ABSTRAK KUALITAS PELAYANAN RESEP DI APOTEK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HADJI BOEDJASIN PELAIHARI Rizka Emellia 1 ; Ratih Pratiwi Sari 2 ; Anna Apriyanti 3 Pengukuran tingkat kepuasan pasien menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari pengukuran mutu layanan kesehatan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan maka fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam rumah sakit secara bertahap perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu pelayanan (bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati) terhadap pasien rawat jalan di instalasi farmasi RSUD H. Boedjasin Pelaihari dan mengetahui apakah ada perbedaan Antara kepantingan (harapan) dan kepuasan (kenyataan). Penelitian ini merupakan penelitian deksriptif. Populasi adalah seluruh pasien rawat jalan di Instalasi RSUD H. Boedjasin dengan jumlah sampel 310 orang. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan uji GAP ( uji Kesenjangan Kualitas Pelayanan), Performance dan Importance Matrix dan analisis per dimensi. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa terdapat 4 dimensi yang memiliki kualitas baik yaitu Tangibles, Reliability, Responsiveness dan Empathy. Sedangkan dimensi yg memiliki kualitas kurang yaitu dimensi assurance. Kata kunci : Kualitas Pelayanan, Instalasi Farmasi, GAP
ABSTRACT QUALITY OF MEDICINE AT APOTEK IN HOSPITAL HADJI BOEDJASIN PELAIHARI Rizka Emellia 1 ; Ratih Pratiwi Sari 2 ; Anna Apriyanti 3 Measurement of patient satisfaction into activities that can not be separated from the measurement of the quality of health care. With the increasing public demand for quality healthcare services, including the functions of service in hospitals should be increased gradually to become more effective and efficient, and give satisfaction to the patient. This study aims to determine the quality of service ( tangibles, reliability, responsiveness, assurance and empathy ) toward outpatient hospital pharmacy Boedjasin H. Pelaihari and find out if there is a difference between kepantingan ( expectations ) and satisfaction ( reality ). This research is descriptive. The population is all outpatients in hospitals Installation H. Boedjasin with a sample of 310 people. Data obtained using a questionnaire. Data were analyzed using GAP test ( test Gaps Service Quality ), and Importance Performance Matrix and analysis per dimension. Based on the research it is known that there are four dimensions that have good quality ie Tangibles, Reliability, Responsiveness and Empathy. While the dimensions of which have a dimension that is less quality assurance. Keywords: Quality of Service, Pharmacy, GAP
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan peorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 983/MENKES/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum menyebutkan bahwa tugas rumah sakit mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Instalasi farmasi rumah sakit adalah salah satu-satunya bagian/divisi di rumah sakit yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan dan pengendalian seluruh sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lain yang beredar dan digunakan rumah sakit. Mulai dari perencanaan, pemilihan, pengadaan, pengendalian mutu, penyimpanan, serta dispensing, pemantauan efek, pemberian informasi dan sebagainya (Siregar, 2004). Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Depkes RI, 2006). Konsekuensi dari perubahan orientasi ini apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dari pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi,
monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu, apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Depkes RI, 2006). Kualitas layanan apotek dapat diukur dengan menggunakan konsep service quality yang ditemukan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Terdapat lima dimensi yang diukur, yaitu : kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), empati (empathy), tampak fisik (tangibles) (Supriyanto dan Ernawaty, 2010). Hasil penelitian kepuasan pasien yang dilakukan oleh Harianto, dkk (2005) di Apotek Kopkar Rumah Sakit Budi Asih Jakarta yang diperoleh dengan cara membagi kenyataan dengan harapan pelayanan apotek menurut persepsi pada umumnya menunjukkan bahwa pada dimensi responsiveness, kecepatan pelayanan obat (63%) dan kecepatan pelayanan kasir (69%) masuk dalam kategori cukup puas. Dimensi reliability, pemberian informasi obat (78%) dan pada dimensi assurance, kemurahan obat (72%) dan kelengkapan obat (72%) masuk dalam kategori cukup puas. Dimensi emphaty, keramahan petugas (92%) masuk dalam kategori puas. Dimensi tangibles, kecukupan tempat duduk (77%), kebersihan ruang tunggu (80%) dan kenyamanan ruang tunggu dengan kipas angin dan AC (61%) masuk dalam kategori cukup puas, sedangkan ketersediaan TV (46%) termasuk dalam kategori puas. Adanya penerapan pendekatan jaminan mutu layanan kesehatan, kepuasan pasien menjadi bagian yang integral dan menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan kesehatan. Artinya pengukuran tingkat kepuasan pasien harus menjadi kegiatan yang
tidak dapat dipisahkan dari pengukuran mutu layanan kesehatan. Konsekuensi dari pola pikir yang demikian adalah dimensi kepuasan pasien menjadi salah satu dimensi mutu layanan kesehatan yang penting (Pohan, 2004). Berdasarkan studi pendahuluan di depo obat IFRS RSUD H. Boedjasin Pelaihari, ada beberapa layanan depo obat IFRS yang masih kurang maksimal kepada beberapa konsumen yang menebus resep obat di depo obat IFRS RSUD H. Boedjasin Pelaihari. Oleh karena itu sangatlah perlu dilakukan penelitian tentang kualitas pelayanan di depo obat IFRS RSUD H. Boedjasin Pelaihari.