BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

dokumen-dokumen yang mirip
B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

DIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI LABORATORIC DIAGNOSIS OF IRON DEFICIENCY ANEMIA

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

T E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Salah satu kondisi berbahaya yang dapat terjadi. pada ibu hamil adalah anemia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

Ruswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Proposal

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

UJI DIAGNOSTIK EKUIVALEN HEMOGLOBIN RETIKULOSIT DAN INDIKATOR RESPON TERAPI PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Anemia Defisiensi Besi 1.1.1 Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi (Bakta, 2006). 1.1.2 Epidemiologi Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan sekitar 24,8% dari penduduk di dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil, usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah dan wanita tidak hamil. Pada jumlah absolut anemia terjadi pada 1,62 miliar orang di seluruh dunia dengan komposisi 293 juta anak usia balita, 56 juta ibu hamil dan 468 juta wanita yang tidak hamil (WHO, 2005). Setengah dari kejadian anemia di seluruh dunia merupakan anemia defisiensi besi. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2004 ADB telah menyebabkan 273.000 kematian dimana 45% terjadi di Asia Tenggara, 31% di Afrika, 9% di Mediterania timur, 7% di Amerika, 4% di area Pasifik Barat dan 3% di Eropa dengan 97% dari kejadian ini ditemukan pada negara dengan tingkat pendapatan

rendah sampai menengah. Akibat ADB terjadi penurunan produktivitas kerja yang berakibat menurunnya pendapatan negara dengan rerata pada 10 negara berkembang sebesar $16,78 per kapita atau 4% dari pendapatan negara secara kasar (Pasricha, et al. 2013). Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 59%, anak-anak 70,1%, wanita usia subur (WUS) 59,9% dan laki-laki dewasa sebesar 33,4%. Untuk prevalensi ADB di Indonesia belum ada data yang pasti. Martoatmojo et al. memperkirakan ADB pada laki-laki 16 50% dan 25 84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi (Martoatmojo, et al. 1973). Survei pada suatu desa di bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27% (Bakta, 2015). Sebuah studi yang dilakukan oleh Suega et al. tahun 2002 yang khususnya meneliti prevalensi ADB pada wanita hamil di Bali menemukan sebesar 46,2% ibu hamil menderita ADB ringan. 1.1.3 Metabolisme Besi Besi merupakan trace element dan mikronutrien esensial yang penting dan dibutuhkan oleh hampir semua organisme baik mikroba, tanaman, hewan maupun manusia. Fungsi besi didalam tubuh adalah sebagai katalisator untuk oksigenasi, hidroksilasi dan proses metabolisme penting lainnya. Selain itu besi juga penting sebagai kofaktor enzim-enzim pada respirasi mitokondrial. Proliferasi dan aktifasi dari sel T, sel B dan sel NK juga memerlukan besi. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgbb sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/kgbb (Suega, 2006 ; Gisbert, 2009).

Tubuh mendapatkan masukan besi berasal dari makanan dalam usus. Proses absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Membran apikal enterosit di duodenum berperan untuk transport besi dari lumen intestinal ke dalam sel enterosit dimana molekul transporter yang terpenting adalah Divalent Metal Transporter 1 (DMT1) (Sharp, 2007 ; Andrews, 2009 ; Kaushansky, et al. 2010). Setelah diabsoprsi di duodenum, besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk transferin menuju sistem portal dari hepar yang merupakan tempat penyimpan besi yang utama. Sel hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 (TfR1) yang klasik namun sebagian besar melalui TfR2 yang tersedia dalam jumlah lebih besar (Flemmig dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009). Tempat utama penggunaan besi adalah sumsum tulang dimana besi diikat oleh TfR pada sel prekursor eritrosit dan digunakan untuk sintesis heme. Besi pada heme selanjutnya akan didaur ulang melalui proses tertangkapnya eritrosit yang sudah tua pada makrofag sistem retikuloendotelial. Besi dalam makrofag dapat tersimpan di makrofag sebagai feritin atau dilepaskan ke plasma yang kemudian akan terikat transferin dan beredar di plasma untuk digunakan kembali. Hati dan sistem retikuloendotelial merupakan tempat utama penggunaan cadangan besi (Fleming dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009). Setiap hari 1-2 mg besi hilang dari tubuh karena perdarahan, menstruasi atau eksfoliasi dari epitel yang mengandung besi di kripta usus, traktus urinarius, rambut dan kulit dan dalam jumlahnya yang samapun setiap harinya diserap. Karena tubuh tidak mempunyai mekanisme spesifik dalam mengekskresi besi

maka keseimbangan besi dalam tubuh dijaga oleh regulator proses absorpsi besi di duodenum (Sharp, 2007 ; Gisbert, 2009). Seluruh proses ini terjadi melalui sirkulasi yang tertutup dimana jumlah yang diserap dan jumlah yang diekskresi bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel (Bakta, 2006 ; Andrews, 2009). Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.1 Siklus Pertukaran Besi dalam Tubuh (Bakta, 2015) 1.1.4 Patogenesis Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar serum feritin, peningkatan absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif (Bakta, 2015). Apabila kekurangan besi berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan

gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi dimana keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum (Bakta, 2015). Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah besi menurun terus dan eritropoesis akan semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun sehingga timbullah anemia hipokromik mikrositer yang disebut sebagai anemia defisiensi besi. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan kelainan pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Perjalanan patogenesis defisiensi besi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 2.2 Stadium Patogenesis Defisiensi Besi (Kaushansky et al., 2010) 1.1.5 Klasifikasi derajat defisiensi besi Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan : (Bakta, 2015)

1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu 2. Eritropoesis defisiensi besi ( iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi kosong penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik 3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai penurunan kadar hemoglobin. 1.1.6 Komplikasi defisiensi besi Defisiensi besi selain menyebabkan anemia juga menyebabkan hal negatif seperti berikut : (Bakta, 2015) 1. Pada sistem neuromuskular menyebabkan gangguan kapasitas kerja 2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan 3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi. 4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Seluruh gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan dan bahkan sebelum anemia bermanifestasi. 1.1.7 Diagnosis anemia defisiensi besi Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan anamnesa yaitu adanya gejala umum anemia dan gejala khas defisiensi besi serta adanya penyakit dasar diikuti dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Modifikasi dari Kriteria Kerlin dipakai sebagai kriteria diagnosis ADB yaitu anemia dengan gambaran hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi atau Mean Corpuscular Volume (MCV) < 80

fl dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) < 31% dan salah satu dari 1, 2, 3, atau 4, yaitu : 1. Dua dari tiga parameter di bawah ini : a. Besi Serum <50 mg/dl b. TIBC >350 mg/dl c. Saturasi Transferin : <15% 2. Serum Feritin <20 g/l 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl s Stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif. 4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl. Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang dengan pengecatan tinta biru prusia untuk mencari butir-butir hemosiderin (Ann, 2002 ; Brugnara, 2002 ; Mast, 2008). 1.1.8 Penatalaksanaan dan penilaian respons terapi ADB Fokus penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengatasi penyebab dan pemberian suplementasi besi agar dapat memenuhi kebutuhan besi tubuh sekaligus mengisi cadangan besi yang kosong. Pemberian preparat besi dapat dilakukan secara oral maupun parenteral. Pada umumnya preparat oral yang lebih sering diberikan sampai dengan kadar hemoglobin normal kemudian dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Besi parenteral dapat diberikan dengan indikasi adanya intoleransi dengan pemberian obat, kepatuhan berobat rendah, adanya kondisi kolitis ulseratif, gangguan absorpsi besi di saluran cerna, kondisi anemia defisiensi besi yang berat, pasien dengan hemodialisis, dan

kondisi defisiensi besi fungsional karena penggunaan eritropoetin yang berulang (Bakta, 2015). Terapi lain dengan memberikan diet tinggi protein, pemberian vitamin C untuk meningkatkan absorpsi besi dan mengatasi penyakit dasar. Transfusi darah hanya diberikan pada kondisi adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simptomatik misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok, penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. (Bakta, 2015). Berdasarkan modifikasi kriteria Kerlin diagnosis ADB dapat ditegakkan pula dengan adanya kenaikan kadar hemoglobin sebesar 1-2 g/dl setelah mendapatkan terapi besi dan hal ini dapat menjadi indikator keberhasilan terapi pada ADB (Bakta, 2015). Respons terhadap terapi sebenarnya dapat dinilai sejak minggu pertama ditandai dengan peningkatan retikulosit namun kadar retikulosit akan menurun sehingga tidak dapat dijadikan sebagai prediktor awal (Santen, et.al, 2014 ; Parodi, et.al 2015). Parameter yang lain seperti hematokrit, MCV dan MCH juga mengalami peningkatan setelah mendapatkan terapi tetapi lebih lambat sehingga tidak dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan terapi (Afzal, et.al 2009). 1.1.9 Problem diagnostik dan penilaian respons terapi ADB Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang untuk menemukan hemosiderin tetapi prosedur ini invasif, terdapat variabilitas antar

pemeriksa dan biaya pemeriksaan yang tinggi sehingga pemeriksaan ini mulai digantikan oleh tes hematologi dan tes biokimia yang sesuai dengan metabolisme besi (Brugnara, 2002 ; Mast, 2008). Pemeriksaan hematologi yang dipakai adalah hemoglobin, indeks eritrosit, retikulosit. Pemeriksaan ini lebih umum ditemukan, terjangkau, dan dengan biaya yang lebih murah. Anemia ditandai dengan kadar hemoglobin <10 gr/dl. Gambaran eritrosit yang hipokromik merupakan indikator langsung adanya kondisi iron deficient erythropoiesis. Jumlah retikulosit pada kondisi defisiensi besi akan menurun tetapi bila kondisi defisiensi yang berat disertai dengan perdarahan kronis maka jumlah retikulosit akan sedikit meningkat. Diagnosis ADB dengan hanya menggunakan pemeriksaan hematologi belum dapat ditegakkan karena anemia pada penyakit kronis juga akan memberikan gambaran eritrosit yang hipokromik (Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002). Metabolisme besi dapat dinilai dengan menggunakan pemeriksaan biokimia. Walaupun dari segi biaya pemeriksaan ini lebih mahal daripada tes hematologi tetapi dengan kombinasi kedua pemeriksaan ini maka diagnosis ADB dapat ditegakkan. Pemeriksaan biokimia yang sering dipakai adalah feritin, besi serum, saturasi transferin, dan serum soluble transferrin receptor (stfr) (Wu, et al. 2002). Feritin mengukur ketersediaan cadangan besi. Kadar feritin berkorelasi langsung dengan total cadangan besi di tubuh. Bila cadangan besi berkurang maka kadar feritin akan menurun sehingga feritin merupakan penanda yang paling awal dari kondisi defisiensi besi. Menurut WHO, nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB digunakan angka 15 μg/l tetapi untuk daerah tropik dimana

angka infeksi dan inflamasi masih tinggi maka nilai cut off yang diajukan di negeri barat tampaknya perlu dikoreksi. Hercberg tahun 1991 menganjurkan untuk daerah tropik digunakan batas nilai serum feritin sebesar <20μg/L. Kadar feritin <20μg/l dikombinasi dengan anemia hipokromik mikrositer secara klinis paling sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis ADB (Bakta, 2015 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002 ; Hercberg, 1991). Suega tahun 2007 mencoba mencari nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB di RSUP Sanglah Denpasar dengan hasil yaitu feritin memiliki sensitivitas 90,7% dan spesivisitas 90,6% dengan nilai cut off 35,4 g/l. Feritin merupakan suatu protein fase akut dimana kadarnya akan ikut berubah pada kondisi penyakit kronis seperti kanker, infeksi atau inflamasi kronis, penyakit hati, konsumsi alkohol, hipertiroid dan penggunaan kontrasepsi oral serta dipengaruhi pula oleh jenis kelamin sehingga penggunaannya menjadi terbatas. Studi oleh Thomas dan Thomas tahun 2002 yang mencoba membandingkan sensitivitas dan spesifisitas feritin dalam mendiagnosis ADB pada kondisi tanpa inflamasi dan dengan inflamasi menemukan bahwa terdapat penurunan persentase sensitivitas dan spesivisitas serta malahan terjadi peningkatan nilai cut off feritin pada kondisi inflamasi (Mast, et al. 2002 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Brugnara, 2003 ; Karlsson 2011 ; Swart, et al. 2014). Beberapa keterbatasan tes biokimia lain bila digunakan dalam mendiagnosis ADB adalah : (Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002; Brugnara, 2003 ; Ullrich, et al. 2005 ; Wish, 2006)

1. Total Iron Binding Capacity (TIBC) yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin dimana akan meningkat bila kadar besi serum dan cadangan besi menurun. TIBC ternyata juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker yang akan menyebabkan penurunan kadar. 2. Besi serum dapat diukur secara langsung dan kadarnya menurun bila cadangan besi berkurang. Namun pemeriksaan ini tidak dapat mencerminkan secara langsung cadangan besi karena dapat dipengaruhi oleh variasi diurnal dimana konsentrasinya lebih tinggi pada siang hari, jenis diet dan suplementasi besi, kondisi inflamasi serta infeksi juga ikut mempengaruhi perubahan kadar besi serum. 3. Saturasi Transferin (TSAT) merefleksikan jumlah besi yang terikat oleh protein transport dan proses transport besi tersebut. Nilai TSAT didapatkan berdasarkan pembagian besi serum dengan TIBC dan dengan demikian juga dipengaruhi oleh inflamasi dan variasi diurnal tetapi berkebalikan dengan feritin, kadar saturasi transferin akan menurun pada kondisi inflamasi. 4. Serum Soluble Transferin Receptor yang mengukur jumlah reseptor transferrin pada retikulosit diketahui merupakan indikator defisiensi besi yang terbaik. Penggunaan rasio stfr terhadap Feritin (R/F ratio) juga memberikan gambaran yang cukup baik dalam mengestimasi cadangan besi. Namun tes ini juga dipengaruhi oleh proses inflamasi dan belum terdapat banyak studi mengenai efisiensi tes ini dalam mendiagnosis defisiensi besi, belum terdapat nilai cut off yang resmi serta tidak banyak tersedia.

Alternatif lain untuk menegakkan diagnosis ADB adalah berdasarkan respons hematologi setelah pemberian terapi suplementasi besi. Peningkatan Hb sebesar 1-2 gr/dl baru terjadi setelah terapi diberikan selama 4 minggu. Retikulosit juga dapat digunakan untuk menilai respons terapi karena peningkatan jumlah telah terjadi sejak minggu pertama tetapi kemudian jumlahnya akan menetap bahkan sedikit menurun sehingga tidak dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan terapi ADB (Pritchard, 1961 ; Buttarello, 2004 ; Santen, et.al 2014 ; Parodi, et.al 2015). Indikator lain seperti MCV, MCH juga meningkat tetapi peningkatan tiap minggu tergolong kecil dan baru terlihat signifikan pada minggu ke 4 terapi (Afzal, et.al 2009). Dengan ditemukan hal-hal tersebut diatas, diagnosis ADB walaupun mudah dapat menyulitkan. Tidak terdapat 1 jenis tes yang paling superior bila dibandingkan dengan tes-tes yang lain untuk mendiagnosis ADB. Bila digunakan pada kondisi inflamasi dan penyakit kronis maka hasil yang didapatkan kurang maksimal sehingga diperlukan sebuah modalitas diagnosis yang lebih praktis, ekonomis dan tidak terpengaruh oleh kondisi inflamasi. Diperlukan juga pemeriksaan yang dapat mendeteksi respon terapi lebih cepat sehingga keberhasilan pengobatan ADB dapat diketahui lebih awal. 1.2 Pemeriksaan Ekuivalen Hemoglobin Retikulosit (Ret-He) dalam Diagnosis ADB 1.2.1 Pendahuluan Keseimbangan besi terutama diregulasi oleh kecepatan eritropoesis dan cadangan besi. Defisiensi besi adalah salah satu contoh kondisi kekurangan gizi

yang dapat menyebabkan anemia. Diagnosis ADB mudah tetapi akibat beberapa kondisi seperti inflamasi, penyakit kronis, dll sehingga diagnosis menjadi menyulitkan. Deteksi dini defisiensi besi sebelum terjadi anemia penting dilakukan untuk mencegah komplikasi namun dikarenakan tidak adanya 1 jenis tes yang superior dan tidak terpengaruh oleh kondisi penyakit penyerta, proses deteksi dini menjadi kurang akurat. Diperlukan modalitas diagnosis yang praktis, ekonomis, dan tidak terpengaruh oleh inflamasi dalam diagnosis dan deteksi dini defisiensi besi. 1.2.2 Sistem eritroid, eritropoesis dan retikulosit Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (red cell) atau eritrosit dan prelursor eritroid. Unit fungsional dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron yang mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen. Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoetik melalui jalur sel induk myeloid kemudian menjadi sel induk eritroid yaitu Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan selanjutnya menjadi Colony Forming Unit Erythroid (CFU-E) (Bakta, 2006). Perkembangan selanjutnya adalah sel pronormoblast kemudian menjadi normoblast lalu berkembang menjadi retikulosit yang akan dilepas ke darah tepi dan menjadi eritrosit dewasa. Retikulosit adalah sel darah merah imatur, tidak berinti yang berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang dengan masa hidup selama 1-2 hari di sirkulasi darah tepi sebelum mengalami maturasi menjadi sel darah merah. Peningkatan pelepasan retikulosit ke sirkulasi darah tepi disebabkan oleh kondisi anemia, kehilangan darah, hemolisis dan lain-lain. Pada pasien tanpa anemia, hitung retikulositnya berkisar antara 1-2% dimana jumlah ini

penting karena dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan aktivitas eritropoesis. Dalam kondisi defisiensi besi jumlah retikulosit akan menurun dan dengan pemberian terapi subtitusi besi jumlahnya akan meningkat (Wu, et al. 2002 ; Bakta, 2006 ; Suega, 2010). Bahan pembentuk eritrosit seperti besi, vitamin B12, asam folat juga diperlukan dalam proses ini. Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi rata-rata selama 120 hari dan setelah itu akan mengalami penuaan kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem retikuloendotelial (RES). Kadar besi dianggap konstan pada setiap fase sel saat eritropoesis (Buttarello, 2004 ; Bakta, 2006). 1.2.3 Automated hematology analyser 80 tahun yang lalu seorang ahli hematologi yang bernama Dr Maxwell Myer Wintrobe menemukan suatu klasifikasi anemia berdasarkan indeks Wintrobe yaitu penghitungan manual MCV, MCH dan MCHC berdasarkan nilai hemoglobin dan eritrosit (Brugnara dan Mohandas, 2013 ; Urrechaga, 2014). Tahun 1940 konsep dari Wintrobe tersebut berusaha diaplikasi dengan ditemukannya alat penghitung otomatis dari sel-sel darah oleh Wallace H Coulter dan sampai dengan tahun 1980 alat pemeriksaan hematologi mampu memberikan 7 nilai parameter pemeriksaan darah lengkap dan 3 parameter hitung jenis sel (Urrechaga, 2014). Pada tahun 1990 ditemukan parameter pemeriksaan yang mampu mengetahui distribusi dari MCV yaitu Red Cell Distribution Width (RDW). RDW memberikan informasi mengenai variasi ukuran dari masing-masing sel darah merah. Dalam 10-15 tahun terakhir teknologi semakin canggih dengan ditemukannya pengukuran otomatis dari jumlah retikulosit dan parameter selular dari retikulosit termasuk kandungan hemoglobin serta indeks maturitasnya (Brugnara dan Mohandas, 2013 ; Urrechaga, 2014).

Sebuah teknologi analisis retikulosit yang terbaru dapat mengukur kandungan hemoglobin dalam retikulosit atau ekuivalennya sehingga dapat memberikan penilaian langsung tentang ketersediaan cadangan besi adekuat untuk proses eritropoesis (Mast, et al. 2002; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al. 2006; Mast, et al. 2007; Urrechaga, et al. 2009). Karena masa hidup retikulosit yang singkat maka pemeriksaan ini merupakan indikator yang sensitif terhadap kondisi iron deficient erythropoiesis bahkan pada stadium awal karena pemeriksaan ini mencerminkan ketersediaan besi untuk proses eritropoesis dalam jangka waktu 2-4 hari kedepan sehingga pemeriksaan ini dapat dipakai untuk mendiagnosis defisiensi besi (Mast, et al. 2002 ; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al. 2006; Mast, et al. 2007 ; Urrechaga, et al. 2009). Bayer Diagnostic memproduksi Advia dan memperkenalkan pemeriksaan kadar hemoglobin retikulosit atau CHr yang merupakan produk konsentrasi hemoglobin dan volume sel dari retikulosit sedangkan Sysmex Corporation memproduksi Sysmex seri XE dan XN mengeluarkan pemeriksaan ekuivalen retikulosit hemoglobin atau Ret-He dengan menggunakan teknologi yang sama tetapi pada Ret-He langsung mengukur inkorporasi besi di dalam hemoglobin eritrosit sehingga dapat menghasilkan estimasi langsung dari ketersediaan besi dalam erythron. Terdapat hasil yang senada antara CHr dan Ret-He menurut studi yang dilakukan oleh Thomas, et al. tahun 2005, David, et al. tahun 2006 dan Brugnara, et al. tahun 2006 (Mast, et al. 2002 ; Brugnara, 2003 ; Brugnara, et al. 2006 ; Mast, et al. 2007 ; Urrechaga, et al. 2009). 1.3 Aplikasi Klinis Ret-He dalam Diagnosis ADB Ret-He telah terbukti sebagai indikator yang sensitif pada stadium awal dari iron deficient erythropoiesis. Dengan tambahan pemeriksaan seperti HYPO% (ADVIA ) maka diagnosis defisiensi besi fungsional dapat ditegakkan.

Penggunaan Indeks stfr / Feritin dianggap paling sensitif dalam mendeteksi defisiensi besi fungsional. Dengan ditemukannya pemeriksaan kadar hemoglobin retikulosit maka dengan kombinasi nilai pemeriksaan tersebut dan indeks stfr/feritin maka dapat dibuat klasifikasi sebagai berikut : (Brugnara, 2003 ; Mast, et al. 2007) a. Eritropoesis normal dengan cadangan besi normal b. Eritropoesis normal dengan cadangan besi yang menurun c. Gangguan eritropoesis dengan candangan besi yang cukup d. Gangguan eritropoesis dengan cadangan besi yang normal Aplikasi klinis pemeriksaan Ret-He terutama untuk menentukan kebutuhan pemberian suplementasi besi pada pasien dengan defisiensi besi fungsional. Misalnya pada pasien hemodialisis regular atau pasien kanker dengan anemia yang menggunakan eritropoetin karena eritropoetin akan menyebabkan kondisi iron deficient erythropoiesis. Kondisi defisiensi besi fungsional terjadi pada anemia penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah peningkatan hepcidin yang akan mengganggu homeostasis besi. Hal ini dapat menurunkan respon eritropoetin pada proses eritropoesis dan akan menghasilkan eritrosit yang hipokromik. (Brugnara, 2003 ; Mast, et al. 2007). Ret-He juga digunakan pada skrining kondisi defisiensi besi pada bayi dan anakanak dan telah terbukti sebagai prediktor yang paling kuat terhadap kondisi defisiensi besi dengan atau tanpa anemia (Ullrich, et al. 2005). CHr dan Ret-He juga dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan terapi besi. Berdasarkan kriteria Kerlin, keberhasilan terapi besi pada ADB ditandai dengan peningkatan kadar Hb sebanyak 2 gr/dl setelah diberikan terapi selama 4

minggu. Studi yang dilakukan oleh Brugnara menemukan bahwa terdapat kenaikan kadar CHr dengan rata-rata 3,2 pg setelah diberikan terapi besi oral dan kenaikan tersebut telah terjadi dalam waktu 1-2 minggu. Pada pemberian terapi besi intravena, CHr merupakan indikator awal terhadap respons terapi dimana kadar CHr mulai meningkat dalam 2-4 hari sejak pemberian terapi (Brugnara, et al. 1994 ; Mast et al., 2002). 1.4 Keterbatasan Ret-He dalam Diagnosis ADB CHr dan Ret-He telah banyak digunakan dalam mendeteksi kondisi defisiensi besi, namun belum terdapat standar internasional dari nilai cut off-nya. Walaupun terdapat nilai rentang normal CHr dan Ret-He yang telah ditentukan oleh produsen namun banyak studi yang menemukan nilai cut-off yang bervariasi (Urrechaga, 2014 ; Swart, 2014). Studi oleh Brugnara menemukan nilai CHr < 27,2 pg merupakan prediktor defisiensi besi yang signifikan pada bayi, sedangkan pada anak dipakai nilai <28,4 pg. Sedangkan Ullrich tahun 2005 melakukan skrining defisiensi besi pada bayi yang sehat menemukan nilai CHr sebesar 27,5 pg sebagai nilai cut-off. Urrechaga tahun 2009 mencoba mencari nilai cut off Ret-He menegakkan diagnosis ADB pada penderita dewasa dan ditemukan nilai < 29 pg. Sedangkan studi oleh Karlsson tahun 2011 pada orang tua dengan kondisi anemia menemukan nilai CHr 30,5 pg sebagai cut off (Brugnara, 2003 ; Karlsson, 2011). Keterbatasan yang lain adalah CHr tidak dapat digunakan digunakan pada pasien dengan thalassemia dan kelainan hemoglobin lainnya karena angka CHr tergantung dari MCV dimana pada kondisi tersebut telah terjadi anemia mikrositer

karena gangguan dari struktur pembentuk hemoglobin. Demikian pula halnya pada kondisi anemia megaloblastik (Mast, et al. 2002 ; Mast, et al. 2008). Pada pasien dengan riwayat pemberian transfusi, terapi besi, defisiensi B12 dan folat serta adanya kelainan dari analisis hemoglobin maka hasil pemeriksaan CHr dan Ret-He kurang memberikan hasil yang maksimal (Mast, et al. 2008).