PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN NEGARA. 1. Piutang Pajak dalam Kerangka Peraturan Perundangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

Menyoal Transparansi Pengelolaan Pajak Negara, antara markus dan gayus

JENIS DAN BENTUK SURAT, DOKUMEN DAN/ATAU DAFTAR YANG DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENGUSULAN DAN TINDAK LANJUT PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 03/PJ.04/2009 TENTANG KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Ruang Lingkup 2 C. Pengertian 2

SE - 03/PJ.04/2009 KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bertujuan mewujudkan

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terjadi pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Self assessment

TABEL PARAMETER ANALISIS RISIKO KETIDAKTERTAGIHAN PIUTANG PAJAK

TABEL PARAMETER ANALISIS RISIKO KETIDAKTERTAGIHAN PIUTANG PAJAK

ANALISA TERHADAP OPINI DISCLAIMER BPK-RI ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT (LKPP) TAHUN 2007

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

BAB IV PEMBAHASAN. Realisasi Tunggakan Pajak yang Lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB I PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II LANDASAN TEORI

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

ABSTRAK. Kata Kunci : Pencairan Tunggakan Pajak, Penagihan Pajak. Universitas Kristen Maranatha

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada Negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan. ditunjuk atau digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan penerimaan

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Rencana Penerimaan Dan Realisasi Penerimaan PPh dan PPN Pada. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran

ANALISIS EFEKTIFITAS PENERAPAN SURAT PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN POLONIA

2017, No Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Ma

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Jumlah Pajak yang telah dibayar (Rp) Jumlah Pajak yang masih harus dibayar (Rp)

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-36/PJ/2011 Tanggal 30 Mei 2011 KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. gencar melakukan beberapa upaya seperti halnya penentuan target penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011

TABEL PARAMETER ANALISIS RISIKO KETIDAKTERTAGIHAN PIUTANG PAJAK

BAB 2 LANDASAN TEORI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti tidak terlalu tergantung pada pinjaman luar negeri. Upaya ekstensifikasi

Kata Sambutan Kepala Badan

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterangan mengenai WP (meninggal, tidak dikenal, pailit, daluwarsa, dll) Jumlah Pajak yang masih harus dibayar (Rp)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara ANALISIS BESARAN DAN PENGELOLAAN PIUTANG PAJAK SUMMARY

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dinegara-negara berkembang pasti memerlukan biaya yang. kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/PMK.06/2014 TENTANG

SALINAN KEBIJAKAN AKUNTANSI PIUTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara dengan penduduk mencapai 250 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam upaya melakukan

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

68/PMK. 03/2012 TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAN PENETAPAN BESARNYA PENGHAPUSAN

BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 BAB III

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk menggali sumber-sumber pendapatannya secara lebih

LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MELALUI KPPN DAN BUN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kebudayaan manusia dalam era globalisasi menuntut

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana bertujuan untuk mencerdaskan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Halaman Kata Pengantar Pernyataan Tanggung Jawab. Daftar Tabel Daftar Grafik. viii Daftar Lampiran. ix Daftar Singkatan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 259/PMK.05/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak bisa hanya

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2017 TENTANG

SE - 81/PJ/2011 INSENTIF JURUSITA PAJAK

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 01/PJ.045/2007 TENTANG KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara bertahap, terencana dan berkelanjutan. Menurut Waluyo

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 561/KMK.04/2000 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata. Tujuan yang luhur demikian itu hanya dapat diwujudkan melalui

BAB IV PEMBAHASAN. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dan Surat Tagihan Pajak (STP) Lebih Bayar (SKPLB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

Sejak dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983 yang ditandai dengan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. besar pula dalam menjalankan fungsi kenegaraannya.sebagai Negara yang

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Realisasi Tunggakan Pajak yang lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN NEGARA I. PENDAHULUAN 1. Piutang Pajak dalam Kerangka Peraturan Perundangan Piutang pajak timbul setelah ada Surat ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak. Terhadap iutang pajak tersebut perlu dilakukan upaya penagihan piutang pajak. Penagihan pajak 2)... adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Tindakan penagihan pajak dilakukan apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi. Adapun rangkaian penagihan pajak secara umum meliputi : 1) Surat Teguran 2) Surat Paksa 3) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan 4) Lelang Terkait dengan proses penagihan pajak, di dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP (Pasal 22 ayat 1 dan 2) diatur beberapa hal sebagai berikut : (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. (2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Paksa; b.ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; 1 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau d.dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penghapusan Piutang Pajak Prosedur mengenai penghapusan piutang pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 Pasal 24 dan lebih lanjut dijabarkan di dalam KMK No. 565/KMK.04/2000 Jo 539/KMK.03/2002 Pasal 1. Piutang pajak yang dihapuskan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau denda. 2. Piutang Pajak dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Piutang dinyatakan dalam neraca menurut nilai yang timbul berdasarkan hak yang telah dikeluarkan surat keputusan penagihannya, termasuk dalam pos ini adalah Piutang Pajak. Piutang menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam Paragraf 43 PSAP Nomor 1 tersebut dinyatakan bahwa Piutang Pajak merupakan salah satu komponen utama dalam Neraca LKPP. Lebih lanjut, dalam PSAP tersebut dinyatakan pula beberapa hal diantaranya sebagai berikut: - Paragraf 61: piutang sebagai aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. - Paragraf 62: Aset diakui pada saat diterima atau kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah (paragraf 62). - Paragraf 63 Huruf c: piutang diukur sebesar nilai nominalnya. 2 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 06 Mengenai Akuntansi Piutang mendefinisikan piutang pajak sebagai piutang yang timbul atas pendapatan pajak sebagaimana diatur dalam undang-undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan keuangan. Piutang pajak diakui pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan telah dilaksanakan proses penagihannya. Pengakuan ini disebabkan adanya potensi pendapatan negara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini juga sesuai dengan UU KUP no 28 tahun 2007. Piutang pajak merupakan piutang yang wajib dilunasi oleh wajib pajak dalam periode berjalan tahun berikutnya, sehingga tidak ada piutang pajak yang melampaui satu periode berikutnya. Oleh karena itu, piutang pajak disajikan di Neraca LKPP sebagai aset lancar. Selain penyajian dalam Neraca, guna memenuhi pengungkapan yang memadai, informasi terkait piutang juga perlu disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Informasi tersebut dapat berupa: kebijakan akuntansi atas penilaian, pengakuan dan pengukuran piutang pajak; rincian saldo menurut umur; penjelasan status penyelesaian; serta jaminan atau sita jika ada. 3 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

II. ANALISA a. Komposisi Piutang Pajak Tahun 2006 2009 dalam Neraca LKPP Saldo Piutang Pajak Tahun 2006 2009 Unit Pengelola 31 Desember 2006 31 Desember 2007 31 Desember 2008 31 Desember 2009 Ditjen Anggaran - 187,733,156,816 53,788,164,621 - Ditjen Pajak 32,280,657,580,871 31,906,597,010,360 45,173,077,395,398 49,999,727,823,996 Ditjen Bea dan Cukai 3,173,894,545,965 9,947,769,397,769 10,318,356,917,933 13,659,045,063,184 BUN - - - 145,443,077 Total 35,454,552,126,836 42,042,099,564,945 55,545,222,477,952 63,658,772,887,180 Dari data di atas dapat diketahui bahwa total piutang pajak setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat mengindikasikan adanya potensi peningkatan penerimaan perpajakan ataukah indikasi kurang efektifnya aparat perpajakan dalam melakukan penagihan piutang pajak. Dalam temuan BPK tidak ada klasifikasi mengenai berapa yang sudah dibayar/terealisasi, berapa yang masih dipengadilan, berapa yang sudah mempunyai keputusan pengadilan. BPK menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan penagihan piutang pajak tidak efektif diantaranya karena kelemahan dalm aspek strategi, sistem administrasi dan sumber daya dan juga faktor pengawasan dalam penagihan piutang pajak. i Piutang pajak berpotensi besar menjadi pendapatan negara jika aparatur pajak melaksanakan upaya penagaikan seoptimal mungkin melalui prosedur-prosedur penagihan yang sudah ditetapkan yaitu : 1. Surat teguran 2. Surat paksa 3. Penyitaan 4. Lelang 4 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Namun, di sisi lain piutang pajak juga memiliki potential loss, jika piutang pajak telah memasuki masa daluwarsa penagihan. Piutang Pajak Per Jenis Pajak No Nama Perkiraan 31 Desember 2007 31 Desember 2008 31 Desember 2009 1 Piutang PPh Pasal 21 1.020.414.690.864 1.229.968.846.712 951.534.554.486 2 Piutang PPh Pasal 22 66.827.848.091 104.120.004.440 489.840.716.690 3 Piutang PPh Pasal 23 2.389.628.147.076 3.054.716.319.783 1.688.528.889.756 Piutang PPh Pasal 25 930.137.420.350 1.006.960.630.021 1.053.689.834.133 4 Orang Pribadi Piutang PPh Pasal 25 8.885.377.594.100 16.268.284.571.207 16.424.024.121.140 5 Badan 6 Piutang PPh Pasal 26-125.143.589.474 1.586.493.805.101 7 Piutang PPh Final - 922.916.307.676 535.862.689.996 Piutang PPh Non 8 Migas Lainnya 879.508.183.935 95.145.000 - Piutang PPN Dalam 9 Negeri 11.042.004.050.239 12.560.346.602.995 14.533.638.585.793 10 Piutang PPN Impor - - - Piutang PPnBM 11 Dalam Negeri 99.268.206.548 280.039.959.243 280.485.129.787 Piutang PBB 12 Pedesaan 606.882.233.000 746.285.302.993 1.327.539.551.495 Piutang PBB 13 Perkotaan 2.929.676.818.000 4.527.189.629.491 7.542.885.445.040 Piutang PBB 14 Perkebunan 178.163.623.000 212.754.667.994 474.394.030.911 Piutang PBB 15 Kehutanan 478.052.255.000 477.992.946.905 492.606.633.014 Piutang PBB 16 Pertambangan 45.810.576.000 64.058.196.664 158.566.341.854 17 Piutang BPHTP 219.093.221.678 803.339.377.782 179.947.361.649 18 Piutang PTLL - 815.162.918 16.386.067.497 Piutang Bunga 19 Penagihan PPh 2.089.472.781.488 2.788.050.134.100 2.263.304.065.654 Piutang Bunga 20 Penagihan PPN 46.252.964.479 - Piutang Bunga 21 Penagihan PTLL - - Piutang Bunga 22 Penagihan PPnBM 26.396.512 - Jumlah 31.906.597.010.360 45.173.077.395.398 49.999.727.823.996 5 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Piutang PPh 25 Badan adalah piutang yang tertinggi, hal ini mengingat sebagian besar penerimaan pajak juga berasal dari penerimaan PPh badan. Namun, harus dilihat dulu berapa proporsi penerimaan pajak pasal 25 badan tersebut dibandingkan dengan piutangnya. Piutang Pajak di DJP berdasarkan umur utang Umur Piutang 31 Desember 2009 31 Desember 2010 Kurang dari 1 tahun 13,167,888,974,329 12.239.111.738.000 1 tahun dan kurang dari 3 tahun 12.641.269.957.462 9.776.181.927.000 3 tahun dan kurang dari 5 tahun 9.037.953.073.649 10.213.857.380.000 5 tahun atau lebih 15,152,615,818,556 12.943.926.315.000 Jumlah 49.999.727.823.996 45.173.077.360.000 Sumber : BPK RI, LKPP 2009 Berdasarkan klasifikasi umur piutang, per 31 Desember 2009, sebagian besar piutang berumur lebih dari 5 tahun. Namun, bukan berarti potensi untuk ditagihnya kecil karena harus dilihat berapa piutang yang berasal dari tahun 2007, dimana daluarsa penagihannya baru pada tahun 2017 sedangkan yang tahun 2008 daluarsanya baru pada tahun 2013. Terhadap piutang pajak tersebut juga ada kemungkinan penghapusan piutang pajak dengan syarat-syarat sebagai berikut 1 : a. Piutang tersebut tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT b. Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Wajib pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta warisann tidak mempunyai ahli waris dengan bukti surat keterangan dari instansi yang terkait. d. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat e. Wajib Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi f. Penagihan pajak telah kadaluwarsa. 1 Pasal 24 UU KUP dan KMK Nomor 539/KMK.03/2002 6 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Implikasi dari implementasi peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut adalah atas suatu ketetapan dan/atau tagihan (SKP dan/atau STP) yang diakui sebagai piutang pajak dalam Neraca LKPP masih memungkinkan adanya prosedur-prosedur formal yang berdampak baik terhadap keberadaan (existence) maupun jumlah (valuation) piutang pajak yang diakui dalam Neraca LKPP. Selain itu, BPK merekomendasikan agar Ditjen Pajak mempertimbangkan lagi tahapan dan proses penagihan dengan menyusun standar prestasi penagihan serta koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti kepolisian dan Pemda. Proses yang dapat dilaksanakan dalam penyelesaian piutang pajak berimplikasi pada tingkat keyakinan atas realisasi piutang pajak. Beberapa dampak yang mungkin timbul dari permasalahan ini misalnya terjadinya perubahan terhadap nilai-nilai piutang pajak akibat ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan pajak karena adanya pengajuan banding dari WP. Antara tahun 2005 2006 realisasi pencairan piutang pajak melebihi target yang ditentukan. Tahun 2007 2008 realisasinya kurangsedikit dari target yang ditetapkan. Walaupun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian adalah perbandingan antara target realisasi dengan potensi piutang yang ada. Sebagai contoh, saldo piutang per 31 Desember 2006 adalah Rp35,4 Triliun. Namun, pada tahun 2007 target pencairan hanya 12 Triliun atau sekitar 33,9% dari potensi piutang pajak. 7 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Dalam menyajikan informasi mengenai realisasi penerimaan pajak tahun anggaran berjalan, sebaiknya pemerintah menginformasikan berapa yang murni dari target tahun berjalan dan berapa yang berasal dari realisasi penagihan piutang pajak tahun-tahun sebelumnya. b. Temuan BPK atas Piutang Pajak Temuan dalam Pemeriksaan Kinerja Pengelolaan Piutang Pajak KPP BUMN dalam Hapsem I 2010 Berdasarkan data 169 WP terbesar yang diperoleh dari KPP BUMN, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Piutang pajak 10 (sepuluh) penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN senilai Rp6.769.301.103.563,00 mencakup 85,18% dari nilai keseluruhan piutang pajak pada KPP BUMN senilai Rp7.947.187.978.000,00. b. Total nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan atas 169 WP adalah Rp8.867.104.418.574,00. Dari nilai tersebut, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang telah dicairkan adalah senilai Rp1.308.780.897.210,00. Sehingga nilai saldo tunggakan piutang pajak atas 169 WP terbesar adalah sebesar Rp7.558.323.521.364,00 (Rp8.867.104.418.574,00 Rp1.308.780.897.210,00). c. Piutang pajak yang telah daluwarsa pada KPP BUMN senilai Rp16.032.988.720,00. d. WP penunggak pajak terbesar adalah WP yang bergerak pada bidang industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini adalah senilai Rp4.741.839.902.617,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut telah dilakukan pencairan senilai Rp495.065.416.529,00. Sehingga masih terdapat tunggakan pajak senilai Rp4.264.774.486.088,00 (Rp4.741.839.902.617,00 Rp495.065.416.529,00). e. Berikutnya. WP yang merupakan penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN adalah WP yang bergerak pada bidang jasa penunjang keuangan lainnya. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini senilai Rp1.468.817.360.547,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut belum dilakukan pencairan karena WP yang dimaksud dilikuidasi dan mekanisme pengalihan tunggakan pajak tersebut tidak diatur dalam undang-undang pajak. Sehingga, dari keterangan diatas, KPP BUMN belum maksimal dalam hal menagih tunggakan pajak pada 169 Wajib Pajak penunggak pajak terbesar. Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMN-BUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN. *** 8 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

a. Temuan BPK atas Piutang Pajak Tahun 2007 2010 LHP SEMESTER I TAHUN 2007 (LK DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT Piutang pajak sebesar Rp35.721.532,92 juta yang disajikan dalam Neraca Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak dapat diyakini kewajarannya dan tidak sesuai dengan Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan No.59/PMK.06/2005, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-11/PJ.1/2005 dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No.SE- 01/BC.1/2007 Nilai piutang pajak yang tercatat dalam Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak transparan dan akuntabel. a. Koordinasi dan rekonsiliasi antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unit-unit yang memiliki dokumen sumber sebagai bahan masukan mengenai keakuratan data-data yang disampaikan oleh satuan kerja tidak berjalan dengan baik. b. Sistem informasi terkait dengan pencatatan piutang/tunggakan pajak tidak disesuaikan dengan Sistem Akuntansi Instansi. c. Standar Akuntansi Pemerintah belum mengatur tentang piutang khususnya piutang pajak. Agar Menteri Keuangan: a. Meningkatkan koordinasi antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unitunit yang memiliki dokumen sumber; b. Menyesuaikan mekanisme pelaporan piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Menyempurnakan sistem informasi piutang pajak sehingga dapat menyajikan antara lain namun tidak terbatas pada nilai sengketa pajak yang dapat menimbulkan contingent liabilities, nilai piutang pajak daluwarsa dan tingkat kolektibilitas piutang pajak; d. Segera merancang dan mengusulkan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan terkait dengan Piutang. Sudah ditindak lanjuti sesuai dan 9 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

LHP SEMESTER I TAHUN 2008 (LK DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT Sistem Pengendalian Hal tersebut Hal tersebut disebabkan: BPK menyarankan agar Sudah Intern atas Pencatatan dan mengakibatkan a. Rekonsiliasi belum dilakukan Menteri Keuangan ditindak Pelaporan Realisasi Realisasi Penerimaan secara tertib dan memadai memerintahkan kepada lanjuti dan Penerimaan Perpajakan Perpajakan sebesar baik pada tingkat Direktur Jenderal Pajak, sesuai Tidak Memadai. Rp490.995.916,49 tidak UAPA,UAPPA-W, maupun Direktur Jenderal Bea dan dapat diyakini pada tingkat UAPPA-E1; Cukai, Direktur Jenderal kewajarannya. b. Sistem pencatatan dan Perbendaharaan dan pelaporan penerimaan pajak Direktur Jenderal yang diterapkan oleh DJP dan Anggaran : DJBC belum sesuai dengan 1. Melakukan SAI. rekonsiliasi secara c. Pengembangan dan intensif dengan Pelaksanaan MPN masih Kantor lemah. Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN), Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan. 2. Memperbaiki sistem aplikasi Modul Penerimaan Negara agar dapat digunakan secara handal dan mengoptimalkan penggunaan agar dapat sebagai alat pengendalian penerimaan melalui SAU. 10 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

3. Menyesuaikan sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan serta piutang pajak dengan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). 4. Merancang SPI yang handal atas pencatatan dan pelaporan pungutan ekspor. LHP SEMESTER I TAHUN 2009 (LK DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT Piutang pajak DJBC sebesar Rp231,30 miliar dan piutang bukan pajak DJBC sebesar Rp50,45 miliar serta penihilan piutang pajak bersaldo negatif DJP sebesar Rp767,76 miliar tidak didukung dokumen sumber yang valid dan terinci. Hal tersebut mengakibatkan nilai piutang yang dilaporkan dalam laporan keuangan Tahun 2008 minimal sebesar Rp281,75 miliar belum dapat diyakini kewajarannya. Permasalahan tersebut disebabkan karena Eselon I dibawah Kementerian Keuangan tidak mengadministrasikan dengan baik dokumen sumber pencatatan saldo piutang yang tercatat dalam laporan keuangan. BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan menelusuri dokumen sumber dari masingmasing piutang pada DJBC dan menyelesaikan saldo piutang pajak bersaldo negatif di DJP berdasarkan yang valid. dokumen Sudah ditindak lanjuti sesuai dan 11 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

LHP SEMESTER I 2010 (LK DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT Penyajian Piutang Pajak Hal tersebut mengakibatkan Hal ini disebabkan karena BPK menyarankan pada Kementerian nilai Piutang Pajak per 31 Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan Keuangan sebesar Rp4,48 Desember 2009 yang belum mengelola Piutang agar meningkatkan sistem Triliun Tidak di Dukung dilaporkan dalam LK Pajak beserta dokumen pengendalian intern atas dan Tidak Sesuai dengan Kementerian Keuangan sumber pencatatan saldo monitoring pengakuan, Dokumen Sumber Tahun 2009 tidak dapat piutang dengan baik dan pencatatan dan penagihan sehingga Belum Dapat diyakini kewajarannya lemahnya Sistem Piutang Pajak dengan Diyakini Kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta Pengendalian atas Monitoring cara: serta Penyisihan Piutang (Rp654.659,60 juta + pengakuan, pencatatan dan a. Membuat prosedur Pajak Kurang Diungkap Rp3.827.622,03 juta + pelaporan Piutang Pajak. rekonsiliasi sebesar Rp33,12 Miliar Rp1.146,29 juta) serta pengurangan Piutang penyisihan Piutang Pajak Pajak antara SSP di kurang diungkap sebesar LP3 dengan SSP di Rp33.119,43 juta. MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat; b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah; c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai; e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau 12 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat; LHP SEMESTER I TAHUN 2010 (KINERJA) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT Perencanaan penagihan Permasalahan terkait dengan BPK merekomendasikan piutang pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta, Kanwil kriteria yang telah disepakati oleh BPK-RI dan DJP : agar : 1. DJP memperhatikan DJP Sulawesi Utara, 1. Strategi penagihan piutang yang harus Tengah,Gorontalo & Maluku Utara dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif. Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI Hal tersebut mengakibatkan: 1. Pencairan piutang pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta. Kanwil DJP Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo & Maluku Utara masih cukup rendah. 2. Strategi pencairan piutang pajak pada ketiga Kanwil DJP diatas tidak efektif. Permasalahan tersebut dapat mengakibatkan pengukuran kinerja penagihan piutang ditetapkan dengan memperhatikan tren target terhadap piutang yang harus dicairkan. 2. Tren prosentase pencairan tunggakan pajak telah mengalami kenaikan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Perencanaan penagihan pajak tidak memperhatikan piutang yang harus dicairkan; 2. Pencairan piutang tidak memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak; Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP dicairkan dalam perencanaan penagihan pajak; 2. DJP memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak dalam pencairan piutang pajak. BPK merekomendasikan agar : DJP mempertimbangkan 13 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum mempertimbangkan tahapan/ proses penagihan. pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif. Wajib Pajak Besar tidak handal karena hanya berdasarkan realisasi pencairan piutang dan tidak memperhitungkan proses pencairan piutang. tahapan/proses penagihan dalam menyusun standar prestasi penagihan. Permasalahan ini terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP Kebijakan Penagihan dinilai berdasarkan hasil dengan memperhatikan proses. Target pencairan piutang pajak tahun 2009 yang ditentukan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar melebihi kemampuan KPP BUMN dalam pencairan piutang Hal tersebut mengakibatkan KPP BUMN tidak dapat memenuhi target pencairan tunggakan pajak yang telah ditetapkan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar Hal tersebut disebabkan oleh prestasi penagihan hanya dinilai berdasarkan hasil realisasi pencairan tunggakan pajak tanpa mempertimbangkan tahapan/proses penagihan. Seharusnya menetapkan target piutang harus memperhatikan kemampuan dalam pencairan piutang pajak. Hal ini dapat diperoleh dari piutang lancar, piutang kurang lancar dan piutang dalam perhatian khusus. Piutang macet dan piutang diragukan sangat kecil kemungkinan tertagih, atau hampir tidak dapat ditagih kembali. BPK merekomendasikan agar: 1. DJP menyempurnakan mekanisme penetapan target pencairan piutang pada kanwil dan KPP; 2. Kanwil DJP mempertimbangkan prognosa diajukan KPP. yang Permasalahan tersebut terkait 14 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

dengan kriteria yang telah disepakati bersama antara BPK RI dan DJP yaitu strategi penagihan ditetapkan dengan memperhatikan trend prosentase target piutang terhadap piutang yang harus dicairkan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Kanwil DJP Wajib Pajak Besar menetapkan target pencairan piutang yang tinggi terhadap KPP BUMN. 2. Kanwil DJP Wajib Pajak besar tidak mempertimbangkan prognosa KPP BUMN. Tindakan penagihan terhadap 200 penunggak pajak terbesar pada KPP Pratama Manado. KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN sampai dengan bulan September 2009 belum optimal. Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang sebesar Rp7.621.720.095.274,00 yang belum tertagih atas 200 Wajib Pajak Penunggak terbesar pada KPP Pratama Manado, KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN yang berpotensi menjadi piutang macet. Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMN- BUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN. Permasalahan diatas disebabkan oleh : 1. Ditjen Pajak tidak tegas dalam menjalankan aturan terkait; 2. Ditjen Pajak belum melakukan tindakan BPK merekomendasikan agar: 1. DJP segera melakukan koordinasi dengan pihak terkait antara lain kepolisian dan pemda dalam melaksanakan proses penagihan piutang pajak; 2. DJP melakukan tindakan alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala non-teknis pada KPP BUMN khususnya 15 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Sistem aplikasi penagihan belum mendukung kegiatan administrasi penagihan berkaitan dengan Pasal 25 UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Piutang wajib pajak yang telah bubar dan dilikuidasi sebesar Rp1.469.508.257. 523,00 pada KPP BUMN belum dihapuskan. Sumber Daya Penagihan Perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada kegiatan penagihan belum optimal Hal tersebut dapat mengakibatkan : 1. Laporan perkembangan tunggakan pajak tidak valid. 2. Proses penagihan tidak efektif. Dengan tidak dihapuskannya piutang tersebut di atas maka akan mengakibatkan: 1. Beban kinerja pencairan tunggakan pajak bagi KPP BUMN bertambah. 2. Saldo piutang yang tetap tinggi karena piutang tersebut belum dihapuskan. Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan target pencairan piutang pajak tidak tercapai. alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala nontekhnis pada KPP BUMN. Permasalahan diatas tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati BPK-RI dan DJP: 2.1 Sistem aplikasi penagihan telah mendukung ketentuan formal penagihan. Permasalahan tersebut disebabkan Sistem Aplikasi Penagihan tidak memenuhi kebutuhan pengguna dan proses bisnis. Hal tersebut diatas disebabkan karena belum ada kebijakan dari DJP tentang penyelesaian pajak terutang atas penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali. Permasalahan tersebut terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP: 1. Terdapat analisa dan kebijakan atas penempatan tenaga jurusita yang proses pencairan piutang di KPP BUMN. BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat sistem aplikasi penagihan yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna dan disesuaikan dengan proses bisnis yang ada. BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat keputusan tentang penyelesaian pajak terutang terkait penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali dan melakukan evaluasi atas tunggakan pajak dari bank BUMN yang telah dilikuidasi. BPK merekomendasikan agar DJP: 1. Melakukan analisis kebutuhan jenjang fungsional untuk unit pelaksanaan penagihan; 16 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

memadai sesuai dengan beban kerja di unit pelaksana penagihan. 2. Tenaga jurusita dan unit pelaksana penagihan telah dibekali dengan dukungan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan operasinal. 2. Memprioritaskan penempatan jurusita yang berkualitas pada setiap unit kerja; 3. Melengkapi sarana dan prasarana bagi jurusita sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pemberian insentif kepada jurusita pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN tidak dihitung berdasarkan realisasi pencairan piutang pajak dari penagihan aktif Permasalahan tersebut diatas mengakibatkan pemberian insentif jurusita atas pencairan piutang yang melebihi target pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN belum fair. Hal tersebut disebabkan karena perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada juru sita belum optimal. Permasalahan diatas terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP : Mekanisme pemberian reward diberikan secara fair yaitu berdasarkan pencairan piutang yang berasal dari penagihan aktif. BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pemberian insentif dengan mempertimbangkan keberhasilan pencairan dari penagihan aktif. Belum adanya mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kondisi diatas dapat mengakibatkan kemampuan jurusita dalam menagih tunggakan pajak relatif tidak berkembang dan selanjutnya kegiatan penagihan piutang pajak menjadi tidak optimal. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian insentif tidak mempertimbangkan pencairan dari penagihan aktif. Permasalahan diatas belum sesuai dengan kriteria yang telah dibicarakan oleh BPK-RI dan DJP Pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan.. Hal tersebut disebabkan BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang kemudian diakomodasikan oleh 17 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Monitoring/ Pengawasan Kegiatan evaluasi pencairan tunggakan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP belum optimal Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan: 1. Hasil monitoring belum mencerminkan kondisi kegiatan penagihan sebenarnya; 2. Kendala-kendala penagihan tidak diidentifikasi secara lengkap; 3. Perencanaan penagihan di masa berikutnya tidak tepat. belum adanya mekanisme atau peraturan pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang dapat diakomodasi oleh KPDJP. Permasalahan terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah didiskusikan serta disetujui oleh BPK-RI dan DJP poin 4.1 Terdapat mekanisme monitoring evaluasi kinerja telah mencerminkan kondisi sebenarnya dan poin 4.2 Terdapat mekanisme pelaporan yang memadai atas realisasi pelaksanaan kegiatan penagihan tunggakan pajak baik secara internal maupun eksternal DJP. KPDJP direalisasikan. untuk BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP. Penyajian Piutang Pajak pada Kementerian Keuangan sebesar Rp4,48 Triliun Tidak di Dukung dan Tidak Sesuai dengan Dokumen Sumber sehingga Belum Dapat Diyakini Kewajarannya serta Penyisihan Piutang Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak per 31 Desember 2009 yang dilaporkan dalam LK Kementerian Keuangan Tahun 2009 tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta (Rp654.659,60 juta + Hal tersebut disebabkan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP tidak komprehensif. Hal ini disebabkan karena Kementerian Keuangan belum mengelola Piutang Pajak beserta dokumen sumber pencatatan saldo piutang dengan baik dan lemahnya Sistem Pengendalian atas Monitoring pengakuan, pencatatan dan pelaporan BPK menyarankan Kementerian Keuangan agar meningkatkan sistem pengendalian intern atas monitoring pengakuan, pencatatan dan penagihan Piutang Pajak dengan cara: a. Membuat prosedur 18 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

Pajak Kurang Diungkap sebesar Rp33,12 Miliar Rp3.827.622,03 juta + Rp1.146,29 juta) serta penyisihan Piutang Pajak kurang diungkap sebesar Rp33.119,43 juta. Piutang Pajak. rekonsiliasi pengurangan Piutang Pajak antara SSP di LP3 dengan SSP di MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat; b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah; c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai; e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat; 19 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI

i Sambutan Ketua BPK dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 11 Oktober 2010 2)... LHP Semester I 2010 terhadap Kinerja Kegiatan Penagihan Piutang Pajak (halaman 11 12) 20 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI