PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI HUKUM AD HOC DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA,

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR V/MPR/2000 TENTANG PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG

PENGUJIAN UU BPJS TERHADAP UUD (Keterangan Ahli Dalam Sidang Pengujian UU BPJS di MKRI. tanggal 10 Februari 2015)

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGATURAN TERKAIT PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA OTONOMI KHUSUS PADA PROVINSI PAPUA

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD, Hak dan Kewajiban Anggotanya Serta Kelemahan dari DPD Dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB V PENUTUP. fakir miskin pada era otonomi khusus di Provinsi Papua, dapat dirumuskan

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INVESTASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa hal. yang dapat disimpulkan di antaranya adalah :

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

RINGKASAN. vii. Ringkasan

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR V/MPR/2000 TENTANG PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCAANPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Program Sasaran

BAB I BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

1 of 23 27/04/2008 2:24 PM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41B/DPR RI/I/ TENTANG

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

APA ITU DAERAH OTONOM?

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG OTSUS DAN PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

PEMERINTAHAN YANG BERSIH

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Penelitian ini mengkaji tentang Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), proses. pengawasan dan hambatan-hambatan yang dialami dalam mengawasi

PARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA. Dr. H. Kadri, M.Si

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

TINJAUAN HUKUM ATAS PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Transkripsi:

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya dikenal istilah daerah khusus dan daerah istimewa. 1 Pada masa lalu, daerah khusus adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah lain karena kedudukannya, sedangkan daerah istimewa adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan berbeda karena perbedaan atau keistimewaan berupa susunan asli masyarakat. Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan negara melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Hal ini selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama reformasi. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya desentralisasi dan penghormatan terhadap keberagaman daerah. 2 Dari sisi sosial ekonomi, sentralisasi yang telah dipraktikkan selama masa orde baru telah melahirkan kesenjangan pusat dan daerah, serta kesenjangan antar daerah, yang berujung kepada ancaman terhadap integrasi nasional. Desentralisasi dalam bingkai otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan hubungan pusat daerah dan antar daerah yang lebih adil dan demokratis. Khusus untuk Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik integrasi yang telah berkepanjangan.

Otonomi khusus berdasarkan UUD 1945 Pasca Perubaha memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan daerah khusus berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan. Otonomi berarti daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus rumah tangga sendiri atau urusan daerah sendiri diluar urusan tertentu yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dengan daerah pada umumnya. Otonomi diberikan kepada daerah sebagai kesatuan hukum, bukan kepada pemerintah daerah. Otonomi khusus berbeda dengan daerah khusus karena di dalam otonomi khusus perbedaan dengan daerah lain bukan hanya dari sisi struktur pemerintah daerah, melainkan juga meliputi perbedaan ruang lingkup hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki daerah, serta pola dan proporsi hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah khusus. Latar belakang pemberian otonomi khusus kepada Papua juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menggambarkan bahwa pemberian otonomi khusus kepada Papua dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat Papua. Di sisi lain, juga diakui bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam tidak digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga mengakibatkan munculnya kesenjangan baik di antara masyarakt Papua maupun antara Papua dengan wilayah lain di Indonesia. Hal itu terjadi karena kebijakan masa lalu yang bersifat sentralistik dengan

mengabaikan kondisi khusus yang ada di Papua. Kebijakan yang pernah diterapkan di Papua tidak hanya mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat Papua, tetapi juga mengingkari hak-hak dasar penduduk asli serta mengingkari realitas perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua dengan berbagai masalah ikutan yang dihadapi. Upaya-upaya yang pernah dilakukan dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua sehingga memicu kekecewaan dan ketidakpuasan. Berdasarkan latar belakang pembentukan UU Otonomi Khusus Papua dapat diketahui bahwa tujuan pemberian Otonomi khusus adalah untuk menyelesaikan akar masalah Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Namun demikian, substansi UU Otonomi Khusus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar persoalan di Papua. UU Otonomi Khusus Papua hanya dapat digunakan sebagai instrumen normatif untuk menyelesaikan akar persoalan berupa kesenjangan, persamaan kesempatan, serta perlindungan hak dasar dan Hak Asasi Manusia. Secara spesifik UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa tujuan Otonomi Khusus Papua adalah untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pijakan pemberlakuan Otonomi Khusus adalah perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Untuk persoalan yang berakar pada konflik dan perbedaan pendapat mengenai proses dan legalitas penyatuan Papua sebagai bagian dari Indonesia sama sekali tidak disinggung walaupun realitas masih menunjukkan kuatnya pengaruh akar persoalan ini dalam konflik di Papua. Konsekuensinya, tujuan pemberian Otonomi Khusus juga bukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut. Dengan sendirinya persoalan aspirasi pemisahan diri yang bersumber pada perbedaan persepsi legalitas PEPERA tidak dapat diselesaikan melalui

pemberian Otonomi Khusus. Walaupun demikian, Otonomi Khusus dipercaya sebagai langkah awal yang positif untuk menyelesaikan masalah tersebut, setidaknya untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Ruang Lingkup Otonomi Khusus Landasan konstitusional Otonomi Khusus Papua adalah Pasal 18B UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selain itu Pasal 18A UUD 1945 juga menentukan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Ketentuan ini memberikan kemungkinan pengaturan pemberian otonomi dan desentralisasi wewenang yang tidak sama untuk daerah-daerah tertentu yang bersifat khusus, berbeda dengan pengaturan otonomi untuk daerah lain yang secara umum diatur berlandaskan pada Pasal 18 UUD 1945. Dengan demikian, otonomi yang diberikan kepada Papua bersifat khusus dan berbeda dengan otonomi yang diberlakukan di daerah-daerah lain. Oleh karena itu sudah seharusnya ketentuan otonomi daerah dan pemerintahan daerah yang diberlakukan di Papua juga berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kekhususan itu dapat dilihat secara jelas dari titik berat otonomi pada tingkat provinsi, berbeda dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang meletakkan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Hal ini sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa masyarakat Papua adalah satu kesatuan sosial, sedangkan kabupaten atau kota seharusnya hanya dilihat sebagai pembagian administratif atau kewilayahan saja. Selain itu, kekhususan otonomi di Papua sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, adanya institusi representasi kultural orang asli Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP), yang memiliki

wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedudukan lembaga MRP tidak dijumpai di daerah lain, di mana dari sisi wewenang yang dimiliki dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dalam struktur parlemen bikameral (sebagai majelis tinggi). Sebagai representasi masyarakat Papua, Majelis Rakyat Papua memiliki wewenang yang besar, baik di dalam pembentukan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemerintahan. MRP inilah yang akan menentukan bentuk konkrit kekhususan pemerintahan Papua. Kedua, adanya pengaturan yang bersifat khusus terkait dengan pendapatan daerah untuk Papua. Kekhususan Papua adalah pada besaran dana bagi hasil untuk sumberdaya alam di sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Persentase ini lebih besar dari persentase yang diatur untuk daerah lain, di mana bagi hasil pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan untuk gas alam 30,05%. Selain itu, terdapat Penerimaan Khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Ketiga, diakuinya eksistensi kultural melalui penggunaan simbol-simbol khusus yang merepresentasikan eksistensi Papua, penamaan lembaga, serta penamaan aturan yang juga bersifat khusus. Ketidakpuasan Terhadap Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Dari dua daerah yang memiliki otonomi khusus, Aceh dapat dikatakan telah berhasil, namun tidak demikian halnya dengan Papua. Aceh telah mampu meminimalisir konflik dan kekerasan bersenjata dan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan baik, walaupun masih terdapat riak-riak kecil kekerasan. Hal ini berbeda dengan Papua yang masih dirundung konflik bersenjata dan kerap terjadi kekerasan.

Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan di dua daerah tersebut. Namun dua faktor yang paling menonjol adalah penyelesaian konflik dan pelaksanaan otonomi khusus. Perbedaan mendasar antara Aceh dengan Papua adalah dalam hal penyelesaian konflik. Di Aceh, konflik politik pemisahan diri diselesaikan terlebih dahulu sebelum penerapan Otonomi Khusus. Otonomi khusus yang diberlakukan di Aceh adalah produk kesepakatan bersama dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sehingga pelaksanaannya pun dipahami bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian konflik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Papua. Otonomi Khusus Papua tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesepakatan bersama, melainkan produk dari pemerintah pusat untuk meredam konflik yang terjadi di Papua. Jika Otonomi Khusus Aceh adalah bentuk tindak lanjut dari penyelesaian konflik, Otonomi Khusus Papua dibuat sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Akibatnya, belum ada pemahaman bersama dari pihak-pihak yang terlibat konflik terhadap eksistensi Otonomi Khusus. Bagi pemerintah pusat, Otonomi Khusus adalah wujud nyata ikhtiar untuk menyelesaikan konflik, sedangkan bagi sebagian masyarakat Papua Otonomi Khusus adalah ciptaan pemerintah pusat untuk menghentikan perlawanan mereka. Terhadap Otonomi Khusus, memang terdapat masyarakat Papua yang terlibat dalam pembentukan dan menerimanya sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian di Papua. Demikian pula dari sisi substansi, UU Otonomi Khusus Papua memang telah memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Papua. Namun hal itu berubah menjadi bagian dari sumber konflik ketika UU Otonomi Khusus Papua tidak dilaksanakan dengan konsisten. Hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada Papua seringkali dibatasi, dikurangi, bahkan ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang bersifat operasional dan sektoral. Hasil riset Patnership mengenai Kinerja Otonomi Khusus Papua (2008) menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Bahkan disebutkan untuk beberapa kasus

Otonomi Khusus justru meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa alasan ketidakberhasilan Otonomi Khusus Papua, yaitu: 3 a. Beberapa substansi dalam UU Otonomi Khusus justru menimbulkan konflik yang tidak terselesaikan antara masyarakat Papua dengan pemerintah, seperti masalah lambang dan bendera daerah. Walaupun keberadaan lambang dan bendera diakui dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tetapi tidak mendapatkan rumusan lebih lanjut dan justru dihalang-halangi oleh pemerintah. Kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora adalah contoh yang sering terjadi. Aparat TNI dan Polri menolak pengibaran bendera bintang kejora. b. Dalam implementasinya, dimensi politik dalam penyelesaian masalah Papua jauh lebih kuat dibanding pembangunan dan peningkatan kesejahteraaan. Otonomi Khusus lebih banyak diisi oleh peristiwa politik seperti pemekaran, demonstrasi, pengembalian Otonomi Khusus hingga Pilkada. Sangat sedikit ruang yang tersedia untuk program-program konkrit guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua demi menghilangkat kesenjangan antara pusat dan Papua, antara daerah lain dengan Papua, bahkan antara penduduk asil Papua dengan pendatang. c. Perumusan aturan tatalaksana Otonomi Khusus tidak berjalan secepat pengucuran dana Otonomi Khusus. Peraturan Pemerintah tentang MRP baru selesai setelah 3 tahun Otonomi Khusus. Perdasus pertama baru muncul enam tahun setelah Otonomi Khusus. Padahal sejak tahun 2002, dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar terus mengucur. Akibatnya tidak ada satu kerangka aturan yang bisa menjamin dana Otonomi Khusus mengalir untuk pembangunan yang berorientasi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebaliknya, dana Otonomi Khusus banyak ditengarai dikorupsi atau digunakan untuk kepentingan para elit di Papua.

d. Evaluasi terhadap Otonomi Khusus yang seharusnya dilakukan setiap tahun setelah evaluasi pertama pada tahun ketiga sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Khusus tidak dilakukan secara mendalam dan komperehensif. Akibatnya masyarakat tidak pernah mendapatkan potret pelaksanaan Otonomi Khusus dalam hal pemenuhan hak-hak mendasar mereka secara utuh. Yang berkembang di tengah masyarakat adalah bahwa dana Otonomi Khusus banyak diselewengkan oleh birokrasi pemerintahan; e. Otonomi Khusus memang terinformasikan kepada masyarakat luas (dalam hal ini di kota dan kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed. Masyarakat mengetahui tentang Otonomi Khusus tetapi tidak memahaminya secara menyeluruh. Dengan realitas seperti itu, Otonomi Khusus berjalan menjadi kebijakan yang tidak partisipatif. Kebijakan yang dijalankan dengan satu perspektif tunggal dari pemerintah. Secara umum penelitian Kemitraan menyimpulkan bahwa kinerja Otonomi Khusus selama lima tahun implementasi masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Salah satu pernyataan resmi yang dinilai signifikan sebagai indikator rendahnya kinerja Otonomi Khusus adalah pernyataan Gubernur Barnabas Suebu pada Sidang Paripurna perdana pembahasan RAPBD Papua Tahun Anggaran 2007, Februari 2007. Pada pertemuan tersebut Gubernur menyampaikan --berdasarkan laporan data statistik-- Rumah Tangga (RT) miskin di Papua tercatat sebanyak 480.578 atau sama dengan 81,52% dari total rumah tangga yang ada. Angka ini kurang lebih setara dengan 72,72% penduduk asli Papua yang tingkat kehidupannya dikategorikan miskin, bahkan miskin absolut. Permasalahan Implementasi Ketidakberhasilan Otonomi Khusus setidaknya bersumber pada lima hal. Pertama, pelaksanaan otonomi khusus tidak diimbangi dengan upaya penyelesaian konflik politik secara damai. Hal ini mengakibatkan politisasi pelaksanaan otonomi khusus baik oleh pemerintah pusat maupun oleh

kelompok-kelompok dalam masyarakat Papua. Otonomi khusus bergeser menjadi isu-isu politik, bukan program nyata untuk meningkatkan taraf hidup dan penghargaan hak dasar masyarakat Papua sesuai dengan latar belakang kebijakan otonomi khusus itu sendiri. Pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan keamanan yang bertolak belakang dengan tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kedua, pendekatan kemanan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi khusus sudah tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan, yaitu perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Masih maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, belum terbentuknya pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta belum terbentuknya pengadilan adat menunjukkan bahwa Otonomi Khusus hanya dilaksanakan secara parsial. Untuk hal-hal tertentu masih terdapat ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat Papua untuk melaksanakan otonomi khusus. Ketiga, terdapat kecenderungan menggerogoti otonomi khusus yang diberikan dengan memperkuat kembali pola pemerintahan yang sentralistik. Hal ini dapat dilihat dari keluarnya Inpres Nomor 21 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Papua, yang sejatinya secara substantif bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001. Penggerogotan kekhususan otonomi Papua juga terjadi dalam bentuk berbagai kebijakan desentralisasi yang tidak mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 2001 yang meletakkan titik berat otonomi di provinsi, tetapi menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menitikberatkan otonomi di tingkat kabupaten dan kota sehingga menimbulkan konflik antar satuan pemerintahan daerah. Keempat, masih kurangnya kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk menjalankan otonomi khusus baik karena status legal formal maupun karena kondisi politik yang bersifat khusus. Sebagai contoh adalah keberadaan

MRP yang merupakan representasi kultural belum mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Selain itu, untuk mewadahi aspirasi masyarakat Papua diperlukan infra struktur partai politik lokal yang dimungkinkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001. Namun hingga saat ini ketentuan tersebut belum terlihat akan segera dilaksanakan. Kelima, ada kecenderungan melambatkan implementasi otonomi khusus dengan cara menunda pembentukan peraturan pelaksana yang diperlukan. Menurut Penelitian Kemitraan, hingga tahun 2006 masih terdapat sekurangkurangnya 2 PP, 2 Keppres, 13 Perdasus, dan 21 Perdasi yang belum terbentuk. Padahal aturan-aturan tersebutlah yang akan menjadi dasar pencapaian Otonomi Khusus, yaitu penghargaan hak masyarakat papua dalam pengelolaan SDA, perlindungan HAM, serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.