I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eksodonsi merupakan salah satu prosedur yang ada pada ilmu spesialis bedah mulut kedokteran gigi dimana tindakannya adalah mencabut gigi. Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit seluruh gigi atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik pascaoperasi di masa mendatang (Howe, 1999). Prosedur mencabut gigi menjadi pilihan terakhir jika suatu gigi sudah tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya, namun seiring dengan kebutuhan kesehatan dan estetika tindakan cabut gigi juga diperlukan meskipun gigi tersebut sehat, contohnya untuk mendukung keberhasilan perawatan ortodontik. Beberapa indikasi mengapa gigi harus dicabut diantaranya karena perawatan konservasi yang gagal, sebuah gigi yang rusak karena penyakit periodontal, karies, infeksi periapikal, erosi, abrasi, atrisi, luksasi, kelainan pulpa dan kebutuhan ortodontik (Howe, 1999). Mencabut gigi membutuhkan beberapa instrumen, diantaranya adalah forcep, bein, dan citoject yang terdiri dari syringe, catride, dan jarum suntik (Pedersen, 1996). Peralatan mencabut gigi terlihat aneh dan menyeramkan bagi orang awam, sehingga hampir semua alat dan prosedur kedokteran gigi berpotensi menimbulkan ansietas. Rasa takut akan peralatan dan prosedur cabut gigi merupakan suatu hal yang sering terjadi pada pasien dan jarum suntik menjadi 1
2 salah satu pemicu munculnya rasa takut atau cemas pada pasien (Hmud dan Walsh, 2007). Dalam dunia kesehatan, rasa takut yang dialami pasien saat prosedur perawatan gigi dinamakan dental anxiety. Dijelaskan oleh Hmud dan Walsh (2007) dental anxiety adalah fenomena multidimensional yang kompleks, dimana fenomena ini dipengaruhi oleh karakteristik seseorang, perasaan takut sakit, dan pengalaman yang menimbulkan trauma paska perawatan gigi. Pada teori yang lain disebutkan bahwa dental anxiety adalah reaksi terhadap ancaman yang tidak diketahui sumbernya (Anonim a, 2013). Secara umum ansietas diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu ringan, sedang, berat dan tingkat panik (Carpenito, 2001). Ansietas merupakan keadaan yang biasa terjadi, pasien dengan ansietas sering kali berimajinasi seakan akan tindakan yang akan dijalaninya menyakitkan padahal pasien belum pernah menjalani perawatan tersebut sebelumnya (Hmud dan Walsh, 2007). Ansietas merupakan fenomena multidimensional sehingga tidak hanya satu faktor yang mempengaruhi timbulnya ansietas, selain jarum suntik, dental anxiety juga dipengaruhi oleh faktor lain dan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor dental (Göran dan Sven, 2009). Weiner dan Sheehan (1990) mengatakan bahwa terdapat 2 tipe ansietas, yaitu exogenous dan endogenous. Terjadinya ansietas diawali dengan adanya stressor yaitu rasa takut yang dialami pasien, kemudian rasa takut itu direspon oleh medulla adrenal dan merangsang keluarnya beberapa hormon, diantaranya catecholamines,
3 epinephrine dan norepinephrine. Ketiga hormon tersebut mempengaruhi kinerja jantung sehingga frekwensi denyut jantung meningkat (Goldie, 2011), sehingga seseorang yang diserang rasa cemas tanda tandanya adalah meningkatnya denyut nadi, tekanan darah dan pernafasan (Suharjo, 2011). Pasien dengan ansietas tinggi akan memiliki tekanan darah yang tinggi pula, sehingga pasien tidak dapat dilakukan cabut gigi karena dapat mengalami perdarahan yang berlebihan. Maka dari itu ansietas harus diredam terlebih dahulu agar prosedur cabut gigi dapat dilakukan (Anonim c, 2013) Beberapa penelitian menjelaskan pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi beresiko memiliki kesehatan mulut yang buruk karena pasien akan sering membatalkan janji dengan dokter gigi (Hmud dan Walsh, 2007). Untuk menghindari hal tersebut operator harus pandai menangani kecemasan pasien. Manajemen terhadap ansietas harus dilakukan untuk menghindari faktor resiko. Ada berbagai macam cara untuk menangani ansietas diantaranya adalah menjadwalkan pasien pada pagi hari, menggunakan Atraumatic Restorative Technique (ART) pada prosedur reparasi yang mendekati pulpa, mengenalkan metode rileksasi, dan metode pengalih perhatian atau distraction (Hmud dan Walsh, 2007). Memutar musik atau lagu pada saat perawatan merupakan salah satu cara untuk mengurangi kecemasan pasien sebelum dilakukkan tindakan. Metode ini termasuk ke dalam metode distraction (Hmud dan Walsh, 2007). Pada umumnya metode ini dinamakan terapi musik, National Association for Therapy Music menjelaskan bahwa terapi musik adalah penggunaan musik dalam pemenuhan
4 tujuan terapeutik seperti restorasi, pemeliharaan, serta peningkatan kesehatan mental dan fisik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik adalah nada atau suara yg disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik yang direkomendasikan untuk terapi adalah musik instrumental (Nilsson, 2009). Musik instrumental adalah musik yang dihasilkan dari alat musik tanpa adanya vocal atau lirik di dalamnya (Banoe, 2003). Pasien yang sedang diterapi musik akan merasa rileks dengan menikmati musik yang diputar, maka perhatian pasien akan rasa sakit juga dapat terabaikan. Fungsi otak secara fisik berubah ketika merespon musik. Ritme dari musik menuntun tubuh untuk bernafas lebih stabil, lebih dalam sehingga memberi efek tenang. Tekanan darah dan nadi juga merespon sesuai dengan ritme musik yang didengarkan (Anonim b, 2013). Cepat lambatnya tekanan darah dan nadi dipengaruhi oleh volume dan kecepatan ritme dari musik yang didengar. Musik juga dapat meregangkan otot yang kaku. Ketika pasien mendengarkan musik, maka otak merespon dengan mengeluarkan lebih banyak hormon endorfin diikuti dengan menurunnya hormon stres. Endorfin berinteraksi dengan reseptor opiat di otak untuk mengurangi persepsi kita tentang rasa sakit dan berefek sama seperti obat-obatan kodein dan morfin (Anonim b, 2013). Pengalaman pertama merupakan suatu hal yang dapat memicu munculnya kecemasan, begitu juga pengalaman dalam mencabut gigi yang pertama kali. Penelitian dari Kandou mengenai pasien yang belum pernah cabut gigi
5 menunjukkan 72,73% pasien mengalami kecemasan sedang dan 27,27% mengalami kecemasan tinggi pada perawatan cabut gigi. Sedangkan pada pasien yang sudah pernah mencabutkan gigi, terdapat 13,89% pasien mengalami kecemasan sedang dan 86,11% pasien mengalami kecemasan ringan. Maka dari itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh Musik Instrumental Terhadap Kecemasan Pasien Selama Prosedur Cabut Gigi Permanen Pertama Kali.