BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap tingkatan dalam strata sosial masyarakat selalu dituntut untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dari anak-anak hingga orang dewasa secara langsung ataupun tidak telah ditetapkan sebagai subjek pajak. Pajak tidak memandang sudah atau belum seseorang berpenghasilan atau berapa banyak penghasilan atau harta yang diperoleh dan dimiliki seseorang. Namun dengan adanya undang-undang perpajakan yang telah ditetapkan, pajak dapat memaksa masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, yaitu memperhitungkan, menghitung, menyetor serta melapor pajak. Karena alasan itulah, masyarakat merasa enggan membayar pajak. Sebagian besar dari masyarakat bersedia membayar pajak hanya karena adanya Undangundang (UU) yang memaksa setiap orang untuk membayar pajak. Sekalipun sebagian dari masyarakat tidak paham mengenai UU tetapi mereka tahu akibat apa yang ditimbulkan saat mereka tidak mematuhinya. Bahkan masyarakat seringkali memberikan asumsi negatif setiap kali membaca berita tentang pajak. Masyarakat khususnya para pelaku bisnis sangat tidak menginginkan berita tentang pajak akan memberatkan usahanya. Padahal berita tentang pajak tidak selalu membawa dampak buruk bagi masyarakat beserta usahanya. Sebagai contohnya adalah berita mengenai kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) industri penerbitan buku, rencana pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan bagi investor, atau rencana pengampunan pajak
(tax amnesty) serta masih banyak lagi berita tentang pajak yang diharapkan oleh masyarakat untuk mendukung usahanya. Seperti yang dikemukakan oleh Soemitro (1974) bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (UU) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal-balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pernyataan tersebut memberikan kesan bahwa pungutan pajak selalu memberatkan serta menekan rakyat, sedangkan masyarakat tidak mengerti kemana saja pendapatan pajak akan dialokasikan. Sebagian dari Wajib Pajak (WP) masih belum merasakan kepuasan atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, baik berupa pelayanan pajak maupun pelayanan umum sebagai bentuk kontraprestasi dari pembayaran pajak. Sebagai contohnya adalah kelalaian petugas pajak dalam pengecekan data WP apakah telah melunasi hutang pajaknya atau belum, WP tetap menerima Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) padahal WP telah melunasi hutang pajaknya bahkan telah menerima Surat Setoran Pajak (SSP). Masyarakat merasa sangat dikecewakan atas pelayanan pemerintah dalam menangani urusan pajaknya. Apabila mengacu pada sistem pemungutan pajak yang dianut sejak 1983, yaitu self assessment system, seharusnya anti-pati masyarakat terhadap pajak tidak perlu terjadi. WP sudah sewajarnya memiliki kesadaran penuh untuk melakukan pelunasan hutang pajak sesuai dengan aturan yang berlaku sebagai bukti pengabdiannya terhadap negara. Pemerintah sudah cukup memberikan kebebasan serta kepercayaan kepada WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tidak seharusnya masyarakat terus-menerus menyalahkan dan mendesak pemerintah
untuk memberikan kelonggaran atas beban pajaknya. Kesadaran serta tanggungjawab penuh dari masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sangat diharapkan oleh pihak pemerintah. Sanksi-sanksi hukum tidak akan dirasakan WP dan pemerintah apabila keduanya dapat bersinergi dalam menjalankan masing-masing kewajibannya. Bagaimanapun juga pendapatan yang diperoleh dari pemungutan pajak pada akhirnya akan digunakan sebagai dana pembiayaan pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan maupun sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah. Pada dasarnya, hanya UU lah yang dapat memaksa WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. UU sifatnya tidak hanya mengatur tetapi juga memaksa. Salah satu UU perpajakan yang harus diketahui oleh WP adalah UU No.16 Th. 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Namun tanpa disadari, masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahkan tidak mengerti secara pasti dan rinci isi dari UU KUP yang mendasari masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Terdapat kemungkinan bahwa faktor penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi UU KUP kepada masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki kewajiban untuk mentaati aturan-aturan yang berlaku tetapi masyarakat juga berhak tahu isi dari aturan-aturan tersebut. Bagaimana mungkin masyarakat dapat mentaati peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku apabila masyarakat tidak mengetahui isi dari peraturan itu. Lalu, aturan apa saja yang tersirat dalam UU KUP? UU KUP merupakan aturan yang paling mendasar dalam perpajakan. UU KUP mengatur secara rinci mengenai apa yang dimaksud dengan WP, tanda pengenal WP atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bagaimana cara memperoleh NPWP, kewajiban-kewajiban yang harus
ditaati, hingga sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan WP diatur dalam UU KUP. Diharapkan dengan adanya UU KUP, tidak hanya pemerintah yang merasa terbantu dalam menangani masalah perpajakan di Indonesia mengingat pajak sebagai pendapatan terbesar negara, tetapi juga masyarakat yang dalam hal ini berlaku sebagai subyek pajak dapat berpatokan pada UU KUP dalam memenuhi kewajiban dan tanggungjawab perpajakan. Berdasarkan dari apa yang telah penulis ungkapkan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai implementasi UU KUP di tengah masyarakat Indonesia, khususnya pada pemilik perusahaan dagang X, dengan memilih judul Implementasi Pasal 2-11 UU No.16 Th. 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) pada pemilik perusahaan dagang X. Penulis memilih judul tersebut karena penulis ingin meneliti serta menganalisis apakah pasal 2-11 UU KUP telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, khususnya pada pemilik perusahaan dagang X. Selain itu, alasan lain yang mendasari penulis untuk mengambil judul tersebut karena belum dilakukannya penelitian ini sebelumnya. 1.2. Rumusan Masalah Apakah pemilik perusahaan dagang X telah menerapkan pasal 2-11 UU No.16 Th. 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP)? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian yang penulis lakukan, adalah untuk menganalisis penerapan pasal 2-11 UU KUP pada pemilik perusahaan dagang X. 1.4. Kontribusi Penelitian
a. Bagi Mahasiswa 1. Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku perkuliahan khususnya matidakuliah Perpajakan 1, 2 dan 3 dengan menganalisis halhal yang memiliki kaitan cukup erat dengan matakuliah yang bersangkutan. 2. Pengenalan mahasiswa terhadap dunia kerja dengan cara berinteraksi secara langsung dengan instansi atau organisasi di lingkungan luar kampus. b. Bagi Pemilik Perusahaan Penulis sangat mengharapkan bahwa pengerjaan skripsi ini dapat memberikan tambahan kontribusi bagi pemilik dan/atau pengelola perusahaan mengenai UU KUP sekaligus bagaimana cara menyikapinya. c. Bagi Pemerintah Sebagai sarana dalam mensosialisasikan UU KUP di tengah masyarakat untuk menghindari penyelewengan pajak. 1.5. Batasan Penelitian Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis memberikan batasan hanya pada sejauh mana pasal 2-11 UU No.16 Th. 2000 diterapkan pada pemilik perusahaan dagang X, yaitu mengenai: 1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). 2. Surat Pemberitahuan (SPT)