UNIVERSITAS INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah disini bukan

BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia.

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Addien Iftitah 2

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia yang berupa: atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa; 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Revisi. Cet.8, (Jakarta, Djambatan, 1999), hal.18.

BAB I PENDAHULUAN. yang satu ke orang lain.tanah sebagai benda yang bersifat permanen tetap, banyak

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan

BAB I A. LATAR BELAKANG

PELAKSANAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN KARENA JUAL BELI DI KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB I PENDAHULUAN. di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah ditentukan bahwa bumi, air,

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB II KEDUDUKAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM KEPUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggalnya di atas tanah. Pada perkembangan dunia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai

JURNAL. Diajukan oleh : Lusius Maria Bram Bintang Ferdinanta. Program Kekhususan : Hukum Pertanahan dan LingkunganHidup

RESUME KUTIPAN BUKU LETER C SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIL TERHADAP SERTIFIKAT GANDA

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

I. PENDAHULUAN. kedudukan akan tanah dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

2 UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya m

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi masyarakat agraris selain sebagai faktor produksi yang sangat

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

JURNAL KARYA ILMIAH. KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK SEBAGAI ALAT BUKTI KEPEMILIKAN (STUDI KASUS TANAH DI PENGADILAN NEGERI MATARAM) Cover

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BENTUK PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING AKIBAT PERCAMPURAN HARTA DALAM PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, 2010.

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

JUAL-BELI TANAH HAK MILIK YANG BERTANDA BUKTI PETUK PAJAK BUMI (KUTIPAN LETTER C)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting.

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

BAB I PENDAHULUAN. besar. Oleh karena itu untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. bagi kemakmuran dan kesejahteraan, bangsa Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat (Margono Slamet, 1985:15). Sedangkan W.J.S Poerwadarminta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Bumi air dan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PPAT YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR (STUDI KASUS AKTA JUAL BELI TANGGAL 14 MARET 2012 NOMOR 07/2012 YANG DIBUAT DI HADAPAN PPAT TH DENGAN WILAYAH KERJA DI KOTAMADYA JAKARTA SELATAN) TESIS ANINDHITA PRAMESWARI 1006827650 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2013

iv KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan rahmat-nya hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14 Maret 2012 Nomor 07/2012 Yang Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan Wilayah Kerja Di Kotamadya Jakarta Selatan). Penulisan Tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Besar harapan penulis agar tesis ini dapat diterima sebagai sumbangsih penulis kepada almamater agar nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan atau referensi bagi siapa saja yang sedang belajar di Universitas Indonesia. Dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam proses penyusunan dan penyelesian tesis ini. Antara lain kepada: 1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia beserta segenap jajarannya, 2. Dr. Drs. Widodo Suryandono, SH. MH., selaku Ketua Studi Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, SH., Mkn., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini, 4. Seluruh Dosen Pengajar Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah membimbing dan meberikan banyak ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan Magister ini, 5. Orang Tua penulis, Drs. Soeprijanto dan Ibu Ulvanoem yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dengan sabar membimbing dan

v mendidik penulis dari kecil hingga kini serta selalu memberikan dukungan baik materil maupun moril, 6. Suami penulis tercinta, Fahmi Arfian dan juga anak-anak penulis, Khairani Syafina, Raditya Danuadji dan Khairuna Alishya atas segala dukungannya. 7. Seluruh sahabat di Magister Kenotariatan Salemba Universitas Indonesia angkatan 2010, Esti Purnami, Fauzi Rivayanti, Kurnia Fajar, Puty Arfina, Mba Egi Anggiawati, dan lain-lain yang telah memberikan banyak suka duka, terlebih kenangan manis selama 2 tahun ini, 8. Dan kepada seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya penulisan tesis ini. Depok, 21 Januari 2013 Anindhita Prameswari

vii ABSTRAK Nama : Anindhita Prameswari Program Studi : Magister Kenotariatan Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14 Maret 2012 Nomor07/2012) PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Sebagai akta otentik, akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undangundang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat menimbulkan risiko bagi kepastian hak atas tanah yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai tata cara dan prosedur pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan penulis untuk menyusun tesis ini akan melakukan analisa mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual Beli Tanah yang dilakukan oleh PPAT TH. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian data-data sekunder atas data hukum yaitu norma hukum tertulis. Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta dapat mengakibatkan akta tersebut tergredasikan menjadi akta di bawah tangan, batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Kata Kunci: PPAT, Akta Jual Beli, Prosedur

viii Name Study Program Title With PPAT TH ) ABSTRACT : Anindhita Prameswari : Master of Notary : Juridical Review of PPAT s Deeds That Does Not Comply With The Procedure (Case Study of Sales Deed Dated March 14, 2012 Number 07 2012 Made In Front of Officials land Deed Maker (PPAT) is as a general officer who is authorized to make an authentic deed of land in accordance with the applicable regulation. As an authentic deed, PPAT s deeds should cater to all terms and conditions of PPAT certificate as prescribed by laws and other regulations. The PPAT s deeds that does not comply with the terms and conditions can pose a risk to the uncertainty of land rights that are recorded on the basis of the certificate. Based on this, the author is interested and intends to examine and understand more about the standard procedures of making deeds made by PPAT in the manufacture of the deed of sale and purchase of land and in order to compose this thesis, the author will do an analysis regarding the Ordinance and procedures of making the deed of sale and purchase of Land by PPAT TH. This research uses the normative juridical approach, which focuses on the research of secondary data for data law that focuses on i.e. written legal norms. Based on the data obtained, the research results found that as a result of the law of creation of the deed of sale and purchase of land that is not in accordance with an applicable regulations, the deed will be degraded a certificate under the hand, annulled by law or may be cancelled.

ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ABSTRAK DAFTAR ISI i ii iii iv vi vii ix BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Pokok Permasalahan 10 1.3 Tujuan Penelitian 10 1.4 Metode Penelitian 11 1.5 Sistematika Penulisan 13 BAB II PROSEDUR AKTA JUAL BELI TANAH 14 2.1 Pengertian Hak Atas Tanah 14 2.1.1 Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah 19 2.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 23 2.2 Tinjauan Umum Mengenai PPAT 34 2.2.1 Pengertian PPAT 34 2.2.2 Syarat-Syarat Untuk Diangkat Menjadi PPAT 39 2.2.3 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT 40 2.2.4 Wilayah Kerja PPAT 43 2.2.5 Kewajiban PPAT 44 2.2.6 Pemberhentian PPAT 46 2.2.7 Kode Etik PPAT 48 2.2.8 Peranan PPAT Dalam Pelayanan Masyarakat 55 2.3 Keabsahan Dan Otentitas Akta PPAT 56 2.4 Prosedur/Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli 60 2.4.1 Pengertian Akta Jual Beli 60 2.4.2 Objek Akta Jual Beli 61 2.4.3 Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli Oleh PPAT 61 2.5. Analisis Kasus 71 2.5.1 Posisi Kasus 71 2.5.2 Analisis Kasus 73 BAB III PENUTUP 83 3.1 Simpulan 83 3.2 Saran 86 DAFTAR REFERENSI 88 LAMPIRAN 91

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggal pun manusia membutuhkan tanah guna tempat penguburannya. Hal ini memberikan pengertian bahwa pentingnya tanah bagi kehidupan di mana manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah. Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan

2 di sisi lain harus dijaga kelestariannya. 1 Tanah mempunyai nilai yang sangat penting karena mempunyai 3 komponen yang melekat, yaitu 2 : 1. Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya, sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai produksi dan jasa. 2. Komponen penting kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tetapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya. 3. Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomis, suatu barang (dalam hal ini adalah tanah) harus layak untuk dimiliki dan ditransfer. Menyadari pentingnya tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, para pendiri bangsa telah menuangkannya dalam konstitusi tertinggi bangsa Indonesia yaitu pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat 93) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi dan tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA adalah 3 : 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 1 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia,2007), hal. 1. hal. 27-28 2 Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, cet 1, ( Yogjakarta: Liberty, 1983), hal. 16. 3 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, cet.1, (Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri, 2012),

3 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankan juga dari pihak lain, karena itu penguasaan tanah harus dilandasi atas hak yang sah dan oleh karena itu dibutuhkan suatu status hukum. Kepastian hukum dari tanah tersebut serta kepemilikan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu bahwa 4 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 2 sub b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (selanjutnya disebut UUPA), merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Di bidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan 2 tugas, yaitu 5 : 1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah. 2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah. Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menurut Pasal 3, Peraturan Pemerintah nomor: 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tujuan diadakan pendaftaran tanah adalah 6 : 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,satuan rumah susun dan hak- 4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 555. 5 Ibid., hal 3 6 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaTentang Pendaftaran Tanah, UU No. 24 tahun 1997, LN. No. 59, TLN. No. 3696

4 hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. 3. Untuk tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh PPAT (selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sesuai dengan ketentuan tentang Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, yang pada Pasal 2 menyatakan 7 : 1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. PPAT diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani 7 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 tahun 1998, LN. No 52, ps.2.

5 kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping untuk kepastian hukum bagi status tanah tersebut, pendaftaran tanah juga untuk melindungi para pemegang hak atas tanah agar kepemilikan haknya tidak terganggu oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanahnya.untuk itu ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA, bahwa : Pendaftaran tanah dalam Pasal ini meliputi : c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 8 Alat pembuktian diberikan berupa sertipikat sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 point 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997, yaitu 9 : Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dalam perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dikukuhkan melalui berbagai peraturan perundangundangan yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengertian PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4) adalah: Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa PPAT adalah: Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tersebut. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, secara khusus diatur dalam Pasal 1 butir 1, yang berbunyi: 8 Ibid., hal 558 hal.5. 9 BPN, Pendaftaran Tanah di Indonesia,( Jakarta: Koperasi Bumi Bhakti BPN, 1998),

6 Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak. Dalam pembuatan akta, PPAT diharuskan untuk menggunakan blanko akta PPAT seperti yang diatur oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 yang menyatakan bahwa akta-akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blangko akta PPAT yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk. Hal ini berarti bahwa tanpa blangko akta PPAT yang dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT. Selanjutnya, PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah,

7 kegiatan sosial, dan lain-lain kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya. Tugas dari PPAT adalah membuat akta dari perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan. Bila dilihat dari tugas PPAT tersebut, nampak bahwa tugas PPAT adalah pembuatan akta dalam kaitannya dengan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pensertipikatan atas tanah hak milik. Misalnya dalam kasus jual beli tanah, perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau memberikan sesuatu hak baru atas tanah, harus dilakukan dihadapan PPAT. Selanjutnya, akta PPAT adalah akta otentik dan sebagai sebuah akta otentik terdapat persyaratan ketat dalam hal prosedur pembuatan, bentuk dan formalitas yang harus dilakukan sehingga akta tersebut berhak disebut sebagai akta otentik. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 1868 KUHPerdata : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-

8 undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Jadi syarat otentisitas suatu akta yaitu : 1. dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 2. oleh atau dihadapan Pejabat Umum 3. pejabat tersebut harus berwenang di tempat di mana akta tersebut dibuat. Mengenai jenis dan bentuk akta PPAT, pelaksanaan dan prosedur pembuatannya, diatur oleh Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pada Pasal 95 sampai dengan Pasal 102. Selain itu, Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa boleh menyimpang sedikitpun. Penyimpangan dari tata cara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan pembuktian akta itu. Meskipun peralihan hak atas tanah tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini baik yang disebabkan oleh adanya pihak ketiga yang merasa mempunyai hak atau yang disebabkan oleh adanya kesalahan pada PPAT yang membuat aktanya atau adanya cacat hukum pada aktanya baik yang disebabkan oleh karena adanya penyimpangan atau kesalahan pada pembuatan aktanya ataupun karena adanya kesalahan pada prosedur penandatanganan aktanya. Dalam menjalankan jabatannya, PPAT harus memegang teguh pada kode etik akan tetapi saat ini seringkali dalam prakteknya PPAT membuat akta jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT tetapi tidak sesuai dengan tata cara menurut ketentuan peraturan yang berlaku, sehingga hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan. Contoh-contoh pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek pembuatan akta PPAT adalah: 1. Akta jual beli tidak dibacakan oleh PPAT secara rinci namun hanya menerangkan isi akta secara garis besar. 2. Menandatangani akta jual beli sebelum dilakukan cek bersih sertifikat dan hanya melakukan cek lisan.

9 3. Penandatanganan terhadap akta jual beli dilakukan oleh para pihak tidak secara bersamaan. 4. Saksi-saksi tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu proses penandatanganan akta. 5. Menerima pekerjaan dari rekan sejawat, akan tetapi terhadap akta yang akan dibuat telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak. 6. Akta jual beli ditandatangani sebelum ada pembayaran BPHTB dan PPh sehinggal akta jual beli belum bisa diberi tanggal dan nomor. 7. PPAT tidak mau memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal tertentu yang ditanyakan oleh penghadap 8. Dan lain-lain Hal-hal seperti inilah yang harus dihindari oleh seorang PPAT karena menyangkut kode etik dan tanggung jawab moral PPAT itu sendiri sebagai pejabat umum. Seperti yang telah dikemukakan di atas, Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain adalah melakukan pengecekan/pemeriksaan keabsahan sertipikan dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat 10. Sebagai akta otentik akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturanperaturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat membuat suatu akta batal demi hukum, terdegradasikan menjadi akta di bawah tangan yang akan mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta tersebut. Dari uraian di atas, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai tata cara dan prosedur pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT terlebih dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat dan penulis untuk menyusun tesis ini akan melakukan analisa mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat 10 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 507

10 yang dilakukan oleh PPAT TH untuk para penghadap Tuan FX selaku penjual dan Tuan FA selaku pembeli untuk sebidang tanah Hak Guna Bangunan di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tesis ini penulis memberi judul Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur (Studi Kasus Jual Beli Tanah Tanggal 14 Maret 2012 nomor 07/2012 Yang Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan Wilaya Kerja Di Kotamadya Jakarta Selatan). 1.2. POKOK PERMASALAHAN Adapun Pokok Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan peralihan hak atas tanah oleh PPAT menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah? 2. Bagaimanakah proses peralihan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT? 3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan prosedur baik terhadap PPAT maupun akta yang dibuatnya? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan lain yang bersangkutan dalam prosedur pembuatan suatu akta PPAT. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui akibat hukum baik terhadap PPAT maupun Akta PPAT yang dibuatnya dengan mengenyampingkan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

11 1.4. METODE PENELITIAN Dalam rangka penulisan tesis harus diperhatikan bahwa tesis merupakan karya ilmiah yang harus disusun secara tegas, jelas, dan sistematis berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipercaya kebenarannya dan data-data yang diperoleh, sehingga sebelum memulai suatu penulisan diperlukan adanya penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan dan untuk mencapai tujuan tersebut maka penulis memilih metode Penelitian ini bersifat deskritif analitis dimana penulis bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai suatu keadaan berdasarkan analisa-analisa yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian data-data sekunder berupa norma hukum tertulis. Penulis menggunakan metode ini karena untuk mengetahui mengenai suatu permasalahan hukum, maka harus menggunakan analisa yang didasari dengan norma-norma hukum yang berlaku dengan memperhatikan sumbersumber hukum yang berlaku juga. Selanjutnya, dilakukan juga analisis mengenai tata cara PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli atas tanah. Dalam rangka menganalisa masalah yang penulis kemukakan, diperlukan data yang akurat dan mutakhir oleh karenanya digunakan teknik pengumpulan data melalui Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder melalui berbagai literatur baik Peraturan perundang undangan, buku-buku, media cetak, atau pelaporan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Penelitian kepustakaan tersebut diperlukan untuk mempertajam konsep dan teori yang berguna untuk menganalisa permasalahan secara mendalam yang meliputi 11 : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini peneliti menggunakan : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. cet ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 29.

12 b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Undang- Undang Pokok Agraria c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah d) Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah e) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah g) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah 2. Bahan hukum sekunder, misalnya buku-buku, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, artikel dari surat kabar dan internet. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara deskritif analitis mengenai prosedur pelaksanaan pembuatan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli tanah. Analisis yang digunakan sesuai dengan tipe dan sifat pembuatan dari penelitian adalah dengan jalan melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan dari data sekunder yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Data tersebut kemudian akan diinventarisasi, diklasifikasi, diolah dan dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan

13 pengolahan data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan semua data yang diperoleh dalam kata-kata sehingga merupakan susunan kalimat yang mudah dimengerti. 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I BAB II BAB III PENDAHULUAN Menjelaskan latar belakang pemilihan judul serta pokok permasalahannya serta metode penelitian yang digunakan. PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Menguraikan pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli, pengertian jual beli tanah sebelum dan sesudah UUPA, syarat-syarat jual beli tanah, pengertian PPAT, tugas dan wewenang PPAT, wilayah kerja PPAT, Kode Etik PPAT, Akta PPAT serta prosedur pembuatan Akta yang harus dilakukan oleh PPAT dalam jual beli tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998. Selanjutnya penulis akan membahas kasus Akta Jual Beli dengan menguraikan dan menjelaskan proses pelaksanaan pembuatan akta yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT di dalam kasus pembuatan Akta Jual Beli tanggal 14 Maret 2012 Nomor 07/2012. PENUTUP Menguraikan kesimpulan dari penelitian berdasarkan analisa hasil penelitian penulis.

14 BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH 2.1 Pengertian Hak Atas Tanah Kata tanah dalam tata bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa 12 : Atas dasar hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Dalam Pasal 2 UUPA, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk: a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 12 Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria, UU No.5 tahun 1960, LN. No. 104, TLN. No. 2043, ps. 4

15 b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa 13 : Hak-hak atas tanah bukan hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Sehingga dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. 14 Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan melainkan ia hanya diperbolehkan menggunakannya dengan batasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA bahwa Sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung 13 Ibid. ps. 4 ayat 2 14 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 18.

16 berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undangundang ini (yaitu UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan,ditentukan oleh tujuan penggunaanya, dalam batasbatas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 15 Hak-hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. 16 Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan. Adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah dengan pihak lain seperti jual beli, tukar menukar, hibah, dan lain sebagainya. Seeorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut. UUPA menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun dengan menelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya. Dalam Pasal 16 UUPA telah menentukan beberapa macam hak-hak atas tanah yaitu 17 : a) hak milik b) hak guna usaha c) hak guna bangunan d) hak pakai 15 Boedi Harsono, Op. cit., hal. 19 16 Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 ), hal. 10 17 Indonesia, UUPA, Op.Cit., ps. 16

17 e) hak sewa f) hak membuka tanah g) hak memungut hasil hutan h) dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang. a) Hak Milik Diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Pengertian hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Yang boleh mempunyai hak milik adalah: 1) hanya warga negara Indonesia 2) oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya 3) orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung 4) selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. b) Hak Guna Usaha Diatur dalam Pasal 28-34 UUPA. Pengertian hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Yang dapat memiliki hak guna usaha adalah:

18 1) Warga negara Indonesia 2) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia c) Hak Guna Bangunan Diatur dalam Pasal 35-40 UUPA. Pengertian hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Yang dapat memiliki hak guna bangunan adalah: 1) Warga negara Indonesia 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia d) Hak Pakai Diatur dalam Pasal 41-43 UUPA. Pengertian hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. Yang dapat memiliki hak pakai adalah: 1) Warga negara Indonesia 2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia e) Hak Sewa Diatur dalam Pasal 44-45 UUPA. Seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar sewa kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:

19 1) Warga negara Indonesia 2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia f) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Diatur dalam Pasal 46 UUPA. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan ini hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.. 2.1.1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. 18 Menurut Effendi Perangin-Angin, pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan, dimana perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah, atau dengan pemberian dengan wasiat. 19 hal.37. 18 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Grafija, 1993), 19 Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa, 1986), hal. 1

20 Sebagaimana dimaksud menurut Pasal 26 UUPA dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dengan cara pemindahan hak dapat terjadi karena beberapa perbuatan hukum, yaitu : a. Jual beli Jual beli tanah diartikan sebagai suatu perbuatan yang merupakan penyerahan hak milik dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan pembeli berkewajiban memberikan uang harga yang telah disepakati oleh penjual. Penyerahan hak yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli tersebut mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli sebagai pemilik hak baru; supaya perbuatan jual beli tersebut memperoleh bukti yang kuat menurut hukum maka penjual dan pembeli harus datang kepada PPAT untuk membuat akta jual belinya, karena hanya PPAT yang berhak untuk membuat akta jual beli tanah, sedangkan mengenai permohonan balik nama sertipikat berdasarkan Akta Jual Beli harus dilaksanakan paling lambat tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli tersebut b. Tukar menukar Tukar menukar tanah bukan diartikan sebagai perjanjian, tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak yang menukarnya. Tukar menukar tanah ini juga harus dilakukan dengan akta PPAT. Peralihan hak atas tanah disini terjadi karena ditukarnya tanah kepunyaan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain. c. Hibah Hibah tanah seperti halnya jual beli dan tukar menukar, merupakan perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada yang menerima hibah. Beda hibah dengan jual beli adalah bahwa dalam hibah pemilik tidak menerima imbalan sebagai ganti dari tanah yang dihibahkannya tersebut, dan hibah ini juga harus dibuktikan dengan akta PPAT. d. Pemberian dengan wasiat Pemberian dengan wasiat ini dilakukan pada saat pemiliknya masih hidup, tetapi haknya baru beralih setelah ia meninggal dunia. Selama ia masih

21 hidup, maka apa yang diwasiatkan tersebut masih dapat diubah atau ditarik kembali. e. Pemasukan Dalam Perusahaan/Inbreng Dalam hal ini pihak yang memasukan tanah kedalam perusahaan akan mendapat imbalan berupa saham dalam perusahaan bersangkutan. Selanjutnya, peralihan hak atas tanah tanah juga dapat terjadi karena peristiwa hukum; misalnya pewarisan, karena hukum pula segala harta kekayaan seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum) atau peristiwa hukum dan bukan karena perbuatan hukum. Selanjutnya, peralihan Hak atas Tanah itu berkaitan erat dengan kegiatan pendaftaran tanah yaitu termasuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah yang mewajibkan kepada pemegang haknya untuk mendaftarkan haknya kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam daftar Buku Tanah. Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) dan Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Yang dimaksud dengan pendaftaran untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak-hak tertentu yang membebaninya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, sedangkan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta

22 pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. 20 Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan/ data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan fisik dan atau/ data yuridis kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat. Perubahan data yuridis yang dimaksud dapat berupa 21 : a) Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya; b) Peralihan hak karena pewarisan; c) Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi; d) Pembebanan Hak Tanggungan; e) Peralihan Hak Tanggungan; f) Hapusnya hak atas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan; g) Pembagian hak bersama; h) Perubahan dan pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan Ketua Pengadilan; i) Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama; j) Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah. Sedangkan perubahan data fisik dapat berupa ; a) Pemecahan bidang tanah; b) Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah; c) Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peralihan hak atas tanah adalah termasuk dalam kegiatan pemeliharaan data dalam pendaftaran tanah. 20 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 1997, Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696, Pasal 1 angka 12. 21 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 309-310.

23 2.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu peralihan hak atas tanah dapat melalui jual beli. Sebelum penulis membahas mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual beli, maka penulis akan menjelaskan mengenai pengertian jual beli menurut KUHPerdata, jual beli menurut hukum adat dan jual beli menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 22 Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang bertimbal balik. 23 Jual-beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah pihak telah terjadi kesepakatan mengenai benda tersebut dan harganya, walaupun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi. Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan dengan akta dimuka dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama stbld No.27 Tahun 1834. 24 22 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7. 23 Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1. 24 K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hal. 31.

24 Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu : a. Pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tentram. b. Kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan di tempat barang itu berada. Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian. Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian; juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barangyang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan