menurut Jimly Asshiddiqie berfungsi sebagai pengawal konstitusi (The Guardian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XVI/2018 Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Garam

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAB I PENDAHULUAN. telah menggariskan beberapa prinsip dasar. Salah satu prinsip dasar yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

Transkripsi:

menurut Jimly Asshiddiqie berfungsi sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution). 24 Dalam menjalankan fungsinya inilah, maka MK diberi kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, sebab hanya MK sajalah yang diberikan kewenangan untuk menafsirkan UUD NRI Tahun 1945. Namun yang jadi persoalan adalah bahwa kewenangan MK bersifat limitatif atau terbatas, yakni yang diatur dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: 1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI; 3. Memutuskan pembubaran partai politik; dan 4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 25 Sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, yang kewenangannya tidak bersifat limitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU. 26 Dari uraian di atas, maka jelas bahwa tidak ada pasal dari UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bagaimana ketika TAP MPR bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yakni UUD NRI Tahun 1945. Maka perlu kajian ketatanegaraan untuk menjawab persoalaan demikian. Oleh karena alasan-alasan yang telah dijabarkan, 495. 24 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, MKRI, Jakarta, 2008, hlm. 25 Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 26 Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 12

maka penelitian ini berjudul : Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan MPR setelah perubahan UUD 1945 dan implikasinya terhadap produk hukum MPR? 2. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam sejarah perkembangan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan? 3. Bagaimana apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan lembaga negara manakah yang berwenang untuk menguji TAP MPR tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Menganalisa pengaturan mengenai kedudukan MPR dalam NRI serta dampak kedudukannya yang diatur dalam UUD terhadap tugas dan wewenanganya. b. Menganalisis kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dalam sejarah peraturan perundang-undangan. c. Menganalisa kewenangan pengujian TAP MPR 2. Manfaat 13

Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain: a. Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan kewenangan pengujian TAP MPR sebagai ikhtiar pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tara Negara. b. Secara Praktis Penelitian ini secara umum ditujukan kepada segenap elemen Bangsa Indonesia mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui mengenai Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. D. Keaslian Penulisan Penulisan skirpsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Persmusyawaratan Rakyat, belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya secara ilmiah pula. Apabila ada skripsi yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. 14

Di dalam kepustakaan dan praktek dikenal dua macam hak menguji, yaitu: a. Hak menguji formal Menurut Sri Soemantri hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif seperti UU misalnya terjelma melalui cara-cara seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. 27 Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa yang dinilai adalah tata cara pembentukan suatu UU sudah sesuai atau tidak dengan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. b. Hak menguji materil Menurut Sri Soemantri hak menguji materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundangundangan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 28 Dalam kaitannya dengan hirarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam hirarki tata susunan. suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm) 29 27 Sri Soematri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 6. 28 Ibid., hlm. 11. 29 Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc. Cit. 15

Menurut Adolf Merkl sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, suatu norma hukum itu ke atas apabila ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya. Tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskacht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. 30 Korelasi dari adanya sebuah norma berjenjang ialah adanya sebuah pengujian norma yang lebih rendah terhadap norma di atasnya. Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan perundangundangan merupakan bagian dari hukum negara. Hukum negara merupakan hukum yang ditetapkan dengan keputusan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, dan pengadilan. Pengaturan tersebut akan mengahasilkan Ketetapan atau Keputusan (beschiking) dan penghakiman atau pengadilan akan menghasilkan Putusan (Vonnis). 31 Di Indonesia, sumber utama asas dari suatu peraturan perundang-undangan adalah Pancasila, 32 sedangkan UUD NRI Tahun 1945 Merupakan hukum dasar tertulis. 33 Hingga penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu: 30 Ibid. 31 Jimly Asshiddiqie, Prihal UU, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm 8. 32 Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara 33 Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara No. 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam perundang-undangan. 16

1. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib Hukum dan tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. Ketetapan MPR/S; c. UU/ Perppu; d. Peraturan Daerah; e. Keputusan Presiden; f. Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti: 1) Peraturan Menteri; 2) Instruksi Menteri dan lain-lainnya. 2. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan adalah: a. UUD 1945; b. TAP MPR/S; c. UU; d. Perppu; e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah; 3. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah: 17

a. UUD NRI Tahun 1945; b. UU/Perppu; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. 4. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: a. UUD NRI Tahun 1945; b. TAP MPR c. UU/ Perppu; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerh Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten. Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun mekanisme judicial review yang terus berkembang dalam praktik diberbagai dunia akademis maupun praktisi, bahkan tidak kurang dari lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judicary). Seperti yang dikemukakan oleh Lee Bridges, Geogrs Mezaros, dan Maurice Sunkin sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie : Judicial review has been increasingly celebrate, Not least by the judiciary it self, as mean by which the citizen can obtain regress againt 18

oppressive goverment, and as akey vechicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power. 34 Ada dua peristilahan penting yang harus dipahami terlebih dahulu ketika membahasan pengujian, yaitu constitusional review atau pengujian konstitusional, yang harus dibedakan dari istilah judicial review. Perbedaan itu sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah UU, sedangkan constitusional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD. 35 Pendefenisi konsep constitusional review itu sendiri sebenarnya dapat dilihat sebagai buah perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokrasi yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dengan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). 36 Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan kata lain, constitustional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu 34 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 2. 35 Jimly Asshiddiqie, Model-Model... Op.Cit., hlm 9. 36 Himawan Estu, Negara Hukum & TAP MPR, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm 55. 19

cabang kekuasaan sedemikian rupa terhadap cabang kekuasaan lainnya; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalagunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi. 37 Ide pengujian konstitutional (contitutional review) ini telah demikian luas diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan dimasing-masing negara. Oleh karena itu, perkembangannya di setiap negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai tolak ukur penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembang luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari. Dalam perjalanan sejarahnya, sistem pengujian konstitusional (constitutional review) ini telah tumbuh sedemikian rupa melalui tahap-tahap perkembangan. 38 Di Indonesia sendiri ada dua lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan, yakni MA dan MK. Kewenangan lembaga negara ini diatur dalam Pasal 24 A dan Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan memiliki wewenang lain yang 37 Jimly Asshiddiqie, Model-Model... Op.Cit., hlm. 8. 38 Himawan Estu, Op.Cit., hlm.53. 20

diberikan oleh undang-undang. 39 Setelah perubahan UUD 1945, lahir UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 35 Tahun 1999. Dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badanbadan peradilan di bawahnya dan oleh sebuah MK. Badan peradilan di bawah MA meliputi, badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. 40 Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara. Hakikat fungsinya berbeda dengan MK yang tidak berhubungan dengan tuntutan keadilan bagi warga negara, melainkan dengan sistem hukum yang berdasarkan konstitusi. 41 Hakikat fungsinya sedangkan MK menurut Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 berwenang: Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 42 Sehubungan dengan kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, maka yang harus dipahami bahwa rancangan UU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden bukanlah bersifat final, sebab UU yang telah disepakati masih dapat 39 Pasal 24A (1) UUD NRI Tahun 1945. 40 Suladri, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Setara Press, Malang, 2012, hlm 148. 41 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika Cetakan Ketiga, Jakarta, 2014, 197. 42 Pasal 24C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. 21

dimohonkan agar diuji di MK. 43 Menurut A. Fickar Hadjar sebagaimana dikutip oleh Sulardi 44, ada empat hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan MK, yaitu: 1. Sebagai Implikasi dari paham konstitusionalisme, 2. Mekanisme checks and balances, 3. Penyelenggaraan yang bersih, dan 4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. Mengenai tata cara permohonan pengujian UU terhadap UUD diatur dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, yang berbunyi: (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. (2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam permohonan pengujian UU terhadap UUD di MK, harus memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut Harjono sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa kedudukan hukum ialah keadaan dimana 43 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsiran Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, hlm 111. 44 Sulardi, Op. Cit., hlm 150. 22

seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan MK. 45 Kedudukan hukum mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat Materiil yaitu kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagai berikut: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau privat; d. Lembaga negara. Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal 3 PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU. Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh MK RI, mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum pemohon dalam perkara pengujian UU terhadap UUD di MK, yaitu: Keempat pihak atau subjek hukum tersebut di atas (perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik dan private, dan lembaga negara-pen), Pertama, haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangankewenangan tertentu yang dicantumkan dalam UUD 1945. Ketiga, hak- 45 MK RI, Hukum Acara MK, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK, Jakarta, 2010, hlm 98-99. 23

hak atau kewenangan konstitusional dimaksudkan memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya UU yang bersangkutan. 46 Yang dimaksud dengan Perorangan warga Negara Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a bahwa: yang dimaksud dengan perorangan termasuk dalam kelompok orang yang memilik kepentingan yang sama. 47 Terkait dengan kesatuan hukum adat terdapat Perbedaan antara masyarakat adat dengan kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut Jimly sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa: Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu Community atau society, kesatuan masyaratakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan perkataan lain masyrakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat dan itu haruslah dibedakan dari masyarakat 48 hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu, Selanjutnya yang dimaksud dengan badan hukum publik atau privat menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku yang berjudul Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu: badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. 49 Selanjutnya sehubungan dengan kedudukan hukum lembaga negara, Jimly asshiddiqie dan Muruarar Siahaan dalam buku Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI. juga mengemukakan bahwa lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum 46 Ibid. 47 Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara No. 4316, tentang Mahkamah Konstitusi 48 MK RI, Op. Cit., hlm 103. 49 Ibid., hlm. 107. 24

adalah lembaga negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktiknya banyak dibentuk oleh UU. 50 Sejak Putusan No. 006/PUU-III/2005 yang disempurnakan dengan Putusan No. 11/PUU-V/2007, hingga saat ini MK berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat: 2. MPR a. Adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; b.hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya Pontensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undangundang yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional 51 seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). 52 Dalam hubungan ini, UUD 1945 menganut sistem supremasi parlemen, yaitu sistem kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi negara yang bernama MPR. Dalam rangka pemikiran demikian, kedaulatan rakyat yang terjelma di lembaga tertinggi MPR dibagi-bagikan ke lembaga negara di bawahnya. Dalam proses pembagian itu, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif, tidak 50 Ibid., hlm. 111. 51 Maruarar Siahaan, Hukum Acara... Op. Cit., hlm 139 52 Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum dan Konstitusi Mewujudkan Cita Negara Hukum, Pidato Ilmiah Milad ke-44 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, hlm. 6. 25

terpisah secara tegas dan karena itu tidak terdapat hubungan checks and balances antara satu sama lain. Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan ditetapkannya Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) melalui perubahan kedua UUD 1945 resmi menganut pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan mengembangkan mekanisme hubungan checks and balances yang lebih fungsional. 53 Dengan perubahan ini, ditambah lagi dengan diadopsinya ketentuan mengenai pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sehingga presiden tidak dipilih oleh MPR dan tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan mendasar. MPR kehilangan sebagian fungsi dan kewenangannya. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, namun merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti: Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), MA, MK, dan Komisi Yudisial (KY), sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa MPR merupakan lembaga negara. Demikian pula dalam TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang perubahan kelima atas TAP MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Pasal 2 TAP MPR No. II/MPR/1999 yang semula berbunyi: Majelis adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, 54 diubah menjadi selengkapnya berbunyi: Majelis adalah lembaga negara, 53 Ibid. 54 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. 26

pemegang, dan pelaksana kedaulatan rakyat menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945. 55 Susunan keanggotaan MPR juga berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah. Bagir Manan mengemukakan, 56 perubahan kedudukan keanggotaan MPR selain untuk menutup peluang penyalagunaan sebagai jalan penyimpangan praktik dari kehendak UUD, juga dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bukan satu-satunya lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat. 3. TAP MPR Penting untuk diketahui mengenai terminologi Peraturan, Keputusan dan Ketetapan. Istilah peraturan berasal dari asal kata atur, mengatur, peraturan yang menyangkut kegiatan yang berfungsi sebagai pengatur. Artinya istilah peraturan lebih tepat untuk dikaitkan dengan pengertian regels dan regeling dalam bahasa Belanda. 55 Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.. 56 Bagir Manan, DPR, DPR dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Pertama. FH-UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 74-76. 27

Istilah keputusan berasal dari kata putus, pemutus, memutuskan menyangkut kegiatan penyelesaian suatu masalah (problem solving). Sedangkan istilah ketetapan, dikaitkan dengan produk-produk keputusan yang berkaitan dengan kegiatan administrasi yaitu keputusan administrasi yang sifatnya menetapkan sesuatu menjadi tidak ada, ataupun dari keadaan tidak ada menjadi ada, atau keadaan sementara menjadi tetap. Jadi sangatlah tepat apabila perbuatan tersebut disebut dengan penetapan dan hasilnya adalah ketetapan. 57 UUD tidak secara tegas menentukan adanya TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Bentuk TAP MPR dan sifatnya sebagai peraturan perundang-undangan tumbuh sebagai praktik ketatanegaraan. 58 Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945, ditemukan istilah menetapkan atau ditetapkan. Hasil dari menetapkan atau ditetapkan adalah ketetapan. Konstitusi tidak keliru, tetapi tidak selalu menetapkan menghasilkan ketetapan. Istilah ketetapan dapat diartikan menjadi dua, yakni pengertian yang umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, tindakan menetapkan dapat berwujud UU (menetapkan UU), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pengertian khusus, keluaran dari tindakan menetapkan adalah ketetapan, dan kalangan Ilmu Hukum Admistrasi Negara, istilah ketetapan biasanya dipakai sebagai nama perbuatan administrasi negara yang bersifat individual, konkrit, atau yang lazim disebut beschiking. 59 Sejak tahun 1960 MPRS telah menerbitkan berbagai produk hukum yang berupa: TAP MPRS, Keputusan MPRS, Resolusi, Keputusan Pimpinan 57 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press Cetakan Pertama, Jakarta 2010, hlm. 265. 58 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm 107. 59 Ibid., hlm 107-108 28

MPRS. UUD tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk TAP MPR. Bentuk ini mulai dikenal sejak sidang-sidang MPRS Tahun 1960. Pilihan bentuk putusan TAP MPR, sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa kehadiran TAP MPR dapat didasarkan pada dua hal, yaitu: 60 Pertama, Ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuanketentuan yang tersirat yang sekaligus mengadung kekuasaan tersirat (implied power) diakui oleh setiap UUD. MPR menurut UUD 1945 mempunyai berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta merubah UUD 1945. Keputusan-keputusan hukum ini harus diberi bentuk hukum tertentu. Keputusan hukum MPR antara lain diberi nama Ketetapan. Hal ini didasarkan pada Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: MPR menentapkan UUD dan Garis-garis besar dari pada haluan negara. Karena Menetapkan maka bentuknya diberi nama TAP MPR. TAP MPR adalah praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara. 61 menjadi: 62 Apabila ditinjau dari segi sifat isinya, TAP MPR/S dapat digolongkan (1) ketetapan yang bersifat mengatur, ketetapan semacam ini tepat kalau digolongkan sebagai salah satu bentuk/jenis peraturan perundangundangan seperti dimaksudkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1996; misalnya, TAP MPR tentang referendum. (2) ketetapan yang bersifat 60 Bagir Manan, Dasar-Dasar Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit Ind- Hill-Co Cetakan Pertama, Jakarta, 1992, hlm 31-33. 61 Riri Nazriyah, Op. Cit., hlm 171. 62 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan... Op. Cit., hlm 29. 29

Penetapan/beschiking. Misalnya ketetapan pengangkatan Presiden dan tentang GBHN. (3) ketetapan yang bersifat deklaratur, misalnya ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dalam perkembangan selanjutnya, di samping materi yang dirumuskan dalam TAP MPR/S tersebut, terdapat pula materi-materi yang lebih bervariasi sebagai berikut: 63 a. TAP MPR/S yang bersifat deklaratur; b. TAP MPR/S yang bersifat rekomendasi; c. TAP MPR/S yang bersifat perundang-undangan yang berlaku bersifat umum. Dalam kaitan dengan hal di atas, A. Hamid S Atamimi mengatakan bahwa, munculnya pengelompokan muatan TAP MPR/S tanpa identifikasi kedudukan MPR lebih dahulu akan menimbulkan kerancuan dan salah paham. MPR harus digolongkan sebagai badan pembentukan hukum dasar tertulis (konstituante), lembaga yang menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, serta lembaga negara yang memilih dan mengangkat Presiden/Wakil Presiden. Dari pengkategorian ini akan dihasilkan peringkat norma yang berbeda. 64 Melihat akan pentingnya pengelompok terhadap produk hukum MPR yakni TAP MPR, maka MPR mengeluarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai 2002, yang memiliki Tujuan : 1. Meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPR/S; 63 Jimly Asshiddiqie, Laporan Penelitian Tinjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S RI Tahun 1960-2002, Kerja sama dengan Sekretaris Jendral MPR RI Jakarta, Mei 2003, hlm. 8. 64 A. Hamid S Attamimi. Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, hlm. 137. 30

2. Menentapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPR/S saat ini dan masa yang akan datang; 3. Memberi kepastian hukum atas TAP MPR/S yang telah ditinjau. 65 Dalam TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S Indonesia Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002, bahwa ada 139 TAP MPR/S yang ditinjau, yang selanjutnya dikelompokkan menjadi enam pasal berdasarkan materi dan status hukumnya, yang terdiri dari: 1. Pasal 1, TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 TAP) 2. Pasal 2, TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ketentuan (3 TAP) 3. Pasal 3, TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004 (8 TAP) 4. Pasal 4, TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU (11 TAP) 5. Pasal 5, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004 (5 TAP) 6. Pasal 6, TAP MPR/S yang dinyatakan tidak berlaku dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan ( 104 TAP). 65 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Sekretaris Jendral MPR RI, 2010, hlm 51. 31

Dari uraian di atas menunjukan masih adanya TAP MPR/S yang masih berlaku dan mengikat secara umum. Diantaranya TAP MPR No. I/MPR/2003, Pasal 2 (dua): 66 1. TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NRI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninnisme. Dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan Seluruh ketentuan dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan keadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. 2. TAP MPR No. XVI/MPR/1998, tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: pemerintah berkewajiban mendorong politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksannya pembangungan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. 3. TAP MPR No. V/MPR/1999, tentang Penentuan Pendapat di Timor- Timor. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: Ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 TAP MPR No. V/MPR/1999. (Karena masih adanya masalah-masalah 66 MPR RI, Bahan Tayangan Materi... Op. Cit., hlm 57. 32

kewarganegaraan, pengungsi, pengembalian asset negara, dan hak perdata perseorangan). TAP MPR No. I/MPR/2003 Pasal 4 (empat), dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya UU, ada sebelas ketetapan, yaitu: 67 1. TAP MPRS No. XXIX/MPRS/1996 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. Substansi dari ketetapan ini ialah bahwa setiap korban perjuangan menegakkan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat dalam melanjutkan pelaksanaan revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera. Amanat TAP MPR No. I/MPR/2003, memerintahan pembentukan UU tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. Hasil kajian, saat ini sudah dibentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Substansi dari Tap ini ialah perlu berfungsinya lembaga-lembaga negara dan penyelenggara negara, menghindari praktik KKN serta upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga. Mengamanatkan terlaksannya seluruh ketentuan yang terdapat di dalam TAP MPR No. XI/MPR1998. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah amanat TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 belum dilaksanakan dan/atau dituangkan ke dalam UU, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku dan daya guna/efficacy). 67 MPR RI, Op. Cit., hlm 60-71 33

3. TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; sarta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan RI. Substansi dari TAP MPR ini ialah, bahwa Penyelanggaraan Otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Amanat dari ketetapan ini ialah pembentukan UU tentang pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945. Hasil kajian, karena amanat dari TAP MPR No. XV/MPR/1998 belum seluruhnya dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity/dan daya guna/efficacy). 4. TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Substansi dari ketetapan ini ialah Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan; Lembaga Negara yang berwenang menguji UU terhadap UUD; Lembaga Negara yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Amanat dari ketetapan ini ialah dibentuknya UU sesuai dengan substansi TAP MPR No. III/MPR/2000. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah telah terbentuknya tiga UU yang mengatur tiga substansi utama dalam TAP MPR No. III/MPR/2000, yaitu: UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011 tentang 34

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU No. 24 Tahun 2003 tentang TAP MPR yang mengatur kewenangan menguji UU terhadap UUD dilakukan oleh MK; UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh MA; maka ketetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi. 5. TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Substansi ketetapan ini adalah ingin mempertegas perlunya kesadaran dan komitmen yang kuat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional dalam mengahadapi berbagai masalah mencapai tujuan nasional. Amanat dari TAP MPR ini ialah perlu diwujudkannya persatuan dan kesatuan nasional antara lain melalui pemerintahan yang mapu mengelolah kehidupan secara baik dan adil, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan dalam TAP MPR No. V/MPR/2000. Hasil kajian, amanat yang terdapat dalam ketetapan ini diperlukan sebagai pedoman dalam penyusunan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan RI, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). 6. TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI. 35

Substansi dari tap ini mengamanatkan pemisahan kekuasaan lembaga TNI dan Polri, menentukan peran dan fungsi masing-masing, serta terwujudnya kerjasama dan saling membantu. Amanat dari tap ketetapan ini, memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan pemisahan kelembagaan TNI dan Polri. Hasil kajian, pemisahan kekuasaan TNI dan Polri secara kelembagaan telah diatur dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, namun kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri masih perlu diatur dengan UU, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku, validity dan daya guna/efficacy). 7. TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan tentang jati diri, peran, susunan, dan kedudukan, tugas bantuan, dan keikutsertaan TNI dan Polri dalam penyelenggaraan negara. Amanat dari ketetapan ini ialah memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan penyempurnaan pasal 5 ayat (4) dan pasal 10 ayat (2) tentang hak memilih dan dipilh TNI dan Polri yang disesuaikan dengan UUD, dan pembentukan UU tentang penyelenggaraan wajib militer dan yang berkaitan dengan tugas bantuan antara TNI dan Polri. Hasil kajian, belum terbentuknya UU mengenai penyelenggaraan wajib militer, dan tugas bantuan antara TNI dan Polri maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). 8. TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 36

Substansi ketetapan ini ialah, mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa, dan berahklak mulia sarta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan, serta kelestarian lingkungan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Amanat ketetapan ini adalah perlu ditegakkannya etika berbangsa yang meliputi, etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan berkesetaraaan, etika keilmuan dan etika lingkungan untuk dijadikan acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan arahan kebijakan dan kaidah pelaksananya, serta menjiwai seluruh pembentukan UU. Hasil kajiannya, ketetapan ini belum sepenuhnya dijadikan pedoman dalam merumuskan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku,validity/dan daya guna,efficacy). 9. TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Substansi dari ketetapan ini ialah visi Indonesia masa depan diperlukan untuk menjaga kesinambungan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui visi ideal, visi antara, dan lima tahun. Amanat ketetapan ini adalah perlu diwujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara 37

sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan. Hasil kajian, dengan dijadikannya TAP MPR No. I/MPR/2001 tentang Visi Pribadi Indonesia Masa Depan, sebagai salah satu landasan operasional dari UU tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional Tahun 2005-2025, bahkan menjadi sumber inspirasi, motivasi, kreativitas, serta arah kebijakan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku, validity dan daya guna/efficacy). 10. TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberatasan KKN sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Amanat dari ketetapan ini adalah memerintahkan pembentukan UU serta peraturan pelaksananya untuk percepatan dan efektifitas pemberantasan dan pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian, karena amanat dari ketetpan ini belum dilaksanakan dan/atau dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity/dan daya guna/efficacy). 11. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi dari ketetapan ini mendorong pembaharuan agraria melalui proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, 38

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum. Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat dari ketetapan ini adalah, memerintahkan pembentukan UU untuk mendorong pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip keutuhan NKRI, HAM supremasi hukum, KESRA, demokrasi, kepatuhan hukum, partisipasi rakyat, keadilan termasuk kesetaraaan gender, pemeliharaan sumber agraria/sumber daya alam, memelihara keberlanjutan untuk generasi kini dan generasi yang akan datang, memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, keterpaduan dan koordinasi antar sektor dan antar daerah, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat, desentralisasi, keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintahan, masyarakat dan individu sesuai dengan arah kebijakan sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian dari ketetapan ini diperlukan untuk mendorong percepatan pembentukan dan pengharmonisasian berbagai UU, terutama yang berkaitan dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara komperhensif. Oleh karena itu ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy). F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan komponen yang mutlak keberadaannya dalam penulisan. Menurut Soejono Soekanto secara istilah metode berarti jalan 39

ke. 68 Sedangkan menurut Peter R. Senn sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. 69 Selanjutnya untuk lebih memahami mengenai metode penelitian kita dapat melihat dari peranan metode dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut : 70 1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap; 2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui; 3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner; dan 4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat. Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif atau dengan istilah lain atau penelitian hukum positif. Menurut Harjono. penelitian hukum positif memiki makna yang sama dengan kajian hukum doktriner, kajian hukum normatif, kajian hukum murni (pure legal) 71, pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan-perundang undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku 68 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 5. 69 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 46. 70 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 7. 71 Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,2005, hlm. 48. 40

manusia yang pantas. 72 Menurut Johny Ibrahim, Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya. 73 Sedangkan, ilmu hukum (normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah kongkret. 74 2. Pendekatan Permasalahan Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya, 75 antara lain: 76 a. Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua UU dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio logis dan dasar ontologis lahirnya UU tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam UU itu dan dapat menyimpulkan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. 72 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118. 73 Johny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 47. 74 Ibid., hlm. 53. 75 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 93. 76 Ibid., hlm. 95. 41

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin serta UU dengan isu yang dihadapi. c. Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan kasus berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi. 3. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut: 77 a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made); b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu; dan c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun 77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 24. 42

data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari peraturan-perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dokumen-dokumen pemerintah lainnya, buku-buku koleksi pribadi maupun dari Perpustakaan, artikelarikel yang terdapat dalam jurnal, majalah, buletin yang diambil dari media cetak maupun eletronik. 5. Analisis Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode mengumpulkan data dan metode deduksi. Metode mengumpulkan data yaitu usaha koleksi data dalam jumlah besar yang menyeluruh atas data yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, tidak hanya yang berupa perundang-undangan akan tetapi juga yang berupa keputusan-keputusan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara in concreto. Metode deduksi dikerjakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan kongkret mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk diterapkan menyelesaikan suatu permasalahan tertentu. 78 G. Sistematika Penulisan BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Akan membahas mengenai Kedudukan MPR Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD. 78 Ibid., hlm. 74. 43

BAB III : Akan membahas mengenai Status Hukum TAP MPR dalam Sejarah Perkembangan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan. BAB IV BAB V : Akan membahas mengenai Kewenangan Pengujian TAP MPR. : Merupakan Kesimpulan dan Saran berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang akan menjawab rumusan masalah. 44