SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI SEBUAH SOLUSI BAGI KESULITAN BERSOSIALISASI PADA SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS

dokumen-dokumen yang mirip
AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Inklusif

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pendidikan dan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

WALIKOTA PROBOLINGGO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

Lanjutan Hakikat Pendidikan Inklusif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB II KAJIAN TEORI Kebijakan Education for All itu sendiri merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GAMBARAN SEKOLAH INKLUSIF DI INDONESIA TINJAUAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah?

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Maosul, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

PENYELENGGARAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA Abd. Kadir (Dosen PAI FTK UIN Sunan Ampel Surabaya)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat telah banyak mengangap bahwa anak yang dilahirkan karena suatu

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

Landasan Pendidikan Inklusif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI SEBUAH SOLUSI BAGI KESULITAN BERSOSIALISASI PADA SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS Taufik Muhtarom Universitas PGRI Yogyakarta taufikmuhtarom@gmail.com Abstrak Pendidikan merupakan salah satu hak dasar setiap warga negara. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan, utamanya pendidikan dasar.namun meski sudah diberikan dan dijamin dalam Undang-Undang, sistem pendidikan di Indonesia masih terdapat bias ketidak adilan/ diskriminasi pendidikan antara pendididikan untuk siswa normal dan pendidikan untuk siswa berkebuhan khusus (ABK). Penyelenggaraan sekolah-sekolah luar biasa seolah menjadi jurang pemisah antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus. Akibatnya antar kedua jenis anak tersebut tidak terjalin interaksi.tujuan dari diselenggarakannya pendidikan inklusif adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.penyelenggaraan sekolah inklusif berarti melaksanakan pendidikan dimana dalam satu kelas terdapat minimal satu siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan teman-teman siswa normal lainnya, dengan hak pendidikan dan pengajaran yang sama. Melalui penyatuan ini diharapkan antara siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus terjadi hubungan timbal balik saling menghargai dan saling membantu di antara mereka. Siswa berkebutuhan khusus akan dapat berinteraksi dengan teman sebaya baik sesama siswa berkebutuhan khusus maupun dengan siswa normal lainnya. Dari proses itulah tumbuh rasa percaya diri siswa berkebutuhan khusus yang pada akhirnya memiliki kemampuan bersosialisasi secara baik dengan lingkungan sosialnya. Kata Kunci: sekolah inklusi, kesulitan bersosialisasi, anak berkebutuhan khusus I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu hak dasar setiap warga negara. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Seperti apa yang telah diamanatkan oleh Undang- 129

Undang sebagaimana tercantum dalam pasal Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Pasal 31 ayat (1) diatas segera diikuti oleh pasal 31 ayat (2) yang menyatakan Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Tidak terkecuali kepada mereka anak anak berkebutuhan khusus yang memiliki hak juga dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan siswa-siswa normal lainnya. Namun meski sudah diberikan dan dijamin dalam Undang-Undang di atas, sistem pendidikan di Indonesia masih terdapat bias ketidak adilan/ diskriminasi pendidikan antara pendididikan untuk siswa normal dan pendidikan untuk siswa berkebuhan khusus (ABK). Penyelenggaraan sekolah-sekolah luar biasa seolah menjadi jurang pemisah antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus. Akibatnya antar kedua jenis anak tersebut tidak terjalin interaksi. Siswa normal cenderung menganggap siswa berkebutuhan khusus adalah makhluk aneh yang lahir ke bumi. Begitu pula siswa berkebutuhan khusus menganggap siswa normal adalah makhluk kejam yang kurang menghargai diri dan kekurangan siswa berkebutuhan khusus. Maka tak heran ditemukan kasus-kasus anak berkebutuhan khusus sulit untuk bersosialiasi dengan teman sebayanya, cenderung pendiam, sensitif dan minder. Begitu pula sang orangtua anak berkebutuhan khusus, jarang mengajak anak berkebutuhan khususnya untuk hadir dalam forum-forum pertemuan karena malu. Berangkat dari permasalahan di atas maka Pemerintah berusaha memperhatikan hak dari anak-anak berkebutuhan khusus baik melalui layanan pendidikan khusus semacam sekolah luar biasa maupun melalui dicanangkannya gerakan pendidikan untuk semua (PUS) yang berupa diselenggarakannya pendidikan inklusi. Kebijakan tersebut tertuang dalam Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa anak anak berkebutuhan khusus atau berkelainan berhak mendapatkan pendidikan di lingkungan sekolah reguler secara inklusif. Tujuan dari diselenggarakannya pendidikan inklusif adalah untuk memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang 130

bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Berangkat dari tujuan tersebut maka diselenggarakanlah sekolah inklusif pada beberapa sekolah di kabupaten/kota yang ditunjuk. Sekolah yang ditunjuk wajib untuk menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus untuk ikut bergabung bersama siswa normal lainnya dalam satu kelas reguler. Dengan penggabungan secara inklusif, maka diharapkan akan terwujud konsep pendidikan untuk semua (PUS) yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Penyelenggaraan sekolah inklusif berarti melaksanakan pendidikan dimana dalam satu kelas terdapat minimal satu siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan teman-teman siswa normal lainnya, dengan hak pendidikan dan pengajaran yang sama. Melalui penyatuan ini diharapkan antara siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus terjadi hubungan timbal balik saling menghargai dan saling membantu di antara mereka. Pada siswa normal dalam mengikuti pembelajaran di kelas tentu tidak menjadi sebuah masalah, akan tetapi bagi siswa berkebutuhan khusus tentu membutuhkan perhatian tersendiri. Meskipun dalam konsepnya sekolah inklusif wajib menyediakan satu guru pendamping bagi siswa berkebutuhan khusus, namun pada prakteknya anakanak berkebutuhan khusus tetap harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka sanggup mengikuti pembelajaran di kelas reguler bersama siswa-siswa normal lainnya. Anak anak berkebutuhan khusus dengan segala keterbatasannya tentu memiliki beberapa kesulitaan saat mengikuti pembelajaran dengan sistem reguler. Keterbatasannya menjadi penghalang bagi proses belajarnya di kelas reguler. Semua keterbatasan itu tentu akan mudah dilalui jika dalam diri siswa berkebutuhan khusus memiliki keyakinan diri (Self Efficacy)yang tinggi bahwa mereka bisa belajar bersama melawan keterbatasannya dalam lingkup pendidikan inklusif. Sekolah dengan konsep inklusi berusaha untuk membaurkan pendidikan antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus. Dimana diharapkan efek dari pembauran itu adalah antara siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus akan terjadi kontak sosial dimana mereka sebagai individu yang berbeda dapat saling menghargai dan saling membantu. Akan muncul dan tumbuh kesadaran akan perbedaan dan pentingnya saling menghargai. Anak berkebutuhan khusus pada awalnya dikenal dengan istilah anak cacat, anak berkelainan atau anak luar 131

biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibanding dengan anak anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami gangguan dalam bidang intelegensi, fisik, sensori, emosi, atau perilaku, mempunyai gangguan belajar, atau mempunyai bakat khusus. Termasuk di dalamnya adalah anak dengan masalah kesehatan mental (misalnya depresi, gangguan bunuh diri), kesehatan medis (misalnya autism, asperger, disleksia, disgrafia, asma), kesulitan proses informasi, gangguan bahasa, kerusakan sensori, dan hidup di lingkungan yang sulit. Menurut Effendi (2006: 2) definisi anak berkebutuhan khusus (children with special needs) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, fisik atau fisik. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami kelainan/penyimpangan fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya. Anak berkebutuhan khusus sering juga disebut sebagai difabel yang merupakan kependekan dari difference ability. Pemberian layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dijamin dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya (pasal 3). Sedangkan dalam pasal 4 disebutkan bahwa jenis dan klasifikasi anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sebagai berikut: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif l. lainnya; m. memiliki kelainan lainnya; n. tunaganda II. HAKIKAT SEKOLAH INKLUSI Pendidikan inklusi merupakan sejarah panjang dari buah usaha dari perjuangan kesamaan pendidikan untuk 132

semua. Konsep PUS (pendidikan untuk semua) yang mendasari diberlakukannya pendidikan inklusi di Indonesia. Sejarah panjang perjuangan hak pendidikan untuk semua ini diawali dari deklarasi universal HAM pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Jomtien Thailand pada tahun 1990 yang menghasilkan keputusan bahwa kaum marginal/ terpinggirkan tidak boleh terancam diskriminasi dalam mengakses kesempatan belajar. Baru kemudian disusul pernyataan dari forum pendidikan dunia di Dakkar, Senegal pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa Pemerintah berjanji Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusif, dan dilengkapi dengan sumber-sumber yang memadai, kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua (pasal 8). Pada forum Senegal itulah istilah pendidikan inklusi sudah mulai disebut secara eksplisit dan disepakati oleh semua negara yang hadir bahwa Pemerintah menjamin terselenggaranya pendidikan yang inklusif non diskriminatif baik itu perbedaan agama, ras, suku bangsa, budaya dan kelainan/ keterbatasan apapun yang ada pada diri anak. Menurut David Smith (2006:45) mengartikan inklusi sebagai penyatuan anak-anak berkelainan ke dalam program-program sekolah. Inklusi dapat juga berarti penerimaan anak anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri dari visi-misi sekolah. Sedangkan menurut Staub dan Peck dalam Budiyanto (2010: 4) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler. Menurut Sapon Shevin dalam Budiyanto (2010: 4) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Berangkat dari dua pengertian di atas tentang pendidikan inklusif, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem layanan pendidikan untuk semua yang menempatkan siswa berkebutuhan khusus dan siswa normal lainnya dalam satu kelas pembelajaran, satu kurikulum, satu lingkungan dan satu interaksi sosial tanpa membeda bedakan. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar bersama anak non-abk usia sebayanya 133

di kelas reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Proses pembelajaran lebih bersifat kooperatif dan kerjasama yang join in diantara peserta didik sebagai anggota kelas, mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam melaksanakan tugas dan layanan sekolah.menurut Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal 1 yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memilikipotensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. UNESCO 1994 dalam Alimin (2008: 7), memberikan gambaran bahwa: Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anakanak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all. Menurut Delphie (2006:47) mengatakan bahwa model pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus diperlukan perhatian guru terhadap komponenkomponen antara lain: 1. Rasionalitas Layanan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia, khususnya sekolah luar biasa atau sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif, seyogianya sejalan dan tidak terlepas dari prinsip-prinsip umum dan khusus. Kebijakan dan praktek pendidikan berkebutuhan khusus dalam mengaplikasikan gerakan, sejalan dengan prinsip pendidikan untuk semua atau education for all sebagai hasil konferensi dunia Salamanca pada 7 hingga 10 Juni 1994. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Dakkar tahun 2000 yang merupakan kerangka kerja untuk merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang menggariskan bahwa pendidikan harus dapat menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal batas, ras, agama, dan kemampuan potensif yang dimiliki oleh setiap peserta didik. 2. Visi dan Misi Bertolak dari hasil pengamatan dan harapan di lapangan, maka model pembelajaran Anak Berkenutuhan Khusus mengarah kepada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan. Visi pembelajarannya 134

adalah membantu setiap peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap dan wawasan serta akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azazi manusia, saling pengertian dan berwawasan global. Sasaran utama sebagai hasil keluaran atau outcome dari suatu program pembelajaran individual adalah kemampuan setiap peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja tau mengikuti pendidikanlanjutan Misi pembelajaran terhadap Anak Berkebutuhan Khusus adalah suatu upaya guru dalam memberikan layanan pendidikan agar setiap peserta didik menjadi individu yang mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, terampil, dan mampu berperan sosial 3. Tujuan Pembelajaran Berdasarkan KBK Berdasarkan visi dan misi pembelajaran, dapat ditentukan tujuan pembelajaran, antara lain: a. Agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi, pendengaran, penglihatan, taktil, kinestetik, fine motor, dan gross motor. b. Agar dapat menghasilkan individu yang mmepunyai kematangan diri dan kemantanagn sosial. Misalnya dalam berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu luangnya, cukup atensi atau menaruh perhatian terghadap lingkungannya, serta bersifat tekun. c. Menghasilkan individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial. Misalnya dalam berhubungan dengan orang lain, dapar berperan serta, dan dapat melakukan suatu peran tertentu di lingkungan kehidupannya. d. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Misalnya mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui kematangan berbahasa. 4. Isi Program Pembelajaran Isi program pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dengan memanfaatkan permainan terapeutik dikelompokkan sebagai berikut: a. Tingkat perkembangan kemampuan fungsional dari setiap siswa tuna 135

grahita, meliputi sensori motor, kreativitas, interaksi sosial, dan bahasa. b. Jenis-jenis permainan terapeutik meliputi permainan eksplorasi atau exploratory play, dan permainan memecahan masalah melalui permainan keterampilan atau skill full play, permainan sosialisasai atau social play, permainan imajinatif atau imaginative play, dan permainan memecahkan masalah melalui puzzle atau puzzle it-out play. c. Sasaran perkembangan perilaku adaptif atau target behavior dapat dicapai melalui sasaran anatar atau terminal objective berupa pengembangan keterampilan psikomotor dari setiap siswa dalam melakukan kegiatan permainan tertentu sebagai bentuk terapeutik. Selanjutnya target behavior diarahkan agar mempu mencapai tingkat perkembangan kognitif. 5. Pendukung Sistem Model Pembelajaran Komponen pendukung sistem adalah kegiatan-kegiatan manajamen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya dirahkan pada hal berikut: a. Pengembangan dan manajemen program. Manajem program dilakukan dengan upaya-upaya berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis, dan tindak lanjut program. b. Pengembangan staf pengajar. Dalam pengembangan ini tertuju pada penguasaan guru terhadap aspekaspek kompetensi yang meliputi pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat. c. Pemanfaat sumber daya masyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap kebijakan dan penunjuk teknis. 6. Komponen Dasar Model Pembelajaran Berdasarkan pada visi dan misi, kebutuha peserta didik, dan tujaun yang hendak dicapai dalam pembelajaran dengan menggunakan KBK maka isi layanan pembelajaran dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Masukan, terdiri atas: (1) Masukan Mentah, berupa: elicitors, behaviors, dan reinforcers; (2) Masukan Instrumen, berupa: program, guru kelas, tahapan, dan sasaran; (3) Masukan Lingkungan, berupa: norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan. b. Proses, terdiri atas program pembelajaran individual, pelaksaan intervensi, refleksi hasil pembelajaran, dan KBK. 136

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu: 1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusif penuh 2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti: 1) Bentuk kelas reguler penuh bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2) Bentuk kelas reguler dengan cluster bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3) Bentuk kelas reguler dengan pull out bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus. 5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. 6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berke- 137

butuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusif penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus daripada sekolah reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). (https://asrulywulandari.wordpress.com/2013/06/05/m odel-dan kurikulum-pendidikan-inklusif) III. KESIMPULAN Kemampuan siswa berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi perlu diberikan wadah untuk pengembangannya. Wadah pengembangan tersebut adalah sekolah inklusi. Sekolah inklusi mampu memberikan sistem layanan pendidikan untuk semua yang menempatkan siswa berkebutuhan khusus dan siswa normal lainnya dalam satu kelas pembelajaran, satu kurikulum, satu lingkungan dan satu interaksi sosial tanpa membeda bedakan. Melalui penyatuan ini diharapkan antara siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus terjadi hubungan timbal balik saling menghargai dan saling membantu di antara mereka. Siswa berkebutuhan khusus dapat belajar bersosialisasi dengan siswa normal lainnya, dan sebaliknya siswa normal dapat mengembangkan empatinya dan rasa menghargai kepada siswa berkebutuhan khusus. DAFTAR PUSTAKA Alimin,Z. 2008. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak Tunagrahita. [Online]. Tersedia http://zalimin.blogspot. com/2008/04/hambatan-belajar-danhambatan.html, diakses pada tanggal 3 maret 2015 pukul 09:00 David J Smith. 2012. SekolahInklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung: NUANSA. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif. Bandung: Refika Aditama. https://asrulywulandari.wordpress.com/2 013/06/05/model-dan-kurikulum pendidikan-inklusif/ diakses pada hari Selasa, 07 April 2015 Pukul 21:28 138