EVALUASI KESELAMATAN REAKTOR AIR MENDIDIH (BWR) DALAM PENGAWASAN REAKTOR DAYA

dokumen-dokumen yang mirip
KRITERIA PENERIMAAN UNTUK KECELAKAAN INSERSI REAKTIVITAS PADA REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA

Bab 2 PENDEKATAN TERHADAP PERTAHANAN BERLAPIS

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI DAN PROSEDUR OPERASI REAKTOR DAYA

2011, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA. BAB I KETENTU

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Reactor Safety System and Safety Classification BAB I PENDAHULUAN

DEFINISI. Definisi-definisi berikut berlaku untuk maksud-maksud dari publikasi yang sekarang.

DASAR ANALISIS KESELAMATAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN PROTEKSI TERHADAP BAHAYA INTERNAL

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REAKTOR AIR DIDIH (BOILING WATER REACTOR, BWR)

CONTOH KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI. Kejadian Awal Terpostulasi. No. Kelompok Kejadian Kejadian Awal

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS DAN KRITERIA PENERIMAAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

FORMAT DAN ISI BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA. I. Kerangka Format Batasan dan Kondisi Operasi Reaktor Nondaya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN

Bab 5 PERKEMBANGAN PERTAHANAN BERLAPIS UNTUK REAKTOR DAYA DI MASA DEPAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

KEJADIAN AWAL, INSIDEN DAN KECELAKAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN MANAJEMEN PENUAAN REAKTOR NONDAYA

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

ANALISIS DESAIN ECCS TERHADAP FREKUENSI KERUSAKAN TERAS PADA PWR

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PERPANJANGAN UMUR OPERASI REAKTOR RISET DI INDONESIA

EVALUASI DESAIN TERAS REAKTOR DAYA TIPE PWR PERTAMA INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPETEN. Penanganan. Penyimpanan. Bahan Bakar Nuklir. Reaktor Non Daya. Manajemen Teras.

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 04-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN OPERATOR DAN SUPERVISOR REAKTOR NUKLIR

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR

Persyaratan Keselamatan Untuk Keselamatan Reaktor Riset

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR)

LAMPIRAN FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENETAPKAN KONDISI-KONDISI BATAS UNTUK OPERASI YANG AMAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR NON REAKTOR

CONTOH BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FORMAT DAN ISI

2014, No MANAJEMEN TERAS. Langkah-langkah Manajemen Teras terdiri atas:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KESIAPAN SDM ANALISIS KESELAMATAN PROBABILISTIK DALAM PLTN PERTAMA DI INDONESIA

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1

Bab 3 IMPLEMENTASI PERTAHANAN BERLAPIS

LAMPIRAN PENJELASAN BENTUK-BENTUK YANG DIGUNAKAN DALAM DOKUMEN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

RISET PROSES PELELEHAN TERAS SAAT KECELAKAAN PARAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

REAKTOR PEMBIAK CEPAT

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PELUANG DAN TANTANGAN BATAN SEBAGAI ORGANISASI PENDUKUNG TEKNIS DI BIDANG PROTEKSI RADIASI

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI DAN MODIFIKASI REAKTOR NONDAYA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (II)

ANALISIS KEANDALAN KOLAM PENYIMPAN BAHAN BAKAR BEKAS PADA PWR AP1000

EVALUASI KESELAMATAN REAKTOR TIPE PWR PADA KECELAKAAN PUTUSNYA JALUR UAP UTAMA

REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK)

TINJAUAN SISTEM KESELAMATAN REAKTOR DAYA TIPE PWR

PEMERIKSAAN/VERIFIKASI INFORMASI DESAIN REAKTOR NUKLIR

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

FORMAT DAN ISI LAPORAN ANALISIS KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA. I. Kerangka Format Laporan Analisis Keselamatan Reaktor Nondaya

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

MODUL 2 ANALISIS KESELAMATAN PLTN

RISET KEUTUHAN PENGUNGKUNG REAKTOR SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

EVALUASI KESELAMATAN REAKTOR AIR MENDIDIH (BWR) DALAM PENGAWASAN REAKTOR DAYA Oleh: Budi Rohman Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) ABSTRAK Evaluasi Keselamatan Reaktor Air Mendidih (BWR) Dalam Pengawasan Reaktor Daya. Untuk memperoleh keyakinan terhadap keselamatan operasi reaktor daya yang diajukan ke Badan Pengawas, perlu dilakukan evaluasi keselamatan. Tujuan evaluasi keselamatan ini adalah untuk mengkonfirmasi bahwa desain instalasi telah memenuhi persyaratan keselamatan yang ditentukan. Dalam evaluasi keselamatan reaktor daya, perlu diidentifikasi kondisi instalasi yang menyimpang dari operasi normal serta kejadiankejadian pemicu yang mewakilinya. Pada BWR, seperti halnya reaktor daya pada umumnya, kondisi yang demikian mencakup transien abnormal dan kecelakaan. Sebagai dasar penilaian dalam evaluasi keselamatan, perlu ditetapkan kriteria penerimaan serta keberlakuannya untuk masing-masing kejadian pemicu. Mereka ditetapkan menurut jenis reaktor dan sifat kejadiannya. Pada reaktor BWR diterapkan kriteria keselamatan yang bersifat umum ditambah dengan, untuk kejadian-kejadian tertentu, kriteria spesifik untuk kejadian tersebut. Kata kunci: BWR, evaluasi keselamatan, transien abnormal, kecelakaan, kriteria penerimaan ABSTRACT Safety Evaluation of Boiling Water Reactor (BWRs) in the Regulation of Nuclear Power Plants. In order to assure the safety of nuclear power plants, safety evaluation shall be conducted to the design of the plants as reflected in the Safety Analysis Report. Safety evaluation is intended to confirm that the design of the plants meet the predetermined safety requirements and that the plants can be safely operated by safety equipment designed to ensure their safety. During safety evaluation, plants conditions deviating from normal operation need to be established along with the representing initiating events. For BWRs, as well as other type of nuclear power plants, the conditions might include abnormal transients and accidents. The acceptance criteria for each event then shall be determined as the basis for the judgment on the appropriateness of the plants design with the safety requirements. The judgment criteria for events in BWRs include the general acceptance criteria along with detailed criteria applied for some specific events. Keywords: BWR, safety evaluation, abnormal transient, accidents, acceptance criteria 177

PENDAHULUAN Guna memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dari waktu ke waktu, Indonesia merencanakan untuk membangun dan mengoperasikan reaktor daya. Ketika reaktor daya dioperasikan, satu aspek terpenting adalah terjaminnya keselamatan dan kesehatan bagi pekerja instalasi dan anggota masyarakat serta lingkungan hidup. Agar diperoleh keyakinan bahwa reaktor daya akan dioperasikan dengan selamat, harus dilakukan pengawasan yang memadai. BAPETEN merupakan Badan Pengawas yang berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir. Pengawasan ini dilakukan melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran [1]. Salah satu penerapan pengawasan reaktor daya dilakukan dengan mengevaluasi aspekaspek keselamatan operasi reaktor sebagaimana diuraikan di dalam dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Evaluasi ini dimaksudkan untuk memperoleh keyakinan bahwa tujuan analisis keselamatan, yakni untuk mengkonfirmasikan bahwa dasar desain untuk sistem, struktur dan komponen (SSK) yang penting bagi keselamatan, telah memadai; dan bahwa desain instalasi secara keseluruhan mampu untuk memenuhi segala batas yang ditentukan berkenaan dengan dosis radiasi dan pelepasannya untuk masingmasing kategori kondisi instalasi [2]. ANALISIS KESELAMATAN DAN EVALUASI KESELAMATAN REAKTOR DAYA Dalam rangkaian tahapan pembangunan reaktor daya, analisis keselamatan harus dilalui yang bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa desain sebagaimana yang digunakan dalam fabrikasi, juga yang digunakan dalam konstruksi serta desain sebagaimana dibangun (asbuilt design) memenuhi persyaratan keselamatan yang telah ditentukan. Analisis keselamatan ini merupakan bagian dari proses desain di mana terdapat proses iteratif antara desain dan perhitungan analitik. Kemudian, organisasi pengoperasi, yakni pengusaha instalasi nuklir yang akan mengoperasikan reaktor, perlu melakukan verifikasi terhadap analisis keselamatan ini. Verifikasi ini bisa didelegasikan kepada pihak lain, yang tidak terkait dengan organisasi pendesain, di mana pihak ini melakukan verifikasi keselamatan atas nama organisasi pengoperasi. Persyaratan keselamatan utama untuk reaktor daya adalah bahwa pertahanan berlapis telah diterapkan dalam desain. Ini berarti bahwa desain reaktor daya harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebut sebagai persyaratan teknis utama [3] berikut: Harus menyediakan penghalang ganda untuk pelepasan zat radioaktif yang tak terkendali ke lingkungan 178

Harus konservatif, dan konstruksi harus berkualitas tinggi, untuk memberikan keyakinan bahwa kegagalan dan penyimpangan dari operasi normal dapat diminimalkan dan kecelakaan dapat dicegah Harus menyediakan sistem kendali selama dan setelah kejadian pemicu terpostulasi, dengan menggunakan fitur inheren dan teknis di mana transien yang tidak terkendali harus sejauh mungkin diminimalkan atau ditiadakan dari desain Harus menyediakan kendali instalasi tambahan, dengan penggunaan pengaktifan sistem keselamatan otomatis untuk meminimalkan tindakan operator pada permulaan kejadian pemicu terpostulasi dan dengan tindakan operator Harus menyediakan peralatan dan prosedur untuk mengendalikan kecelakaan dan sejauh mungkin membatasi konsekuensi kecelakaan Harus menyediakan berbagai cara untuk menjamin agar setiap fungsi keselamatan dasar, yakni kendali reaktivitas, pembuangan panas dan pengungkungan zat radioaktif, dilakukan, dengan demikian menjamin efektivitas penghalang dan memitigasi konsekuensi dari setiap kejadian pemicu terpostulasi. Ketika izin pembangunan reaktor diajukan, Badan Pengawas harus melakukan evaluasi keselamatan untuk memperoleh keyakinan bahwa reaktor yang akan dibangun dapat dioperasikan dengan selamat dengan menggunakan sistem keselamatan yang didesain untuknya. Dalam penerapan evaluasi keselamatan, Badan Pengawas di berbagai negara menerapkan metode dan sasaran masing-masing sesuai dengan sistem peraturan yang mereka miliki. Sebagai contoh, evaluasi keselamatan terhadap reaktor daya di Jepang ditujukan terhadap sasaran-sasaran berikut [4] : Verifikasi terhadap kecukupan desain keselamatan. Ini untuk memperlihatkan bahwa reaktor daya dapat beroperasi dengan selamat dengan menggunakan perlengkapan yang dirancang untuk keselamatan. Verifikasi terhadap kesesuaian kondisi lokasi. Ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa fasilitas keselamatan teknis mampu mencegah pelepasan zat radioaktif ke lingkungan dalam jumlah besar serta untuk memverifikasi bahwa masyarakat umum di sekitar tapak reaktor masih terlindungi bahkan ketika kecelakaan dipostulasikan terjadi. Kondisi instalasi yang perlu dicakup di dalam analisis keselamatan, sehingga perlu dievaluasi oleh Badan Pengawas, meliputi 2 kelompok besar. Yang pertama yaitu kondisi operasi normal, sedang yang kedua yaitu kondisi operasi yang menyimpang dari operasi normal yang meliputi kejadian operasional terantisipasi, kecelakaan dasar desain (design basis accident [DBA]), dan kecelakaan yang melampaui dasar desain (beyond design basis accident [BDBA]). Tulisan ini akan terfokus pada dua kondisi pertama dari kondisi operasi yang menyimpang dari operasi normal, yakni kejadian operasional terantisipasi dan kecelakaan dasar desain. 179

Pembagian kelompok kondisi yang menyimpang dari operasi normal didasarkan pada frekuensi kemunculannya. Menurut definisi dari IAEA, kejadian operasional terantisipasi adalah kejadian yang memerlukan manuver penanganan yang lebih kompleks dari pada operasi normal dan berpotensi mengancam keselamatan reaktor, biasanya memiliki frekuensi kemunculan lebih besar dari pada 10-2 per reaktor-tahun. Sedangkan kecelakaan dasar desain didefinisikan sebagai kejadian yang diperkirakan tidak akan timbul selama masa operasi reaktor, meskipun demikian, sesuai dengan prinsip pertahanan berlapis, harus dipertimbangkan dalam desain reaktor daya. Kecelakaan dasar desain ini bisanya memiliki frekuensi kemunculan dalam rentang 10-2 sampai dengan 10-5 per reaktor-tahun [2]. Dalam evaluasi keselamatan yang diterapkan oleh Badan Pengawas di berbagai negara, terminologi dan definisi yang digunakan mungkin tidak sama dengan apa yang direkomendasikan oleh IAEA meskipun pengertian dasarnya adalah sama. Sebagai contoh, lingkup dan definisi kejadian yang diterapkan dalam evaluasi keselamatan pada reaktor daya di Jepang adalah seperti diuraikan berikut. RUANG LINGKUP DAN DEFINISI Ruang lingkup dalam evaluasi keselamatan meliputi tansien abnormal dan kecelakaan yang terjadi dalam operasi reaktor. Definisi kedua kategori kejadian tersebut adalah sebagai berikut [4] : Transien abnormal (kejadian operasional terantisipasi) adalah kejadian yang menyebabkan kondisi abnormal atau menyimpang dari operasi normal yang dapat disebabkan oleh kegagalan atau malfungsi komponen reaktor, kesalahan operator, atau dari penyebab eksternal ketika reaktor sedang beroperasi. Kejadian ini diperkirakan terjadi satu atau beberapa kali selama masa operasi reaktor. Kecelakaan adalah kejadian yang lebih parah dari pada kejadian transien abnormal, yang probabilitas kemunculannya kecil akan tetapi perlu dipostulasikan karena berpotensi menimbulkan pelepasan zat radioaktif dari instalasi reaktor nuklir ke lingkungan. Transien Abnormal Pada BWR Transien abnormal dalam operasi reaktor perlu dipostulasikan dan dievaluasi. Dalam kejadian transien abnormal, apabila reaktor tidak dikendalikan sebagaimana mestinya, terdapat kemungkinan timbulnya kerusakan yang luas di bahan bakar nuklir atau dinding penahan tekanan air pendingin reaktor. Kejadian pemicu yang dipilih adalah sedemikian sehingga memadai guna melakukan verifikasi akan kecukupan desain sistem reaktor seperti sistem proteksi keselamatan dan sistem pemadaman (shutdown) reaktor. Dalam hal terjadinya transien abnormal, sistem keselamatan hendaknya telah dirancang secara memadai sehingga sasaran berikut harus dipenuhi [4] : 180

Teras tidak mengalami kerusakan. Kejadian dapat dikendalikan dan dibawa ke kondisi stabil sehingga memungkinkan untuk memulihkan operasi reaktor. Pada BWR, terdapat tiga kategori kejadian pemicu yang dianalisis, yakni perubahan abnormal dalam reaktivitas atau distribusi daya dalam teras, perubahan abnormal dalam pembangkitan panas atau pemindahan panas dalam teras, dan perubahan abnormal dalam tekanan pendingin atau inventori pendingin reaktor. Kriteria penerimaan untuk transien abnormal Apabila terjadi transien abnormal, harus dikonfirmasi bahwa instalasi reaktor sudah didesain sedemikian rupa sehingga sistem keselamatan dapat mengatasinya serta tidak terjadi kerusakan pada teras reaktor dan bahwa operasi normal reaktor dapat dipulihkan. Kriteria yang digunakan untuk menilainya adalah sebagai berikut [4] : (1) Perbandingan daya kritis minimum (minimum critical power ratio [MCPR]) harus lebih besar dari batas yang diizinkankan. Nilai batas MCPR yang diizinkan adalah: BWR-4: 1.06, BWR-5: 1.07, ABWR: 1.07. (2) Kelongsong bahan bakar tidak mengalami kerusakan secara mekanis. Regangan plastis rata-rata di sekeliling tabung kelongsong 1 %. Ini setara dengan 180 % kali fluks panas permukaan nominal untuk perangkat bahan bakar 8 8 jenis baru atau 170% kali fluks panas permukaan nominal untuk perangkat bahan bakar 8 8 dengan fraksi bakar tinggi. (3) Entalpi bahan bakar tidak melampaui batas yang diizinkan. Kurva nilai batas desain entalpi bahan bakar ini disajikan di Gambar 1. (4) Tekanan pada dinding penahan tekanan pendingin reaktor tidak melampaui 1.1 kali tekanan kerja maksimum *) atau 9.48 MPa[g] (96.7 kg/cm 2 [g]). *) Tekanan kerja maksimum adalah 8.62 MPa[g] (87.9 kg/cm 2 [g]). 181

Gambar 1. Nilai entalpi bahan bakar yang diizinkan dalam kejadian transien abnormal BWR. Kriteria penerimaan di atas berlaku bagian per bagian untuk kejadian transien abnormal tertentu yang dapat berlainan dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Pada umumnya kejadian transien abnormal pada BWR memberlakukan 2 atau 3 dari keempat kriteria di atas. Daftar keberlakuan kriteria penerimaan untuk masing-masing kejadian yang mewakili ketiga kategori kejadian transien abnormal untuk BWR dapat dilihat di Tabel I berikut. Tabel 1. Kejadian transien abnormal pada BWR dan kriteria penerimaannya [5]. Kategori transien abnormal dan kejadian pemicunya Kriteria 1 2 3 4 (i) Perubahan abnormal dalam reaktivitas atau distribusi daya dalam teras a. Penarikan batang kendali secara abnormal pada start-up reaktor b. Penarikan batang kendali secara abnormal pada operasi daya (ii) Perubahan abnormal dalam pembangkitan panas atau pemindahan panas dalam teras a. Kehilangan sebagian aliran pendingin reaktor b. Kehilangan catu daya luar-tapak c. Kehilangan pemanas air-umpan d. Malfungsi pada sistem kendali aliran pendingin reaktor (iii) Perubahan abnormal dalam tekanan pendingin atau inventori pendingin reaktor a. Kehilangan beban: Katup pintas turbin aktuasi Katup pintas turbin tidak aktuasi b. Penutupan katup isolasi uap utama karena kesalahan c. Malfungsi pada sistem kendali air-umpan d. Kehilangan seluruh aliran air-umpan 182

Kecelakaan Pada BWR Kecelakaan merupakan kejadian yang harus dipostulasikan guna menilai keselamatan fasilitas reaktor. Kecelakaan merupakan kondisi yang tingkat keparahannya melampaui transien abnormal yang terjadi dalam operasi reaktor. Kecelakaan sebenarnya merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi tetapi perlu diasumsikan karena memiliki potensi untuk melepaskan zat radioaktif dari instalasi reaktor ke lingkungan. Dalam hal terjadinya kecelakaan, sistem keselamatan hendaknya telah memadai sehingga sasaran berikut harus dipenuhi [4] : Melelehnya teras atau kerusakan yang serius harus dihindarkan. Kerusakan sekunder yang dapat menyebabkan keadaan abnormal tambahan harus dihindarkan. Integritas penghalang terhadap pelepasan bahan radioaktif harus dapat dipertahankan. Pada reaktor BWR, terdapat empat kategori kejadian kecelakaan yang perlu dievaluasi yang meliputi kehilangan air pendingin reaktor atau perubahan besar pada kondisi pendinginan teras, penyisipan reaktivitas yang abnormal atau perubahan cepat pada daya reaktor, pelepasan zat radioaktif secara abnormal ke lingkungan, serta perubahan yang abnormal pada parameter pengungkung misalnya tekanan, atmosfer, dsb. Kriteria penerimaan untuk kecelakaan Dalam evaluasi kejadian kecelakaan, harus dikonfirmasi bahwa instalasi reaktor sudah didesain sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pelelehan teras atau kerusakan parah teras yang lain, kejadian tidak memicu kegagalan tambahan yang dapat menimbulkan transien yang lain, dan desain penghalang terhadap pelepasan zat radioaktif telah memadai. Kriteria umum yang digunakan untuk menilainya adalah sebagai berikut [4] : (1) Teras tidak mengalami kerusakan secara meluas, dan pendinginan teras yang memadai harus tersedia. Temperatur kelongsong puncak (peak cladding temperature [PCT]) tidak melampaui 1200 o C dan oksidasi maksimum tidak melampaui 15 % dari ketebalan kelongsong. (2) Entalpi bahan bakar tidak melampaui batas yang diizinkan (entalpi 963 kj/kg UO 2 (230 cal/g UO 2)). (3) Tekanan pada dinding penahan tekanan pendingin reaktor tidak melampaui 1.2 kali tekanan kerja maksimum *) atau 10.34 MPa[g] (105.5 kg/cm 2 [g]). (4) Tekanan pada dinding pengungkung reaktor tidak melampaui tekanan kerja maksimum yang diizinkan (tekanan pada dinding pengungkung reaktor 310 kpa[g] (3.16 kg/cm 2 [g])). *) Tekanan kerja maksimum adalah 8.62 MPa[g] (87.9 kg/cm 2 [g]). 183

(5) Masyarakat umum sekitar tapak tidak menerima resiko radiologis melebihi yang diizinkan. Pada evaluasi kecelakaan BWR, dalam penilaian kecukupan desain instalasi selain menerapkan bagian-bagian dari kriteria umum di atas, beberapa kejadian kecelakaan juga menerapkan kriteria spesifik. Keberlakuan kriteria penerimaan untuk masing-masing kejadian kecelakaan, baik yang umum maupun spesifik, dapat dilihat di Tabel 2 berikut. Tabel 2. Kejadian kecelakaan pada BWR dan kriteria penerimaannya [5]. (i) Kehilangan air pendingin reaktor atau perubahan besar pada kondisi pendinginan teras Kejadian/Parameter Kriteria Penerimaan Keterangan a. Kehilangan air pendingin reaktor Temperatur tabung (1) **) Nilai rujukan kelongsong maksimum Jumlah oksidasi stoikiometris kimia kelongsong bahan bakar Jumlah hidrogen yang dihasilkan di seluruh teras Pemindahan panas peluruhan jangka panjang (1) Harus cukup rendah (nilai rujukan 1 %) **) Pemindahan panas peluruhan harus dimungkinkan dalam jangka panjang b. Kehilangan aliran pendingin reaktor Temperatur tabung (1) kelongsong maksimum Jumlah oksidasi stoikiometris kimia (1) kelongsong bahan bakar Tekanan pendingin reaktor (3) sebagaimana dijelaskan dalam kriteria penerimaan kinerja ECCS (ii) Penyisipan reaktivitas yang abnormal atau perubahan cepat pada daya reaktor Kejadian/Parameter Kriteria Penerimaan Keterangan a. Jatuhnya batang kendali Entalpi bahan bakar (2) ***) Kondisi dengan maksimum Tekanan pada dinding penahan tekanan pendingin reaktor Entalpi bahan bakar adiabatik pada daya puncak ***) (3) 628 kj/kg UO 2 (150 kj/kg UO 2) diberlakukannya Kriteria penerimaan untuk kejadian yang dipicu oleh penyisipan reaktivitas 184

(iii) Pelepasan zat radioaktif secara abnormal ke lingkungan Kejadian/Parameter Kriteria Penerimaan Keterangan a. Pecahnya pipa uap utama Kerusakan bahan bakar Tidak terjadi kerusakan yang meluas pada bahan bakar (iv) Perubahan yang abnormal pada parameter pengungkung misalnya tekanan, atmosfer, dsb Kejadian/Parameter Kriteria Penerimaan Keterangan a. Kehilangan air pendingin reaktor Temperatur di dalam bejana pengungkung Dry-well 171 o C Suppression chamber 104 o C primer Tekanan di dalam bejana (4) pengungkung primer b. Terbentuknya gas mudah terbakar Konsentrasi gas mudah terbakar di dalam bejana pengungkung primer Konsentrasi oksigen 5 % volume Konsentrasi hidrogen 4 % volume PEMBAHASAN Untuk keperluan evaluasi keselamatan reaktor daya, perlu disusun panduan sehingga metode evaluasi, persyaratan atau kriteria penerimaan serta bagaimana kriteria tersebut diterapkan dapat dengan jelas diikuti oleh evaluator dalam melakukan evaluasinya. Panduan semacam ini selain digunakan oleh Badan Pengawas juga bermanfaat bagi pendesain dan pengusaha instalasi nuklir yang akan mengoperasikan reaktor agar dapat mengetahui persyaratan-persyaratan keselamatan yang akan diterima oleh Badan Pengawas, sehingga desain reaktor yang akan dibuat atau dibangun sudah mengikuti kriteria ini. Panduan ini hendaknya mencakup penentuan kondisi instalasi, pengelompokan kejadian dalam kategori-kategori menurut sifat kejadian, rincian kejadian pemicu untuk masing-masing kategori kejadian, serta kriteria penerimaan yang diberlakukan. Pada BWR, seperti halnya jenis reaktor yang lain, kondisi instalasi yang dicakup dalam evaluasi keselamatan untuk kejadian-kejadian yang menyimpang dari operasi normal dapat meliputi transien abnormal atau kejadian operasional terantisipasi serta kecelakaan. Pembagian ini didasarkan pada kebolehjadian atau frekuensi kemunculannya serta tingkat keparahan yang diakibatkannya. Transien abnormal memiliki kebolehjadian kemunculan kecil, yakni diprediksi terjadi satu atau beberapa kali selama operasi reaktor, tetapi 185

berpotensi menimbulkan kerusakan teras. Sedang kecelakaan, yakni kejadian yang lebih parah dari pada transien abnormal yang kebolehjadian timbulnya sangat kecil bahkan diperkirakan tidak akan terjadi selama umur reaktor, harus diperhitungkan karena berpotensi menumbulkan pelepasan zat radioaktif ke lingkungan. Pada masing-masing kondisi ditetapkan kategori kejadian serta kejadian pemicu yang dipilih untuk mewakilinya. Yang dimaksud dengan kejadian pemicu adalah hal-hal yang dapat mengarah pada timbulnya penyimpangan operasi reaktor sehingga membahayakan fungsi keselamatan. Kejadian pemicu ini hendaknya mencakup berbagai kegagalan sistem dan komponen serta kesalahan manusia sehingga mewakili berbagai kondisi operasi reaktor. Kejadian pemicu yang dipilih harus disesuaikan dengan sistem reaktornya. Sebagai contoh, pada reaktor BWR dapat timbul kejadian penyisipan reaktivitas ke teras akibat jatuhnya batang kendali. Ini dapat terjadi karena penyisipan batang kendali BWR dilakukan dari bawah, hal yang tidak akan terjadi pada rektor yang penyisipan batang kendalinya dilakukan dari atas. Sebagai dasar penilaian, terhadap setiap kejadian pemicu diterapkan kriteria penerimaan. Kriteria penerimaan merupakan batasan-batasan nilai yang spesifik pada indikator fungsional atau indikator kondisi yang digunakan untuk memprediksi kemampuan sistem keselamatan dalam melakukan fungsi sebagaimana mereka didesain [4]. Kriteria penerimaan ini ditetapkan menurut jenis reaktornya karena masing-masing jenis reaktor memiliki karakteristik operasi yang berlainan. Selain itu, kriteria penerimaan juga bergantung pada jenis kejadian pemicunya, karena efek yang ditimbulkan terhadap parameter operasi reaktor dapat berbeda dari kejadian pemicu yang satu dengan yang lain. KESIMPULAN Untuk memperoleh keyakinan terhadap keselamatan operasi reaktor daya yang diajukan ke Badan Pengawas, perlu dilakukan evaluasi keselamatan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengkonfirmasi bahwa desain sebagaimana yang digunakan dalam fabrikasi, juga yang digunakan dalam konstruksi serta desain sebagaimana dibangun (as-built design) memenuhi persyaratan keselamatan yang telah ditentukan Dalam evaluasi keselamatan untuk reaktor daya, perlu ditetapkan kondisi instalasi yang menyimpang dari operasi normal serta kejadian-kejadian pemicu yang mewakilinya. Untuk BWR, seperti halnya reaktor daya pada umumnya, kondisi yang demikian dapat meliputi transien abnormal dan kecelakaan. Sebagai dasar penilaian dalam evaluasi keselamatan, perlu ditetapkan kriteria penerimaan serta keberlakuannya untuk masing-masing kejadian pemicu. Mereka ditetapkan menurut jenis reaktor dan sifat kejadiannya. Pada reaktor BWR diterapkan kriteria keselamatan yang bersifat umum ditambah dengan, untuk kejadian-kejadian tertentu, kriteria spesifik untuk kejadian tersebut. 186

DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-Undang No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran. 2. Safety Assessment and Verification for Nuclear Power Plants (IAEA Safety Standards No. NS-G-1.2). International Atomic Energy Agency, Vienna, 2001. 3. Safety of Nuclear Power Plants: Design (IAEA Safety Standards No. NS-R-1). International Atomic Energy Agency, Vienna, 2000. 4. Safety Evaluation of Japanese LWR. Japan Nuclear Energy Safety Organization (JNES), December 2004. 5. BWR Safety Analysis Training Text. Japan Nuclear Energy Safety Organization (JNES), December 2004. 187