BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alat kontrasepsi jangka panjang (MKJP) adalah alat kontrasepsi yang digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan, yang digunakan dengan jangka panjang, yang meliputi IUD, implant dan kontrasepsi mantap. Indonesia merupakan negara yang dilihat dari jumlah penduduknya ada pada posisi keempat di dunia, dengan laju pertumbuhan yang masih relatif tinggi. Esensi tugas program Keluarga Berencana (KB) dalam hal ini telah jelas yaitu menurunkan fertilitas agar dapat mengurangi beban pembangunan demi terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Pelayanan program KB pelaksanaannya senantiasa terintegrasi dengan kegiatan kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan dan kesetaraan gender sebagai salah satu upaya pemecahan hak-hak reproduksi kepada masyarakat. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka operasional pelaksanaan program KB perlu dikelola secara lebih serius, profesional dan berkesinambungan sehingga upaya-upaya tersebut dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak baik klien maupun pemberi pelayanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesertaan masyarakat dalam ber KB, terhindar dari masalah kesehatan, reproduksi, meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam mensosialisaikan
kontrasepsi yang akan dipergunakan oleh akseptor KB sangat ditentukan efektvitas konseling petugas kesehatan (Manuaba, 2010). Interaksi atau konseling yang berkualitas antara klien dan provider (tenaga medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan program keluarga berencana (KB). Sangat mudah dimengerti jika hal itu membuat tingkat keberhasilan KB di Indonesia menurun. Klien yang mendapatkan konseling dengan baik akan cenderung memilih alat kontrasepsi dengan benar dan tepat. Pada akhirnya hal itu juga akan menurunkan tingkat kegagalan KB dan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Untuk meraih keberhasilan tersebut, tentunya sangat diperlukan tenaga-tenaga konselor yang profesional. Mereka bukan hanya harus mengerti seluk-beluk masalah KB, tetapi juga memiliki dedikasi tinggi pada tugasnya serta memiliki kepribadian yang baik, sabar, penuh pengertian, dan menghargai klien (Siswanto, 2010). Dengan demikian, konseling akan benar-benar menghasilkan keputusan terbaik seperti yang diinginkan oleh klien, bukan sekedar konsultasi yang menghabiskan waktu dan biaya. Demikian benang merah diskusi bertema Sudahkah Peserta KB Diperlakukan sebagai Klien? yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan John Hopkins University melalui Program KB dan Kesehatan Reproduksi di Jakarta (Prayitno, 2004). Menurut Siswanto (2010) di Indonesia, konseling yang berkualitas masih sangat minim dan bahkan sulit sekali menemukan klinik yang secara khusus
menyediakan jasa konseling yang benar-benar memenuhi standar. Selain itu, ketidakseimbangan antara jumlah klien dan tenaga medis yang bertugas sebagai konselor juga akan mempengaruhi keberhasilan konseling. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemahiran konselor dalam memerankan tugasnya. Ketika menghadapi klien, seorang konselor hendaknya tidak beranggapan dialah yang terhebat sementara si klien tidak tahu apa-apa. Hal itu, justru akan memunculkan jarak dengan klien sehingga akan sulit terjalin interaksi yang sebenarnya sangat diperlukan dalam konseling Berdasarkan hasil penelitian Starh (2002) diketahui dari 373 klinik di Indonesia ternyata hanya tiga yang dapat dikategorikan memenuhi standar konseling. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur standar itu adalah kecakapan konselor dalam melayani klien, termasuk berinteraksi dan mengorek sebanyak mungkin masalah yang disembunyikan klien. Zarfiel Taffal (2002), juga sependapat jika dalam konseling, klien cenderung akan menyembunyikan masalah sehingga kelihaian konselor akan menjadi penentu berkualitas tidaknya konseling itu. Namun, Zarfiel menekankan, konseling hendaknya tidak berorientasi pada efisiensi yang lebih mempertimbangkan faktor waktu, tetapi lebih kepada keefektifan yang mengutamakan pencapaian hasil terbaik. Di desa-desa terpencil biasanya hanya ada tenaga bidan yang bertugas di puskesmas. Masyarakat pun tampaknya memang lebih dekat dengan bidan. Selain lebih low profile, bidan juga lebih sabar dan mempunyai kedekatan yang baik dengan
klien. Sepertinya, masih sulit menemukan dokter yang mampu menjadi konselor yang baik tanpa mempertimbangkan jam terbang dan jasa konseling, katanya. Komunikasi petugas kesehatan merupakan suatu pertukaran informasi, berbagi ide dan pengetahuan petugas kesehatan kepada masyarakat. Hal ini berupa proses dua arah dimana informasi, pemikiran, ide, perasaan atau opini disampaikan atau dibagikan melalui kata-kata, tindakan maupun isyarat untuk mencapai pemahaman bersama. Komunikasi yang baik berarti bahwa para pihak terlibat secara aktif yaitu antara petugas kesehatan dan masyarakat. Hal ini akan menolong mereka untuk mengalami cara baru mengerjakan atau memikirkan sesuatu, dan hal ini kadang-kadang disebut pembelajaran partifipatif. Semua aktifitas manusia melibatkan komunikasi, namun karena kita sering menerimanya begitu saja, kita tidak selalu memikirkan bagaimana kita berkomunikasi dengan yang lain dan apakah efektif atau tidak. Komunikasi yang baik melibatkan pemahaman bagaimana orang-orang berhubungan dengan yang lain, mendengarkan apa yang dikatakan dan mengambil pelajaran dari hal tersebut. Komunikasi yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan akan memberikan pengaruh terhadap pemakaian kontrasepsi yang akan dipergunakan oleh akseptor KB terutama pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang (Depkes RI, 2002). Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemahiran konselor dalam memerankan tugasnya, efektivitas konseling petugas kesehatan akan memengaruhi
pengetahuan ibu dan akan berpengaruhnya pada pemilihan alat kontrasepsi (Sheilla, 2006). Secara sederhananya, konseling merupakan perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikate yang bertujuan untuk efisiensi penyebaran informasi atau pesan (Burgon & Huffner, 2002). Efisiensi penyebaran informasi dengan adanya konseling akan lebih membuat penyebaran informasi menjadi efisien. Oleh karena itu, tenaga kesehatan diharapkan mampu dalam memberikan KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) yang lebih efektif kepada calon akseptor KB sehingga mereka tidak lagi ragu untuk menentukan pilihan alat kontrasepsi yang akan dipakai terutama alat kontrasepsi jangka panjang (Saifuddin, 2001). Pada saat ini alat kontrasepsi jangka panjang terutama AKDR/IUD merupakan salah satu cara kontrasepsi yang paling populer dan diterima oleh program keluarga berencana di setiap negara. Diperkirakan sekitar 60-65 juta wanita di seluruh dunia memakainya, dengan pemakai terbanyak di Cina (Siswosudarmo, 2007). Pada saat ini diperkirakan memakai AKDR/IUD, 30% terdapat di Cina, 13% di Eropa, 5% di Amerika dan sekitar 6,7% di negara-negara berkembang (Augustin, 2000). Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2002-2003 memperlihatkan proporsi peserta KB untuk semua tercatat sebesar 60,3%. Bila dirinci lebih lanjut proporsi peserta KB yang terbanyak adalah suntik (27,8%), diikuti oleh pil (13,2%),
IUD (6,2%), implant atau susuk KB (4,3%) sterilisasi wanita (3,7%), kondom (0,9%), sterilisasi pria (0,4%), MAL (metode amenore laktasi) (0,1%), dan sisanya merupakan peserta KB tradisional masing-masing menggunakan cara tradisional, pantang berkala (1,6%) maupun senggama terputus (1,5%) dan 0,5% cara lain (BKKBN, 2006). Pada tahun 2007 yang menggunakan alat kontrasepsi 61,4% yaitu sebanyak 31,6% menggunakan suntik, pil 13,2 %, AKDR/IUD 4,8%, implant 2,8%, kondom 1,3%, vasektomi dan tubektomi 7,7 %.12. Pada tahun 2009 peserta KB yang tercatat 51,21% akseptor KB memilih suntikan sebagai alat kontrasepsi, 40,02% memilih Pil, 4,93% memilih Implant, 2,72% memilih AKDR/IUD dan lainnya 1,11%. Pada umumnya masyarakat memilih non metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Sehingga metode KB MKJP seperti AKDR/IUD, implant, kontap pria (MOP) dan kontap wanita (MOW) kurang diminati (Arum, 2009). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk Sumatera Utara berjumlah 12,98 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata rata 1,1% setiap tahunnya. Persoalan kependudukan yang dihadapi Sumut dalam satu dekade terakhir adalah masih tingginya angka kelahiran total yakni sebesar 3,8/1000 wanita usia subur, penduduk miskin sebesar 11,31% atau 1,41 juta jiwa, angka pengangguran terbuka sebesar 7,43%. Sementara angka kematian bayi, berdasarkan riset, kesehatan dasar 2010 adalah sebesar 22 per 1000 kelahiran, sementara kematian ibu hamil dan bersalin sebesar 249 per 100.000 kelahiran. Ini adalah tantangan prograam keluarga
berencana untuk segera dipercepat di semua wilayah dan lini lapangan (BKKBN, Sumut 2011). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2011, pencapaian peserta baru pengguna kontrasepsi medis operatif pria (MOP), medis operatif wanita (MOW), dan IUD, dua tahun terakhir meningkat tajam yaitu MOP naik 44%, MOW 15%, dan pengguna IUD meningkat sebesar 53%. Salah satu daerah yang pencapaian MOP-nya tinggi adalah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Namun pencapaian peserta KB baru yang berhasil didata Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) belum maksimal. Secara nasional, Provinsi Sumut berada di posisi ke 13 dalam penilaian pencapaian peserta KB baru, yakni dengan nilai 72,27. Posisi yang dicapai Sumut masih belum maksimal diatas rata-rata nasional. Sumut masih memiliki nilai minum dalam beberapa hal pencapaian peserta KB baru (BKKBN, Sumut 2011). Peserta KB aktif di Sumatera Utara yang berhasil dibina sebanyak 4.534,850 (76,23%) dari seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) yang mencapai 5.948.962 PUS. Realisasi peserta KB aktif yang menggunakan kontrasepsi suntik 2.239.108, pil 848.503, IUD 557.224 dan kondom 42.464 (BPS, 2009). Di Kabupaten Langkat, jumlah PUS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 jumlah PUS sekitar 272.383 dan meningkat menjadi 282.391 pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut 69,93% adalah akseptor aktif yang jumlahnya meningkat dibandingkan tahun 2007 (Dinkes, Langkat 2009).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat diperoleh bahwa pada tahun 2008 persentase peserta KB baru sebanyak 11,18% dari 272.383 jumlah PUS; 10,48% pada tahun 2007 dan 9,45% pada tahun 2006. Pada tahun 2009 dilaporkan 28.520 peserta KB baru, terdapat 18,25% peserta yang menggunakan metode kontrasepsi MKJP dan 81,75% menggunakan non MKJP. Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh peserta KB baru adalah pil (43,35%), suntik (32,98%) dan paling sedikit adalah MOP/MOW (0,89%). Pada tahun 2011 terdapat 356 peserta KB aktif dan yang baru 465 orang akseptor KB di kecamatan Desalama terdapat 453 peserta yang menggunakan metode kontrasepsi non MKJP dan 268 menggunakan MKJP. Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh peserta KB aktif ini adalah kontrasepsi janga pendek dibandingkan dengan kontrasepsi jangka panjang (Puskesmas Desalama, 2011). Melihat data tersebut bahwa metode non MKJP merupakan metode yang lebih disukai oleh peserta KB aktif di Kecamatan Desalama, dengan alasan peserta KB baru selain harganya relatif lebih murah, lebih aman, metode non MKJP juga dipandang masyarakat belum mendapatkan konseling yang efektif tentang kontrasepsi jangka panjang (Puskesmas Desalama, 2011). Hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Desalama tersebut, menunjukkan faktor yang menyebabkan akseptor KB kurang memakai kontrasepsi jangka panjang antara lain adalah konseling petugas kesehatan yang kurang efektif
antara tenaga kesehatan dengan akseptor KB tentang kontrasepsi jangka panjang. Konseling kepada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Desalama sudah sering dilaksanakan oleh petugas kesehatan, namun konseling tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan, hal ini dapat kita lihat bahwa akseptor KB masih lebih memilih kontrasepsi jangka panjang. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian konseling oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi jangka panjang di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat. 1.2. Permasalahan Rendahnya cakupan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat, sehingga ingin diteliti bagaimana pengaruh pemberian konseling oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian konseling oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh pemberian pemberian konseling oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi jangka panjang di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti sebagai upaya untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang kontrasepsi jangka panjang. 2. Bagi Puskesmas Desalama dan Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Langkat sebagai informasi dalam upaya meningkatkan cakupan pelayanan KB jangka panjang sesuai target. 3. Bagi tenaga kesehatan agar meningkatkan kualitas pemberian pengetahuan KIE dengan mengikuti pelatihan-pelatihan tentang KIE 4. Bagi peneliti selajutnya sebagai referensi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan kontrasepsi jangka panjang.