PENGELOMAN HABITAT DAN SATWA PENYU LAUT (Habitat Management for Sea Turtles)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.


Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk

Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

Hairul Rohim, Slamet Rifanjani, Erianto Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Jl. Daya Nasional, Pontianak

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

Tesis. Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk Memperoleh Gelar Master Sains Biologi (M.Si) Oleh: Martina Bonsapia NPM:

BAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

AKTIVITAS PELESTARIAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI TAMAN PESISIR PANTAI PENYU PANGUMBAHAN SUKABUMI JAWA BARAT

KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT. (Skripsi) Oleh. Brina Wanda Pratiwi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA

Upaya Konservasi dan Pengelolaan Habitat Penyu Laut melalui Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ASPEK MORFOLOGI, REPRODUKSI, DAN PERILAKU PENYU HIJAU (Chelonia mydas) Di PANTAI PANGUMBAHAN, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2. Departemen Reproduksi Veteriner, 3 Departemen Parasitologi Veteriner, 4

LAPORAN PERJALANAN DINAS NOMOR : ST. 602 /BPSPL/T /IX/2016

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pantai

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PETERNAKAN PENYU DI SUKAMADE, BANYUWANGI * oleh

Penyu dan Usaha Pelestariannya

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

*) Diterima : 2 April 2007; Disetujui : 25 Agustus 2008

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam. pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan,

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di:

PENDAHULUAN Latar Belakang

KORELASI PERUBAHAN GARIS PANTAI TERHADAP KONSERVASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Perburuan satwa liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

LAPORAN KEMAJUAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BIDANG KEGIATAN:

Habitat Characteristics Nesting Environment Of Hawksbill Turtle (Eretmochelys imbricata) in the East Yu Island Of Thousand Islands National Park

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengaruh Selang Waktu Peletakkan Terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PELESTARIAN SUMBER DAYA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KARAKTERISTIK KONDISI BIO-FISIK PANTAI TEMPAT PENELURAN PENYU DI PULAU MANGKAI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

ANALISIS DISTRIBUSI SARANG PENYU BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK PANTAI PULAU WIE KECAMATAN TAMBELAN KABUPATEN BINTAN

Pengaruh Naungan Sarang terhadap Persentase Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Pantai Samas Bantul, Yogyakarta

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

SKRIPSI HABITAT BERTELUR DAN TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU ABU-ABU

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERDAGANGAN PENYU DI PESISIR SELATAN JAWA

Biologi, Ekologi, dan Manajemen Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi - Jawa Timur, Indonesia

Journal of Tropical Biodiversity and Biotechnology

BioLink Jurnal Biologi Lingkungan, Industri, Kesehatan. PENDUGAAN POPULASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

TEMPAT BERTELUR PENYU DI PULAU SALIBABU KABUPATEN TALAUD

ESTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PENYU BELIMBING (DERMOCHELYS CORIACEA) DI PANTAI JAMURSBA MEDI DAN WERMON OLEH MASYARAKAT DI PESISIR UTARA PAPUA

IDENTIFIKASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Tingkat keberhasilan peneluran dan penetasan telur penyu abu-abu

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

LOKASI BERTELUR PENYU DI PANTAI TIMUR KABUPATEN MINAHASA PROVINSI SULAWESI UTARA

BAB II PEMAHAMAN TERHADAP PENANGKARAN PENYU

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

ASPEK EKOLOGI HABITAT PENELURAN PENYU DI PULAU PENYU KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

BAB III METODE PENELITIAN

SEBARAN LOKASI PENELURAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PULAU SANGALAKI KEPULAUAN DERAWAN KABUPATEN BERAU

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

Transkripsi:

Media Konservasi Vol. I1 (2), Januari 1989 : 33-38 PENGELOMAN HABITAT DAN SATWA PENYU LAUT (Habitat Management for Sea Turtles) ABSTRACT The economic value of sea turtles, their eggs, meats and shells had caused intensive hunting in almost ali over the world. Current protection in Indonesia on sea turtles is still limited on leatherback turtle (Dermochelys coriacea), olive ridley (Lepidochelys olivacea) and loggerhead (Caretta caretta), three of the five species existing in Indonesia. Attempts to recover their populations had been carried out in Indonesg, comprising : nesting beaches protection, artiflcial incubation and rearing their juveds in the beaches before releasing them to the sea. The artificial incubation had been successful. PENDAHULUAN Penyu laut telah lama menjadi sasaran perburuan manusia, mulai penyu betina dewasa yang merayap menuju pantai, telur-telurnya yang ada di dalarn sarang sampai penyu dewasa yang berada di laut lepas. Alasan utarna kegiatan perburuan satwa ini pada umumnya karena nilai ekonomis satwa tersebut. Konsumsi telur dan daging semakin hari semakin meningkat dan hasil kerajinan karapas yang indah dan mahal harganya banyak dijajakan di lokasi-lokasi rekreasi seperti : Pantai Pangandaran di Kabupaten Ciamis, serta berbagai tempat rekreasi pantai lainnya di Indonesia seperti terdapat di kawasan Pulau Bali. Kondisi tersebut tentu sangat menyedihkan bagi para Ilmuwan, pencinta dam dan siapa saja yang merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam. Apalagi jika diperhatikan bahwa 5 di antara 7 spesies penyu laut yang masih hidup di dunia ini terdapat di wilayah perairan Indonesia. Sungguh merupakan suatu kekayaan alam yang mengagumkan, yang patut kita pertahankan bersama sebagai warisan yang sangat berharga bagi generasi mendatang. Dalarn kaitannya dengan masalah tersebut di atas, suatu konferensi internasional pada tahun 1979 di Washington, telah menghasilkan suatu pedoman tentang "Strategi Konservasi Penyu Laut Sedunia", suatu pedoman yang dapat dipergunakan di negaranegara yang memiliki potensi penyu laut, seperti Indonesia. Di samping itu, kerjasama internasional, pertukaran tenaga ahli dan konsultasi di antara para ahli dan konservasionis penyu laut memegang peranan penting untuk tercapainya suatu upaya pengelolaan yang efektif (Western Atlantic Turtle Symposium, 1983). *) Staf Pengajar Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fahutan IPB, Bogor.

Di Indonesia, meskipun belum ada pedoman khusus untuk pengelolaan dan konservasi penyu laut, di beberapa lokasi pantai peneluran satwa ini telah diupayakan penyelamatan populasinya, di antaranya dengan pemindahan sarang-sarang telur ke areal tertentu di pantai yang dilindungi untuk ditetaskan. Sistem penetasan yang dikenal sebagai penetasan semi alamiah ini sudah dipraktekkan dengan baik di pantai-pantai peneluran Citirem (Kabupaten Sukabumi), dan pantai Sukamade (Kabupaten Banyuwangi), bahkan di Kepulauan Seribu upaya tersebut ditingkatkan lagi dengan rnencoba mendatangkan telur-telur penyu laut dari pantai Citirem, Sukabumi untuk ditetaskan di kepulauan tersebut. Dengan upaya tersebut diharapkan akan mengembalikan populasi penyu laut yang pada masa lalu pernah dijumpai dalam jumlah banyak di kawasan tersebut. Upaya penyelamatan atau konservasi penyu laut; khususnya di Indonesia dirasakan masih perlu ditingkatkan lagi, di mana hingga saat ini baru tiga jenis penyu laut yang sudah dilindungi berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 716/Kpts/Um/10/1980 (Anonim, 1978), yaitu penyu belimbing (Demochelys coriacea), penyu kelabu (Lepidochelys olivacea) dan penyu karet (Caretta caretta). Penyelamatan terhadap satwa ini tentu membutuhkan suatu bentuk pengelolaan yang tepat dan integral, dimana selain didukung dengan peraturan perundangan, juga perlu didukung dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya alam. Bentuk-bentuk upaya penyelamatan tersebut berupa pengelolaan yang tepat terhadap pantai dan sarang, penanganan dan pernindahan sarang, serta pelepasan tukik ke laut. PERLINDUNGAN PANTAI DAN SARANG Bentuk upaya perlindungan pantai peneluran tergantung pada jenis predasi dan gangguan lain yang khas di lokasi yang bersangkutan. Perlindungan terhadap sarangsarang penyu laut ini merupakan ha1 yang penting, mengingat bahwa sarang inilah yang akan menghasilkan peningkatan populasi penyu laut di dam. Untuk itu kegiatan pemungutan telur-telur penyu laut secara liar oleh penduduk hams dicegah, melalui pengawasan yang lebih ketat. Pertimbangan utarna untuk melindungi pantai-pantai peneluran disebabkan tingginya gangguan satwa ini di kawasan tersebut akibat : a. Pemungutan telur oleh manusia b. Predasi oleh hewan liar c. Erosi pantai dan faktor-faktor fisik pantai lain. Untuk itu diperlukan kegiatan pemantauan sarang dan penetasan telur-telurnya untuk menduga persentase telur-telur yang hilang akibat faktor-faktor di atas, sehingga dapat diambil tindakan penyelamatan yang efektif sesuai dengan intensitas faktor-faktor tersebut di atas. 34 Media Konservasi Vol. I1 (2), Januari 1989

Pengawasan terhadap Ancaman Manusia Ancaman manusia terhadap populasi penyu laut sudah mencapai tingkat yang membahayakan. Selain memungut telur-telur di sepanjang pantai, mereka juga membum penyu laut dewasa yang ada di perairan laut. Kegiatan pemburuan dan perdagangan mereka sudah terorganisasi rapi, dengan jaringan operasi pemburuan yang mencakup hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Pengawasan yang sudah dilakukan selama ini terhadap penyu laut di Indonesia nampaknya masih belum menjamin keselamatan penyu laut yang tersebar di perairanperairan dan pantai-pantai yang bukan hanya berada di dalam kawasan kons~asi. Dalam ha1 ini pengawasan dan penindakan secara intersektoral perlu ditingkatkan, mengingat bahwa upaya ini pada dasarnya menjadi tanggung jawab bersama. Pengawasan terhadap Hewan Liar Ancaman terhadap sarang-sarang telur penyu laut dari hewan-hewan liar pada umurnny a cukup besar. Hewan-hew an seperti babi hutan (Sus venucosus), biawak (Varanus salvator), burung-burung pantai dan kepiting pantai merupakan predatorpredator yang ganas terhadap telur dan anak-anak penyu yang baru menetas (tukik). Pada pantai-pantai peneluran dengan tingkat predasi hewan liar yang cukup tinggi, perlu dilakukan usaha pemindahan sarang-sarang ke lokasi setempat yang terlindung, untuk menjamin tingkat keberhasilan penetasan yang lebih baik. Perlindungan terhadap Erosi Pantai Dalam kegiatannya bertelur di sepanjang pantai, meskipun sebagian besar bertelur di bagian atas batas air pasang (supratidal), narnun sering ditemukan sarang-sarang yang dibuat di daerah antar pasut (intertidal), dimana air pasang-surut tersebut setiap saat menyapu dan mengikis pasir pantai. Akibatnya, sarang-sarang tersebut menjadi rusak dan telur-telurnya hanyut terbawa ombak, atau membusuk karena kondisi sarang yang telah rusak dan basah. Dalam ha1 ini, pengawasan yang teratur dan teliti akan dapat mengurangi bahaya kerusakan tersebut karena dengan segera petugas mengetahui sarang-sarang yang tidak tepat penempatannya, untuk segera memindahkannya ke tempat yang lebih aman untuk penetasan telurny a. Pengawasan Pertumbuhan Vegetasi Pantai Pesatnya pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan di daerah pantai, terutama jenisjenis yang hidup merayap di atas pasir pantai seperti rumput lari lari (Spinifex littoralis) dan formasi Ipomoea pes-caprae, sangat mengganggu aktivitas peneluran penyu laut, yaitu mengganggu penggalian sarang di pantai. Batang-batang vegetasi yang memanjang dan malang melintang di atas permukaan pantai tersebut juga mengganggu pe rjalanan tukik ke arah laut, sehingga mereka dengan mudah akan menjadi mangsa predator, seperti kepiting, biawak serta predator lainnya. PengeIolaan fibitat &n Satwa Penyu k t 35

Upaya pengelolaan terhadap habitat peneluran dengan gangguan vegetasi demikian ialah dengan lebih ditingkatkannya upaya pengendalian pertumbuhan vegetasi pantai melalui pemangkasan secara berkala. PENANGANAN DAN PEMINDAHAN SARANG Telur-telur penyu laut karena kondisi tertentu dapat dipindahkan ke tempat yang aman/terlind~ngi untuk menjamin keberhasilan penetasannya dan kearnanannya dari predator-predator. Pemindahan sarang telur penyu laut merupakan upaya pengelolaan yang paling mudah dan cukup efektif hasilnya, dalam rangka mengembalikan tingkat populasi yang diharapkan. A!asan pemindahan sarang disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah : 1. Perburuan telur yang terus meningkat pada musim peneluran. 2. Sarang terlalu dekat dengan permukaan laut (penetasan akan berhasil baik jika lokasi sarang berada di daerah supratidal). 3. Sarang terletak di lokasi yang terlalu terbuka dengan intensitas cahaya yang terlalu t inggi. 4. Tingginya populasi predator, seperti biawak, babi hutan, kepiting dan burung elang. 5. Lokasi pantai peneluran yang terlalu dekat dengan aktivitas manusia atau pemukiman. 6. Pesatnya pertumbuhan vegetasi pantai dengan batang dan perakaran yang dapat menghambat munculnya tukik ke permukaan pantai, serta memudahkan pemangsaan terhadap tukik. Upaya pemindahan sarang telur yang paling mudah dan cukup efektif adalah jika dilakukan di pantai itu juga, tarlpa penanganan transportasi khusus. Cara penetasan telur dalam sarang-sarang yang demikian dikenal sebagai per,< t asan semi-alamiah. Prinsip penetasan semi-alamiah adalah menetaskan telur di dalam sarang yang digali oleh petugas di areal yang dilindungildipagar sedemikian rupa sehingga aman dari gangguan predator maupun gangguan fisik di pantai. Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang berdrainase baik, tidak tertutup vegetasi dan terlindung dari gangguan predator. Pada Gambar 1 dapat dilihat bentuk kandang di pantai Sukarnade dan pada Cambar 2 adalah bentuk kandang yang disarankan oleh Western Atlantic Turtle Symposium (WATS, 1983). Penetasan semi-alamiah tersebut ternyata memberikan hasil yang menggembirakan, yaitu dengan persentase penetasan 85,9% dan 84,2% masing-masing di pantai Citirem dan pantai Sukamade sebagaimana dilaporkan oleh Darmawan (1983) dan Priyono (1985). Media Konservasi Vol. I1 (2), Januari 1989

PELEPASAN TUKIK Sebagai kelanjutan dari penetasan telur-telur yang sudah dipraktekkan di pantaipantai peneluran, upaya selanjutnya adalah memantau setiap hari atas kemungkinankemungkinan munculnya tukik dari dalam sarang penetasan. Munculnya tukik-tukik tersebut biasanya pada malam hari hingga menjelang fajar. Tukik-tukik yang baru muncul perlu segera ditangkap dan dikumpulkan agar terhindar dari serangan predator, atau membiarkan mereka menuju ke laut dengan diawasi secara baik. Namun cara yang kedua kurang memberikan hasil yang diharapkan, yaitu meningkatnya populasi penyu laut di alamllaut. Hal ini disebabkan banyak peneliti yang menyatakan bahwa laju survival anak penyu hingga dewasa hanya sekitar 5% saja. Dengan demikian cara yang paling baik adalah memelihara tukik-tukik hingga mencapai ukuran yang cukup kuat untuk menghadapi serangan predator. Upaya inilah yang kiranya perlu mendapatkan perhatian dari para ahli, untuk memperoleh teknik-teknik terbaiklyang paling cocok untuk membesarkan anak-anak penyu laut, sehingga upaya restocking penyu laut di dam dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA ANONIM. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka, Jilid I. Mammalia, Reptilia dan Amphibia. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan, Bogor. DERMAWAN, A. 1983. Beberapa Aspek Biologi dan Pengelolaan Penyu Daging, Chelonia mydas L. di Pantai Citirem, Kabupaten Sukabumi. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan, lnstitut Pertanian Bogor, Bogor. PRIYONO, A. 1985. Studi Reproduksi Penyu Daging, Chelonia mydas L. di Pantai Sukamade, Kabupaten Banyuwangi. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan lnstitut Pertanian Bogor, Bogor. WESTERN ATLANTIC TURTLE SYMPOSIUM. 1983. Sea Turtle Manual of Research and Conservation Techniques. A Symposium on Sea Turtle Research of the West Central Atlantic. San Jose. Costa Rica. Media Konsemasi Vol. I1 (2), Januari 1989