PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau.diatas teritorial daratan dan perairan

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA. pengangkutan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan lebih efektif dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan penerbangan tumbuh dengan pesat banyak perusahaan atau maskapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

BAB I PENDAHULUAN. itu perkembangan mobilitas yang disebabkan oleh kepentingan maupun keperluan

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri

pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan meningkatnya transaksi perdagangan luar negeri. Transaksi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir di Indonesia. Sejumlah armada bersaing ketat merebut pasar domestik

BAB I PENDAHULUAN. yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. digunakan manusia dalam membantu kegiatannya sehari-hari.

UJI BERKALA EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT MENURUT PASAL 49 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang sangat luas dan penting untuk pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan manusia.peranan itu makin menentukan sehubungan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhannya adalah transportasi udara. Transportasi udara merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT DAN PENUMPANG ANGKUTAN UMUM. yang mengangkut, (2) alat (kapal, mobil, dsb) untuk mengangkut.

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan beragam kebutuhan yang diperlukan masyarakat sebagai konsumen.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit Citra Aditya Bhakti,

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

geografis antar pulau satu dan pulau lainnya berjauhan, kadangkala laut Namun demikian, secara politis semua yang ada di sisi bagian dalam garis

BAB I PENDAHULUAN. sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan (ibid, 1998:7).

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dan strategis dalam cakupan upaya pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. air, misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB II PENGANGKUTAN PENUMPANG MELALUI PENGANGKUTAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas tempat duduk. 1. prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. telah diatur di Perjanjian Internasional yang berupa Konvensi dan Protokol yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pelabuhan adalah

BAB I PENDAHULUAN. utamanya dibidang pembangunan ekonomi, maka kegiatan perdagangan merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM DARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dikatakan sangat vital karena sebagai suatu penunjang penting dalam maju

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

PERANAN PENGANGKUTAN UDARADI INDONESIA DALAM MENUNJANG PENGIMPLEMENTASIAN WAWASAN NUSANTARA. Sri Sutarwati STTKD Yogyakarta

PROSES PEMBERIAN GANTI RUGI TERHADAP KERUSAKAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN MELALUI UDARA DI BANDARA NGURAH RAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UDARA DALAM PENERBANGAN DOMESTIK (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines Tbk) SKRIPSI

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Harus diakui bahwa globalisasi merupakan gejala yang dampaknya

Lex Administratum, Vol. III/No. 5/Juli/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan salah satu jenis kegiatan pengangkutan. Dalam. membawa atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dalam kamus

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan yang diukur dari pertumbuhan penumpang udara.1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mencapai tujuan dan menciptakan maupun menaikan utilitas atau

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hakikat sebagai makhluk sosial. Proses interaksi tersebut bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi sesama manusia dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN UDARA. suatu barang. Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan

mobilitas penduduk, dan pembangunan secara luas 2.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT DI PT INDONESIA AIR ASIA JAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: JESSIA PRIMITASARI E1A006176 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

SKRIPSI PENERAPAN UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT DI PT. INDONESIA AIR ASIA JAKARTA Oleh: JESSIA PRIMITASARI E1A006176 Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Agustus 2012 Para Penguji/Pembimbing Penguji I/ Penguji II/ Penguji III Pembimbing I Pembimbing II Hendro Punto A, S.H., M.S Hj. Krisnhoe K.W, S.H., M.Hum I Ketut Karmi N, S.H., M.Hum NIP. 19501019 197603 1 001 NIP. 19591031 198703 2 001 NIP. 19620622 198702 1 001 Mengetahui Dekan, Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, anugerah serta rizky-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Syukur Alhamdulillah selalu penulis panjatkan karena setelah melalui jalan panjang pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Atas dasar itulah penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan, dorongan dan masukannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan hukum ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Hendro Punto Adji, S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan dan nasehatnya. 3. Bapak Hendro Punto Adji, S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah membantu memberikan bimbingan, arahan dan koreksinya sehingga skripsi ini bisa selesai.

4. Bapak Hj. Krisnhoe Kartika W, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah membantu memberikan bimbingan, arahan dan koreksinya sehingga skripsi ini bisa selesai. 5. Bapak I. Ketut Karmi N.,S.H.,M.Hum selaku Dosen Penguji dalam Seminar Skripsi dan Pendadaran Saya yang telah mengkritisi dan memberikan masukan berharga bagi penulis. 6. Seluruh Dosen Pengajar, Karyawan, Mahasiswa dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Mamam Nina, Papap Ruddy, Ayah Moenir, Ema Odiq, Tifanny, Ghina, Ilham, Ka Oyin, Ka Duddy, Ka QQ, Ka finni, Ka Rizal dan ponakan ponakan tercinta yang telah memberikan kasih sayang, do a dan dorongannya selama ini sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayang, perlindungan dan anugerah- Nya. 8. Pi Ying, Pi Ree, dan semua teman teman satu batch di Orient Thai Airlines yang telah memberikan dukungan, pengetahuan, doa agar penulisan ini segera selesai dan terima kasih karena kalian masih menunggu saya. Sky is the nicest place to work. 9. Semua pengurus dan anggota (keluarga besar) organisasi mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, yaitu, ALSA LC UNSOED yang telah memberikan banyak pengalaman, wawasan dan pengetahuan berorganisasi bagi penulis. ALSA ALWAYS BE ONE!

10. Semua sahabat terbaikku, yaitu Handyan, Mahesti, Bowie, Fahmi dan Benny terimakasih atas kerjasama, bantuan, masukan dan kepercayaannya selama ini. 11. Temen-temen Green Apart, Dea, Erna, Riqey, Dini, Putri, Sarah terima kasih atas semangatnya juga, semoga bisa tetap konfrensi meja bundar bareng lagi. 12. Spesial buat kamu terima kasih telah memberikan semangatnya selama ini. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan, masukan maupun nasehatnya baik secara moril maupun materiil kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak keterbatasan dan hasilnya masih jauh dari kesempurnaan dalam penulisannya tetapi mudahmudahan dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi kita semua. Selain itu, semoga skripsi ini juga berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan anugerah dan rizky- Nya atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama ini, kelak di kemudian hari. Purwokerto, Agustus 2012 Penulis

SURAT PERNYATAAN Saya, yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Jessia Primitasari NIM : E1A006176 Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PENERAPAN UNDANG-UNDANG 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT DI PT INDONESIA AIR ASIA JAKARTA Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa kebenarannya. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya peroleh. Purwokerto, Agustus 2012

ABSTRAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT DI PT INDONESIA AIR ASIA JAKARTA Pasal 134 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah melindungi hak-hak penumpang cacat melalui penyediaan fasilitas khusus. Tujuan mengenai fasilitas khusus yang terhadap orang cacat tersebut teryata tidak dipatuhi beberapa maskapai penerbangan, sehingga penulis tertarik menulis penelitian dengan judul Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Khususnya Pasal 134 Mengenai Pelayanan Terhadap Penumpang Penyandang Cacat Di PT Indonesia Air Asia Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengenai pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat di PT Indonesia Air Asia Jakarta. Dalam peneletian ini peneliti menggunakan pendekatan yuridis normatif, spesifikasi deskriptif dan menggunakan data sekunder serta penunjang data sekunder. Untuk menganalisa data tersebut peneliti menggunakan analisis normatif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menyatakan bahwa, PT Air Asia Indonesia telah menerapkan Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan khususnya Pasal 134 dengan memberikan pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat. PT Air Asia Indonesia secara khusus penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat di PT Air Asia di seluruh stations di mana AirAsia beroperasi, menyediakan Wheel chairs (kursi roda) dan di Kuala Lumpur menyediakan Ambu Lift. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa, PT AirAsia sudah menerapkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan khususnya Pasal 134 mengenai pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat dengan baik. Penerapan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasana Perhubungan masih mendasarkan pada Undang Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, maka seyogyanya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasaran Perhubungan diganti berdasarkan Undang Undang yang baru, yaitu : Undang Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Setelah melakukan penelitian tersebut maka peneliti menyarankan perlu diperbaruinya Keputusan Menteri terkait dengan megacu pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kata kunci: Pelayanan, Penumpang Penyandang Cacat, PT Indonesia Air Asi

ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF CONSTITUTION NUMBER 1 IN 2009 ABOUT AVIATION PARTICULARLY ARTICLE 134 CONCERNING SERVICE TOWARD DISABLE PASSANGER IN PT INDONESIA AIR ASIA JAKARTA Constitution number 1 article 134 in 2009 about aviation has protected disable passanggers rights through providing special facilities. Theese special facilities obtainment turn out to be not obeyed by several airlines. Thus the author is interested to conduct the research entitled the implementation of constitiution number 1 article 134 in 2009 concerning aviation s service to disable passangers in PT Indonesia Air Asia Jakarta. This research aims to understand the implementation of constitution number 1 article 134 in 2009 concerning aviation s service to disable passangers in PT Indonesia Air Asia Jakarta. In this research, the author uses normative juridical approaching, descriptive specification, secondary data and supporting ones. For analysing theese data, author usees qualitative normative analysis. The results and analysis state that PT Air Asia Indonesia has implemented constitution number 1 in 2009 about aviation especially article 134 by providing a special service for disable passanger. PT Air Asia Jakarta specially prepare facilities (wheel chair and ambu lift) for disable passanger in every PT Air Asia s operating stations. Based on those things, it is known that PT Air Asia has implemented constitution number 1 in 2009 especially article 134 about good service for disable passanger. Minister of Communication decree applications number : KM. 71 in 1999 about accesibiity for disable and ill in public transportation based on constitution number 15 in 1992 about aviation, so that the decree of Minister of Communication should be replaced due to new constitution i.e. number 1 in 2009 about aviation. After conducting the research, the author suggest that the decree should be fixed over reffering to constitution number 1 in 2009 about aviation. Keywords: Service, Passanger, Disable Person, PT Indonesia Air Asia

Motto Dream it, Pursue it, Live it Strive for Success in Life Sebuah kado ulang tahun Teruntukmu mamam... Terima kasih atas cinta, Kasih sayang dan doamu.. I love u much, mamam Nina

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi MOTTO... vii DAFTAR ISI... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 9 C. Tujuan Penelitian... 9 D. Kegunaan Penelitian... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengangkutan Udara... 11 1. Pengertian Pengangkutan Udara... 11 2. Sumber Hukum Pengangkutan Udara... 17 3. Azas Azas Hukum Pengangkutan Udara... 22 4. Perjanjian Pengangkutan Udara... 23 5. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkutan Udara... 27 6. Penyelenggara Pengangkutan Udara... 33

B. Pelayanan dan Penerbangan Penumpang Penyandang Cacat... 37 1. Pelayanan Pengangkutan Udara... 37 2. Hak dan Kewajiban Penumpang... 40 3. Kewajiban Pengangkut... 42 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan... 43 B. Spesifikasi Penelitian...... 43 C. Lokasi Penelitian...... 44 D. Sumber Data... 44 E. Metode Pengumpulan Data...... 45 F. Metode Penyajian Data...... 45 G. Metode Analisis Data...... 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 47 B. Pembahasan... 77 BAB V PENUTUP A. Simpulan... 91 B. Saran... 91 DAFTARPUSTAKA LAMPIRAN

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan pengangkutan dalam dunia perniagaan sangatlah penting. Perkembangan peradaban manusia akan tergambar jelas dari perkembangan aktifitas sosial ekonominya. Pada zaman ini kebutuhan hidup telah semakin beragam, maka transportasi dan peningkatan teknologinya makin diperlukan. Berdasaran aspek ekonomi, transportasi sangat jelas manfaatnya dalam proses produksi, distribusi, dan pertukaran. Dalam proses produksi semua faktor-faktor produksi tentu tidak akan ada pada satu tempat, melainkan terdapat di banyak tempat. Untuk menyatukan agar dapat diproses menjadi barang kebutuhan akhir, transportasi memainkan peranan penting mempermudah dan mempercepat tersedianya faktor produksi itu pada suatu tempat yang kita inginkan. Begitu pula dalam proses penyebaran barang dan jasa akhir, transportasi dapat memindahkan suatu barang ke daerah yang miskin faktor produksi untuk menghasilkan barang akhir tersebut. Berdasarkan hal tersebut Fidel Miro menyatakan bahwa:

2 Pemeratan barang dan jasa ke semua daerah dapat terjamin. Dengan demikian transportasi berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. 1 Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata transportasi. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut. Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya. Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. 2 Abdulkadir Muhammad mendefinisikan bahwa : Pengangkutan sebagai proses kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan 1 Fidel Miro, Sistem Transpotasi Kota, Transito. Poernomosidhi, Bandung, 1997, hal. 11. 2 Rustian Kamaluddin,, Ekonomi Transportasi:Karekteristik, Teori Dan Kebijakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 14.

3 berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur undangundang sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan teknologi. 3 Pada buku lain Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa : Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan sebagai perjanjian dan pengangkutan sebagai proses. 4 Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berdasarkan suatu perjanjian; 2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa; 3) Berbentuk perusahaan; 4) Menggunakan alat angkut mekanik. Salah satu alat atau moda transportasi di Indonesia adalah transportasi udara. Transportasi udara niaga dewasa ini mengalami perkembangan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari banyak perusahaan atau maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan ke berbagai rute penerbangan baik domestik maupun internasional. Perusahaan-perusahaan yang melayani jasa penerbangan niaga diantaranya Garuda, Merpati, Sriwijaya, Mandala, Lion Air dan lain-lain. Perkembangan dan pertumbuhan industri penerbangan tersebut tidak terlepas dari peningkatan jumlah pengguna jasa transportasi udara. Berdasarkan data statistik dari Direktorat Hubungan Udara Departemen Perhubungan pada Tahun 2011 terdapat 43.000.000 (Empat Puluh Tiga juta) penumpang tercatat 3 Abdulkadir Muhammad, Arti Penting Dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga Di Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis Di Era Globalisasi Ekonomi, Penerbit Genta Press, Yogyakarta, 2007, hal 1. 4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung 1998, hal 12

4 menggunakan jasa transportasi udara niaga, dan diperkirakan di tahun 2012 jumlah tersebut akan meningkat menjadi 45.000.000 ( empat puluh lima juta ) penumpang. 5 Ada beberapa alasan konsumen menggunakan jasa transportasi udara, diantaranya untuk kepentingan bisnis, kepentingan pariwisata, dan berbagai urusan lainnya. Dilihat dari aspek penyelenggaraan penerbangan dalam Pasal 83 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa, Terdapat dua bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan komersil dan penerbangan bukan komersil. Penerbangan komersil atau niaga merupakan bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis penerbangan komersil dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal. Sedangkan penerbangan bukan komersil memiliki kegiatan angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work), angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga. 5 NN, Perkembangan Transportasi Udara, http://www.dephub.go.id, diakses pada tanggal 1 Januari 2012.

5 Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan bagi para pengguna jasa transporatsi udara (penumpang dan pemilik kargo) karena akan banyak pilihan. Perusahaan-perusahaan tersebut bersaing untuk menarik penumpang sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau menawarkan berbagai bonus. Namun di sisi lain, dengan tarif yang murah tersebut sering menurunkan kualitas pelayanan (service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan (maintenance) pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan dan perlindungan konsumen. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan dan pihak pengguna jasa atau konsumen. Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban penumpang adalah membayar tarif pengangkutan dan menaati seluruh peraturan yang telah diperjanjikan, sedangkan haknya adalah menerima pelayanan jasa dan diantar sampai tempat tujuan. Kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai di tempat tujuan,

6 memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lain-lain, sedangkan haknya adalah menerima pembayaran. Kewajiban pengangkut memberikan pelayanan yang maksimal baik untuk penumpang biasa ataupun penumpang yang memiliki kebutuhan khusus atau cacat sesuai diatur dalam Pasal 134 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 134 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa : (1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga. (2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pemberian prioritas tambahan tempat duduk; b. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara; c. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara; d. sarana bantu bagi orang sakit; e. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara; f. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan g. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit. (3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan

7 Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata. Tujuan yang baik ini ternyata banyak diabaikan oleh maskapai pesawat terbang. Dalam memberikan pelayanan tidak jarang maskapai mendiskriminasikan penumpang. Misalnya saja kasus Ridwan yang juga aktivis sosial bidang penyandang cacat ini hendak terbang dari Jakarta ke Denpasar untuk riset tentang Undang-Undang yang berkaitan dengan penyandang cacat. Ketika itu, Ridwan mengaku tidak ada perlakuan khusus pada dirinya untuk dipermudah naik pesawat. Sehingga, Ridwan pun bingung bagaimana caranya menaiki tangga pesawat. Ridwan mengatakan,

8 harusnya penyandang cacat seperti dirinya diberi kesempatan untuk masuk pesawat pertama kali. Namun, dia ternyata masuk pesawat belakangan. 6 Berdasarkan kasus Ridwan maka, maskapai penerbangan Lion Air harus lebih memperhatikan hak-hak penumpang penyandang cacat. Maskapai penerbangan Lion Air tidak boleh diskriminatif terhadap penyandang cacat dan melaksanakan apa yang telah diamanatkan Pasal 134 Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan begitupula maskapai lain di Indonesia. PT. Indonesia Air Asia merupakan maskapai di Indonesia yang didirikan pada tahun 1999. PT. Indonesia Air Asia dalam menjaga keselamatan pengguna jasa angkutan udara tidak hanya memperhatikan kelayakan pesawat, tetapi juga sarana dan prasarana penerbangan, sehingga akan memberikan kepercayaan pada jasa angkutan udara. PT. Indonesia Air Asia juga dituntut untuk memberikan fasilitas dan pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan khususnya Pasal 134 mengenai pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat di PT Indonesia Air Asia Jakarta dari segi normatif. Atas dasar hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi pendorong bagi penulis untuk melakukan 6 Syalaby Ichsan, Kamis, 08 Desember 2011 16:41 WIB, Abaikan Hak Penyandang Cacat, Lion Air Harus Minta Maaf dan Bayar Ganti Rugi, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/08/lvvpkj-abaikan-hakpenyandang-cacat-lion-air-harus-minta-maaf-dan-bayar-ganti-rugi, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.

9 penelitian guna penyusunan skripsi yang berjudul PENERAPAN UNDANG-UNDANG 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN KHUSUSNYA PASAL 134 MENGENAI PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG CACAT DI PT INDONESIA AIR ASIA JAKARTA. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan yaitu Bagaimanakah Penerapan Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan khususnya Pasal 134 mengenai pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat di PT Indonesia Air Asia Jakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan khususnya Pasal 134 mengenai pelayanan terhadap penumpang penyandang cacat di PT Indonesia Air Asia Jakarta. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori dalam hukum keperdataan khususnya mengenai jasa pengangkutan udara. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi maskapai penerbangan dan pengguna jasa transportasi udara.

10 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam hal pelaksanaan fasilitas dalam penangkutan udara bagi penyandang cacat. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi maskapai PT Indonesia Air Asia Jakarta dalam hal pelaksanaan fasilitas dalam penangkutan udara bagi penyandang cacat.

11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengangkutan Udara 1. Pengertian Pengangkutan Udara Sution Usman Aji dkk menyatakan bahwa : Pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, karena inti dari kegiatan tersebut adalah distribusi barang atau penumpang serta jasa dari satu tempat ke tempat lain, sehingga hal tersebut dapat menciptakan pemeratan pembangunan dan ekonomi bagi masyarakat, pada hakekatnya pengangkutan merupakan bagian dari ekonomi itu sendiri, karena itu kegiatan seperti perdagangan ataupun perindustrian dan pertanian akan sangat tergantung pada lancar atau tidaknya pengangkutan. 7 Mengenai pengangkutan beberapa sarjana merumuskan definis terhadap pengangkutan itu sendiri, antara lain menurut Purwosutjipto : Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentudengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 8 Soekardono berpendapat bahwa : Pengangkutan pada pokoknya memiliki arti perpindahan tempat baik mengenai benda maupun orang-orang, karena perpindahan ini mutlak diperlukan untuk mencapai dan meningkatkan manfaat maupun efisien. 9 7 Sution Usman Aji, Joko Prakosa, Hari Pramono, Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal.19 8 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid III Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2. 9 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid II, Jakarta, CV. Rajawali, 1986, hal. 2.

12 Beberapa definisi mengenai pengangkutan tersebut secara langsung mampu memberikan gambaran umum mengenai pengangkutan, sehingga dapat diketahui berbagai aspek yang ada dalam pengangkutan, antara lain : a. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Dimana pelaku disini ada yang berupa badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang berupa manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan. b. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Alat ini digerakan secara mekanik dan memenuhi syarat undang-undang, seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, Derek (crane). c. Barang/ penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang muatam yang diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut undang-undang. Dalam pengertian barang termasuk hewan. d. Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan. e. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang (tenaga kerja). f. Tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukandengan selamat, biaya pengangkutan lunas. 10 10 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit, hal. 19-20.

13 Selain beberapa aspek tersebut juga terdapat subjek hukum dan objek hukum pengangkutan. Subjek hukum pengangkutan antara lain pengangkut (Carrier), pengirim (Consigner, Shipper), penumpang (passenger), Biro perjalanan/ Ekspeditur, pengatur muatan (Stevedore), perusahaan pergudangan (Warehousing), dan penerima (Consignee). Sedangkan objek hukumnya adalah muatan barang, muatan penumpang dan biaya pengangkutan yang ditimbulkan, serta alat digunakannya hukum pengangkutan. 11 H.M.N. Purwosutjipto membagi macam-macam pengangkutan dalam empat kelompok yang terdiri dari: pengangkutan darat; pengangkutan laut; pengangkutan udara; dan penngkutan perairan darat. 12 Sution Usman Adji dkk secara umum membedakan jenis-jenis pengangkutan itu atas: pengangkutan udara, pengangkutan perairan darat, pengangkutan dengan kendaraan bermotor dan kereta api, dan pengangkutan di laut. 13 Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam Konvensi Warsawa 1929, menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier, akan tetapi Konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau defenisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrier ini. 14 11 Ibid, hal. 31. hal. 61. 12 HH.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang (3) Hukum Pengangkutan., Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 2-3. 13 Sution Usman Adji Joko Prakosa, Hari Pramono, Op cit., hal. 19 14 Ibid., hal. 20

14 Pada dasarnya yang diangkut dengan angkutan udara adalah dominan untuk penumpang, di samping itu juga yang diangkut barang barang yang bersifat segar, relatif ringan, dan bernilai tinggi. Angkutan udara memerlukan airport maupun airways. Airways adalah jalan yang diperuntukkan bagi pesawat terbang yang melalui ruang udara atau angkasa sepanjang mana pesawat terbang dijalankan untuk bergerak atau terbang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 13 menyebutkan Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Alat angkut dalam angkutan udara adalah pesawat terbang. Di sini perlulah dikemukakan pengertian atau defenisi pesawat udara dan pesawat terbang mengingat di dalam praktik seringkali terjadi kesalahan memahami pesawat udara yang terkadang rancu dengan pesawat terbang atau kapal terbang. 16 Pasal Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa : 15 Ibid., hal. 21 16 Sinta Uli, Pengangkutan, Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat, dan Angkutan Udara,USU Press, Medan, 2006, hal. 86.

15 Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menyatakan bahwa: Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, dinyatakan angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Dalam penyelanggraan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu pertama, angkutan udara niaga dan kedua, angkutan udara bukan niaga. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa : Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan kemudian mendefinisikan Angkutan udara niaga yaitu : Angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

16 Dalam Konvensi Guandalajara 1961, pengakut udara dinamai contracting carier dan actual carier sebagaimana dinyatakan pada artikel 1 huruf b. Contacting carier adalah a person who as principal makes an agreeman for carriage governed by the Warsaw Convention with passengger on consignor or with a person on behalf of the passengger or consignor. 17 Contracting Carrier adalah pengangkut yang mengadakan perjanjian angkutan dengan penumpang atau pengirim barang, sedangkan actual carrier adalah pengangkut yang atas dasar kuasa dari pengangkut pertama melaksanakan perjanjian angkutan udara tersebut. E. Suherman mendefenisikan pengangkut udara yaitu : Setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang. 18 Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menyebutnya operator penerbangan. 17 Muazzin, 2001, Tanggung Jawab Pangangkut Udara Terhadap Kerugian Penumpang dan Pihak Ketiga di Permukaan Bumi, Jurnal Kanun No. 29 Edisi Agustus, Banda Aceh, hal. 403 18 E. Suherman, Hukum Udara Indonesia Dan Internasional, Alumni, Bandung, 1983, hal 79

17 2. Sumber Hukum Pengangkutan Udara Regulasi pengangkutan udara berbeda dengan pengaturan pengangkutan pada umumnya, hal ini karena pengangkutan udara bersifat nasional dan internasional. Ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain: a. Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan b. Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara c. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara (Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara masih berlaku dan belum dicabut). Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan internasional. Di dalam tata urutan sumber hukum konvensikonvensi internasional dan perjanjian multilateral/bilateral diletakkan di atas peraturan perundang-undangan nasional. Karena hukum udara termasuk di dalamnya hukum pengangkutan udara yang lebih bersifat internasional, hukum udara dan hukum pengakutan udara nasional di setiap negara pada umumnya mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari konvensi-konvensi internasionaldalam bidang angkutan udara tersebut. Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional, yaitu sebagai berikut : a. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929

18 Konversi Warsawa ini nama lengkapnya adalah Convention for The Unification of The Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933. Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa penting artinya karena ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau tanpa perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi angkutan udara domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan Indonesia. Dengan demikian, maka setiap perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama di Indonesia, karena perkembangan dalam hukum udara perdata internasional akan berpengaruh pula pada hukum udara perdata nasional di Indonesia. Terutama ketentuan mengenai besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku untuk penerbangan domestik maupun internasional. b. Konvensi Geneva Konvensi Geneva ini mengatur tentang International Recognition of Right in Aircraft. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik mortage (dalam hukum

19 Anglosaxon) maupun hipotik (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapat diakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya. c. Konvensi Roma 1952 Nama lengkap dari Konvensi ini adalah Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operator pesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya. d. Protokol Hague 1955 Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12 Oktober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955. Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara. Jumlah peserta Protocol Hague ini sampai dengan tahun 1981 sebanyak 105

20 negara. Di dalam peserta Protocol Hague ini negara Indonesia tidak tercatat di dalamnya, tetapi sebenarnya Indonesia melalui piagam pernyataan Menteri Luar Negeri RI tanggal 12 Agustus 1960 untuk turut serta (instrument of accession) sebagai negara peserta kepada Pemerintah Polandia sebagai Depositary State Protocol Hague ini melalui Kedutaan Besar Indonesia di Moscow untuk diteruskan di Polandia. e. Konvensi Guadalajara 1961 Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 adalah Convention Supplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlaku sejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen tersebut mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara terhadap pihak-pihak tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering terjadi pengangkut yang sebenarnya bukanlah pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Hingga dengan demikian dalam konvensi dikenal adanya istilah actual carrier dan contracting carrier. Pada pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawa terhadap angkutan

21 udara yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian sistem tanggungjawab yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa. f. Protokol Guatemala Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi. Dalam Protocol Guatemala ini ditentukan : 1) Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab yang prinsip absolute liability dengan prinsip limitation of liability dan untuk limit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc. 2) Tanggung jawab terhadap muatan digunakan kombinasi prinsip Presumption of Liability dengan Limitation of Liability. 3) Tanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan barang digunakan kombinasi prinsip presumption on non liability dengan limitation of liability. Dalam Protocol Guatemala ini, Indonesia ikut serta mengirimkan delegasinya tetapi tidak ikut menandatanganinya, karena

22 delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tanggung jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu tinggi. 3. Azas-azas hukum Pengangkutan Udara Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, asas-asas penyelenggaraan penerbangan/ pengangkutan udara terbagi atas 13 asas yaitu: a. Asas manfaat adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara. b. Asas usaha bersama dan kekeluargaan adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan. c. Asas adil dan merata adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi. d. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional. e. Asas kepentingan umum adalah penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas. f. Asas keterpaduan adalah penyelenggaraan penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi, baik intra maupun antarmoda transportasi. g. Asas tegaknya hukum, adalah undang undang ini mewajibkan pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.

23 h. Asas kemandirian, adalah penyelenggaraan penerbangan harus bersendikan pada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam penerbangan, dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri. i. Asas keterbukaan dan anti-monopoli, adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan. j. Asas berwawasan lingkungan hidup, adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. k. Asas kedaulatan negara, adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya menjaga keutuhan wilayah negara kesatuan republik indonesia. l. Asas kebangsaan, adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. m. Asas kenusantaraan, adalah setiap penyelenggaraan penerbangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah indonesia dan penyelenggaraan penerbangan yang dilakukan oleh daerah merupakan bagian dari sistem penerbangan nasional yang berdasarkan pancasila. 4. Perjanjian Pengangkutan Udara Pengangkutan merupakan bentuk perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pihak yang diangkut (penumpang dan/atau pengirim) dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak penumpang dan/atau pengirim mengikatkan dirinya pula untuk membayar sejumlah uang atau ongkos pengangkutan. 19 19 H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit, hal. 2

24 adalah : Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, yang dimaksud dengan persetujuan Suatu perbuatan dimana satu orang/lebih mengikatkan diri terhadap satu orang/lebih Pasal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat perjanjian yang sepihak, sedangkan kenyataannya, perjanjian seseorang/lebih mengikatkan diri untuk melakukan prestasi/kontra prestasi), jadi perjanjian tersebut berisi tentang perikatan. Dalam dunia bisnis perikatan timbul karena perjanjian tetapi di samping itu perikatan timbul oleh karena Undang-undang. Sedangkan mengenai syarat-syarat umum sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHP, menurut ketentuan pasal tersebut perjanjian sah apabila : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 3. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 4. Suatu pokok persoalan tertentu; 5. Suatu sebab yang tidak terlarang. Hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini mengandung makna bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangnn dengan undang - undang, di samping menganut asas kebebasan berkontrak juga menganut asas konsensualisme/konsensualitas. sebagai mana dinyatakan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Artinya : perjanjian itu sudah dianggap lahir sejak terjadinya kata sepakat.

25 Perjanjian pengangkutan terjadi setelah sebelumnya didahului oleh serangkaian perbuatan penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan penumpang/pengirim secara timbal balik. Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suau perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara. 20 Setiap perjajian pastilah dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Pihak dalam perjanjian pengangkutan orang adalah penumpang, dan pengangkut. Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang/badan hukum pengguna jasa angkutan, baik angkutan darat, udara, laut,dan kereta api. Ada beberapa ciri penumpang : a) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan; b) Membayar biaya angkutan; c) Pemegang dokumen angkutan. 21 E. Suherman menyatakan bahwa : Dalam penerbangan teratur (schedule) defenisi penumpang adalah setiap orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian angkutan udara dengan atau tanpa bayaran. Di dalam draft convention september 1964 pernah 20 Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 168 21 Abdulkadir Muhamad, Op.cit, hal. 51

26 dirumuskan tentang defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari. 22 Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad pengangkut memiliki dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. 23 Pengangkutan pada arti yang pertama masuk dalam subjek pengangkutan sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk dalam kategori objek pengangkutan. Pengangkut memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan juga perusahaan-perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang atau barang. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengangkut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan tempat. Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang. Pengangkut 22 E Suherman, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal. 23. 23 Abdulkadir Muhamad, Op.cit, hal. 47.

27 dapat berstatus Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Miliki Swasta, Badan Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan niaga. E. Suherman mendefenisikan pengangkut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang. 24 Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menyebutnya operator penerbangan. 5. Prinsip Tanggungjawab Pengangkutan Udara Sarana angkutan udara yang cukup canggih sekarang ini tidaklah menutup kemungkinan akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan. Canggihnya sarana angkutan udara tetap merupakan hasil karya manusia yang tidak selalu sempurna, sehingga tentu saja hal-hal yang tidak diinginkan tersebut biasa terjadi, misalnya kerusakan pesawat udara maupun kecelakaan pesawat udara. Di samping itu juga selama dalam perjalan situasi dan kondisi alam juga sangat mempengaruhi kelancaran pengangkutan udara yang tentu saja hal yang diluar jangkauan manusia untuk mengantisipasinya. 24 E. Suherman, Op cit, hal 79

28 Dalam hal mengangkut penumpang dari tempat datangnya penumpang sampai dengan tibanya penumpang ditempat tujuan yang dikehendaki tidak terlepas dari bahaya bahaya yang mungkin terjadi yang akan menyebabkan kecelakaan penumpang. Risiko ini akan menjadi tanggung jawab pihak yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan yang telah diadakan. Pengangkutan merupakan salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu antara lain geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta sebagian besar lautan yang memungkinkan pengangkutan mempunyai peranan dan fungsi yang makin lama makin penting terutama dalam mewujudkan wawasan nusantara. Transportasi udara sebagai salah satu moda transportasi yang memiliki karakteristik dapat melayani angkutan penumpang relatif terbatas khususnya barang bernilai tinggi atau membutuhkan waktu tempuh cepat yang dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau. Disisi lain kemajuan pengangkutan udara sangat pesat baik teknologinya, frekuensinya penerbangan, manajemennya dan lain lain. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila timbul banyak masalah akibat ketidaksesuaian ordonansi pengangkutan udara dengan kondisi saat ini. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah belum terpenuhinya atau kurangnya peraturan dalam rangka perlindungan hukum bagi pengguna jasa atau pihak lain yang mengalami kerugian sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan udara atas kerugian kerugian yang terjadi. Bagaimanapun