizi anak, dan keadaan status gizi ibu mempengaruhi aktifitas pengasuhan anak. Berdasarkan penelitian Sa diyyah (1998) menemukan bahwa faktor semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Menurut Satoto (1990) bahwa faktor ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Latifah et al. (2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dan pendidikan ayah dengan stimulasi psikososial, demikian halnya dengan pendidikan ibu. Hasil penelitian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan bahwa berat badan lahir nyata akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Adapun permasalahan yang mendasari dari penelitiian ini adalah data Riskesdas 2007 yang melaporkan bahwa persentase balita yang mengalami gizi kurang yang berasal dari keluarga yang tingkat pengeluaran rumah tangga per kapitanya berada di kuintil satu sebesar 15.4% dan untuk gizi buruk sebesar 6.7%. Kemudian Riskesdas 2010 juga melaporkan bahwa persentase balita yang mengalami gizi kurang yang berasal dari keluarga yang tingkat pengeluaran rumah tangga per kapitanya berada di kuintil satu sebesar 15.6% dan untuk gizi
4 buruk sebesar 7.1%. Selain itu Riskesdas 2007 melaporkan persentasi balita yang mengalami gizi kurang yang kepala keluarganya bekerja menjadi petani atau nelayan atau buruh sebesar 14.8%. Demikian pula laporan Riskesdas 2010, persentasi balita yang mengalami gizi kurang yang kepala keluarganya bekerja menjadi petani atau nelayan atau buruh sebesar 15.2%. Terjadi peningkatan persentasi baik prevalensi gizi kurang maupun gizi buruk. Ini menggambarkan bahwa sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap status gizi balita di dalam keluarga tersebut. Berdasarkan BPS (2006), yang melaporkan bahwa Subang merupakan daerah pertanian dan memiliki persentase penduduk miskin yang tergolong tinggi sebesar 18.9% pada tahun 2005. Kemudian Database Kesehatan per Kabupaten melaporkan bahwa Kabupaten Subang tahun 2008 hingga tahun 2010 (Tabel 1) masih memiliki masalah gizi pada balita. Terlihat dari jumlah prevalensi balita yang mengalami masalah gizi cenderung stagnan atau tetap. Meskipun persentasenya masih di bawah 5%, namun diharapkan dapat diselesaikan secara efisien dan efektif agar kualitas SDM Indonesia membaik. Tabel 1 Prevalensi masalah gizi pada balita Kabupaten Subang Tahun BBLR (%) BGM (%) Gizi Buruk (%) 2008 2.19 2.47 0.57 2009 2.00 2.74 0.53 2010 1.24 3.95 0.58 Sumber : Database Kesehatan per Kabupaten (2012) Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian secara lebih mendalam mengenai bagaimana keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin. Tujuan Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, asupan
5 gizi anak, pola asuh lingkungan, dan status gizi anak usia prasekolah berdasarkkan keikutsertaan dalam PAUD. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, dengan asupan energi dan protein anak usia prasekolah. 3. Menganalisis hubungan antara asupan energi dan protein anak dengan status gizi anak usia prasekolah. 4. Menganalisis hubungan antara genetik, pola asuh lingkungan, keikutsertaan dalam PAUD, dan status gizi dengan perkembangan kognitif anak. 5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asupan gizi dan perkembangan kognitif anak. Hipotesis Adapun hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, asupan gizi anak, pola asuh lingkungan, dan status gizi anak usia prasekolah berdasarkkan keikutsertaan dalam PAUD. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, dengan asupan energi dan protein anak usia prasekolah. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dan protein anak dengan status gizi anak usia prasekolah. 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara genetik, pola asuh lingkungan, keikutsertaan dalam PAUD, dan status gizi dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. 5. Terdapat faktor yang berpengaruh signifikan terhadap asupan gizi anak dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Manfaat Melalui hasil penelitian ini akan menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak usia prasekolah, khususnya pada keluarga miskin. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan tentang pola asuh yang tepat untuk
6 balita setempat, secara khusus pada usia prasekolah. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang mepengaruhi tumbuh kembang anak, dapat membantu orang tua atau pengasuh anak untuk mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik untuk mendukung tumbuh kembang anak yang optimal. Diharapkan dapat memberikan masukkan bagi para pengambil kebijakan baik untuk program gizi dan kesehatan agar dapat digunakan untuk peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak, khususnya untuk keluarga miskin.