495 BAB VI SIMPULAN Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu revivalisme kebudayaan Jawa Surakarta dan upaya untuk menjadikan Surakarta sebagai pelopor dalam kebudayaan Jawa. Seiring dengan pembentukan negara bangsa ada kebutuhan untuk membangun kebudayaan Indonesia yang menempatkan kebudayaan-kebudayaan daerah sebagai unsur-unsur pembentuknya. Upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta perlu dilakukan karena merupakan salah satu langkah strategis untuk membangun kebudayaan Indonesia. Ketika secara politis Surakarta tidak mendapatkan tempat dalam panggung Indonesia merdeka, melalui bidang kebudayaan Surakarta ingin menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia yang menempatkan kebudayaan Jawa Surakarta sebagai aspek utama dalam pembangunan kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan Indonesia dijadikan sebagai momentum dan sekaligus kesempatan untuk membangun kembali kebudayaan Jawa Surakarta yang mengalami kemunduran setelah kemangkatan Sunan Paku Buwana X dan Mangkunagara VII yang disusul dengan keruntuhan kekuasaan
496 politik Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai akibat dari revolusi sosial di Surakarta. Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Surakarta yang merupakan representasi negara memiliki peranan penting dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Peranan Pemerintah Republik Indonesia dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta diwujudkan dalam pembentukan Kokar, ASKI, PKJT, dan Lokananta di Surakarta, serta pemanfaatan RRI Surakarta sebagai wahana pembinaan dan penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta. Peranan Pemerintah Daerah Surakarta dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta diwujudkan dalam alih kelola Wayang Wong Sriwedari. Upayaupaya yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Surakarta dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta mendapatkan dukungan dari masyarakat Surakarta yang meliputi masyarakat keraton, tokoh dan anggota masyarakat yang tergabung dalam sanggar-sanggar atau paguyuban seni. Dukungan masyarakat Surakarta diwujudkan melalui peran serta mereka secara aktif dalam kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk oleh negara dan melalui kegiatan-kegiatan yang diusahakan sendiri antara lain melalui penyelenggaraan kursus
497 serta penerbitan majalah, koran, dan buku berbahasa Jawa yang berperan sebagai media penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta. Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta dilakukan dengan melakukan penggalian, rekonstruksi, dan penafsiran kembali seni pertunjukan tradisi keraton sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Selain itu juga dilakukan inovasi-inovasi dalam bidang seni pertunjukan dengan mengacu pada konvensi yang berlaku pada tradisi keraton (nunggak semi) dan memanfaatkan unsur-unsur di luar tradisi keraton. Para seniman yang tergabung dalam lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta itu telah berhasil mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta, dalam hal ini seni karawitan, tari, dan pedhalangan menjadi sebuah seni pertunjukan Jawa Surakarta yang moderen dalam keklasikannya. Kegiatan dan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di Surakarta mengakibatkan seni pertunjukan Jawa Surakarta berkembang secara dinamis. Perkembangan ini menunjukkan adanya revivalisme kebudayaan Jawa Surakarta. Keberhasilan lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di Surakarta dalam mengembangkan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang moderen dalam keklasikannya ini juga dapat dimaknai bahwa Surakarta menjadi pelopor dalam pengembangan kebudayaan Jawa pada
498 masa Indonesia merdeka. Setelah Perjanjian Giyanti 1755 terjadi kontestasi kultural antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dengan keberhasilannya dalam mengembangkan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang moderen dalam keklasikannya pada masa Indonesia merdeka, Surakarta berhasil tampil sebagai pemenang dalam kontestasi kultural itu. Kepeloporan itu ditunjukkan dengan perkembangan dan persebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang melampaui batas wilayah administratif kota Surakarta dan memiliki wilayah persebaran yang lebih luas dibandingkan dengan seni pertunjukan Jawa Yogyakarta. Bahkan, seni karawitan gaya Surakarta dapat mendominasi kehidupan seni karawitan di Yogyakarta dan tari gaya Surakarta lebih diminati oleh warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan dan penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta itu menjadikan Surakarta sebagai pelopor dalam pengembangan kebudayaan Jawa dan mengukuhkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Surakarta telah berhasil tampil dalam panggung keindonesiaan dan secara simbolik mengukuhkan eksistensinya sebagai ibukota kebudayaan Jawa. Pembicaraan tentang kebudayaan Jawa pada masa Indonesia merdeka tidak akan dapat lepas dari perkembangan kebudayaan Jawa Surakarta.
499 Dalam sejarah Surakarta telah terjadi pergeseran patronage dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa. Pada masa sebelum kemerdekaan raja menjadi patron dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa. Ketiadaan raja yang mampu menjadi patron budaya pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia memberi kesempatan untuk kehadiran patron baru dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Kehadiran negara dalam pelestarian kebudayaan Jawa Surakarta melalui lembaga-lembaga kebudayaan Jawa yang dibentuk di Surakarta telah menempatkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai patron baru dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia masih memerlukan kehadiran keraton sebagai sebuah institusi. Keraton dengan kekayaan budaya yang dimilikinya yang berupa seni pertunjukan menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Keberhasilan lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta dalam mengembangkan seni pertunjukan tradisi keraton mengakibatkan seni pertunjukan tradisi keraton tidak hanya menjadi milik keraton, tetapi menjadi milik Republik Indonesia. Seni pertunjukan Jawa Surakarta menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia.
500 Ada dua karakteristik umum dalam politik kebudayaan Jawa Surakarta. Pertama, pemanfaatan seni pertunjukan tradisi keraton sebagai sarana untuk membangun kebudayaan Jawa Surakarta. Lembaga-lembaga kebudayaan yang berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta menjadikan seni tradisi keraton sebagai unsur kebudayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Kedua, keraton dan lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di Surakarta bersimbiosis mutualisme dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Mereka saling menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Berdasar periodisasinya, politik kebudayaan Jawa Surakarta dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, periode 1950-1970; periode keraton sebagai sumber inspirasi. Seni pertunjukan tradisi keraton dijadikan sebagai materi pembelajaran pada Kokar dan ASKI Surakarta. Kedua, periode 1970-1980; periode revitalisasi, pengembangan, dan inovasi seni pertunjukan tradisi keraton. Seni pertunjukan keraton direvitalisasi, dikembangkan, dan diperbarui oleh dosen dan mahasiswa ASKI melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh PKJT dengan melibatkan seniman bertaraf empu dari keraton. Ketiga, periode 1980-1990an; periode sosialisasi dan implementasi hasil-hasil pengembangan dan inovasi seni pertunjukan tradisi keraton yang ditandai oleh
501 penyebarluasan garapan-garapan baru ASKI/PKJT dalam bidang karawitan, tari, dan pedhalangan. Pada periode ini juga ditandai dengan adanya upaya-upaya yang lebih sistematis dengan langkah-langkah konkret dari Kasunanan dan Mangkunagaran untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan mengembangkan seni pertunjukan tradisi keraton dengan konsep-konsep penggarapan yang digagas oleh ASKI/PKJT untuk kepentingan pengembangan pariwisata budaya. Sebagai penutup simpulan ini perlu disampaikan, bahwa lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta yang dibentuk oleh negara, seperti Kokar (sekarang SMK 8 Surakarta), ASKI (sekarang ISI Surakarta), PKJT (sekarang TBJT Surakarta) sampai sekarang masih berkiprah dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Lembaga-lembaga itu dengan bidang tugasnya masing-masing menjadi pilar-pilar penyangga keberlangsungan kebudayaan Jawa pada saat ini dan masa depan. Sementara itu, RRI Surakarta dan Lokananta walaupun masih eksis pamornya sebagai lembaga kebudayaan Jawa Surakarta mengalami penurunan. Siaran-siaran kesenian Jawa RRI Surakarta dan produksi/reproduksi kaset-kaset rekaman Lokananta semakin kurang diminati oleh masyarakat seiring dengan perubahan sosial yang demikian cepat. Kemajuan teknologi dan kehadiran televisi swasta yang menyajikan hiburan-
502 hiburan yang bervariasi dan menarik telah semakin menggeser minat masyarakat terhadap siaran-siaran dan produksi rekaman seni pertunjukan Jawa Surakarta. Ketika RRI Surakarta dan Lokananta mengalami penurunan pamor, Kasunanan dan Mangkunagaran justru semakin giat menggali, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi kultural yang dimilikinya untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Upaya-upaya itu dilakukan antara lain sebagai respon terhadap perkembangan industri pariwisata yang diharapkan dapat menopang posisinya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Dengan demikian, cita-cita para pendiri Kokar Surakarta tidak sia-sia, karena Kasunanan dan Mangkunagaran bangkit, tidak hanya secara simbolis, tetapi melakukan kegiatan-kegiatan nyata untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Politik kebudayaan Jawa Surakarta merupakan bagian dari kebijakan pembangunan kebudayaan Indonesia. Politik kebudayaan Jawa Surakarta sebenarnya merupakan suatu pemanfaatan kebudayaan untuk mempertahankan eksistensi diri ketika aspek politik dan ekonomi tidak mampu memberi dasar legitimasi. Surakarta tidak ingin kehilangan eksistensi dirinya ketika kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi. Surakarta berusaha untuk hadir dan eksis dalam panggung keindonesiaan
503 melalui kebudayaan Jawa Surakarta. Politik kebudayaan Jawa Surakarta berhasil menempatkan Surakarta dalam panggung Indonesia merdeka.