BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON. A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN MEMUTUSKAN : : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI MAHASISWA UNIVERSITAS.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

I. UMUM

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENDAHULUAN. (untuk selanjutnya disingkat UUD 1945 ) mengamanatkan bahwa negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

MAHKAMAH KONSTITUSI. Oleh: Letjen TNI (Purn) H. AchmadRoestandi, S.H. BANDUNG -JUNI

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 06/PMK/2005 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

Prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI PENEGAK HUKUM DAN PENGADILAN

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan Praktik

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Transkripsi:

21 BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG A. Badan Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan harus dapat bekerja dengan baik dalam tugasnya sehingga menghasilkan putusan yang obyektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan karena badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintahan. 1. Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara yang menurut Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 melakukan kekuasaan kehakiman bersama lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang (ayat 1); susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang (ayat 2) Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka fungsi kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara yang tertinggi yang membawahi badan peradilan lainnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dengan fungsi sebagai berikut : a. Fungsi (pokok) mengadili meliputi : 1. Fungsi peradilan kasasi;

22 2. Fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili dan sengketa perampasan kapal asing; 3. Fungsi Peninjauan Kembali (PK ); 4. Fungsi hak menguji material (materiel toetssingrecht). 33 b. Fungsi administratif meliputi : organisasi, administrasi, dan keuangan yang terdiri dari : 1) Fungsi pengawasan mencakup bidang : a. Masalah teknis peradilan; b. Terhadap perbuatan hukum dan perilaku para hakim serta pejabat kepaniteraan; c. Administrasi peradilan; 2) Fungsi pengaturan c. Fungsi yang bersifat ketatanegaraan 34 meliputi : 1) Fungsi penasihat (advieserende functie ); 2) Fungsi pengawasan partai politik; 3) Fungsi pengawasan pemilu (pemilihan umum); 4) Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah. Judicial Review diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu. Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik 33 Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Media Sarana,Jakarta 1987, hal. 7. 34 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 149.

23 ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim. 1. Hak Menguji Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji (Toetsingsrecht), 35 yaitu : a. hak menguji formal (formale Toetsingsrecht); dan b. hak menguji materil (materiele Toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya melalui cara-cara (procedure) sebagaimana ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. 36 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. 37 Hak menguji materil adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 2. Judicial Review Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut : 35 Ph. Kleitjes, sebagaimana dikutip Sri Soementri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 28 36 Ibid, hal. 28. 37 Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang Judicial Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, (tanpa tempat, tanpa tahun), hal 1.

24 1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus kongkret di pengadilan. 2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan). Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review, merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power). 38 Sebelum diaturnya hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pengaturan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, Undang-Undang Nomor 14 38 Jimly Asshiddiqie. Op.Cit., hal. 1.

25 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Secara yuridis terdapat permasalahan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan. Pasal 56 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan mengatur semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 39 Hal itu berarti bahwa peraturan atau putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam pasal 7 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang- Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan 39 Dalam Pasal 54 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan diatur ketentuan : Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.

26 Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah. 40 Hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan hak menguji terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang 41 Perbedaan tentang sifat dari kewenangan Mahkamah Agung dalam melaksanakan hak menguji yang dijelaskan berikut ini : a. Bersifat aktif Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan-undangan yang mengatur bahwa wewenang Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan secara bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. 42 40 Lihat Pasal 7. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan 41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara telah dicabut dengan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 samapai dengan Tahun 2002 sehingga yang berlaku adalah TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan- undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan sedangkan amanat TAP MPR Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang- undangan sehingga berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak ada mengatur tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar lembaga lembaga Tinggi Negara, Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999. 42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangan-undangan diatur bahwa Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.

27 b. Bersifat pasif (menunggu adanya perkara yang diajukan ke Pengadilan atau Mahkamah Agung). 1. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dan Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu lembaga peradilan, Mahkamah Agung harus menunggu kasus yang diajukan sehingga dalam hal ini bersifat pasif. 2. Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 43 3. Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Mahkamah Agung. 44 4. Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Menguji Material. 45 3. Perbedaan tentang Hukum acara pelaksanaan pengujian undang-undang adanya perbedaan tentang yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah sebagai berikut : a. Harus melalui proses kasasi 46 43 Dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. 44 Dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. 45 Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999, diatur ketentuan sebagai berikut Hak Uji Material adalah Hak Mahkamah Agung untuk menguji secara Materil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan.

28 Hal itu berarti terlebih dahulu melalui Pengadilan Tingkat pertama, Pengadilan Tingkat Banding, baru kemudian diperiksa oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga pengadilan, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara Tertinggi yang berwenang melakukan pengujian pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang mengatur bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang untuk melakukan hak menguji peraturan perundang-undangan. 47 b. Tidak perlu melalui proses kasasi Diajukan ke Mahkamah Agung, baik dengan cara langsung diajukan ke Mahkamah Agung atau diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. 48 Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 46 Ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam : 1. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman yang mengatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi 2. Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. 47 Lihat Pasal 24A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 11 ayat (4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara, Pasal 5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangundangan, Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999). 48 Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang tata cara pengajuan gugatan dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tata cara pengajuan permohonan keberatan.

29 4. Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung. 2. Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945 Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat. 49 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (checks and balances). Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Salah satu kelembagaan negara baru yang dibentuk untuk memperkuat pranata demokrasi dalam stuktur ketatanegaraan adalah Mahkamah Konstitusi. Kedudukan Mahkamah Konstitusi diletakkan dalam konsep kekuasaan kehakiman merdeka. Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 (1) menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan 49 http : //id.wikipedia.org/wiki/mahkamah Konstitusi, diakses tanggal 28 Maret 2009

30 keadilan. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, serta lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 Undang- Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Dari rumus tersebut dapat dipahami bahwa saat ini konsep kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai lembaga negara yang independen dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan wewenang. Mahkamah Konstitusi juga sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya karena telah terjadi pemaknaan ulang terhadap pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dan bergesernya sistem kekuasaan yang berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi sistem yang berlandaskan pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.

31 Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat. 50. Hal itu ditandai dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai pelaksana tunggal kedaulatan rakyat dan ditempatkan sebagai institusi tertinggi negara yang bisa membagi kekuasaan kepada lembaga-lembaga tinggi yang ada di bawahnya, akan tetapi, telah direstrukturisasi menjadi parlemen dua kamar (bikameral) yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan seluruh anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. 51 Bersamaan dengan itu, diletakkan pula sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya. 52 Dengan demikian, tergambar lebih jelas bahwa dalam konsep pemisahan kekuasaan, seluruh cabang-cabang kekuasaan yang dibentuk memiliki fungsi dan wewenang masing-masing yang terpisah secara tegas. Dengan konsep kekuasaan ini, dapat diletakkan keberadaan kelembagan negara dalam posisi dan kedudukan 50 http://id.wikipedia.org/wiki/pemisahan_kekuasaan 51 Studi khusus mengenai keharusan perubahan kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lihat dalam Bivitri Susanti, dkk, Semua Harus Terwakili; Studi Mengenai Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004, hal. 132-134. 52 Perubahan-perubahan tersebut merupakan hasil Amandemen Ketiga dan Keempat yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2001 dan 2002.

32 yang setara atau sederajat. Oleh karena itu, restrukturisasi lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menjadikan susunan dan sistem kelembagaan negara menjadi sama kedudukannya. Tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, yang ada adalah istilah lembaga negara. 53 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang keberadaan dan kewenangannya diatur Undang-Undang Dasar. Satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian (independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga merupakan salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya asas legalitas yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar 54. Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lainnya, badan atau lembaga pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol hukum terhadap kekuasaan negara lainnya. Di samping itu, untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian 53 Hal ini ditandai dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga Tinggi Negara telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2003 melaui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketatapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 sedangkan amanat TAP MPR Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan pembentuk undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan 54Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 298-301.

33 hak asasi manusia oleh penguasa. Sebab kekuasaan kehakiman secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah. Mengingat pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman ini, dan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, maka harus ditegaskan dan dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan menyatakan secara tegas dan jelas bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undangundang menggunakan istilah `merdeka` yang sesungguhnya tidak merdeka pengertiannya. Dalam hal itu, Mahkamah Konstitusi yang diletakkan secara konsepsi dan pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar merupakan bagian dan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi telah mendapatkan jaminan konstitusional sebagai lembaga negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri. Hal ini selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengukuhan agar jaminan kemandirian itu tidak hanya sebatas teks bunyi peraturan, maka harus dilengkapi dengan pengaturan tentang bagaimana pengangkatan dan pemberhentian hakim, masa jabatannya, pengaturan tentang organisasi dan administrasi yang harus diatur sedemikian rupa, lengkap, dan

34 terperinci sehingga Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan fungsi dan wewenang sebagaimana mestinya. Demikian pula mengenai akuntabilitas, baik secara personal maupun kelembagaan dapat dilakukan seiring dengan penegasan kemandirian itu sendiri. Pasal 12 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 telah mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik. Rumusan ini mengukuhkan karakter independensi. Sedangkan tuntutan akuntanbilitas dipenuhi Pasal 13 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang mewajibkan Mahkamah Konstitusi mengumumkan laporan berkala kepada publik secara terbuka tentang permohonan yang didaftar, diperiksa, dan diputus serta pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Berkenaan dengan anggaran, di berbagai negara, independensi anggaran peradilan merupakan aspek penting. Bahkan, seperti di Filipina, konstitusinya menyatakan pengadilan mempunyai otonomi keuangan. Ditegaskan pula bahwa legislator tidak boleh menyetujui anggaran bagi pengadilan yang lebih rendah dari pada anggaran sebelumnya. Bila independensi telah dijamin secara normatif dan imflementasi salah satunya dalam otonomi anggaran maka putusan hakim dimungkinkan untuk menjadi berkarakter adil, imparsial, dan akuntabel. 3. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum acara untuk perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda jika dibandingkan dengan peradilan biasa karena hal yang banyak dipertimbangkan dan diperiksa

35 adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga analisis terhadap data menjadi hal yang penting dan utama untuk disajikan. Hal ini secara detail diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut bahwa Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Khususnya setelah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bertanggal 19 Oktober 1999. Pemohon yang dianggap memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan hak/kewenangan konstitusionalnya oleh berlakunya Undang- Undang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; (c) badan hukum publik dan privat; atau (d) lembaga negara. Dalam mengajukan permohonan tersebut, pemohon wajib menguraikan dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan karena adanya pembentukan Undang-Undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam rangkap 12,

36 menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang dimintanya untuk diputus. Terhadap permohonan tersebut, Kepaniteraan dapat meminta permohonan untuk melengkapi permohonan yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon. Jika permohonan tersebut telah lengkap maka dapat dicatatkan pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) yang memuat secara lengkap catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Hal ini berarti sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi sidang pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan. Pemeriksaan pendahuluan. Pada mulanya, pemeriksaan pendahuluan juga menggunakan sidang pleno yang secara lengkap oleh sembilan hakim konstitusi. Namun, semenjak perkara yang masuk sudah semakin banyak dan beragam, Mahkamah Konstitusi kini melaksanakan sidang pendahuluan dengan menggunakan panel yang terdiri dari tiga hakim konstitusi. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim konstitusi memeriksa secara lebih rinci mengenai kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Kemudian, memberikan nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.

37 Pemeriksaan Persidangan. Sidang ini merupakan sidang yang memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat bukti yang diajukan. Alat bukti dapat meliputi beberapa jenis, yakni (a) surat atau tulisan; (b) keterangan saksi; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para pihak; (e) petunjuk; dan (f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Semua alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum mengenai cara memperolehnya. Karena itu, jenis alat bukti yang perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Penilaian terhadap sah atau tidak sahnya itu dilakukan dalam pemeriksaan persidangan. Disamping itu, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu perkara, Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan hakim dalam membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang pembacaan putusan. Putusan tersebut diambil berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 serta sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim dengan memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti. Putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.

38 Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus dan panitera pengganti. Untuk kemudian wajib menyampaikan salinannya kepada para pihak, juga memberikan pemberitahuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Berita Acara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) merupakan sumber utama dari hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini mengatur berbagai hal mengenai hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, seperti pemohon dan materi permohonan, tata cara mengajukan permohonan, registrasi perkara dan penjadwalan sidang, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, hingga putusan. Dalam ketentuan tersebut, yang dapat menjadi pemohon adalah : a. Perorangan Warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilu; b. Pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu; atau c. Partai politik peserta pemilu. Materi permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum secara nasional yang mempengaruhi : a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah b. Penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, serta terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden.

39 c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan. Permohonan tersebut secara administratif ditujukan kepada bagian Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap diri permohonan, ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam rangkap 12, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputus. Permohonan ini hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional. Namun, karena waktu yang sangat singkat itu, cara pengajuannya juga dimudahkan, yaitu dapat melalui faksimile atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus diterima Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu tiga hari terhitung sejak habisnya tenggang waktu. Terhadap permohonan tersebut, Kapaniteraan dapat meminta permohonan yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon. Jika permohonan tersebut telah lengkap, dapat dicatatkan pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi yang memuat secara lengkap catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu tiga hari (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pasangan calon presiden-wakil presiden) dan tujuh hari (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

40 Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Hal ini berarti sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi sidang pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan. Pemeriksaan pendahuluan. Pelaksanaan sidang pendahuluan dengan menggunakan panel yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga hakim konstitusi serta dinyatakan terbuka untuk umum. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim memeriksa secara lebih rinci kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Kemudian memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan paling lambat 1 x 24 jam (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pasangan calon presiden-wakil presiden). Jika dalam tenggang waktu perbaikan tersebut pemohon tidak dilengkapi dan/atau diperbaiki permohonannya, Mahkamah Konstitusi melalui rapat permusyawaratan hakim dapat mengusulkan agar permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima. Pemeriksaan persidangan. Sidang ini merupakan sidang merupakan sidang yang memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat bukti yang diajukan. Pemeriksaan persidangan tersebut meliputi (a) kewenangan Mahkamah Konstitusi, yakni penetapan hasil pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum secara nasional; (b) kedudukan hukum (legal standing) pemohon; (c) pokok permohonan; (d) keterangan Komisi Pemilihan Umum; dan (e) alat bukti.

41 Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu perkara, Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan hakim dalam membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang pembacaan putusan. Putusan mengenai permohonan atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden wajib diputuskan paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Sedangkan untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum anggota legislator diputuskan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Ada tiga jenis kemungkinan putusan, yakni : a. Permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan dan/atau permohonannya tidak memenuhi persyaratan; b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum serta menetapkan hasil penghitungannya yang benar; dan c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak terbukti beralasan. Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan dan panitera pengganti untuk kemudian disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden/pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon peserta pemilu bagi putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden dan disampaikan kepada presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum untuk Perkara Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

42 Pasca amandemen Undang-Undang Dasar telah terjadi pergeseran sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, dengan tidak ada lagi lembaga yang supreme yang sebelumnya diperankan Majelis Perwakilan Rakyat serta adanya penegasan pemisahan kekuasan dan prinsip checks and balances. Perubahan tersebut berimplikasi pada kewenangan untuk menjaga konstitusi dan menilai pelaksanaan konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supremacy of the law). Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pegawai konstitusi (the guardian of the constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijadikan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal; dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi atas Undang-Undang Dasar, yang direfleksikan melalui putusan-putusan sesuai dengan kewenangannya. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitutional obligation) Mahkamah Konstitusi serta penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional dapat diselesaikan secara demokrasi. B. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional, dan konstitusionalisme inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang, Peraturan

43 Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. 55 Solly Lubis berpendapat, konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis. 56 Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari : 1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum. 2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. 3. Peradilan yang bebas dan mandiri. 4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat. 57 Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan maskot bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi. 58 Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang-Undang, dan ground berarti tanah/dasar. 59 55 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 521. 56 M.Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978, hal. 45. 57 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 2. 58 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995, hal. 16. 59 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Op.Cit, hal. 8.

44 Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau groundwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar. 60 Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. 61 Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah 60Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987, hal. 1. 61 Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta 1993, hal. 29.

45 Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturanperaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. 62 Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti bersama dengan... sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. 63 Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. 64 Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshididiqie, guru besar hukum tata negara UI diperinci sebagai berikut 65 : 1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. 3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara. 4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. 5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara. 62 H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Op.Cit, hal. 8. 63 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, ProJustina, 0.2 V, 1987, hal. 28-29. 64 Taufiqurrohman Syahruni, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang-Undang Dasar di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 28. 65 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 33.

46 6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai center of ceremony. 7. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi. 8. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform). Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja constituer dalam bahasa Perancis, yang berarti membentuk, dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara. 66 Istilah konstitusi sebenarnya tidak dipergunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah Undang-Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, di samping dikenal istilah groundwet (Undang-Undang Dasar), dikenal pula istilah constitutie. 67 Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara. 68 66 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 10. 67 C.A.J.M Kortmann, Constitutionalrecht, Kluwer, Deventer, 1960, hal. 9. 68 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 27.

47 Hak menguji material adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu bentuk pengujian materi dari undang-undang yang diajukan permohonan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan karenanya merugikan hak konstitusional yang ia miliki sebagai warga negara. Hingga akhir Agustus 2004, tercatat ada 43 perkara yang diajukan ke Makamah Konstitusi untuk perkara jenis ini, dengan beragam undang-undang yang diajukan. Sebanyak 22 perkara di antaranya telah diselesaikan dan 21 perkara masih dalam proses. Ada dua jenis metode penyelesaiannya yang dilakukan untuk perkaraperkara ini, yakni dalam bentuk ketetapan dan keputusan. Ketetapan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya di luar dari substansi permohonan, misalnya, ketetapan tentang ketidakwenangan untuk memeriksa permohonan perkara atau tentang penerimaan permohonan pembatalan perkara. Keputusan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya tentang pengabulan atau penolakan permohonan suatu perkara. Ketetapan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi ada lima, yakni dua perkara dinyatakan tidak berwenang dan tiga perkara ditarik kembali. Sedangkan untuk putusan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan sebanyak 17, yakni 3

48 perkara dikabulkan, 1 perkara ditolak, dan 13 perkara tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Terhadap perkara yang masih dalam proses, Mahkamah Konstitusi sedang memproses 21 perkara yang berada pada tahapan pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Tahapan pemeriksaan pendahuluan merupakan tahapan sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara, yakni mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Tahapan pemeriksaan persidangan merupakan suatu persidangan yang memeriksa materi permohonan, termasuk alat bukti yang diajukan. Hingga saat ini, ada dua perkara yang masih dalam tahapan pemeriksaan persidangan. Sedangkan jenis lainnya adalah kewenangan mengenai perselisihan hasil pemilihan umum, baik untuk calon anggota legislator maupun eksekutif. Perselisihan hasil pemilu merupakan perkara yang diajukan pemohon karena ia mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan hasil perhitungan yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum dan memberikan hasil perhitungan yang benar menurut permohonan pada suatu tahapan pemilihan umum. Perselisihan hasil pemilu ini untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden putaran pertama dan kedua. Satu tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu 2004 terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari Pemilu Legislatif (5 April 2004), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama (5 Juli 2004) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua (20 September 2004). Ada dua tahapan Pemilu 2004 yang kemudian mengalami perselisihan dan telah diperiksa Mahkamah Konstitusi, yakni Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama. Pada Pemilu

49 Legislatif 2004, pemohon yang mengajukan permohonan adalah 23 partai politik (mengajukan perselisihan di 252 daerah) dan 21 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Secara keseluruhan, terdapat 44 perkara yang berkaitan dengan pemilu Legislatif 2004. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama juga menuai permohonan perselisihan hasil pemilu oleh satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dari lima pasangan yang terpilih, ada dua pasangan yang berhak melaju ke putaran kedua, sedangkan tiga pasangan lainnya tersisih. Satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tersisih mengajukan permohonan terhadap penetapan jumlah suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Karena itu, secara keseluruhan, terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama, Mahkamah Konstitusi memeriksa dan memutus satu perkara. Selain dua kewenangan yang dilaksanakan tersebut, Mahkamah Konstitusi masih memiliki dua kewenangan lainnya dan satu kewajiban. Dua kewenangan lainnya tersebut adalah memutuskan persengketaan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan memutus pembubaran partai politik. Adapun kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.