Sri Sultan Hamengku Buwono X MISTERI MANTRA DALAM NASKAH- NASKAH KERATON 1. Pembicara Kunci : HAMENGKU BUWONO X

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

2014 SAJARAH CIJULANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN. sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. atau pola kelakuan yang bersumber pada sistem kepercayaan sehingga pada

AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Juita, 2014 konsep hidup rahayu dalam kidung rahayu

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis gaya bahasa, nilai pendidikan serta relevansi gaya bahasa dan nilai

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia mempunyai dokumentasi sastra lama yang. berkualitas setara dengan hasil sastra peradaban lain. Semua sastra daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

lease purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark. BAB 4 KESIMPULAN

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rizwan, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

Karya sastra melukiskan corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakat, sesuai dengan hakikat dan eksistensinya karya sastra merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

Wujud Akulturasi Budaya Islam Di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,

TINJAUAN FILOLOGI DAN AJARAN MORAL DALAM SÊRAT DRIYABRATA

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

INTERAKSI KEBUDAYAAN

PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN TINGKAT NASIONAL XXII, 17 JUNI 2008, DI SERANG, PROPINSI BANTEN Selasa, 17 Juni 2008

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota

SD kelas 5 - BAHASA INDONESIA BAB 7. Tema 7 Sejarah Peradaban IndonesiaLatihan Soal 7.1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009

PERPADUAN SENI ISLAM DAN JAWA DALAM TEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Kitab Mormon sebagai Penuntun Pribadi

BAB II KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU-ILMU LAIN

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibaca dalam peningglan-peninggalan yang berupa tulisan.

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

MATERI STUDI RELIGI JAWA

Konsep Ketuhanan Jawa Menurut Eyang Ismaya (SEMAR) Diposting oleh admin pada tanggal 19 September 2014

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

MOTIVASI MELAKUKAN RITUAL ADAT SEBARAN APEM KEONG MAS DI PENGGING, BANYUDONO, BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

Transkripsi:

Sri Sultan Hamengku Buwono X MISTERI MANTRA DALAM NASKAH- NASKAH KERATON 1 Pembicara Kunci : HAMENGKU BUWONO X Seminar Nasional NASKAH KUNO NUSANTARA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 2 September 2003 "Sebaik-baik limu adalah Berdoa kepada Allah SWT. " LATAR BELAKANG PUSAKA Indonesia terhampar luas dari puncak gunung, pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, terrnasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara 1 Makalah dalam Seminar Nasional Naskah Kuno Nusantara, diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2- -3 September 2003 Misteri Mantra 1

ini merupakan "Pusaka Bangsa" yang dapat memperkuat semangat "Bhinneka Tunggal Ika". Salah satu sumber inforrnasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskahnaskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan inforrnasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahu,an dari suatu etnik atau kelompok sosial budaya tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah- naskah kuna tersebut. Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, terrnasuk dokumen yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Artefak sebagai peninggalan sejarab berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya. Karena hal itu hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui peninggalan dalam bentuk naskah. Pada masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi 1, antara lain sebagai pegangan kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai alat pendidikan untuk naskah-naskah yang berisi Misteri Mantra 2

pelajaran agarna dan etika, sebagai media menikmati seni budaya seperti naskah-naskah yang berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan, dan sebagai alat keperluan praktis kehidupan sehari-hari untuk naskah-naskah yang berisi primbon dan sistem perhitungan waktu serta doa-doa yang bisa disebut mantra. Seminar Nasional yang mengetengahkan masalah naskah-naskah kuna Nusantara ini, diharapkan dapat mempublikasikan kandungan isi naskah- naskah Nusantara, khususnya mantra, dalam upaya mengungkapkan kekayaan budaya bangsa. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki warisan kekayaan khazanah manuscript yang tergolong terbesar di dunia (tercatat di Perpustakaan Nasional mendekati angka 10.000 eksemplar 2), yang dituangkan melalui tulisan tangan sejak berabadabad silam. Lewat tulisan tangan itu, masyarakat mengungkapkan ide-ide relegiusnya mengenai manusia dan semesta alam. Di dalam naskah yang tersebar di seantero Nusantara itu, terdapat teks yang mengandung nilai-nilai kebenaran" kebajikan dan keindahan. Memang tidak semua komunitas masyarakat Nusantara memiliki dan menyimpan khazanah pernaskahan tersebut. Tidak semua kelompok etnis di Nusantara memiliki peninggalan tradisi tulis Misteri Mantra 3

berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku, tetapi yang memiliki naskah tradisional, antara lain suku Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Batak, Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan Bugis. Ada ribuan naskah tradisional yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia yang memerlukan penanganan serius. Lewat Seminar ini diharapkan menjadi bukti usaha memelihara, mengembangkan dan meneruskan warisan budaya bangsa. Naskah tradisional sebagai peninggalan sejarah dan intelektual bersama nilai-nilai kultural dan religius masyarakat, untuk dapat bangkit menjadi bangsa yang cendekia, berbudaya dan arif di hadapan tantangan globalisaisi. NASKAH KUNA DI DALAM KERATON BANYAK naskah kuna di dalam Keraton yang disebut kawruh, piwulang atau pitutur-iuhur dari para leluhur yang dikemas dalam pelbagai naskah yang tersimpan sebagai pus aka. Naskah itu bisa berupa Babad, Serat, Sastra pewayangan, Sastra Suluk dan sejenisnya Babad wnumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Suluk Misteri Mantra 4

berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan lain-lain. Babad bukan sejarah dalam arti historis kronologis, tetapi lebih sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat. Sastra pengaruh India mendominasi Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kitab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokohtokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka, berisi ajaran serta tuntunan bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa-Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan. pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab Suluk Seloka mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi. Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi mantra-mantra yang berciri mitologi Islam, seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat Anggit Kidung Berdonga, Serat Puji, yang masih tersimpan di Keraton Misteri Mantra 5

Yogyakarta. Lahir pula Sastra Piwulang, seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, dan Serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah. Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal ramalannya dalam Serat Kalatidha. Dengan membuka lembaran Babad Giyanti, barangkaii kita dapat bercemrin diri akan keberadaan kita sekarang. Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kaw~an Kedu clan Kebanaran pemah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyantl: "Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wljayanti"'. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencamya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya. Keadaan ini harus dihadapi dengan "wijayanti"', untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: 'puwarane sung awerdi, gagatgagat wiyai"', untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala. Misteri Mantra 6

Ungkapan ini rasanya ada paralelisme sejarah dengan keadaan sekarang, di saat menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Selain harus "eling Ian waspada" menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-Tida ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba "tida-tida" --penuh was-was, keraguan clan ketidakpastian. MANTRA KONSEPSI HINDU KONON, mantra berasal dati kata "man", yang berarti pikiran, dan "tra", yang berarti alat. Jadi "mantra" berarti "alat dari pikiran". Pengertian mantra menurut Mantra-Yoga adalah sebagai berikut: "Mantras (or mantrams) are words, phrases, or syllables, which are chanted thoughtfully and with growing attention" ["Mantra/mantram adalah kata-kata, ungkapan atau suku-kata yang secara khusuk dilagukan berulangulang dengan konsentrasi yang semakin meningkat"]. Mantra adalah suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan, menyirnpan Misteri Mantra 7

kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Dan menurut ajaran agama Hindu, mantra adalah kata- kata yang diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai alat komunikasi khusus dengan Tuhan atau dewa-dewa yang merupakan manifestasi dari kekuatan-nya. Karena itu tidaklah mengherankan kalau mantra begitu dikeramatkan, dan tidak boleh sembarang orang mengucapkannya sebelum pemah mewinten (disucikan secara ritual). Selain itu, tidak boleh pula diucapkan di temp at-temp at yang tidak pantas. Demikianlah konsep mantra menurut Hindu. Dalam bahasa Latin kita mengenal kata alpha dan omega. Alpha berarti awal dan omega, akhir. Dalam agama Hindu kedua kata ini disingkat dengan kata "Om" (awal-akhir), yang berasal dari kata Aum atau semangat Sabda Allah yang menciptakan melestarikan dan mentransformasikan mantra Hindu: "Asato Ma Sat Gamayo", yakni "Bimbinglah aku dari dunia maya ke dunia Nyata" 3. Aum terdiri dari tiga huruf yakni A, U, dan M. A adalah simbol Dewa Brahmana, wujud Tuhan dalam waktu menciptakan alam semesta ini. Konon, pada waktu mengucapkan huruf "A" itu, bentuk mulut mulai terbuka. Kemudian huruf "u" adalah simbol Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan dalam waktu memelihara dan melindungi alam. Saat mengucapkan huruf ini, bibir dipanjangkan seperti Misteri Mantra 8

sikap melindungi bagian dalam dari mulut itu sendiri. Ada pun huruf "M" adalah simbol Dewa Siwa, manifestasi Tuhan yang mengembalikan segalanya ke asalnya. Pada waktu mengucapkan huruf ini, bibir kelihatan terkatup rapat kembali sebagaimana asalnya sebelum terbuka. Setelah masuknya Islam, pemantraan masih tetap dikenal dalam khasanah mistik kita. Mungkin, hanya istilah-istilah saja yang berbeda, misalnya ajian, jampi dan lain sebagainya, seperti dalam Kitab Mujarobat. Sebenarnya istilah-istilah tersebut tetap mengandung arti sama, yang (dipercaya) menyimpan tuah tertentu. Berkaitan penggunaan kata "Om", dalam mantra-mantra bemafaskan Islam umumnya lalu diganti dengan "Bismillahirrohmanirrohim", yang hakikatnya sama 4. MANTRA DI LINGKUNGAN KERATON "MUHAMMAD kang mengku Rasa", demikian bunyi mantra kaligrafis (rajah penolak bala) di bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. Dari sini menjadi jelas, bahwa pengertian dan penerapan mantra tidak hanya diucapkan atau dinyanyikan, tetapi dapat pula "dimantrakan" pada berbagai medium, seperti bangunan (disebut rajah, tertulis dalam aksara Jawa/Arab), pusaka, azimat, gamelan, kereta, Misteri Mantra 9

bedhaya (misalnya bedhaya Semang), sesaji dengan segala uba-rampe-nya (Gunungan Sekaten, labuhan), serta benda-bendalain. Mantra yang awalnya merupakan doa (donga) yang bersifat privat dan vertikal-spiritual --karena diyakini sebagai wahyu Tuhan (dalam pemahaman agama Hindu)-- telah berkembang ke sifatnya yang horisontal-kuitural. Dalam pengembangan sifatnya yang kedua ini, mantra dapat menjadi media defensif atau agresif sebagai kanuragan untuk pertahanan diri atau guna- guna, yang keduanya bisa mengandung tujuan positif atau pun negatif. Mantra di lingkungan Keraton banyak tersebar di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang umumnya diselipkan di dalam isi naskah yang beraksara Jawa dengan aksara Arab (pegon). Selain itu, ada yang sudah melekat (built-in) pada pusaka Keraton karena terbawa oleh sejarah pembuatan atau perolehan pusaka itu sendiri. Sebagai contoh Kumbang Ali-ali yang berbentuk cincin, pusaka Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pusaka ini memang kurang diketahui masyarakat umun. Bentuknya sederhana tetapi punya nilai historis tinggi. Sebab cincin itu pemah digunakan Pangeran Mangkubumi ketika masih muda untuk menempa diri. Bersama pendherek-nya, beliau mesuraga dan olah-kebatinan di sepanjang Kali Pepe, Misteri Mantra 10

Surakarta. Sesungguhnya latihannya sederhana, cincin dilepas dan dilemparkan ke dalam sungai. Kemudian Pangeran Mangkubumi menyelam mencari cincin tersebut sampai mendapatkannya kembali. Mengapa Pangeran Mangkubumi gemar berlatih menyelam di Kali Pepe? Kalau dicermati mengandung ajaran yang sangat dalam. Bukankah sungai merupakan sumber hidup bagi semua makhluk di dunia? Air dalam pemahaman Jawa berkaitan dengan rasa. Dengan demikian sebenarnya Pangeran Mangkubumi melakukan olah-rasa untuk menemukan sumber hidup sejati, yang tiada lain adalah Sang Maha Pencipta sendiri sebagai sumber kehidupan adikodrati. Nama sungainya adalah Kali Pepe. Pepe merupakan perwujudan protes anak manusia menantang sinar matahari. Ini merupakan perlambang niat dan tekad yang kuat untuk 'maneges' mencari kehendak Allah yang sejati. Mencari cincin di dalam sungai merupakan sebuah perlambang pencarian sekaligus membentuk raga, agar siap diri sebagai sosok pemimpin dalam menghadapi segala cobaan 5. Penyelaman yang demikian lama ketika mencari harus menahan nafas, menutup 'babahan hawa sanga' atau berkonsentrasi, bertujuan menemukan cincin yang merupakan tanda ikatan antara Manusia Misteri Mantra 11

dengan Tuhan Sang Maha Pencipta-Nya. Ikatan batin ini perlu dijaga, sebab dalam pemahaman Jawa huruf pertama aksara Jawa: 'Ha' mengandung makna: "Hananira wahananing Hyang". Bahwa manusia itu ada, sebenarnya merupakan gambaran dari Allah sendiri. Oleh karena itu manusia wajib menjaga citra Allah di dalam dirinya. Ketika menjalankan laku ini Pangeran Mangkubumi mencoba menyelami substansi makna pitutur-luhur yang termuat dalam tembang lama, seperti ini: "Urip iku pindha pesate warastra saka gandewa tang pinenthang. Lamun mleset siikii Lesane mbilaeni". [Hidup ibarat anak panah yang melesat dari busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran, bisa berbahaya]. Konon, pernah terjadi perdebatan tentang berbagai Kitab Jawa Kuna: Arjuna Wiwaha, Bima Suci, Ramayana, dan ayat-ayat Al-Qur'an yang direkam dalam Serat Cebolek. Dalam forum itu, Pangeran Mangkubumi datang terlambat karena baru berperang melawan ama-menthek (setan anak kecil yang dipercaya menyebabkan kerusakan tanaman padi). Dengan berpegang pada ayat-ayat suci Al- Qur'an sebagai mantra, beliau dapat mengalahkan Misteri Mantra 12

raja menthek, yang kemudian mengabdikan diri kepadanya. Apabila di kemudian hari Mangkubumi dalanl kedudukannya sebagai Sultan Hamengku Buwono I bertapa di tengah air di kompleks Taman Sari, baginya air bukanlah sekadar tempat among-suka, melainkan tempat menunaikan laku demi masyarakat petani. Tradisi pembuatan kolam di sekitar istana, juga sudah terlihat di Keraton Plered yang dibangun Sultan Agung pada bagian akhir pemerintahannya dengan membendung Sungai Opak dan Winanga. Sesungguhnya Taman Sari adalah bangunan irigasi dalam konteks peradaban kota pra-industri dalam membangun oriental despotisme yang membuat ketergantungan kaum tani kepada para elite kerajaan. Mengingat pada zaman Serat Cebolek, Mangkubumi dimitoskan sebagai penakluk raja menthek, kiranya pada waktu pembangunan Taman Sari 25 tahun kemudian, mitos ini masih tetap melekat. Masjid kecil di Taman Sari yang hanya dapat dimasuki lewat lorong bawah air Sumur Gumuling, diperk1rakan berfungsi sebagai tempat samadi beliau untuk menjinakkan raja menthek yang telah ditundukkan olehnya 6. Menurut hemat saya, deskripsi dan analisis Prof Dr Alexander Sudewa dalam Pidato Pengukuhannya itu, Misteri Mantra 13

perlu kita cermati bersama saat akan melakukan renovasi kompleks Taman Sari dalam rangka kerjasama dengan Pemerintah Portugal. Dalam konteks mantra lainnya, dapat diilustrasikan dari Kitab Wedha- Mantra, yang masih tersimpan di Museum Sanabudaya. Kitab itu memuat ngelmu kebatinan Kangjeng Sunan Kalijaga. Pada bab "Masaalah Dhikir" yang ada kemiripannya dengan cara penulisan puisi "Tamba Ati'" karya Sunan Bonang, seperti di bawab ini: "Iki bab masaalah dhikir, iku ana nem prakara. Kang sapisan iku dhikir Suwul arane, tegese dhikir iya anteng ing napas. Kang kapindho iku dhikir Suwul- istilah arane, dhikir iya tegese anyipta gurune, angadeg ana netrane alise. Kang taping telu iku dhikir Istilah -ruk-iyat arane, tegese dhikir iya ilange 'ilmune. Kang kaping pat iku dhikir Suwul ngeski arane, tegese ilang birahine.kang kaping lima iku dhikir Suwul- ngiskiyah arane, tegese dhikir iya ilange liyepe kari lengude.kang kaping nem iku dhikir Nakisbandiyah arane, tegese iya dhikir ngilangake kahanan kabeh, iya kari mung wujudullah, ing dalem isbat Ian ilange alip, iku dadi lah-hu, Ian ilange lam awal, iku dadi lah-hu, Ian ilange lam akhir, iku dadi hu, lan ilange hu, iku dadi ora ana lapale iya ora ana jamane, ora ana tuduhe, iya ora ana maknane, iya mung kari jumeneng ing dzatullah, iya jumeneng kalawan dhewe" *). Misteri Mantra 14

Selanjutnya jika kita membuka Kitab Mantra-Yoga, di sana termuat "Aji kadigdayan Kasenapaten", wasiat Kangjeng Panembahan Senapati Ingalaga Matararam tentang ilmu kekebalan terhadap segala macam senjata api. Untuk mencapai tataran kebal seperti itu harus disertai laku "nyirik wohing dami kinukus" selama 40 hari 40 malam, dengan mantra: "Salfa llahu 'alaihi wassalam bis ayar-ayar, akas mimis kandut, kita tobat rambut, kita pasumbon talingan kita, gisig suh, braja ampuh, sira nembaha marang ingsun, hining na'iyat sagedining, hining ma'iyat sagedining, hining ma'iyat sagedining" *). Sebagimana telah diuraikan, mantra-mantra yang termuat dalam naskah-naskah kuna di Keraton tersebar-sebar di berbagai bagian isi naskah, dan umumnya tertulis dalam aksara Arab. Penelitian yang tuntas, menurut pendapat saya, perlu dilakukan oleh para ahli, bukan sekadar dengan transliterasi dan translasi ke huruf Latin. Tetapi hendaknya dapat disusun sedemikian, sehingga kita dapat menggali dan memahami maknanya. Siapa tahu kelak, isinya bisa menjadi sumbangan dalam mengukuhkan jatidiri bangsa ke depan. Misteri Mantra 15

SERAT CEBOLEK: SEBUAH ILUSTRASI KARENA akhir-akhir ini banyak menjadi wacana dalam komunitas Islam, mungkin ada manfaatnya jika saya mengulas barang sekilas Serat Cebolek karya Kiai Mutamakkin (yang tersimpan di perpustakaan KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan judul: "Suluk Cebolek Gedhe"). Konon, serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura. Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam "ortodoks" dengan Islam "heterodoks" ("menyimpang"). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin telah mengajarkan "ilmu hakikat" kepada khalayak ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin. Kisah dalam Serat ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks. Tetapi sebuah teks dari desa Kajen, Pati, Misteri Mantra 16

mengisahkan "serat" yang berbeda, di mana Kiai Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang benar. Kisah Kiai Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir "tipikal" dalam sejarah Islam: pertentangan antara "ilmu lahir" dan "ilmu batin", ilmu hakikat dan ilmu syari'at, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, "serat resmi,'" dan "serat rakyat'. Apakah ketegangan- ketegangan dalam tubuh Islam sekarang ini bisa dilihat, antara lain, melalui kisah Kiai Mutamakkin ini? Oleh Gus Dur aliran Mutamakin ini disebutnya sebagai model keempat, yaitu model Jawa yang menyatakan hubungan Islam dengan kekuasaan, di mana memposisikan Islam bukan sebagai oposisi, tetapi mengembangkan kultur Islam yang berbeda (altematif) terhadap pemahaman kekuasaan yang ada. Sebagai bahan banding, ada baiknya jika kita membuka Serat "Sastra Gendhing" (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari Serat Cebolek, yang antara lain memuat bait tembang Sinom: "Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran tembang gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane Dhat, swara saking osik wadhi, Osik muiya entaring cipta-surasa ". Misteri Mantra 17

Sultan Agung menegaskan" bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama Islam kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh arus syariat. Diperingatkan olehnya, bahwa pedoman yang harns diingat-ingat ialah: "Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang". Jadi hakikat dan syariat kedua-duanya penting. Meskipun demikian, hakikatlah yang harus diutamakan, sebab memahami hakikat lebih sukar daripada melihat syariat. Jika orang mengutamakan syariat tetapi meninggalkan hakikat, berarti sarna dengan mengej ar kulit dan melupakan isi. Ibarat orang memakai baju tetapi tak bemyawa. Demikianlah petunjuk Sultan Agung yang membekali kita dalam melakukan ibadah. Dalam terjemahan bebas, ungkapan di atas berarti demikian: "Jika syariat sembahyang tidak dituntun oleh kesucian jiwa, maka batallah shalat seseorang. Dan tak ada perlunya orang memelihara hidup kebatinan, apabila tidak berisi usaha mengagungkan Dhat Allah". Misteri Mantra 18

Petunjuk Sultan Agung itu ada persamaannya dengan kritik Prof Dr. Ahmad Syalabi. Dalam bab yang berjudul.'mempelajari raga tanpa mempelajari jiwa", sarjanaulama Mesir dari Universitas Cairo itu mengecam keras ulama-ulama Mesir abad-20, yang secara dangkal melihat semua segi kehidupan beragama dari segi materiilnya saja. SEBUAH PERENUNGAN MANTRA tergolong dalam ritual mistik kejawen, yang merupakan cara berpikir fllosofis manusia Jawa tentang hidup, manusia, dunia dan Tuhan. Sinkretisme, simbolisme dan sufisme dalam budaya spiritual Jawa sering disebut falsafah hidup Jawa, sikap hidup yang bertujuan mencari kesempurnan hidup melalui pangawikan (ngelmu) sangkanparaning dumadi dan manunggaling kawula-gusti. Sri Susuhunan Paku Buwono V memberikan pesan spiritual dalam Serat Centhini, sebagai berikut: "Aywa lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira aywa nadhah, yen tan wruha rasanipun, aywa nganggo-anggo siraku, yen tan wruh ranning busana, weruh atakon tuhu, bisane tetiron nyata". Kutipan ini memberikan wawasan batin terhadap sesama, agar berhati- hati dalam menjalankan hidup. Misteri Mantra 19

Diharap agar tahu betul dari mana dan akan ke mana hidup kita. Dengan kata lain kita harus benar-benar memahami landasan laku mistik kejawen, yaitu ngelmu sangkan-paraning dumadi. Pesan serupa juga pemah diberikan Sunan Kalijaga yang tersimpul dalam tembang Dhandhanggula seperti di bawah ini II: "Urip iku ing donyo tan lami, upamane jebeng menyang pasar, tan langgeng neng pasar bae, tan wurung nuli mantuk/ mri wismane sangkane nguni ing mengko aja samar, sangkan-paranipun yen asale sangkan-paran duk ing nguni aja nganti kesasar". Pesan tembang di atas menghendaki bahwa hidup di dunia ini tidak lama. Ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera pulang ke rumah asalnya. Karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya, agar jangan sampai salah jalan. Pesan ini menunjukkan, bahwa manusia hidup di dunia sekadar "mampir ngombe", karena suatu ketika akan kembali ke haribaan Tuhan, sebagaimana halnya tumpuan sangkan-paraning dumadi. Bukankah kedua pesan dalam naskah kuna ini ada relevansinya dengan intro kalimat di awal tulisan ini: "Sebaik-baik limo adalah Berdoa kepada Allah SWT."? Agar dengan demikian, kita dapat menangkap makna terdalam dari ungkapan: "Ana-nira, Ana- Misteri Mantra 20

Ningsun", serta menjauhi sikap: "Sapa sira, Sapa lngsun". Jakarta, 2 September 2003 KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, HAMENGKU BUWONO X Misteri Mantra 21