ANALISIS PERKEMBANGAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA PADANG

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTODA DI KABUPATEN NGANJUK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. angka rasio rata-ratanya adalah 8.79 % masih berada diantara 0 %-25 %

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang tahun 2008

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil lokasi di Kabupaten Brebes dan Pemalang dengan data yang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERTANYAAN PENELITIAN. 1. Tinjauan tentang Akuntansi Pemerintahan. a. Pengertian Akuntansi Pemerintahan

BAB II LANDASAN TEORI. pada semua tingkatan dan unit pemerintahan. (Kustadi Arinta) dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB IV METODA PENELITIAN

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Timur

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diambil adalah Kabupaten/ Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN GROBOGAN

ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KERINCI DAN KOTA SUNGAI PENUH

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain. Selain itu organisasi non profit ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO APBD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah termasuk didalamnya sumber penerimaan asli pada penerimaan PAD

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAERAH SUBOSUKAWONOSRATEN DALAM PELAKSANAAN SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH ( TINJAUAN KEUANGAN DAERAH )*

ANALISIS SUMBER-SUMBER DAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH UNTUK MENSEJAHTERAKAN DAERAH DI KABUPATEN DAIRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA (APBD) DITINJAU DARI RASIO KEUANGAN (Studi Kasus di Kabupaten Sragen Periode )

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DALAM MENDUKUNG PELAKASANAAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI PADA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN

Volume X, No. 1, Mei 2016 ISSN :

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA MALANG

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH BOJONEGORO DAN JOMBANG TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

Tinjauan Atas Laporan Penerimaan Dan Pengeluaran Kegiatan APBD Pada Dinas Pertanian, Tanaman Dan Pangan Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAERAH SE KARESIDENAN PEKALONGAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Jaya (1999 :11), keuangan daerah adalah seluruh tatanan perangkat

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 1 No. 1 April 2017

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA AMBON

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

Transkripsi:

Jurnal KBP Volume 1 - No. 3, Desember 2013 ANALISIS PERKEMBANGAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA PADANG Novi Yanti STIE KBP Padang (vie_pdg@yahoo.com) ABSTRAK Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan PAD dalam kontribusinya mendukung pengelolaan keuangan daerah di Kota Padang dan untuk mengetahui kemampuan keuangan Kota Padang dalam membiayai pelaksanaan Pemerintah dan Pembangunannya dilihat dari perkembangan PAD. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Padang. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD di Kota Padang tahun anggaran 2005-2009. Adapun teknik pengumpulan data adalah dengan dokumentasi dan yang dilakukan di DPKA Kota Padang. Metode Penelitian adalah deskriptif, kuantitatif dengan menggunakan beberapa rasio keuangan, yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, derajat desentralisasi fiskal, dan indeks kemampuan rutin. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut : Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 20,06 masih berada diantara 0-25 tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang berarti kemampuan Pemerintah Kota Padang dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Sosial masyarakat masih relatif rendah meskipun dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan penurunan. Dalam Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal hanya memiliki rata-rata 15,60. Hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian/ kemampuan keuangan Kota Padang masih rendah dalam melaksanakan otonominya. Berdasarkan rasio IKR rata-rata hanya sebesar 14,77, ini artinya PAD memiliki kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya. Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, Keuangan Daerah, dan Desentralisasi fiskal PENDAHULUAN Dengan ditetapkannya Undang undang No. 22 tahun 1999 dan Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang- Undang No. 25 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan daerah dan pusat secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah, terutama kepada Pemerintah 439

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tujuan dari UU yang ditetapkan tersebut dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial. Salah satu ciri utama daerah mampu dalam melaksanakan otonomi daerah menurut Yuliati (2001:22), adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa PAD harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu faktor yang penting dalam pelaksanaan roda pemerintahan suatu daerah yang berdasar pada prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun PAD maka akan semakin besar pula tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah. Sakti (2001), melakukan penelitian tentang analisis perkembangan kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kabupaten Sukoharjo dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah. Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD Kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerin-tahan, pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung menurun. Organisasi pemerintah merupakan salah satu bentuk organisasi non profit yang bertujuan meningkatan pelayanan kepada masyarakat umum yang dapat berupa peningkatan keamanan, peningkatan mutu pendidikan atau peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain. Lembaga pemerintahan melakukan berbagai bentuk pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan di satu sisi, dan di sisi lain lembaga ini harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penghasilan guna menutupi seluruh biaya tersebut. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan pra sarana daerah. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS Tinjauan Tentang Akuntansi Pemerintahan Pada hakekatnya akuntansi pemerintahan adalah aplikasi akuntansi di bidang keuangan Negara (public finance), khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran, termasuk segala 440

pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkatan dan unit pemerintahan. (Arinta 1996:28). Menurut Arif dkk (2002:3), mendefinisikan akuntansi pemerintahan sebagai suatu aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut. Tujuan akuntansi pemerintahan menurut Bachtiar arif, Muchlis, Iskandar dalam Akuntansi Pemerintahan adalah : a. Pertanggungjawaban (accountability) Di dalam pemerintahan, keuangan Negara yang dikelola harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai amanat konstitusi. Pelaksanaan fungsi ini di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (5). b. Manajerial Akuntansi pemerintah harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan untuk perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan, pemantauan, pengendalian anggaran, perumusan kebijaksanaan, dan pengambilan keputusan, serta penilaian kinerja pemerintah. c. Pengawasan Tujuan pengawasan memiliki arti bahwa akuntansi pemerintah harus memungkinkan terselenggaranya pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional secara efektif dan efisien. Tinjauan Keuangan Daerah Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167): a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Beberapa pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan.(dalam Nataluddin, 2001:168-169) : a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah) b. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap 441

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi. c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel 1. Tabel 1 Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan Keuangan Kemandirian () Pola hubungan Rendah sekali Rendah Sedang Tinggi 0-25 25-50 50-75 75-100 Sumber : Abdul Halim (2002:169) Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif Pengelolaan Penerimaan Daerah Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun 2000 dan PP No 64 tahun 2000, sumbersumber penerimaan dapat diperinci sebagai berikut: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : 1) Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. 2) Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara 442

lain bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah. 4) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset negara dan jasa giro. b. Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri dari : 1) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan gas. 2) Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2) 3) Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 23). Pengelolaan Pengeluaran Daerah Dalam Peraturan pemerintah No.105 tahun 2000, menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak terduga. a. Belanja Rutin Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan menambah asset / kekayaan bagi daerah. Belanja rutin terdiri dari : 1) Belanja administrasi dan umum : a) Belanja pegawai b) Belanja barang c) Belanja perjalanan dinas d) Belanja pemeliharaan 2) Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana b. Belanja Modal / Pembangunan Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset / kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. c. Pengeluaran Tidak Terduga Pengeluaran tidak terduga adalah yang disediakan untuk pembiayaan : 1) Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah. 2) Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan 443

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar tersebut, penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma-norma dan prinsip anggaran sebagai berikut (Nirzawan, 2001:79) : a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Mengingat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan. b. Disiplin Anggaran Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan. Pemilihan antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat pembangunan / modal harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos / pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. c. Keadilan Anggaran Pembiayaan pemerintah dapat dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat, untuk itu pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan. d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan. Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam mengadakan analisis keuangan memerlukan ukuran tertentu. Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Erich Helfert (2000,49) mengartikan rasio adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan suatu 444

unsur dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan sedangkan Munawir (1995:64) menjelaskan rasio sebagai hubungan atau perimbangan antara satu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. Analisis rasio pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan Pemerintah Daerah tersebut terhadap Pemerintah Daerah lainnya. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif menurut Mohammad Nazir (2003:54) adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini : untuk membuat deskriptif / gambaran, melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselediki. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan Pendapatan Asli Daerah dalam mendukung Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Padang. Data Dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dan melalui perantara / diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Indriantoro dan Supomo,2002:147). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD tahun anggaran 2005-2009. APBD tersebut diperoleh dari instansi pemerintah terkait, dalam hal ini diperoleh dari Kantor Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPKA) kota Padang. Metode Analisis Data Data yang berasal dari APBD kemudian dianalisis dengan menggunakan rasio keuangan daerah yang diukur dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut: 1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak dan Bagi hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Perimbangan dari Provinsi, dan Dana Darurat (Widodo, 2001 : 262). Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah: Rasio kemandirian: Pendapatan Asli Daerah Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap 445

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. 2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel 2 adalah sebagai berikut (Adhidian Fajar Sakti, 2001:22): Tabel 2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal Kemampuan Keuangan Daerah 0,00-10,00 Sangat Kurang 10,01-20,00 Kurang 20,01-30,00 Cukup 30,01-40,00 Sedang 40,01-50,00 Baik >50,00 Sangat Baik Sumber : Adhidian Fajar Sakti (2001: 22) Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PADt DDF : x 100 TPDt Keterangan : DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal PAD t : Total PAD Tahun t TPD t : Total Pendapatan Daerah Tahun t 3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin Indeks Kemampuan Rutin yaitu : Proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (kuncoro, 1997: 9). Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997:15) sebagaimana yang terlihat dalam table 3 sebagai berikut (Widodo, 2001:22). Tabel 3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin Kemampuan Keuangan Daerah 0,00-20,00 Sangat Kurang 20,01-40,00 Kurang 40,01-60,00 Cukup 446

60,01-80,00 Baik 80,01-100 Sangat Baik Sumber : Widodo (2001:22) Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IKR : PAD x100 Total Pengeluaran Rutin Keterangan : IKR : Indeks Kemampuan Rutin PAD : Pendapatan Asli Daerah HASIL DAN PEMBAHASAN Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, dan Rasio Indek Kemampuan Rutin Pemerintah Daerah Kota Padang tahun 2005-2009, sehingga dapat diketahui bagaimana Keterangan Bagi hasil Pajak Bagi Hasil bukan Pajak DAU DAK Dana Perimbangan dari Provinsi Dana Darurat Jumlah kecenderungan yang terjadi. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen pada bagian Anggaran kantor pemerintah Kota Padang yang berupa data APBD. Adapun hasil dari Analisis Rasio APBD tersebut adalah sebagai berikut : 1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Keuangan Daerah adalah : Rasio kemandirian : Pendapatan Asli Daerah Tabel 4 Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern Tahun 2005-2009 x Sumber Pendapatandari Pihak Ekstern 100 Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat dalam tabel 4 dan 5 di bawah ini : 2005 2006 2007 2008 2009 32.643.436.515 33.593.223.567 35.848.525.380 55.515.660.000 47.715.988.324 287.033.000.000 503.906.000.000 565.100.000.000 624.642.090.000 628.472.618.000 12.630.078.000 26.050.000.000 35.574.000.000 43.829.000.000 45.464.000.000 14.220.345.015 20.895.000.000 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 346.526.859.530 584.444.223.567 636.522.525.380 723.986.750.000 721.652.606.324 Sumber: Perkembangan APBD Kota Padang Tahun 2005-2009 447

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 N o TA Total Pendapatan 1 2005 487.994.597.07 4,89 2 2006 701.479.892.47 7,00 3 2007 781.198.433.24 1,00 4 2008 922.411.851.09 8,00 Tabel 5 Perhitungan Rasio Kemandirian Kota Padang Tahun Anggaran 2005-2009 Pendapatan Asli Daerah Rp 105.410.797.59 1,00 102.476.790.11 0,00 102.858.529.14 9,00 128.469.134.95 4,00 Perke m Banga n _ -2,86 0,37 24,89 21,6 0 14,6 0 13,1 7 13,9 3 14,7 4 Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern Rp. 346.526.859.53 0,00 584.444.223.56 7,00 636.522.525.38 0,00 723.986.750.00 0,00 Perke m Banga n _ 71,01 68,66 8,91 13,74 83,31 81,48 78,49 Rasio Keman dirian 30.42 17,53 16,16 17,74 5 2009 903.506.052.89 3,00 133.164.566.38 3,00 3,65 721.652.606.32 4,00-0,32 79,87 18,45 Rata-rata 5,21 18,2 20.06 Sumber: Data diolah Ket Konsultif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Berdasarkan tabel 4.2 terlihat bahwa PAD dan sumber pendapatan dari pihak ekstern selalu mengalami penurunan dan kenaikan. PAD yang semula di tahun 2005 sebesar Rp.105.410.797.591,- atau sebesar 21,60 dari total pendapatan, selanjutnya pada tahun 2006 dan tahun 2007 PAD mengalami penurunan sebesar Rp.102.476.790.110,- dan Rp.102.858.529.149,- atau sebesar 14,60 dan 13,17 dari total pendapatan. Pada tahun 2008 dan tahun 2009 mengalami kenaikan kembali sebesar Rp.128.469.134.954,- dan Rp133.164.566.383,- atau sebesar 13,93 dan 14,74 dari total pendapatan, sehingga rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 5,21. Sumber pendapatan dari pihak ekstern juga mengalami peningkatan dan penurunan, yang semula pada tahun 2005 sebesar Rp.346.526.859.530,- atau 71,01 dari total pendapatan, kemudian pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 83,31 menjadi Rp.584.444.223.567,- dari total pendapatan, lalu pada tahun 2007 dan tahun 2008 mengalami penurunan menjadi Rp.636.522.525.380,- dan Rp. 723.986.750.000,- atau 81,48 dan 78,49 dari total pendapatan. Kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 79,87 dari total pendapatan. Sehingga rata-rata pertumbuhan sumber pendapatan dari pihak ekstern adalah sebesar 18,2. Pada rasio kemandirian juga mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2005 rasio kemandirian mencapai 30,42 dan pada tahun 2006 dan tahun 2007 turun menjadi 17,53 dan 16,16. Selanjutnya pada tahun 2008 dan tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 17,74 dan 18,45. Sehingga rata-rata rasio kemandirian adalah sebesar 20.06. Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa rasio kemandirian selama lima tahun pada Kota Padang memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih rendah dan dalam kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan dari pada daerah, hal ini dapat dilihat dari rasio kemandirian 448

yang dihasilkan masih antara 0-25. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan kemampuan keuangan daerah Kota Padang dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada penerimaan dari pemerintah pusat. Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada sumber penerimaan daerah, tampaknya Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak / retribusi yang ada di daerah dan kurangnya pendapatan asli daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Hai ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD. 2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PADt DDF : TPDt x 100 Keterangan : DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal PAD t : Total PAD tahun t TPD t : Total Pendapatan Daerah Tahun t Hasil perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dilihat dalam tabel 6 berikut ini: Tabel 6 Kontribusi PAD terhadap TPD Kota Padang Tahun Anggaran 2005-2009 Tahun PAD TPD Kemampuan Anggaran (Rp) (Rp) Keuangan 2005 105.410.797.591,00 487.994.597.074,89 21,60 Cukup 2006 102.476.790.110,00 701.479.892.477,00 14,60 Kurang 2007 102.858.529.149,00 781.198.433.241,00 13,17 Kurang 2008 128.469.134.954,00 922.411.851.098,00 13,93 Kurang 2009 133.164.566.383,00 903.506.052.893,00 14,74 Kurang Rata-rata 15,60 Kurang Sumber : Data diolah Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Padang mengalami penurunan dan kenaikan walaupun relatif kecil. Pada tahun 2005 rasio derajat desentralisasi fiskal mencapai 21.60 dan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami penurunan menjadi 14,60 dan 13,17 kemudian pada tahun 2008 449

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 dan 2009 naik menjadi 13,93 dan 14,74. Sehingga rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal adalah: 15,60. Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal selama lima tahun pada pemerintahan Kota Padang masih dalam skala interval yang kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 10,01-20,00 yaitu sebesar 15,60 dan ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang kurang dalam membiayai pembangunan daerah. Hal ini terjadi karena PAD di Kota Padang masih relatif kecil dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah, dan Kota Padang dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah pusat. 3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PAD IKR : x100 Total Pengeluaran Rutin Rutin Keterangan : IKR : Indeks Kemampuan PAD : Pendapatan Asli Daerah Hasil perhitungan rasio Indeks Kemampuan Rutin dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 7 Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Rutin Kota Padang Tahun Anggaran 2005-2009 Tahun PAD Pengeluaran Rutin Kemampuan Anggaran (Rp) (Rp) Keuangan 2001 105.410.797.591,00 494.556.997.513,00 21,31 Kurang 2002 102.476.790.110,00 689.944.898.637,79 14,85 Sangat Kurang 2003 102.858.529.149,00 837.589.825.375,79 12,28 Sangat Kurang 2004 128.469.134.954,00 1.010.677.264.245,24 12,71 Sangat Kurang 2005 133.164.566.383,00 1.050.192.704.013,14 12,68 Sangat Kurang Rata-rata 14,77 Sangat Kurang Sumber: Data diolah Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengeluaran Rutin Daerah Kota Padang dari tahun ke tahun menunjukkan keadaan yang tidak stabil dan selalu berubah-rubah. Pada tahun 2005 rasio Indeks Kemapuan Rutin mencapai 21,31. Selanjutnya pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup besar dari tahun sebelumnya yaitu 14,85, dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 12,28 kemudian pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi 12,71. Pada tahun 2009 rasio Indeks Kemampuan Rutin mengalami penurunan lagi yaitu menjadi 12,68. Menurut uraian dan perhitungan pada tabel IV.4 dapat disimpulkan bahwa Rasio Indeks Kemampuan Rutin selama lima tahun pada pemerintahan Kota Padang masih dalam skala yang sangat kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00 yaitu sebesar 14,77 dan ini berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran 450

rutinnya, hal ini terjadi karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Padang sangat kecil, dan selama ini lebih banyak tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah pusat. SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Dari hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 20,06 masih berada diantara 0-25 tergolong mempunyai pola hubungan Instruktif yang berarti kemampuan Pemerintah Kota Padang dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan, dan Pelayanan Sosial masyarakat masih relatif rendah. Sedangkan tingkat ketergantungan pada sumber pendapatan dari pihak ekstern yang masih cukup tinggi disebabkan karena sumber-sumber keuangan potensial negara adalah milik pemerintah pusat. 2. Berdasarkan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun Derajat Desentralisasi Fiskal adalah kurang karena hanya memiliki rata-rata 15,60, hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian / kemampuan keuangan Kota Padang masih rendah dalam melaksanakan otonominya. 3. Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin daerah, yang sering disebut juga dengan IKR (Indeks Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 14,77, ini artinya IKR di Kota Padang sangat kurang karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00. Hal ini berarti PAD memiliki kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya dan pemerintah Kota Padang masih tergantung pada sumber penerimaan keuangan dari pemerintah pusat. Implikasi Penelitian 1. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004, sangat diperlukan kemandirian keuangan daerah agar tingkat ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat dapat dikurangi melalui intensifikasi Pendapatan Asli Daerah yang dilakukan oleh masingmasing daerah. 2. Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa sumber keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri oleh daerah dan menjadi penerimaan PAD. 3. Penelitian ini hanya menganalisis beberapa komponen dalam perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga akan lebih lengkap. 4. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa model analisis rasio keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan seluruh model analisis rasio keuangan sehingga hasil analisisnya lebih lengkap dan menyeluruh. 5. Penelitian ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2005-2009 di Kota Padang saja, diharapkan untuk penelitian selanjutnya obyek penelitiannya dilakukan dibeberapa 451

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 439-453 kota sehingga terdapat perbandingan antara kota yang satu dengan kota yang lain. DAFTAR PUSTAKA Abe, Alexander, 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaruan. Agustino,E, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Journal : CURES Working Paper No 05/01 January 2005, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya Ahmad, Jamaluddin, 1990, Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Studi Kasus DI Aceh, Jawa timur dan DKI Jakarta, Desertasi Doktor UGM, Yogyakarta (Tidak Dipublikasikan) Aliman,2000, Modul Ekonometrika terapan, PAU Studi ekonomi UGM,Yogyakarta Anonymus, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Penerbit BP Panca Usaha, Jakarta Arsyad, Nurjaman, 2004, Hubungan Fiskal Antar Pemerintahan di Indonesia, Peranan dan Masalahnya, Journal : Analisis CSIS, Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri dan Fisipol UGM,1991, Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat II dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta Bawazier, Fuad, 1996. Pungutan Pada Dunia Usaha. Seri Kajian Fiskal dan Moneter, No.19, hal. 5-14. David, FR,1997.Strategic Management 6 th Edt. New Jersey: Prentice Hall. Deny, Junanto, (2002) Penerapan Desentralisasi Fiskal Untuk Meningkatkan Sektor Pariwisata, Journal Bunga Rampai LAN, Jakarta Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2008, Pelengkap Buku Pegangan Departemen keungan tentang Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Buku Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2009, Depkeu RI, Jakarta Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2009, Pelengkap Buku Pegangan Departemen keungan tentang Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Buku Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2009, Depkeu RI, Jakarta. Hinderink, J., dan Titus, MJ., 1989. Paradigms of Regional Development and Take Role Of Small Centers Development and Change. Ekonomi dan Keuangan IndonesiaI, Vol. 19, hal 17-31. Halim, Abdul, 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP- YKPN. Ichsan,dkk,1997, Administrasi Keuangan Daerah: Pengelolaan dan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), cetakan pertama, PT Danar Wijaya, Brawijaya University Press, Malang 452

Ismail, Tjip, 2003. Peran Pendapatan Asli Daerah Sebagai Pendamping Dana Perimbangan Dalam Pembiayaan Pembangunan Guna Mewujudkan Kemandirian Daerah. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Departemen Keuangan. 453