BAB I PENDAHULUAN. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

ETIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM PERILAKU HAKIM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Hukum menurut Subekti, dalam bukunya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

I. PENDAHULUAN. persamaan perlakuan (equal treatment). Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Kasus Posisi. Pengadilan Negeri Sumedang yang mengadili perkara pidana dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum 1, hal tersebut dapat diartikan bahwa di dalam setiap sendi kehidupan baik dalam kehidupan orang perorangan, kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara harus berdasarkan dan tunduk pada aturan hukum. Hukum diposisikan sebagai elemen terpenting dan utama dalam seluruh sendi kehidupan, karena hukum diciptakan adalah untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian. Hakekat hukum diciptakan menurut Subekti sebagaimana dikutip oleh Kansil adalah mengabdi pada tujuan Negara yang pada pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya 2. Hukum memuat nilai-nilai ideal yang mencerminkan nilai-nilai dan normanorma serta kaidah-kaidah luhur yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sedangkan menurut Jimly Asshidiqie norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran dan larangan 3. 1 Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan kedelapan, Jakarta, hlm. 41 3 Jimly Asshidiqie, 2006, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press, Cetakan pertama, Jakarta, hlm..1

2 Suatu Negara dikategorikan sebagai Negara yang berdasar hukum menurut M. Scheltema sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, maka Negara tersebut harus mempunyai empat asas utama yakni : asas kepastian hukum, asas persamaan, asas demokrasi dan asas pemerintahan dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat 4. Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia serta Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak, mutlak harus ada dan dimiliki oleh suatu Negara Hukum. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dapat diartikan bahwa dalam setiap proses penegakan hukum harus memberikan jaminan terhadap terlaksananya penegakan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, sedangkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak diartikan bahwa dalam setiap proses penegakan hukum, pemegang kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah Hakim harus menjalankan fungsinya secara bebas dan terhindar dari campur tangan kekuasan manapun. Mahfud MD menyatakan bahwa salah satu ciri dan prinsip pokok dari Negara demokrasi dan Negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak 5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam konsep Negara hukum menurut Bagir Manan pada hakekatnya adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality), apabila kebebasan tidak 4 Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. LPPM, Unisba Bandung, hlm.5 5 Moh. Mahfud MD, 2002, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.92

3 dimiliki kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat 6. Di dalam Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan mengenai sifat dan karakter kekuasaan Kehakiman dengan menyatakan : Kekuasaaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan 7. Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan pula mengenai sifat dan karakter Kekuasaan Kehakiman, yakni : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia 8 Sifat dan kareakteristik kemerdekaan Lembaga Peradilan dimana di dalamnya terdapat unsur Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman disebutkan kembali di dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6 Bagir Manan, 1998, Memberdayakan Kekuasaan Kehakiman, Makalah pada Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Fungsi dan Peranan Mahkamah Agung RI Dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka berdasarkan Pancasila, Bappenas-FH Unpad, Bandung, hlm.3 7 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 8 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

4 (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9 Mahkamah Agung Republik Indonesia menilai syarat utama untuk dapat terselenggaranya suatu proses peradilan yang obyektif adalah adanya kemandirian lembaga yang menyelenggarakan peradilan, yaitu kemandirian badan peradilan sebagai sebuah lembaga (kemandirian institusional) serta kemandirian hakim dalam menjalankan fungsinya (kemandirian individual fungsional) 10, dengan kata lain kemandirian menjadi kata kunci dalam usaha melaksanakan tugas pokok dan fungsi badan peradilan secara efektif. Dengan mendasarkan pada Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemandirian Institusional, diartikan bahwa badan peradilan adalah lembaga yang mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, sedangkan kemandirian Fungsional, diartikan bahwa setiap Hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dimana dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum, bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman baik langsung maupun tidak langsung, dari mana pun dan dengan alasan apa pun juga. Mengingat peranan hukum yang sangat penting dan utama dalam setiap lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta arti penting kemandirian 9 Pasal 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 10 Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia, hlm.15

5 Kekuasaan Kehakiman dalam menjalankan fungsinya, maka menurut Padmo Wahjono pelaksanaannya harus bertumpu pada tiga komponen pokok yakni norma hukum dan perundang-undangan, kesadaran hukum masyarakat dan aparat hukum yang tanggap tangguh, termasuk dalam komponen aparat penegak hukum adalah para Hakim yang diberi mandat untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman 11. Keberadaan dan pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman dalam Negara mutlak diperlukan, karena menurut Kansil kekuasaan kehakiman mempunyai wewenang untuk mengadili apabila ada warga negara atau rakyat yang melanggar undang-undang, berkewajiban untuk mempertahankan undangundang, berhak memberikan peradilan kepada rakyat, berkuasa memutuskan suatu perkara, menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran undang-undang yang diadakan dan dijalankan 12. Kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, baik lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, maupun Mahkamah Konstitusi. Lembaga atau badan Peradilan sebagai pelaksana wewenang kekuasaan kehakiman yang diberikan oleh Mahkamah Agung merupakan harapan atau benteng terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, karena pada lembaga Peradilanlah masyarakat berusaha mencari keadilan atas permasalahan hukum 11 Padmo Wahjono, 1995, Negara Republik Indonesia, cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.14 12 C.S.T. Kansil, 1978, Sisitem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 30-31

6 yang sedang dihadapi dan mengharapkan untuk mendapatkan penyelesaian melalui putusan yang adil yang dikeluarkan oleh Lembaga Peradilan. Lembaga Peradilan khususnya Peradilan Umum atau yang lebih banyak dikenal dengan Pengadilan Negeri, mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan menciptakan keadilan dalam lingkup permasalahan perkara pidana dan perkara perdata, dan di dalam penyelenggaraan peradilan melalui proses persidangan tidak dapat dilepaskan dari unsur Hakim yang diberikan kewenangan sebagai pemegang kekuasan kehakiman. Dalam penyelenggaraan peradilan, menurut Lilik Mulyadi sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, Hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin Undang-undang, dengan demikian diharapkan tidak ada campur tangan dari pihak manapun terhadap para Hakim ketika sedang menangani perkara. 13 Sebagai pelaksana wewenang kekuasaan kehakiman, Hakim mempunyai tugas pokok fungsi untuk mengadili perkara yang ditanganinya, yang dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memperoleh fakta-fakta di persidangan kemudian menganalisis fakta dengan cara mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir terhadap fakta-fakta yang ditemukan di persidangan tersebut. Mengkonstatir adalah suatu proses untuk menilai apakah peristiwa yang diajukan merupakan peristiwa hukum ataukah tidak, setelah dikonstatir dan ternyata memang merupakan suatu peristiwa hukum maka kemudian 13 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktek dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, hal.75

7 dikualifisir yang berarti menilai peristiwa yang terjadi tersebut termasuk dalam kategori peristiwa hukum apa atau peristiwa hukum yang mana, barulah kemudian tahapan terakhir tugas Hakim adalah mengkonstituir yakni menetapkan hukum nya untuk menciptakan keadilan. Di tangan Hakim lah diharapkan mampu tercipta suatu putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan memberikan kepastian hukum terhadap seluruh permasalahan hukum dari masyarakat pencari keadilan, sehingga akan tercipta suatu kepuasan dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Putusan Pengadilan sebagai produk akhir dari Majelis Hakim / Hakim yang dihasilkan dari proses persidangan, disamping harus mencerminkan keadilan dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pencari keadilan, harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang khususnya yang menyangkut tetang apa yang harus dimuat dalam suatu putusan terutama dalam perkara pidana, hal tersebut dimaksudkan agar putusan yang dihasilkan tidak menjadi batal demi hukum. Dalam perkara pidana, untuk syarat sahnya suatu putusan maka suatu putusan tersebut harus memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dan dicantumkan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam suatu putusan perkara pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 197 ayat (1) khususnya huruf k menyebutkan bahwa surat putusan

8 pemidanaan memuat: Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) tidak bisa pula dilepaskan dari ketentuan ayat (2) nya yang menyebutkan : tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum Dalam praktik dunia peradilan di Indonesia, khususnya dalam persidangan perkara pidana sering dijumpai, Majelis Hakim / Hakim yang mengadili suatu perkara pidana tidak mencantumkan amar perintah penahanan (status penahanan) di dalam amar putusannya terhadap Terdakwa yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana dan dijatuhi pidana, sebagai contoh kasus yang menarik perhatian yakni kasus Parlin Riduansyah Direktur Utama PT Satui Bara Tama (PT SBT) yang telah dihukum oleh Mahkamah Agung selama 3 tahun penjara atas dugaan tindak pidana kehutanan tanpa izin menteri atas ekspolitasi lahan tambang batu bara, kasus Bupati Aru, Maluku, Teddy Tengko yang telah dihukum 4 tahun dalam kasus korupsi APBD Kepulauan Aru senilai Rp 42,5 miliar dan dalam kasus Susno Duadji mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal POLRI yang telah dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan pengembalian kerugian negara Rp 4,2 miliar dalam kasus terkait dengan perkara korupsi terkit dengan PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Tidak adanya pencantuman status penahanan dalam amar putusan pemidanaan kadang menimbulkan

9 permasalahan hukum dan perdebatan pada saat putusan pemidanaan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan akan dilakukan upaya eksekusi atau pelaksanaan putusan Pengadilan oleh Jaksa. Permasalahan tersebut muncul berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi di dalam amar putusannya tidak mencantumkan amar perintah penahanan bagi Terpidana sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga dari permasalahan hukum tersebut menimbulkan celah hukum untuk diperdebatkan dan kadang pula dipergunakan oleh pihak Terpidana atau Kuasa Hukum Terpidana untuk menghindari eksekusi atas putusan pemidanaan tersebut dengan alasan Putusan tidak sah dan batal demi hukum. Perdebatan-perdebatan yang muncul berkaitan dengan putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van gewijsde), tetapi tidak mencantumkan amar perintah penahanan dalam amar putusannya, lebih banyak menyoroti permasalahan tentang bagaimana status penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa selama menjalani pemeriksaan persidangan seandainya tidak dicantumkan dalam amar putusan? Apakah putusan tersebut sah secara hukum? Apakah dengan tidak dicantumkannya status penahanan bagi Terdakwa yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana, dan dijatuhi pemidanaan kemudian putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, serta merta Terdakwa harus

10 menjalani pemidanaan yang telah dijatuhkan atau dengan kata lain langsung bisa dieksekusi Jaksa selaku pelaksana putusan Hakim? Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan seperti tersebut di atas dan melihat banyaknya perdebatan-perdebatan yang sering muncul berkaitan dengan status penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa selama dalam proses pemeriksaan persidangan berkaitan dengan putusan pemidanaan yang dijatuhkan, dan sah atau tidaknya putusan yang telah dijatuhkan, serta pelaksanaan putusan (eksekusi) atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan, maka Penulis tergerak untuk menyusun penelitian dengan judul PUTUSAN PEMIDANAAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP YANG TIDAK DISERTAI AMAR PERINTAH PENAHANAN, guna memberikan pemahaman secara hukum atas permasalahan-permasalahan dan perdebatanperdebatan yang terjadi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, dapat dirumuskan adanya permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan hukum atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang di dalam amar putusannya tidak mencantumkan perintah penahanan, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang memuat ancaman putusan batal demi hukum?

11 2. Bagaimanakah ketentuan pelaksanaan (eksekusi) terhadap putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang dan perumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan ini dimaksudkan : 1. Untuk mengetahui kekuatan hukum atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang di dalam amar putusannya tidak mencantumkan perintah penahanan, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang memuat ancaman putusan batal demi hukum. 2. Untuk mengetahui ketentuan pelaksanaan (eksekusi) terhadap putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis terkait Skripsi, Tesis, Disertasi maupun Karya Ilmiah lainnya di kepustakaan yang ada pada perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, perpustakaan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada serta perpustakaan lainnya dan mencari berbagai referensi, penulis memang menemukan beberapa penelitian hukum dengan tema tinjauan putusan pidana dan pembahasan yuridis putusan perkara

12 pidana, namun penelitian hukum tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian hukum yang dimaksud yakni penelitian yang berkaitan dengan susunan surat dakwaan Subsidiair untuk penerapan Pasal 2, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dan dasar pertimbangan Hakim tidak menerapkan cara pembuktian sesuai susunan surat dakwaan subsidiair 14, dan penelitian yang lain yakni yang meneliti tentang dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara pada anak sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk. yang menjatuhkan pidana penjara terhadap Muhammad Viro Raihantio yang baru berumur 17 tahun dengan status pelajar di Kota Yogyakarta dan manfaat pidana penjara bagi anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk 15. Berkaitan dengan karya ilmiah yang penulis temukan berupa tesis tersebut, maka terdapat perbedaan-perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang akan dilakukan, Penulis akan mengulas mengenai arti penting dan penerapan penahanan dalam proses peradilan, keabsahan hukum atau sah tidaknya putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan didalam amar 14 Agustinus Herimulyanto, 2012, PEMBAHASAN YURIDIS DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENIMBANG BENTUK SURAT DAKWAAN SUBSIDIAIR PASAL 2 DAN 3 UU NO.31 TAHUN 1999 JO UU NO.20 TAHUN 2001, Tesis, Program Studi Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada 15 Nurkumala Hijria, 2014, TINJAUAN PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK NAKAL (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.YK), Tesis, Program Studi Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada

13 putusannya, dan akibat dari putusan yang dijatuhkan, serta pelaksanaan (eksekusi) oleh Jaksa atas putusan tersebut. Dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam penelitian yang akan Penulis lakukan dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai penahanan, amar putusan pidana, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) dalam proses penegakan hukum. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik dari aspek akademis maupun dari aspek sisi praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Secara akademis Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana khususnya hukum acara pidana lebih khusus lagi terkait keabsahan hukum atas putusan Hakim tentang pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak disertai dengan amar perintah penahanan dalam amar putusannya serta pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh Jaksa atas putusan tersebut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan pemahaman yang mudah bagi para penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Advokat maupun Hakim, para pencari keadilan, para Mahasiswa serta masyarakat

14 pada umumnya, sehingga dapat mengikuti pola berpikir secara sistematis mengenai status penahanan Terdakwa sampai dengan dijatuhkannya putusan yang tidak memuat amar perintah penahanan serta keabsahan hukum atas putusan tersebut sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.