Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun


I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan

KEBIJAKAN PROGRAM DAN KEGIATAN DITJEN TANAMAN PANGAN TAHUN 2017

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

KEBIJAKAN PENGANGGARAN SEKTOR PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung

LAPORAN KINERJA (LKJ)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

LAPORAN KINERJA DITJEN TANAMAN PANGAN 2015

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

KATA PENGANTAR. Rencana Kinerja Tahunan Ditjen Tanaman Pangan Tahun 2014

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN

PENGANTAR. Muhrizal Sarwani

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

KATA PENGANTAR. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan i

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

RANCANGAN KEGIATAN STRATEGIS TANAMAN PANGAN TAHUN 2018

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

DAFTAR ISI BAB I KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI 2 BAB II SUSUNAN ORGANISASI 2 BAB III WAKIL MENTERI PERTANIAN 3 BAB IV SEKRETARIAT JENDERAL 4

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2015 KETERANGAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)


PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA RAMALAN II TAHUN 2013)

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

RECANA KERJA SATUAN KERJA PERANGAKAT DAERAH DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA TAHUN

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016

Transkripsi:

i P a g e

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN NOMOR 31. a/hk.310/c/4/2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TAHUN 2015-2019 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Menimbang : a. bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga ditetapkan dengan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, perlu menetapkan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004tentang Sistem Perencanaan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); i P a g e

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025; 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 441); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4405); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4406); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 10. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 11. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 80); 12. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabinet Kerja; 13. Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja; 14. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019; 15. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); ii P a g e

16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/ 10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; 17. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Penelaahan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) 2015-2019; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN TENTANG RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TAHUN 2015-2019. Pasal 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang selanjutnya disebut Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Pasal 2 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebagai dasar dalam: a. menyusun Renstra Unit Kerja Eselon II; b. menyusun rencana/program pembangunan daerah/provinsi dan daerah kabupaten/kota di bidang pertanian sub sektor tanaman pangan; c. koordinasi perencanaan kegiatan antar sub sektor dan/atau antar instansi pertanian di Pusat dan Daerah; dan d. pengendalian program dan kegiatan pembangunan lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Pasal 3 Pejabat Unit Eselon II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a menjabarkan dan menyusun lebih lanjut mengenai: a. Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan kedalam Renstra Unit Kerja Eselon II; b. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) berdasarkan Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. iii P a g e

Pasal 4 Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2015 DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN HASIL SEMBIRING Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.: 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas; 3. Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 4. Menteri Pertanian; 5. Para Kepala Dinas Pertanian Yang Membidangi Tanaman Pangan Seluruh Indonesia; 6. Pimpinan Unit Kerja Eselon I di Lingkungan Kementerian Pertanian; 7. Pimpinan Unit Kerja Eselon II di Lingkungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. iv P a g e

LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN NOMOR 31. a/hk.310/c/4/2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TAHUN 2015-2019 DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN v P a g e

KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA 2015 PENGANTAR Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada RPJMN Tahun 2015-2019. Mengacu Renstra Kementerian Pertanian yang telah menetapkan visi, misi dan tujuan strategis Kementerian Pertanian, maka sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2010 tanggal 14 April 2010, tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan fungsi Eselon I Kementerian Negara, dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1185/Permentan/OT.140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menyusun Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang merupakan penjabaran dari visi dan misi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam rangka pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan. Dokumen Renstra ini menjadi panduan dan acuan bagi Eselon II lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan seluruh pihak-pihak di lingkungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan maupun stakeholder pembangunan pertanian tanaman pangan dalam mewujudkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2015-2019 di bidang tanaman pangan. Jakarta, April 2015 Direktur Jenderal Tanaman Pangan Dr. Ir. Hasil Sembiring, MSc NIP. 196002101988031001 vi P a g e

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iii vii I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Kondisi Umum 3 1.3. Potensi dan Permasalahan 15 II. III. VISI, MISI, DAN TUJUAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN 30 PANGAN 2.1. Visi 30 2.2. Misi 32 2.3. Tujuan 32 2.4. Sasaran Strategis 33 ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI KERANGKA REGULASI, DAN 35 KERANGKA KELEMBAGAAN 3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Pertanian 35 3.2. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 38 3.3. Langkah dan Strategi Operasional Direktorat Jenderal Tanaman 50 Pangan 3.4. Kerangka Regulasi 58 3.5. Kerangka Kelembagaan 59 IV. TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN 61 4.1. Target Kinerja 61 4.2. Kerangka Pendanaan 74 V. DUKUNGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM PEMBANGUNAN 79 SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN 5.1. Dukungan Instansi Terkait Lingkup Kementerian Pertanian 79 5.2. Dukungan Instansi di Luar Kementerian Pertanian 81 VI. PENUTUP 88 LAMPIRAN vii P a g e

DAFTAR TABEL Tabel 1 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian 4 Tahun 2010-2014 Tabel 2 Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2010 2014 9 Tabel 3 Neraca Perdagangan Sub Sektor Tanaman Pangan Tahun 2010-10 2014 Tabel 4 Neraca Perdagangan Ekspor-Impor Komoditas Tanaman 11 Pangan Tahun 2010-2014 Tabel 5 Produksi Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 13 Tabel 6 Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 14 Tabel 7 Produktivitas Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 15 Tabel 8 Status dan Luas Kepemilikan Lahan (Data PUT) Tahun 2009 24 Tabel 9 Pokok-pokok Visi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 31 Tabel 10 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Strategis Kementerian Pertanian 32 Tabel 11 Sasaran Produksi Komoditi Utama Tanaman Pangan Tahun 33 2015-2019 Tabel 12 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pembangunan 34 Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan Tabel 13 Target Kinerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 61 Tabel 14 Target Susut Hasil Pascapanen Tanaman Pangan Tahun 2015 71 2019 Tabel 15 Target Kebutuhan Pembiayaan Direktorat Pascapanen Tanaman 71 Pangan Tabel 16 Target Pembangunan Tanaman Pangan dan Kebutuhan 77 Pembiayaan APBN Tabel 17 Dukungan Instansi Terkait Lingkup Kementerian Pertanian Yang 79 Diperlukan Untuk Pengembangan Kawasan Sub Sektor Tanaman Pangan Tabel 18 Dukungan Instansi di Luar Kementerian Pertanian Yang Diperlukan Untuk Pembangunan Sub Sektor Tanaman Pangan 81 viii P a g e

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2010-2014 5 Gambar 2 Perkembangan Angkatan Kerja Sektor Pertanian dan Non 6 Pertanian Tahun 2009-2013 Gambar 3 Pertumbuhan Pangsa Tenaga Kerja Pertanian dan Pertumbuhan 6 Pangsa PDB Pertanian Tahun 2010-2014 Gambar 4 Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2010 2014 8 Gambar 5 Model kawasan Tanaman Pangan 34 Gambar 6 Langkah Operasional Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan 51 ix P a g e

DAFTAR BOKS Boks 1. Potensi Sumberdaya Yang Dapat Dikembangkan Bagi 16 Pembangunan Sub Sektor Tanaman Pangan Boks 2. Permasalahan Mendasar Sub Sektor Tanaman Pangan 23 Boks 3. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 38 Boks 4. Strategi Operasional Penguatan Pengembangan Pembangunan 52 Sub Sektor Tanaman Pangan x P a g e

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1. Lampiran 1.2. Lampiran 1.3. Lampiran 1.4. Lampiran 1.5. Lampiran 2.1. Lampiran 2.2. Lampiran 2.3. Lampiran 2.4. Lampiran 2.5. Lampiran 3.1. Lampiran 3.2. Lampiran 3.3. Lampiran 3.4. Lampiran 3.5. Lampiran 4.1. Lampiran 4.2. Lampiran 4.3. Lampiran 4.4. Lampiran 4.5. Lampiran 5.1. Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Tanah Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Tanah Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Tanah Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Tanah Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Tanah Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau Tahun 2015 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 xi P a g e

Lampiran 5.2. Lampiran 5.3. Lampiran 5.4. Lampiran 5.5. Lampiran 6.1. Lampiran 6.2. Lampiran 6.3. Lampiran 6.4. Lampiran 6.5. Lampiran 7.1. Lampiran 7.2. Lampiran 7.3. Lampiran 7.4. Lampiran 7.5. Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2019 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Tahun 2015 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Tahun 2016 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Tahun 2017 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Tahun 2018 Sasaran Indikatif Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Tahun 2019 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 xii P a g e

1 P a g e

1.1. Latar Belakang Tantangan pemenuhan kebutuhan bagi kehidupan manusia akan semakin kompleks dan dinamis. Setiap negara wajib mengamankan ketersediaan atas kebutuhan tersebut, terutama kebutuhan pangan dan energi Tanaman pangan sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki posisi strategis dalam penyediaan kebutuhan, sumber lapangan kerja dan pendapatan, serta sumber devisa. Pembangunan tanaman pangan akan berhadapan dengan berbagai perubahan lingkungan strategis baik bersifat internal maupun eksternal antara lain globalisasi perdagangan yang semakin dinamis, perubahan iklim, tuntutan lingkungan yang berkelanjutan, keterbatasan sumber daya lahan, perubahan perilaku konsumen, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, pembangunan harus dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, akuntabel, dan berkelanjutan sehingga pembangunan tersebut memberikan jaminan kehidupan yang cukup dan memperhatikan kebutuhan generasi berikutnya. Pembangunan tanaman pangan Indonesia telah mengalami proses yang cukup panjang sejak kemerdekaan dan hal ini harus menjadi perhatian penting bagi seluruh pemangku kepentingan. Beberapa butir yang perlu dijadikan sebagai variabel penting adalah perbedaan potensi (kekuatan dan kelemahan yang dimiliki) dan tata kelola yang diselenggarakan. Kedua hal inimenjadi titik kritis dalam menghadapi tantangan perubahan lingkungan (peluang dan ancaman) dimasa mendatang. BAB I PENDAHULUAN Sektor pertanian dalam arti luas terdiri dari subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan dan kelautan, serta subsektor kehutanan. Perspektif pembangunan tanaman pangan tidak dapat dilihat dari sudut kebutuhan pangan saja, tetapi harus dilihat secara menyeluruh yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia (pangan, pakan, energi, dan bahan baku industri lainnya). Dalam konteks pangan, subsektor tanaman pangan memiliki posisi strategis karena komoditi tanaman pangan memiliki keragaman hayati yang cukup banyak meliputi komoditi serealia, aneka umbi, dan aneka kacang. Pengembangan suatu komoditi harus memperhatikan nilai dan derajat daya saing yang dimiliki sehingga tidak menimbulkan orientasi pembangunan yang tidak tepat, dimana tidak memperhatikan sumber daya lokal dan jenis kebutuhan riil yang berkembang di masyarakat. 1 P a g e

Untuk itu, penyusunan rencana pembangunan tanaman pangan harus dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, dan berbasis data yang akurat. Hal ini menjadi tuntutan atas transparansi dari keberhasilan rencana yang ditetapkan. Proses ini dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis Kementerian, dan Rencana Kerja Tahunan. Kelemahan paling mendasar dari sebuah perencanaan adalah menetapkan sasaran yang tidak tepat dan kebijakan yang tidak tepatuntuk mewujudkan sebuah tujuan. Dalam RPJMN tahap ke-3 (2015-2019) difokuskan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan kompetitif perekonomian yang berbasis sumberdaya alam yang tersedia, sumberdaya manusia yang berkualitas dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).Pemerintahan baru saat ini memiliki jargon Nawacita sebagai garis besar yang dicanangkan selama tahun 2015-2019 (prioritas sasaran yang akan dicapai) dengan tetap memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. 1 Nawacita menetapkan sembilan perubahan yaitu: 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seuruh warga negara, 2. Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, 4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya, 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, 8. Melakukan revolusi karakter bangsa, 9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Dalam mewujudkan kemandirian ekonomi, diperlukan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik denganmenetapkan lima prioritas sasaran yaitu: a. Membangun kedaulatan pangan b. Mewujudkan kedaulatan energi 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 2 P a g e

c. Mewujudkan kedaulatan keuangan d. Mendirikan bank petani/nelayan dan UMKM e. Mewujudkan penguatan teknologi. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kedudukan subsektor tanaman pangan sangat bersentuhan pada prioritas keenam dan ketujuh dari nawacita. Pengelolaan subsektor tanaman pangan melibatkan banyak pihak dengan variasi struktur kelembagaan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sebagai salah satu unit Eselon I Kementerian Pertanian memiliki batasan kewenangan berdasarkan tugas dan fungsi tertentu. Direktorat Jenderal Tanaman Panganharus merumuskan Rencana Strategis, sebagai tindak lanjut atas amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Renstra Kementerian Pertanian.Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangandisusun dengan tujuan agar menjadi pedoman atau acuan rencana program dan kegiatan pembangunan tanaman pangan selama tahun 2015-2019. 1.2. Kondisi Umum Kinerja subsektor tanaman pangan dapat dilihat dari capaian indikator makro dan mikro. Beberapa indikator makro tersebut antara lain pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, pendapatan rumah tangga petani, perkembangan ekspor-impor, dan perkembangan produksi. Beberapa indikator mikro antara lain: 1.2.1. Produk Domestik Bruto (PDB) Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian (diluar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2014 yaitu sekitar 270,60 triliun rupiah atau 9,22% dari PDB total yang besarnya 2.934,12 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan tahun 2000). Selama periode 2010-2014, pertumbuhan PDB pertanian sempit tersebut antara 2,42 % hingga 3,98 % dengan rata-rata sekitar 3,19%, dengan saat yang sama PDB nasional tumbuh sekitar 6,13 %. Dengan adanya ketimpangan pertumbuhan tersebut, maka kontribusi pertanian semakin menurun dari 10,23 % di tahun 2010 menjadi 9,22 % dari total PDB nasional. 3 P a g e

Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2010-2014 Satuan Tahun Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Pertanian Sempit Pertanian Luas Nasional 2010 11,70-15,04 3,49 4,27 2,42 3,01 6,22 2011-3,32 12,80 4,47 4,78 2,78 3,37 6,49 2012-2,41 13,35 6,22 4,69 3,98 4,20 6,26 2013 0,54 4,15 4,93 4,76 3,01 3,54 5,78 2014 3,64 7,36 1,54 1,62 3,76 3,61 5,91 Rerata 2,03 4,52 4,13 4,02 3,19 3,54 6,13 Sumber: BPS (diolah PSEKP) Ket: Pertanian Sempit = meliputi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan Pertanian luas = pertanian sempit ditambah perikanan dan kehutanan 2014 angka proyeksi Bila diperhatikan persubsektor, maka rata-rata pertumbuhan PDB tanaman pangan dan hortikultura masing-masing sekitar 2,03 % dan 4,52 %. Sedangkan PDB perkebunan dan peternakan masing-masing sekitar 4,13 % dan 4,02 %. 4 P a g e

Gambar 1. Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2010-2014 Sumber: BPS (diolah PSEKP) Ket: 2014 angka proyeksi 1.2.2. Tenaga Kerja Pertanian Selama periode 2010-2014, sektor pertanian masih merupakan sektor dengan pangsa penyerapan tenaga kerja terbesar, walaupun ada kecenderungan menurun. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010 sekitar 38,69juta tenaga kerja atau sekitar 35,76% dari total penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014mengalami penurunan menjadi 35,76 juta tenaga kerja atau 30,27%.Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian tersebut hanya berasal dari kegiatan sektor Pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang vertikal sistem dan usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja dihitung dengan yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor Pertanian tentu akan lebih besar.walaupun kemampuan sektor Pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. 5 P a g e

Gambar 2. Perkembangan Angkatan Kerja Sektor Pertanian dan Non Pertanian Tahun 2009-2013 Sumber: BPS (diolah) Ket: tahun 2014: angka perkiraan Gambar 3. Pertumbuhan Pangsa Tenaga Kerja Pertanian dan Pertumbuhan Pangsa PDB Pertanian Tahun 2010-2014 6 P a g e

Bila disandingkan data pertumbuhan pangsa tenaga kerja pertanian dengan pertumbuhan pangsa PDB, maka pada periode tahun 2010 2014 terjadi penurunan pangsa tenaga kerja pertanian sebesar -4,16%/tahun dan pada saat yang bersamaan pula terjadi penurunan pertumbuhan pangsa PDB sebesar -2,86. Dengan membandingkan tingkat penurunan pangsa tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat penurunan pangsa PDB, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan perkapita tenaga kerja di sektor pertanian semakin membaik (Gambar 3). 1.2.3. Nilai Tukar Petani (NTP) Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib), dimana It menunjukkan fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani sementara Ib mencerminkan harga barangbarang yang dikonsumsi petani termasuk barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. NTP digunakan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumahtangga. Umumnya, NTP digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani. Namun demikian, sebagai alat ukur kesejahteraan petani, penggunaan asumsi tingkat produksi yang tetap dinilai kurang relevan, karena kuantitas tetap berarti NTP tidak mengakomodasi kemajuan produktivitas pertanian, kemajuan teknologi dan pembangunan. Karena itu NTP cukup diposisikan sebagai alat ukur untuk menghitung daya beli penerimaan petani terhadap pengeluaran petani. Dengan kata lain, bahwa NTP bukan mutlak ukuran kesejahteraan petani karena walaupun indeks harga yang diterima petani meningkat dengan berbagai kebijakan perlindungan harga yang dilakukan Kementerian Pertanian, namun belum tentu NTP meningkat, karena masih tergantung dengan indeks harga yang dibayar petani. Selama periode 2010 2014, secara umum NTP meningkat walaupun sempat menurun pada tahun 2013. Peningkatan NTP tertinggi terjadi pada tahun 2011. Peningkatan NTP tersebut disebabkan oleh laju peningkatan indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan indeks harga yang dibayar petani. 7 P a g e

Gambar 4. Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2010 2014 Ket: tahun dasar 2007=100 Tahun 2014 adalah data sementara Peningkatan indeks harga yang diterima petani merupakan hasil dari kebijakan Kementerian Pertanian dalam upaya perlindungan harga komoditas pertanian, sedangkan peningkatan indeks harga yang dibayar petani merupakan hasil kebijakan diluar kendali Kementerian Pertanian. Peningkatan NTP dapat dilakukan dengan meningkatkan indeks harga yang diterima petani, namun hal ini dapat memacu inflasi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan NTP perlu diupayakan agar peningkatan indeks harga yang dibayar petani tidak terlalu progresif. Dari data BPS, selama tahun 2010-2014, angka rata-rata NTP di atas 100 yaitu 101,77 pada tahun 2010, 104,58 pada tahun 2011, 105,24 pada tahun 2012, 104,95 pada tahun 2013, dan 102,03 pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan petani lebih sejahtera karena hasil yang didapatkan petani lebih besar dari yang dibelanjakan. Sedangkan untuk pertumbuhan NTP subsektor tanaman pangan dari tahun 2010-2012 terlihat adanya kenaikan yaitu 97,78 pada tahun 2014, 102,82 pada tahun 2011, dan 104,71 pada tahun 2012, dan terjadi penurunan 0,06 persen pada tahun 2013 dan 5,51 persen pada tahun 2014. 8 P a g e

Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2010 2014 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan No. Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 1 Nilai Tukar Petani - Pertanian 101,77 104,58 105,24 104,95 102,03 - Tanaman Pangan 97,78 102,82 104,71 104,65 98,88 2 3 Kenaikan NTP (%) - Pertanian - 2,76 0,64 (0,28) (2,78) - Tanaman Pangan - 5,15 1,84 (0,06) (5,51) Indek harga diterima petani (IT) - Pertanian 128,62 138,90 145,75 154,69 114,06 - Tanaman Pangan 124,81 138,38 147,41 157,44 111,80 Kenaikan IT (%) - Pertanian - 7,99 4,94 6,13 (26,27) - Tanaman Pangan - 10,87 6,53 6,80 (28,99) Indek harga dibayar petani (IB) - Pertanian 126,37 132,81 138,49 147,40 111,79 - Tanaman Pangan 127,61 134,56 140,78 150,45 113,06 Kenaikan IB (%) - Pertanian - 5,10 4,28 6,43 (24,16) - Tanaman Pangan - 5,45 4,62 6,87 (24,85) Sumber : BPS (diolah) Keterangan: - Tahun 2010-2012 menggunakan tahun dasar 2007 = 100 - Tahun 2013-2014 menggunakan tahun dasar 2012 = 100 1.2.4. Neraca Perdagangan Ekspor-Impor Berdasarkan data tahun 2010-2014, kondisi perdagangan komoditas pangan utama Indonesia dalam posisi defisit. Keadaan ini terlihat dari neraca perdagangan yang bernilai negatif dan laju pertumbuhan nilai impor pada periode 2010-2014 secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan nilai ekspornya. Pada tahun 2014, komoditas pangan yang menyumbang impor terbesar adalah kedelai diikuti oleh jagung dan beras. Sebaliknya komoditas penyumbang ekspor terbesar adalah ubi kayu. Untuk volume ekspor beras tertinggi dicapai tahun 2012 sebesar 1,15 ribu ton beras dengan nilai US$ 1,43 juta, dan volume ekspor beras terendah tahun 2010 sebesar 810 9 P a g e

ton dengan nilai US$ 0,56 juta. Sedangkan volume impor tertinggi terjadi tahun 2011 sebesar 2,74 juta ton dengan nilai US$ 1,51 milyar dan terendah tahun 2014 senilai US$ 175,83 juta. Volume ekspor tertinggi untuk komoditas Jagung terjadi pada tahun 2012 sebesar 72,95 ribu ton dengan nilai US$ 38,22 juta dan volume terendah pada tahun 2014 senilai US$ 7,97 juta. Sedangkan volume impor tertinggi untuk jagung dicapai pada tahun 2011 sebanyak 3,31 juta ton senilai US$ 1,08 milyar dan volume impor jagung terendah pada tahun 2010 sebesar 1,79 juta ton senilai US$ 484,24 juta. Untuk volume ekspor kedelai tertinggi terjadi tahun 2012 sebesar 34,79 ribu ton senilai US$ 36,97 juta; dan volume ekspor terendah pada tahun 2010 sebesar 8,65 ribu ton senilai US$ 9,98 juta; sedangkan volume impor kedelai tahun 2014 adalah yang tertinggi senilai US$ 2,73 milyar. Untuk jelasnya perkembangan nilai ekspor impor dan neraca perdagangan komoditas tanaman pangan selama tahun 2010-2014 seperti pada Tabel di bawah ini. Tabel 3. Neraca Perdagangan Sub Sektor Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 No Sub Sektor Tahun ( ribu US$) 2010 2011 2012 2013 2014*) 1 Tanaman Pangan - Ekspor 478 585 151 967 560 - Impor 3.894 7.024 6.307 5.659 6.481 - Neraca -3.416-6.439-6.156-4.692-5.921 10 P a g e

Tabel 4. Neraca PerdaganganEkspor-Impor Komoditas Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Komoditas 2010 2011 2012 2013 *) 2014**) Volume (ton) Nilai (US$ 000) Volume (ton) Nilai (US$ 000) Volume (ton) Nilai (US$ 000) Volume (ton) Nilai (US$ 000) Nilai (US$ 000) Beras Ekspor 810 560 1,065 1,272 1,150 1,428 1,080 1,071 897 Impor 687,583 360,790 2,744,261 1,509,257 2,411,240 1,233,374 399,758 208,600 175,827 Neraca (686,773) (360,230) (2,743,196) (1,507,985) (2,410,091) (1,231,946) (398,678) (207,529) (174,930) Jagung Ekspor 44,514 12,111 33,189 18,653 72,949 38,223 19,085 14,957 7,970 Impor 1,786,811 484,238 3,310,984 1,084,404 1,991,952 614,005 2,401,489 728,533 598,344 Neraca (1,742,296) (472,127) (3,277,795) (1,065,751) (1,919,003) (575,782) (2,382,405) (713,576) (590,374) Kedelai Ekspor 8,653 9,979 8,737 11,389 34,793 36,971 9,762 13,132 39,125 Impor 1,772,663 871,173 2,125,511 1,290,079 2,334,735 1,478,104 1,411,184 886,426 2,725,541 Neraca (1,764,011) (861,195) (2,116,774) (1,278,689) (2,299,942) (1,441,133) (1,401,422) (873,294) (2,686,416) Kacang Tanah Ekspor 7,721 13,625 7,684 15,453 7,737 16,514 4,831 10,836 10,234 Impor 230,787 225,449 253,102 262,345 209,686 248,717 231,294 274,928 247,250 Neraca (223,066) (211,824) (245,418) (246,892) (201,949) (232,203) (226,463) (264,092) (237,016) Ubi Kayu Ekspor 169,031 45,432 195,340 79,060 61,943 19,268 71,812 27,611 24,330 Impor 294,853 120,755 435,424 211,276 890,231 400,220 213,415 103,995 99,712 Neraca (125,822) (75,323) (240,085) (132,216) (828,288) (380,952) (141,603) (76,384) (75,382) Ubi Jalar Ekspor 7,083 5,317 7,173 6,341 10,495 9,437 8,006 6,898 6,236 Impor 33 45 25 45 27 42 21 32 39 Neraca 7,051 5,272 7,148 6,297 10,468 9,394 7,985 6,866 6,197 Gandum Ekspor 642,726 382,568 546,513 447,152 67,560 39,276 75,482 40,442 33,181 Impor 5,725,011 1,827,395 6,476,577 2,656,103 7,817,795 2,960,103 5,900,056 2,252,450 1,902,406 Neraca (5,082,285) (1,444,827) (5,930,064) (2,208,951) (7,750,235) (2,920,827) (5,824,574) (2,212,007) (1,869,225) *) Volume Ekspor/Impor Tahun 2013 Sampai Dengan Bulan Oktober **) Volume Ekspor/Impor Tahun 2014 Sampai Dengan Bulan September 11 P a g e

1.2.5. Produksi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 Selama periode 2010 2014, terjadi peningkatan produksi padi setiap tahunnya 1,56persen yaitu dari produksi 66,47 juta ton GKG pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,61 juta ton GKG pada tahun2014. Kondisi produksi tahun 2014 ini menunjukkan adanya penurunan sebanyak 0,67 juta ton GKG (0,94 persen) dibandingkan tahun 2013. Penurunan produksi padi tahun 2014, diperkirakan terjadi di Pulau jawa sebanyak 1,05 juta ton GKG, sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa diperkirakan mengalami kenaikan sebanyak 0,38 juta 5ton GKG. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 66,93 ribu Ha (0,48 persen) dan produktivitas sebesar 0,24 ku/ha (0,47 persen). Perkiraan penurunan produksi padi tahun yang relatif besar terdapat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, perkiraan kenaikan produksi padi tahun 2014 yang relatif besar terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan. Untuk produksi jagung selama periode 2010 2014 terjadi peningkatan setiap tahunnya 1,24 persen, dari produksi 18,33 juta ton pipilan kering pada tahun 2010 meningkat menjadi 19,13 juta ton pipilan kering pada tahun2014. Produksi jagung tahun 2014 ini mengalami kenaikan sebanyak 0,62 juta ton (3,33 persen) dibandingkan tahun 2013. Kenaikan produksi tersebut diperkirakan terjadidi Pulau Jawa dan luar Pulau jawa masing-masing sebanyak 0,06 juta ton pipilan kering dan 0,56 juta ton pipilan kering. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena kenaikan produktivitas sebesar 0,85 ku/ha (1,75 persen) dan kenaikan luas panen seluas 58,72 ribu Ha (1,54 persen). Perkiraan peningkatan produksi jagung tahun 2014 yang relatif besar terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, jawa Tengah, Gorontalo, dan Lampung. Sementara itu, perkiraan penurunan produksi jagung tahun 2014 yang relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, dan Bali. Sedangkan produksi kedelai mengalami kenaikan selama periode yang sama yaitu sekitar 0,89 persen. Produksi kedelai tahun 2014 diperkirakan sebanyak 921,34 ribu ton biji kering, meningkat sebanyak 141,34 ribu ton biji kering (18,12 persen) dibandingkan tahun 2013. Peningkatan produksi kedelai tersebut diperkirakan terjadi di Pulau Jawa sebanyak 73,47 ribu ton biji kering dan di luar Pulau Jawa sebanyak 67,87 ribu ton biji kering. Peningkatan produksi tersebut diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen 12 P a g e

seluas 61,01 ribu Ha (11,08 persen) dan kenaikan produktivitas sebesar 0,90 ku/ha (6,36 persen). Perkiraan kenaikan produksi kedelai tahun 2014 yang relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Sementara itu penurunan produksi kedelai tahun 2014 yang relatif besar terjadi di Provinsi DI Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan produksi yang mengalami penurunan adalah kacang tanah sebesar rata-rata 4,09 persen dan kacang hijau sebesar rata-rata 2,74 persen. Ubi kayu dan ubi jalar juga mengalami kenaikan masing-masing rata-rata sebesar 0,67 persen dan 3,79 persen. Tabel 5. Produksi Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 No Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 (ribu ton) 1 Padi Jawa 36.375 34.405 36.527 37.493 36.442 36.248 0,15 Luar Jawa 30.095 31.352 32.529 33.787 34.165 32.386 3,23 Indonesia 66.469 65.757 69.056 71.280 70.607 68.634 1,56 2 Jagung Jawa 9.944 9.467 10.712 10.095 10.152 10.074 0,79 Luar Jawa 8.383 8.176 8.675 8.416 8.976 8.525 1,82 Indonesia 18.328 17.643 19.387 18.512 19.127 18.599 1,24 3 Kedelai Jawa 633 574 604 522 595 586-0,91 Luar Jawa 274 277 240 258 326 275 5,42 Indonesia 907 851 843 780 921 861 0,88 4 Kacang Jawa 547 484 509 511 475 505-3,28 Tanah Luar Jawa 232 208 204 190 181 203-6,01 Indonesia 779 691 713 702 655 708-4,09 5 Kacang Jawa 174 212 190 134 166 175 1,50 Hijau Luar Jawa 117 129 95 71 73 97-9,87 Indonesia 292 341 284 205 239 272-2,74 6 Ubi Kayu Jawa 10.792 10.567 11.175 10.941 10.393 10.773-0,86 Luar Jawa 13.126 13.477 13.003 12.996 14.166 13.354 2,03 Indonesia 23.918 24.044 24.177 23.937 24.559 24.127 0,67 7 Ubi Jalar Jawa 757 844 1.053 1.095 1.011 952 8,14 Sumber : BPS Keterangan: 2014 Aram II Rata-rata 2010-2014 (ribu ton) Rerata Pertumbuhan (%) Luar Jawa 1.294 1.352 1.430 1.292 1.349 1.343 1,26 Indonesia 2.051 2.196 2.483 2.387 2.360 2.295 3,79 Keterangan : Padi : Gabah Kering Giling Kacang Tanah : Biji Kering Jagung : Pipilan Kering Ubi Kayu : Umbi Basah Kedelai : Biji Kering Ubi Jalar : Umbi Basah Kacang Hijau : Biji Kering 13 P a g e

Tabel 6. Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 No 2010 2011 2012 2013 2014 (ribu hektar) Rata-rata 2010-2014 (ribu hektar) Rerata Pertumbuhan (%) 1 Padi Jawa 6.359 6.165 6.186 6.467 6.354 6.306 0,02 Luar Jawa 6.895 7.039 7.260 7.368 7.414 7.195 1,84 Indonesia 13.253 13.204 13.446 13.835 13.768 13.501 0,97 2 Jagung Jawa 2.139 1.946 2.011 1.959 1.956 2.002-2,11 Luar Jawa 1.993 1.919 1.946 1.863 1.925 1.929-0,81 Indonesia 4.132 3.865 3.958 3.822 3.880 3.931-1,49 3 Kedelai Jawa 440 404 382 343 371 388-3,92 Luar Jawa 221 218 186 208 241 215 2,93 Indonesia 661 622 568 551 612 603-1,63 4 Kacang Jawa 433 378 394 372 362 388-4,18 Tanah Luar Jawa 188 162 165 147 145 161-6,11 Indonesia 621 539 560 519 506 549-4,76 5 Kacang Jawa 149 182 162 117 137 149 0,02 Hijau Luar Jawa 109 115 83 65 65 88-10,80 Indonesia 258 297 245 182 202 237-4,24 6 Ubi Kayu Jawa 552 546 534 491 470 519-3,90 Luar Jawa 631 639 595 575 606 609-0,91 Indonesia 1.183 1.185 1.130 1.066 1.076 1.128-2,31 7 Ubi Jalar Jawa 57 53 52 58 51 54-2,14 Sumber : BPS Komoditas Keterangan: 2014 Aram II Luar Jawa 124 125 126 104 105 117-3,63 Indonesia 181 178 178 162 157 171-3,49 14 P a g e

Tabel 7. Produktivitas Komoditi Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 No Komoditas (ku/ha) Rata-rata 2010-2014 (ku/ha) 1 Padi Jawa 57,21 55,81 59,05 57,98 57,35 57,48 0,11 Luar Jawa 43,65 44,54 44,81 45,85 46,08 44,99 1,37 Indonesia 50,15 49,80 51,36 51,52 51,28 50,82 0,57 2 Jagung Jawa 46,49 48,65 53,26 51,54 51,91 50,37 2,90 Luar Jawa 42,07 42,61 44,57 45,19 46,64 44,22 2,62 Indonesia 44,36 45,65 48,99 48,44 49,29 47,35 2,71 3 Kedelai Jawa 14,4 14,2 15,8 15,23 16,07 15,14 2,95 Luar Jawa 12,38 12,71 12,9 12,41 13,51 12,78 2,31 Indonesia 13,73 13,68 14,85 14,16 15,06 14,30 2,47 4 Kacang Jawa 12,65 12,80 12,90 13,75 13,12 13,04 0,99 Tanah Luar Jawa 12,34 12,84 12,35 12,93 12,49 12,59 0,38 Indonesia 12,56 12,81 12,74 13,52 12,94 12,91 0,82 5 Kacang Jawa 11,67 11,66 11,74 11,42 12,14 11,73 1,04 Hijau Luar Jawa 10,79 11,19 11,34 10,91 11,10 11,07 0,75 Indonesia 11,30 11,48 11,60 11,24 11,81 11,49 1,15 6 Ubi Kayu Jawa 195,47 193,66 209,08 222,98 221,05 208,45 3,20 Luar Jawa 208,04 210,89 218,46 225,98 233,91 219,46 2,98 Indonesia 202,17 202,96 214,02 224,60 228,29 214,41 3,11 7 Ubi Jalar Jawa 132,74 157,93 203,35 187,71 196,52 175,65 11,18 Sumber : BPS Keterangan: 2014 Aram II 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata Pertumbuhan (%) Luar Jawa 104,32 108,44 113,06 124,79 128,19 115,76 5,33 Indonesia 113,27 123,29 139,29 147,47 150,62 134,79 7,46 1.3. Potensi dan Permasalahan 1.3.1. Potensi Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat besar dan penting untuk dapat dikembangkan bagi pembangunan pertanian sub sektor tanaman pangan, antara lain: 15 P a g e

Boks 1. Potensi Sumberdaya Yang Dapat Dikembangkan Bagi Pembangunan Sub Sektor Tanaman Pangan 1. Keanekaragaman hayati dan agroekosistem 2. Lahan pertanian 3. Teknologi a. Teknologi Perbenihan b. Teknologi Pemupukan c. Teknologi pascapanen d. Teknologi pengendalian OPT dan DPI 4. Tenaga kerja pertanian 5. Pasar 1.3.1.1. Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia dan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Sepuluh persen dari spesies tumbuhan berbunga di dunia terdapat di Indonesia, meskipun luas daratan Indonesia hanya 13 % dari total luas daratan di dunia. Selain itu di Indonesia hidup 12 % spesies mamalia, 16 % reptil dan amphibi, dan 17 % burung. Potensi sumberhayati berasal dari tumbuhan ada sekitar 40 ribu yang terdiri dari 5000 jenis jamur, 400 jenis tanaman penghasil buah, 370 jenis tanaman penghasil sayuran, 70 jenis tanaman berumbi, 60 jenis tanaman penyegar dan 55 jenis tanaman rempah Keanekaragaman hayati Indonesia sebagian telah dimanfaatkan, sebagian baru diketahui potensinya, dan sebagian besar lagi bahkan namanya saja belum diketahui (diidentifikasi). Keanekaragaman hayati tersebut merupakan tumpuan hidup manusia, karena setiap orang membutuhkannya untuk menopang kehidupan, sebagai sumber pangan, pakan, bahan baku industri, farmasi dan obat-obatan. Salah satu pemanfaatan keanekaragaman hayati adalah melalui perdagangan tanaman obat dengan nilai perdagangan tanaman obat dan produk berasal dari tumbuhan termasuk suplemen. Selain berfungsi untuk menunjang kehidupan manusia, keanekaragaman hayati memiliki peranan dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem. 16 P a g e

Indonesia juga memiliki potensi agroekosistem yang cukup untuk mendukung pengembangan pertanian diantaranya adalah ketersedian tanah, hara, dataran rendah dan tinggi, curah hujan yang merata di sebagian wilayah, sinar matahari yang terus menyinari sepanjang tahun, kelembaban udara dan organisme-organisme, setidaknya memiliki 47 ekosistem alami yang berbeda. Kita bisa menjumpai padang es dan padang rumput dataran tinggi di Papua. Beragam hutan basah dataran rendah di Kalimantan dan Sumatera. Adapula ekosistem danau yang dalam dan rawa dangkal. Untuk itu, agar keanekaragaman hayati dan agoekosistem tidak terancam kelestariannya, maka kita harus arif (bijaksana) dalam memanfaatkannya, dengan mempertimbangkan aspek manfaat dan aspek kelestariannya. 1.3.1.2. Lahan Pertanian Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan mencapai 1.922.570 km² (192 juta ha) dan luas perairan mencapai 3.257.483 km². Luas kawasan budidaya sekitar 123 juta ha (64,6 persen) berpotensi sebagai kawasan pertanian sebesar 101 juta ha, dan 67 juta ha sisanya (35,4 persen) merupakan kawasan lindung. Dari areal tersebut yang sudah terolah sampai saat ini sebesar 25,6 juta ha lahan sawah, dan untuk lahan kering tanam semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta ha. Dengan demikian potensi perluasan untuk kawasan pertanian adalah sebesar 54 juta ha dengan komposisi; 36 juta ha dapat digunakan untuk tanaman pangan/perkebunan dan merupakan lahan kering, 15 juta ha sesuai untuk areal persawahan dan 3 juta ha untuk lahan peternakan. (Siswono Yudo Husodo, 2006; Data Kajian Akademis Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementan 2006) Kementerian Pertanian (2013) menaksir bahwa luas lahan suboptimal di Indonesia yang sesuai untuk pertanian mencapai 91,9 juta ha, terdiri dari lahan kering masam seluas 62,6 juta ha (68,1 persen), rawa pasang surut seluas 9,3 juta ha (10,1 persen), lahan kering iklim kering seluas 7,8 juta ha (8,5 persen), rawa lebak seluas 7,5 juta ha (8,2 persen), dan lahan gambut seluas 4,7 juta ha (5,1 persen). Saat ini sebagianlahan-lahan suboptimal 17 P a g e

tersebutdimanfaatkan untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Selain jumlah lahan potensial tersebut, hal yang mendukung adalah jumlah luasan dan sebaran hutan, sungai, rawa dan danau serta curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun, jugawaduk, bendungan, embung, maupun air tanah serta air permukaan lainnya,yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan usaha pertanian, khususnya tanaman pangan. Kondisi ini mengindikasikan untuk pengembangan subsektor tanaman pangan dengan program penambahan baku lahan dapat diarahkan ke daerah-daerah di luar pulau Jawa. Potensi pengembangan untuk areal irigasi memungkinkan di pulau Sumatera dan Sulawesi. Selain itu untuk penumbuhan kantong-kantong produksi dapat juga dikembangkan pada lahan non irigasi (tadah hujan, pasang surut, lebak dan polder) yang banyak terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan untuk lahan yang sementara tidak diusahakan masih banyak terdapat di Papua seluas 5,329 juta hektar. 1.3.1.3. Teknologi Teknologi Pertanian Indonesia berkembang dengan pesat. Berbagai inovasi teknologi spesifik lokasi telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di daerah, seperti: teknologi panen air (teknologi pemanfaatan air secara efisiensi melalui irigasi tetes di tingkat desa dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Desa (JIDES) dan di tingkat usahatani dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani (JITUT)); prototipe alsintan (menghasilkan varietas baru, vaksin, bibit ternak, tool kit, peta); teknologi budidaya; teknologi pascapanen (pengemasan, penyimpanan, sortasi dsb); teknologi pengolahan hasil pertanian. Bioteknologi dan teknologi untuk pertanian organik juga perlu dikembangkan, untuk menghasilkan produk pertanian yang ramah lingkungan. Demikian juga untuk teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan untuk berkembangnya pertanian cermat yang lebih efisien dan efektif biologis sistem pertanian baik dalam skala nasional, regional, perusahaan hingga usaha tani. Hal ini dapat mendukung pengembangan bio-produk yang mempunyai nilai jual lebih baik. 18 P a g e

Berbagai macam paket teknologi tepat guna tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan produktivitas aneka produk pertanian. 1.3.1.3.1. Teknologi Perbenihan Industri dalam negeri yang semakin berkembang, permintaan konsumen luar negeri cenderung meningkat untuk produk pertanian, serta ketersediaan teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan masyarakat/petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya guna meningkatkan kuantitas, kualitas dan produktivitas produk tanaman pangan, baik melalui teknologi budidaya terapan, maupun teknologi pemuliaan tanaman yang menghasilkan varietas unggul bermutu dengan produksi dan produktivitas yang tinggi. 1.3.1.3.2. Teknologi Pemupukan Pengembangan teknologi pemupukan harus didorong dalam membangun keseimbangan pengembangan pupuk anorganik dan organik, serta jaminan akan ketersediaan sumber bahan baku yang menjadi prasyarat bagi pengembangan industri pupuk, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, serta sumberdaya manusia yang terlibat langsung dalam proses pengolahan pupuk, terutama pengolahan pupuk organik di daerah sentra produksi sub sektor tanaman pangan dengan memanfaatkan limbah pertanian yang tersedia. 1.3.1.3.3. Teknologi Pascapanen Teknologi pascapanen diyakini merupakan kunci untuk meningkatkan kualitas produk hasil panen produk pertanian dan memberikan nilai tambah produk pertanian. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai macam prototipe alat dan mesin pertanian yang bermanfaat bagi petani. Berbagai macam paket teknologi tepat guna, varietas unggul tanaman; teknologi produksi pupuk; alat dan mesin pertanian; serta aneka teknologi budidaya, pascapanen dan pengolahan hasil pertanian sudah banyak dihasilkan para peneliti di lembaga penelitian, masyarakat petani dan swasta, semuanya itu dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan produktivitas aneka produk pertanian. Saat ini, penanganan pascapanen tanaman pangan belum berkembang.untuk itu, diperlukan upaya penanganan pascapanen dalam rangka menurunkan potensi kehilanganhasiltanaman pangan. Selain itu, kebutuhan sarana pascapanen dapat 19 P a g e

mendorong bertumbuhnya industri-industri, baik yang berskala besar maupun industri skala kecil/rumahan. 1.3.1.3.4. Teknologi Pengendalian OPT dan DPI Pestisida sangat berbahaya terhadap manusia dan lingkungan hidup, oleh karena itu penggunaan pestisida diharapkan dapat dilakukan secara efisien dan bijaksana, dengan memperhatikan kaidah pengendalian Hama Terpadu (PHT) sehingga tercipta pertanian ramah lingkungan. Program pengendalian hama terpadu menjadi bagian yang utama dalam kegiatan usahatani dan dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/SR.140/2/2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida dan Nomor 42/Permentan/SR.140/5/2007 tentang Pengawasan Pestisida. Saat ini cukup banyak industri bahan pengendali OPT dengan kapasitas produksi yang cukup memadai dan jenis pestisida yang beragam sesuai dengan permintaan akan kebutuhan pestisida guna melindungi pertanaman dari gangguan OPT. Untuk menjawab terjadinya fenomena El Nino yang berdampak dengan adanya kekeringan telah banyak dihasilkan berbagai inovasi teknologi strategis nasional dan teknologi spesifik lokasi oleh Badan Litbang Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Teknologi tersebut diantaranya adalah pengelolaan sumberdaya air seperti teknologi panen air, teknologi pemanfaatan air secara efisiensi melalui irigasi tetes di tingkat desa dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Desa (JIDES) dan di tingkat usahatani dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani (JITUT). 1.3.1.4. Tenaga Kerja Pertanian Sampai saat ini, lebih dari 43 juta tenaga kerja nasional masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, terutama di sub sektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Jika tenaga kerja tersebut dapat ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan internasional. 20 P a g e

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pertanian juga dapat dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terlatih di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitasi pertanian dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta pemberian jaminan pasar yang baik. Secara kuantitatif tenaga kerja untuk sub sektor tanaman pangan tersedia di perdesaan, namun ada kecenderungan terus menurun dengan indikasi semakin berkurangnya minat generasi muda di perdesaan untuk bekerja di sub sektor pertanian tanaman pangan. Demikian pula dari sisi kualitas Sumberdaya Manusia tenaga kerja ini masih sangat kurang, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk dapat mengupayakan secara berkelanjutan penyediaan SDM Pertanian tanaman pangan yang berkualitas. Jumlah tenaga kerja untuk sub sektor tanaman pangan lebih dari cukup, apalagi terdapat limpahan tenaga kerja ke subsektor tanaman pangan akibat melambatnya pertumbuhan sektor industri. Dengan demikian pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia secara optimal merupakan peluang untuk meningkatkan pembangunan tanaman pangan. 1.3.1.5. Pasar Daya beli masyarakat yang terus meningkat serta jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar merupakan pasar dalam negeri yang sangat potensial bagi produk-produk pertanian yang dihasilkan petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 237 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,49 persen per tahun. Saat ini, tingkat konsumsi aneka produk hasil pertanian Indonesia, kecuali beras, gula dan minyak goreng, masih relatif rendah. Rendahnya tingkat konsumsi produk pertanian ini, terutama disebabkan masih rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia sehingga mempengaruhi daya beli. Seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi yang saat ini tengah giat dijalankan, maka pendapatan per kapita penduduk juga akan meningkat. Peningkatan pendapatan di satu sisi, maka dapat terjadi peningkatan permintaan produk termasuk pertanian tanaman pangan di sisi lain. Permintaan pasar domestik, di samping jumlahnya yang semakin meningkat, juga membutuhkan keragaman produk yang bervariasi, sehingga akan membuka peluang yang lebih besar terhadap diversifikasi produk. Sejalan dengan era globalisasi dan 21 P a g e

pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian Indonesia. Pada tahun 2015, kesepakatan ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN akan terealisasikan. Pilar utama dalam AEC adalah mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal yang didukung dengan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja yang lebih bebas. Lebih bebas yang dimaksudkan adalah adanya pengurangan hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan antar negara ASEAN. AEC akan membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasar, mendorong daya saing serta berpotensi menyerap tenaga kerja Indonesia. Perwujudan AEC akan membentuk ASEAN sebagai pasar terbesar ke-3 di dunia setelah China dan India, Indonesia yang jumlah penduduknya 40 persen dari total jumlah penduduk kawasan menjadikan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang produktif dalam pasar ASEAN. Penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan yang dilakukan oleh pemerintah akan mengakibatkan semakin banyaknya produk impor masuk ke Indonesia. Kondisi inilah yang cukup mengkhawatirkan karena berpengaruh pada eksistensi produk lokal, peningkatan daya saing produk lokal sangat diperlukan menghadapi pasar bebas ASEAN 2015 mendatang, diantaranya: 1) Meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kualitas produksi, 2) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing, 3) Memperluas jaringan pemasaran, serta 4) Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran. Selain itu, rasa nasionalisme Bangsa Indonesia perlu ditingkatkan sehingga meningkatkan kecintaan terhadap produk dalam negeri. Bila perbaikan ini dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya, maka akan mampu memberikan peluang bagi industri manufaktur Indonesia untuk memasarkan produknya dan mampu bersaing dengan produk-produk impor baik didalam negeri maupun ekspor ke luar negeri. 1.3.2. Permasalahan Berdasarkan hasil evaluasi atas pembangunan pertanian tanaman pangan yang telah dilaksanakan sampai saat ini, persoalan mendasar yang diperkirakan masih dihadapi sektor pertanian di masa yang akan datang, khususnya jangka waktu 2015-2019, mencakup aspek seperti: kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; kepemilikan lahan; sistem perbenihan; akses petani terhadap permodalan kelembagaan petani dan penyuluh; keterpaduan antar sektor, dan 22 P a g e

kinerja pelayanan birokrasi pertanian. Secara lebih lengkap, permasalahan mendasar tersebut di atas diuraikan sebagai berikut: Boks.2. Permasalahan Mendasar Sub Sektor Tanaman Pangan 1. Status dan luas kepemilikan lahan 2. Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air 3. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian dan kelembagaan pertanian 4. Keterbatasan ketersediaan sarana produksi 5. Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani 6. Meningkatnya persaingan pemanfaatan komoditas tanaman pangan 7. Belum padunya koordinasi Pemerintahan dalam menunjang pembangunan sub sektor tanaman pangan. 1.3.2.1. Status dan Luas Kepemilikan Lahan Berdasarkan sensus Pertanian tahun 2013, dari sisi skala penguasaan lahan, sejak tahun 2003 jumlah rumah tangga petani gurem yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar menurun dari 19,8 juta rumah tangga menjadi 14,6 juta rumah tangga pada tahun 2013. Sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 2.000-4.999 meter persegi yaitu 6,73 juta rumah tangga. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2003 jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak adalah yang menguasai lahan dengan luasan kurang dari 1.000 meter persegi yakni sebanyak 9,8 juta rumah tangga. Status kepemilikan lahan sebagian besar petani yang belum memiliki legalitas yang kuat dalam bentuk sertifikat, sehingga lahan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh modal usaha melalui perbankan. Tantangan ke depan untuk mengatasi terbatasnya pemilikan dan lemahnya status penguasaan lahan adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktifitas usaha tani, penataan kelembagaan pengelolaan lahan, dan penguatan status kepemilikan lahan. Untuk mengatasi dan mengantisipasi degradasi sumber daya lahan adalah bagaimana melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan secara teknis, dan biologis (vegetatif) melalui penerapan teknologi budidaya pertanian yang ramah lingkungan 23 P a g e

Konversi lahan terjadi cukup luas setiap tahun untuk sektor non pertanian, seperti perumahan, jalan dan infrastruktur lainnya, serta ke subsektor perkebunan, peternakan dan perikanan. Konversi lahanmenyebabkan kapasitas produksi pangan turun, ditemui lahan-lahan terlantar/tidur, berkurangnya lahan usaha produktif dan beberapa usaha komoditi pertanian akan mengalami kejenuhan dan kurang diminati, serta turunnya kesejahteraan petani sehingga kegiatan usaha tani yang dilakukan petani tidak dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak. Status dan luas kepemilikan lahan yang terbatas juga akan memposisikan petani sebagai penggarap atau buruh tani, serta alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti untuk industri, pemukiman dan perdagangan. Pada daerah yang padat seperti pulau Jawa, setiap tahunnya sekitar 50.000 hektar lahan pertanian yang berubah fungsi penggunaannya (Soni Harsono, 1995). Berdasarkan data PUT (BPS, 2009), luas penguasaan lahan bagi rumah tangga petani padi, jagung, kedelai, dan tebu umumnya dibawah 1 hektar yaitu sebesar 76,04 persen atau 13.558.048 rumah tangga. Secara ekstrim, luas penguasaan lahan bari rumah tangga petani dibawah 0,5 hektar cukup besar yaitu 53,58 persen atau 9.552.957 rumah tangga. Tabel 8. Status dan Luas Kepemilikan Lahan (Data PUT) Tahun 2009 No. Kategori Pengusahaan Lahan Jumlah Rumah Tangga % 1 Tidak menguasai lahan pertanian 7.687 0,04 2 Di bawah 0,5 Ha 9.545.270 53,53 3 Antara 0,5-1,0 Ha 4.005.091 22,46 4 Antara 1,0-2,0 Ha 2.723.583 15,27 6 Antara 2,0-3,0 Ha 897.901 5,04 5 Di atas 3,0 Ha 651.300 3,65 Total 17.830.832 100,00 A Kepemilikan di bawah 0,5 Ha 9.552.957 53,58 B Kepemilikan di bawah 1,0 Ha 13.558.048 76,04 Sumber: Biro Pusat Statistik 24 P a g e

1.3.2.2. Ketersediaan Infrastruktur, Sarana Prasarana, Lahan dan Air Berdasarkan audit jaringan irigasi yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2010 dinyatakan bahwa 52 persen jaringan irigasi yang ada dalam keadaan rusak berat yang memerlukan penanganan segera. Kondisi tersebut mengakibatkan daya dukung irigasi bagi sub sektor tanaman pangan sangat menurun.kerusakan ini terutama diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan sumberdaya alam di daerah aliran sungai, bencana alam serta kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani. Terbatasnya prasarana usahatani seperti jalan usahatani, jalan produksi, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan. Belum cukup tersedianya benih/bibit unggul bermutu, pupuk, pakan, pestisida/obatobatan, alat dan mesin pertanian hingga ke tingkat usaha tani, serta belum berkembangnya kelembagaan pelayanan penyedia sarana produksi.belum perkembangnya usaha penangkaran benih/bibit secara luas hingga di sentra produksi pengakibatkan harga benih/bibit menjadi mahal, bahkan mengakibatkan banyak beredarnya benih/bibit palsu di masyarakat yang pada akhirnya sangat merugikan petani. Pupuk merupakan komoditas yang seringkali menjadi langka pada saat dibutuhkan, terutama pupuk bersubsidi.sistem distribusi yang belum baik serta margin harga dunia yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga pasar domestik mengakibatkan banyak terjadinya praktek penyelundupan pupuk bersubsidi ke luar negeri.dengan keterbatasan penyediaan pupuk kimia, ternyata pengetahuan dan kesadaran petani untuk menggunakan dan mengembangkan pupuk organik sendiri, sebagai pupuk alternative juga masih sangat kurang.tantangan kedepan adalah: (1) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan daerah aliran sungai; pemeliharaan jaringan irigasi pedesaan; pengembangan sumber-sumber air alternatif dan berskala kecil antara lain melalui pemanfaatan teknologi pengambilan air permukaan dan bawah tanah; pembangunan dan pemeliharaan embung dan bendungan serta pemanfaatan sumber air tanah, danau, rawa dan air hujan; (2) Menyediakan semua prasarana yang dibutuhkan petani secara memadai untuk dapat menekan biaya tinggi yang timbul akibat terbatasnya prasarana transportasi dan logistik pada sentra produksi komoditas pertanian tanaman pangan. 25 P a g e

1.3.2.3. Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia Pertanian dan Kelembagaan Pertanian Masih rendahnya tingkat kualitas SDM pertanian terutama dalam penerapan teknologi di lapangan dan penggunaan alat-alat mesin pertanian, yang bersifat spesifik lokasi maupun umum. Pelayanan prima yang belum optimal dilakukan oleh aparat pertanian. Perbaikan manajemen kinerja perlu dilakukan melalui peningkatan sumber daya manusia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan pemantapan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga dapat menciptakan kinerja yang berkualitas serta moral dan etos kerja yang optimal. Organisasi petani yang belum memanfaatkan peluang ekonomi melalui berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar untuk pengembangan usahataninya, tetapi sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Kelembagaan usaha yang ada di pedesaan, seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan ke depan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di perdesaan. Kelembagaan petani belum kuat dan mandiri, sehingga belum dapat berperan secara optimal sebagai mitra pemerintah dan penyalur aspirasi petani. Sistim penyuluham pertanian belum kuat, sehingga belum mampu secara optimal untuk melakukan pemberdayaan petani dan kelembagaan petani. Faktor penyebab belum kuatnya sistim penyuluhan adalah keterbatasan penyuluh baik dari segi jumlah maupun kompotensi, kelembagaan penyuluhan yang belum mandiri dan inovatif, kurangnya sarana serta metode yang belum sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat petani. Berkurangnya jumlah tenaga penyuluh di tingkat lapangan karena penyuluh PNS yang memasuki usia pensiun jauh lebih tinggi dibanding penambahan tenaga 26 P a g e

penyuluh pertanian. Kondisi penyuluh yang ada sekarang sejumlah 28.492 orang dengan wilayah binaan 5 10 desa. 1.3.2.4. Keterbatasan Ketersediaan Sarana Produksi Belum cukup tersedianya benih unggul bermutu, pupuk, pestisida/obat-obatan, alat dan mesin pertanian hingga ke tingkat usaha tani, serta belum berkembangnya kelembagaan pelayanan penyedia sarana produksi. Belum perkembangnya usaha penangkaran benih tanaman pangan secara luas hingga di sentra produksi mengakibatkan harga benih menjadi mahal, dan juga banyak beredarnya benih palsu yang sangat merugikan petani. Pengadaan benih belum sesuai dengan musim tanam, biasanya benih sampai dilokasi setelah musim tanam dan kadangkala benih sudah kadarluasa. Kondisi dikarenakan infrastruktur dan sistem perbenihan sulit berkembang karena memerlukan investasi yang cukup besar, semantara tidak banyak swasta yang mau menanamkan investasi diusaha perbenihan. Ketersediaan benih unggul dan bermutu belum dapat memenuhi kebutuhan petani baik dari aspek jumlah dan waktu yang sesuai dengan kegiatan usaha tani dan masih tergantung dari impor, seperti benih padi atau jagung hibrida. Penggunaan pupuk bersubsidi belum sesuai dengan yang diharapkan disebabkan: 1) Terbatasnya modal petani; 2) Jumlah pupuk bersubsidi yang tersedia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan yang diusulkan daerah; 3) Kemampuan distribusi pupuk tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan; 4) Pabrik pupuk beroperasi dibawah kapasitas terpasang karena terbatasnya suplay bahan baku gas; 5) Permintaan pasar pupuk dan bahan baku pupuk di pasar Internasional meningkat; 6) Perbedaan harga pupuk bersubsidi dengan harga non subsidi di pasar internasional semakin besar dan; 7) Belum optimalnya pengawasan saat distribusi pupuk sampai ke lini terakhir; 8) sistem distribusi yang belum baik serta margin harga dunia yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga pasar domestik mengakibatkan banyak terjadinya praktek penyelundupan pupuk bersubsidi ke luar negeri; dan 9) Pengembangan penerapan pemupukan di tingkat petani belum optimal sehingga 27 P a g e

membutuhkan adanya pendampingan baik berupa pendampingan sumber daya manusia maupun bentuk bantuan. Penggunaan pestisida yang tidak memperhatikan kaidah PHT, malah merugikan bagi pertanian karena membunuh musuh alami serta memunculkan tipe baru OPT yang kebal terhadap pestisida tertentu.penggunaan pestisida yang tidak mengikuti prosedur keamanan sangat membahayakan keselamatan jiwa penggunanya. Tantangan kedepan adalah upaya: (1) Mengembangkan penangkar benih unggul dan bermutu, menumbuhkembangkan kelembagaan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, mendorong petani memproduksi dan meningkatkan pemakaian pupuk organik, serta mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan obat-obatan tanaman/hewan yang ramah lingkungan; (2) Perlu ada upaya yang serius untuk membangkitkan kelembagaan perbenihan nasional mulai dari pusat sampai daerah, termasuk peningkatan kapasitas kemampuan penangkar benih lokal, serta mendorong sosialisasi agar swasta mau menanamkan investasi di usaha perbenihan. 1.3.2.5. Keterbatasan Akses Petani Terhadap Permodalan dan Masih Tingginya Suku Bunga Usaha Tani Kecilnya skala penguasaan dan pengusahaan lahan petani yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pemupukan modal melalui tabungan dan investasi. Tidak mudahnya prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan, tingginya suku bunga, informasi yang masih sulit diakses, panjangnya birokrasi, kurangnya penyuluhan,sehingga petani lebih memilih rentenir yang menyediakan pinjaman modal dengan cepat walau dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding lembaga keuangan formal. Tingkat pengembalian kredit yang umumnya rendah dan berpotensi menjadi kredit bermasalah. Insentif dari pemerintah kepada petani masih dirasa kurang, padahal usaha atau bisnis di bidang pertanian memiliki dampak resiko yang tinggi, baik dari gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman serta 28 P a g e

fluktuasi harga jual produk. Upaya pemerintah untuk melibatkan sektor swasta dalam membantu petani juga masih sangat kurang. Kurangnya peran swasta melalui tanggungjawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap petani disekitarnya. Kurangnya jalinan kemitraan antara petani dan pelaku usaha kecil dengan perusahaan swasta menengah besar. 1.3.2.6. Meningkatnya Persaingan Pemanfaatan Komoditas Tanaman Pangan Meningkatnya permintaan kebutuhan produk tanaman pangan untuk bahan baku industri, pakan ternak, bahan baku penghasil energi, serta meningkatnya pertumbuhan penduduk, mengakibatkan terjadinya persaingan dalam pemanfaatan komoditas tanaman pangan, sementara produksi komoditas tanaman pangan tidak mampu memenuhi semua permintaan tersebut. Sehingga untuk kedepan, selain upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, perlu pula ditingkatkan upaya diversifikasi pangan dengan pangan lokal. 1.3.2.7. Belum Padunya Koordinasi Pemerintahan Dalam Menunjang Pembangunan Subsektor Tanaman Pangan Ketidaksinambungan kebijakan pusat dengan daerah, seperti kurang tersosialisasinya program dan kegiatan, peraturan daerah yang kurang selaras dengan kebijakan nasional dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim akan berdampak buruk terhadap kondisi pangan. Perubahan iklim yang sulit diprediksi berpeluang meningkatnya investasi OPT, gangguan fisiologis tanaman, serta tingginya bahaya kebakaran hutan, kekeringan, dan kebanjiran. Belum optimalnya koordinasi dan komitmen seluruh stakeholder baik dari unsur pemerintahan (legislatif dan eksekutif), petani dan sektor bisnis/swasta/ masyarakat agribisnis lainnya, dalam mendukung upaya pembangunan tanaman disebabkan antara lain disebabkan karena ego sektoral yang masih tinggi, serta misi dan visi yang berbeda. 29 P a g e

BAB II VISI, MISI, DAN TUJUAN DIREKTORAT JENDERALTANAMANPANGAN 2.1. Visi Penetapan visi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengacu pada visi Kementerian Pertanian yaitu Terwujudnya Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang Menghasilkan Beragam Pangan Sehat dan Produk Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Dalam hal ini, kerangka visi yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian perlu dipahami sebagai dasar menetapkan kerangka visi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Tugas dan fungsi yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menjadi faktor penting untuk mengartikulasikan tanggung jawab yang dimiliki. Sebagai penanggung jawab simpul koordinasi dalam pembangunan subsektor tanaman pangan dan dengan mempertimbangkan permasalahan, tantangan yang dihadapi, dan capaian pembangunan selama ini, maka visi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, adalah: Terwujudnya pemenuhan kebutuhan yang cukup secara berkelanjutan dalam memperkuat kedaulatan pangan dan energi nasional. 30 P a g e

Tabel 9. Pokok-pokok Visi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Pokok-Pokok Visi Pemenuhan kebutuhan Cukup Berkelanjutan Kedaulatan pangan Energi nasional Makna Visi Makna pemenuhan kebutuhan akan produksi dapat dilihat dari dua pespektif yaitu jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas). Produksi dalam arti jumlah merupakan hasil (dalam satuan ton) yang dicapai melalui pemanfatan lahan pertanaman, peningkatan produktivitas, dan pengamanan potensi kehilangan hasil produksi. Sedangkan produksi dalam arti mutu merupakan standar tertentu yang dapat dikonsumsi secara layak bagi manusia maupun kebutuhan industri. Cukup berarti jumlah yang dapat disediakan setelah mempertimbangkan kebutuhan konsumsi, kebutuhan perdagangan, dan kebutuhan cadangan (stok). Dalam hal ini, jika kebutuhan dapat dipenuhi secara total dari produksi dalam negeri maka disebut sebagai swasembada. Berkelanjutan berarti memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan. Makna berkelanjutan lainnya adalah melanjutkan kebijakan, program dan kegiatan utama dari rencana strategis sebelumnya, dengan memperhatikan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensi Hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal Daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan meliputi listrik, mekanik dan panas yang berasal dari sumber energi alternatif bahan bakar nabati (biofuel) secara nasional yang merupakan hasil teknologi energi terbarukan. Selama tahun 2015-2019, terdapat 4 (empat) komoditi yang harus ditingkatkan produksinya yaitu padi dalam rangka swasembada, jagung ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal, kedelai diutamakan untuk mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan konsumsi tahu dan tempe, serta ubi kayu sebagai penyedia bahan baku bio-industri. 31 P a g e

Tabel 10. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Strategis Kementerian Pertanian Vis i Mis i Tujuan S as aran S trategis Terwujudnya s is tem pertanian bioindus tri berkelanjutan yang menghas ilkan beragam pangan s ehat dan produk bernilai tambah tinggi berbas is s umberdaya lokal untuk kedaulatan pangan dan kes ejahteraan petani 1 2 3 Mewujudkan K edaulatan P angan Mewujudkan s is tem pertanian bioindus tri berkelanjutan Mewujudkan kes ejahteraan petani 1 2 3 4 Meningkatkan K eters ediaan dan Divers ifikas i Untuk Mewujudkan K edaulatan P angan Meningkatkan nilai tambah dan daya s aing produk pangan dan pertanian Meningkatkan K eters ediaan bahan baku bioindus tri dan bioenergi Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani 1 S was embada padi, jagung, dan kedelai s erta peningkatan produksi daging dan gula 2 P eningkatan diversifikasi pangan 3 4 5 P eningkatan komoditas bernilai tambah, berdaya s aing dalam memenuhi pas ar eks por dan substitusi impor P enyediaan B ahan B aku bioindustri dan bioenergi P eningkatan pendapatan keluarga petani 4 Mewujudkan R eformasi Birokrasi 5 Meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah bidang pertanian yang amanah dan profes ional 6 Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik 2.2. Misi Upaya mewujudkan visi ini, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengemban misi yang harus dilaksanakan yaitu: 1. Mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup dan berkelanjutan melalui pengembangan kawasan-kawasan yang terpadu. 2. Mengembangkan bioindustri komoditi yang memiliki nilai tambah strategis terutama dalam mendukung ketersediaan energi nasional 3. Meningkatkan kualitas kinerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 3.3. Tujuan Berkaitan dengan implementasi visi dan misi tersebut, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menetapkan tujuansebagai berikut: 1. Mewujudkan swasembada padi, jagung, dan kedelai. 2. Meningkatkan kapasitas dan mutu produksi ubi kayu. 3. Meningkatkan akuntabilitas kinerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 32 P a g e

3.4. Sasaran Strategis Sasaran produksi sebagai indikator keberhasilan pencapaian swasembada. Dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian, komoditi prioritas adalah padi, jagung, kedelai dan ubi kayu. Sasaran produksi ini bersifat indikatif. Tabel 11. Sasaran Produksi Komoditi Utama Tanaman Pangan No. Komoditi 2014 (base) Sasaran Produksi (000 Ton) Pertumbuhan 2015 2016 2017 2018 2019 (%/tahun) 1 Padi 70.607 73.445 76.226 78.132 80.085 82.078 3,06 2 Jagung 19.127 20.314 21.354 22.360 23.485 24.700 5,25 3 Kedelai 921 1.200 1.817 2.758 2.941 3.000 28,43 4 Kacang Tanah 655 743 756 769 782 796 4,08 5 Kacang Hijau 239 292 296 300 305 309 5,59 6 Ubikayu 24.559 26.530 27.072 27.624 28.187 28.762 3,24 7 Ubi Jalar 2.360 2.650 2.700 2.750 2.800 2.850 3,93 Untuk mewujudkan tujuan, sasaran strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan ini adalah: 1. Peningkatan Areal Tanam (Luas Tanam/Luas Panen), 2. Peningkatan Produktivitas, 3. Penurunan Kehilangan Hasil Produksi, dan 4. Peningkatan Mutu Hasil Produksi. Dalam mencapai sasaran strategis diatas, diperlukan pemetaan yang sangat rinci pada setiap daerah dengan memperhatikan kemampuan sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dipakai, perilaku usaha yang berkembang, dan selera konsumen di daerah tersebut. Faktor ini sangat penting diperhatikan sehingga tidak menimbulkan ekses negatif atas pencapaian sasaran yang ditetapkan. 33 P a g e

Gambar 5. Model kawasan Tanaman Pangan Tabel 12. Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan Visi Terwujudnya pemenuhan kebutuhan yang cukup secara berkelanjutan dalam memperkuat kedaulatan pangan dan energi nasional 1. Mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup dan berkelanjutan melalui pengembangan kawasankawasan yang terpadu Misi Tujuan Sasaran 2. Mengembangkan bioindustri komoditi yang memiliki nilai tambah strategis terutama dalam mendukung ketersediaan energi nasional 3. Meningkatkan kualitas kinerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 1. Mewujudkan swasembada padi, jagung, dan kedelai. 2. Meningkatkan kapasitas dan mutu produksi ubi kayu 3. Meningkatkan akuntabilitas kinerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 1. Peningkatan Areal Tanam (Luas Tanam/Luas Panen) 2. Peningkatan Produktivitas 3. Penurunan Kehilangan Hasil Produksi 4. Peningkatan Mutu Hasil Produksi 34 P a g e

BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI KERANGKA REGULASI, DAN KERANGKA KELEMBAGAAN 3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Pertanian Sebagai keberlanjutan dari RPJM ke-2 (2010-2014), RPJM ke-3 (2015-2019) diarahkan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat. Sesuai dengan misi dari RPJM ke-3 yaitu memantapkan pembangunan secara menyeluruh, maka pembangunan nasional diprioritaskan untuk menjamin implementasi dari 10 prioritas nasional dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) Pengarusutamaan dan Pembangunan Lintas Bidang, (2) Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, (3) Ekonomi, (4) Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (5) Bidang Politik, (6) Bidang Pertahanan dan Keamanan, (7) Bidang Hukum dan Aparatur, (8) Pembangunan Wilayah dan Tata Ruang, (9) Bidang Penyediaan Sarana dan Prasarana, dan (10) Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Dari 9 (sembilan) agenda pembangunan nasional Nawa Cita, agenda 7 (tujuh) yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, merupakan agenda yang terkait dengan pembangunan sektor pertanian pada sub agenda pertama dari 7 (tujuh) sub agenda prioritas, yaitu Peningkatan Kedaulatan Pangan. Kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (a) Ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (b) Pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri; dan (c) Mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pangan, terutama petani dan nelayan. Untuk tetap meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan, sasaran utama prioritas nasional bidang pangan periode 2015-2019 untuk sub sektor tanaman pangan adalah: Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri. Produksi padi diutamakan ditingkatkan dalam rangka peningkatan surplus beras agar kemandirian pangan dapat dijaga. Produksi kedelai diutamakan untuk 35 P a g e

mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan konsumsi tahu dan tempe. Produksi jagung ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal. Arah kebijakan pemantapan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan pokok dilakukan dengan 4 (empat) strategi utama, sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas produksi padi dalam negeri: a. Secara bertahap mengamankan lahan padi beririgasi teknis didukung dengan pengendalian konversi salah satunya melalui penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) diiringi dengan kebijakan harga serta perbaikan ketepatan sasaran subsidi berdasar data petani. Perluasan sawah baru seluas 1 juta ha di luar Pulau Jawa; b. Pemanfaatan lahan terlantar, lahan marjinal, lahan di kawasan transmigrasi, lahan perkebunan, dan lahan bekas pertambangan untuk mendukung peningkatan produksi padi; c. Peningkatan produktivitas dengan: (i) meningkatkan efektivitas dan ketersambungan jaringan irigasi dan sumber air serta pembangunan jaringan baru; (ii) revitalisasi penyuluhan sekaligus untuk meningkatkan layanan dan penerapan teknologi serta perbaikan penentuan sasaran dukungan/subsidi produksi padi; (iii) revitalisasi sistem perbenihan nasional dan daerah yang melibatkan lembaga Litbang, produsen benih serta balai benih dan masyarakat penangkar termasuk pengembangan 1.000 desa berdaulat benih; (iv) Pemulihan kualitas kesuburan lahan yang air irigasinya tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga; d. Pengembangan produksi pangan oleh swasta dan korporasi terutama BUMN pangan; e. Peningkatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional dan pola penanganan pascapanen dalam mengurangi susut panen dan kehilangan hasil. f. Perlindungan kepada petani yang mengalami kegagalan panen melalui asuransi pertanian sehingga petani dapat kembali melanjutkan kegiatan produksi pertanian dalam rangka menuju tercapainya target produksi nasional. 36 P a g e

2. Peningkatan produksi bahan pangan lainnya, antara lain dengan melakukan: a. Peningkatan produksi tanaman pangan lainnya, berbasis sumber daya lokal melalui peningkatan luas tanam termasuk di lahan kering seluas 1 juta ha di luar Pulau Jawa dan Bali dan produktivitas tanaman pangan terutama jagung dan kedelai; b. Penciptaan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas komoditas tanaman pangan terutama melalui kerjasama antara swasta, Pemerintah dan Perguruan Tinggi; c. Pengembangan kawasan sentra produksi komoditas unggulan yang diintegrasikan dengan model pengembangan techno park dan science park, dan pasar tradisional serta terhubung dengan tol laut; d. Pengembangan pola produksi ramah lingkungan dan sesuai perubahan iklim dengan penerapan produksi organik, bibit spesifik lokal yang bernilai tinggi, dan penggunaan pupuk organik. 3. Peningkatan layanan jaringan irigasi, melalui: a. Pembangunan jaringan irigasi baru khususnya di luar pulau Jawa dan peningkatan fungsi jaringan irigasi, yang mempertimbangkan ketersediaan air dan kesiapan petani penggarap baik secara teknis maupun kultural; b. Rehabilitasi 3 juta Ha jaringan irigasi rusak dan 50 bendungan terutama pada daerah utama penghasil pangan dan mendorong keandalan jaringan irigasi kewenangan daerah melalui penyediaan Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun bantuan pengelolaan dari pemerintah pusat; c. Optimalisasi layanan irigasi melalui operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi; d. Pembentukan manajer irigasi sebagai pengelola pada satuan daerah irigasi; e. Peningkatan peran petani secara langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan daerah irigasi termasuk operasi dan pemeliharaan seperti melalui sistem out-contracting; f. Peningkatan efisiensi pemanfaatan air irigasi dengan teknologi pertanian hemat air seperti System of Rice Intensification (SRI), penggunaan kembali air buangan dari sawah (water re-use), dan pengembangan konsep pemanfaatan air limbah yang aman untuk pertanian (safe use of wastewater in agriculture); 37 P a g e

g. Internalisasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif (PPSIP) dalam dokumen perencanaan daerah; dan h. Pengelolaan lahan rawa berkelanjutan melalui pengelolaan lahan rawa yang dapat mendukung peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan dengan meminimalkan dampak negatif dari kegiatan pengelolaan tersebut terhadap kelestarian lingkungan hidup. 3.2. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Dari arah kebijakan pembangunan pertanian tahun 2015-2019, maka kebijakan yang terkait langsung dengan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, yaitu: Boks 3. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 1. Kebijakan pengembangan gerakan penerapan (adopsi) teknologi dengan memberikan fasilitas sesuai kebutuhan lapangan 2. Kebijakan penguatan basis-basis penangkaran benih dengan memantapkan hubungan penyediaan benih berdasarkan kelas benih dan tata kelembagaan perbenihan yang baik 3. Kebijakan penguatan gerakan pengendalian OPT dan DPI dengan dukungan sarana pengendalian yang kondusif 4. Kebijakan pengembangan penanganan pascapanen sesuai kebutuhan lapangan 5. Kebijakan pendukung lainnya a. Kebijakan mendukung program tematik - Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) - Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Di Indonesia (MP3KI) - Pengarustamaan Gender (PUG) - Kerjasama Selatan-Selatan (KSS) - Ketenaga kerjaan disektor pertanian - Kawasan khusus dan daerah perbatasan - Pengembangan Papua dan Papua Barat b. Kebijakan tatakelola kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi 38 P a g e

1) Kebijakan Pengembangan Gerakan Penerapan (Adopsi) Teknologi dengan Memberikan Fasilitas Sesuai Kebutuhan Lapangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang utama, harus tersedia setiap saat, pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) menyarankan agar penyediaan pangan minimal dalam bentuk ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari, dan ketersediaan protein minimal 57 gram/kapita/hari. Pada periode tahun 2015-2019 pemerintah melalui Kementerian Pertanian akan fokus pada pengembangan 7 (tujuh) bahan pangan pokok strategis yaitu: padi, jagung, kedelai, gula (tebu), daging sapi, cabai dan bawang merah. Dari tujuh bahan pangan pokok tersebut, Padi ditargetkan untuk swasembada dan peningkatan surplus beras, Kedelai untuk mencapai swasembada terutama memenuhi kebutuhan pengrajin dan kebutuhan konsumsi tahu tempe, dan Jagung untuk keragaman pangan dan pakan lokal. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, mengamanatkan agar upaya pemenuhan kebutuhan pangan di dalam negeri diutamakan dari produksi domestik. Untuk membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh, dibutuhkan prasarana yang efektif dan efisien dari hulu hingga hilir melalui berbagai tahapan yaitu: produksi dan pengolahan, penyimpanan, transportasi, pemasaran dan distribusi kepada konsumen. Langkah strategis tersebut didukung melalui : 1) pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian, 2) peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan, 3) peningkaan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang berbasis pada pangan lokal 4) peningkatan status gizi masyarakat, dan 5) peningkatan mutu dan keamanan pangan. Dalam mengembangkan berbagai inovasi dan teknologi untuk mendukung ketahanan pangan, Peningkatan mutu dan standarisasi dilakukan melalui kebijakan Penerapan SNI terutama di tingkat petani dan pelaku usaha. Salah satu bagian dalam penerapan standar mutu yang dilaksanakan di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yaitu penerapan sistem jaminan mutu Good Agricultural Practices (GAP) sesuai dengan Permentan Nomor 48 Tahun 2006 untuk tercapainya budidaya dan bertani secara berkelanjutan yang baik, dan Good Handling Practices (GHP) seperti dinyatakan pada Permentan Nomor 44 Tahun 2009 untuk penanganan hasil panen yang baik, pengolahan/pasca panen dan membangun sistem distribusi yang baik. Indikasi atau ukuran keberhasilan pelaksanaan teknologi tersebut adalah standar terhadap produk pertaniannya. Produk pertanian yang baik memenuhi kriteria kualitas, 39 P a g e

kuantitas dan kontinuitas. Teknologi yang mampu mendaur ulang proses pemanfaatan (zero waste) dan pemanfaatan sumberdaya lokal serta diversifikasi merupakan salah satu bagian dari strategi penguatan teknologi. 2) Kebijakan Penguatan Basis-basis Penangkaran Benih dengan Memantapkan Hubungan Penyediaan Benih Berdasarkan Kelas Benih dan Tata Kelembagaan Perbenihan Yang Baik Ketersediaan benih bermutu sangat menunjang keberhasilan produksi tanaman. Benih menjadi awal untuk menghasilkan komoditas yang mempunyai mutu dan kualitas baik. Benih menjadi salah satu unsur dari sarana usahatani yang memerlukan inovasi pertanian yang terus menerus. Untuk itu diperlukan garis kebijakan seperti: a) Mendorong penggunaan benih unggul berpotensi hasil tinggi, adaptif terhadap perubahan iklim dan ramah lingkungan, efektif dalam penggunaan input, termasuk hasil rekayasa genetika dengan protokol untuk menjamin keamanannya, dengan memberikan fasilitasi akses bagi petani; b) Mendorong pembangunan industri perbenihan nasional berbasis sistem inovasi pertanian nasional, termasuk mendorong dan membina petani penangkar menjadi produsen benih yang mandiri; c) Mendorong penurunan penggunaan input eksternal sintetis melalui penggunaan bahan hayati atau penerapan prinsip pemakaian input eksternal sintetis secara bijaksana; d) Mendorong pembangunan bioindustri agroinput; e) Membangun infrastruktur industri agroinput yang meliputi sistem jaminan mutu (protokol standardisasi, laboratorium uji dan penegakannya) dan sistem distribusi yang efektif dan efisien; dan f) mendorong majunya sistem Sertifikasi benih tanaman serta penerapan standar mutu yang berlaku nasional maupun regional. Dalam mendukung peningkatan penggunaan benih varietas unggul bersertifikat diperlukan sistem pengelolaan produksi benih yang baik sehingga mampu menyediakan benih di tingkat lapangan sesuai dengan kebutuhan petani yang dalam pelaksanaanya harus memenuhi persyaratan, yaitu: tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu dan harga (6 tepat). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berperan dalam menyediakan benih penjenis (breeder seed) dan benih dasar (foundation seed) dan mengendalikan penyediaan benih pokok (stock seed) dan benih sebar (extention seed) yang dilakukan oleh produsen benih melalui proses sertifikasi dan akreditasi. Peranan penangkar/kelompok penangkar benih dalam penyediaan benih varietas unggul bersertifikat sangat penting tetapi di sisi lain masih memiliki keterbatasan seperti luas areal produksi dan sumber daya manusia, prasarana dan sarana, serta modal. 40 P a g e

Guna meningkatkan kinerja para penangkar/kelompok penangkar benih tersebut maka lembaga/institusi di daerah seperti Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH), Produsen Benih Pemerintah/Balai Benih Padi dan Palawija, Produsen Benih BUMN dan Swasta Nasional/Multi Nasional tentunya harus selalu melakukan pembinaan dan memberikan dukungan kepada penangkar/kelompok penangkar benih baik aspek teknis maupun manajemen. Pengembangan dan peningkatan kemampuan industri perbenihan baik yang dikelola oleh swasta maupun yang masih dikelola oleh Pemerintah perlu ditingkatkan melalui peningkatan aspek-aspek strategis antara lain penelitian dan pengembangan varietas, perbanyakan benih, pengawasan mutu dan sertifikasi benih, distribusi/pemasaran dan penggunaan benih di tingkat petani. Dalam rangka peningkatan penggunaan benih varietas unggul bersertifikat diperlukan sistem pengelolaan produksi benih yang baik sehingga mampu menyediakan benih di tingkat lapangan sesuai dengan kebutuhan petani sesuai azas 6 tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu, lokasi dan harga) Produksi benih sumber kelas Benih Dasar (BD) dan Benih Pokok (BP) dilakukan oleh Balai Benih milik pemerintah daerah dan beberapa produsen benih yang memenuhi syarat. Sedangkan produksi benih kelas Benih Sebar (BR) dilakukan oleh produsen benih baik berskala besar (BUMN dan perusahaan swasta) maupun kecil (perusahaan swasta dan para penangkar/kelompok penangkar benih). Lokasi yang digunakan untuk kegiatan pemberdayaan penangkar benih harus memenuhi syarat sebagai berikut : (1) Diprioritaskan bukan daerah endemis organisme pengganggu tumbuhan (OPT), bebas dari bencana kekeringan, banjir dan sengketa, dan (2) Kegiatan pemberdayaan penangkar benih diusahakan pada lokasi yang strategis dan mudah dijangkau. 3) Kebijakan Penguatan Gerakan Pengendalian OPT dan DPI dengan Dukungan Sarana Pengendalian Yang Kondusif Penguatan Gerakan Pengendalian OPT Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Pasal 20 mengamanatkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan 41 P a g e

sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT), dan pelaksanaannya menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah. Pemerintah akan memberikan bantuan dalam kondisi kritis apabila masyarakat tani tidak mampu lagi mengatasi gangguan OPT atau terjadinya eksplosi serangan. Dengan demikian, kesuksesan upaya perlindungan tanaman sangat tergantung pada pengetahuan, pemahaman, dan penerapan sistem PHT oleh petani. Sistem PHT mengedepankan pengelolaan agroekosistem dan teknologi pengendalian OPT yang berbasis sumberdaya alam, diantaranya penggunaan agens hayati, pestisida nabati, dan teknologi pengendalian spesifik lokasi. Penerapan dan pemasyarakatan sistem PHT telah dikembangkan sejak awal tahun 1990 melalui Sekolah Lapangan. Saat ini, salah satu program pemasyarakatan PHT yang telah dikenal dan berkembang baik di masyarakat adalah Sekolah Lapangan Pengelolaan Pengendalian Hama Terpadu atau lebih dikenal dengan SLPHT. Berdasarkan hasil evaluasi, SLPHT terbukti efektif dan mampu mendorong petani untuk menerapkan prinsip PHT dalam usaha taninya (Petani Ahli PHT). Sehingga pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mencanangkan program program/kegiatan berupa gerakan/aksi nyata di lapangan yaitu Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Kegiatan Penerapan PHT ini merupakan salah satu bentuk pengamanan produksi dengan memberdayakan petani alumni SLPHT dan melibatkan petani yang belum dilatih dalam SLPHT. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara meluas dan melembaga dalam suatu wilayah/kawasan/daerah dapat mendukung upaya pengamanan produksi tanaman dan menjaga kelestarian agroekosistem. Penguatan Gerakan Pengendalian DPI Pemanasan global akibat melimpahnya Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2 di atmosfer telah dirasakan beberapa tahun terakhir, terutama disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan industri di seluruh dunia dan berkurangnya luas hutan sebagai penyerap GRK, sehingga mengakibatkan adanya perubahan iklim global di seluruh belahan bumi. Dampak perubahan iklim ini menyebabkan peningkatan suhu udara akibat fenomena emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berpotensi terhadap penurunan produksi, produktivitas dan mutu produk pertanian; kenaikan muka air laut, perubahan pola hujan yang artinya terjadi pergeseran musim, juga menyebabkan perubahan pola iklim ekstrim seperti El Nino, yang ditandai oleh adanya musim kemarau yang panjang yang menyebabkan kekeringan, dan La Nina, di mana musim hujan lebih lama dari biasanya yang menyebabkan terjadinya banjir; terjadinya eksplosi hama dan penyakit tanaman serta gangguan dalam proses pascapanen, distribusi dan pemasaran produk pertanian. 42 P a g e

Pertanian merupakan salah satu sektor yang rentan terhadap terjadinya perubahan iklim dan merasakan dampak akibat perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia. Perubahan iklim ini mengancam ketahanan pangan di seluruh negara di dunia. Tanaman pangan yang paling rentan terhadap perubahan curah hujan, karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan tanaman pangan sangat berhubungan dengan penggunaan lahan, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan varietas. Oleh sebab itu kerentanan tanaman pangan terhadap pola curah hujan akan berimbas pada luas areal tanam, luas panen, produktivitas dan kualitas hasil. Unsur-unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban udara dan radiasi matahari, selain keadaan tanah, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi dan mutu hasil tanaman. Meningkatnya suhu udara mempengaruhi tanaman karena meningkatkan laju pernafasan (respirasi) dan penguapan (transpirasi) sehingga meningkatkan konsumsi air, selain meningkatkan perkembangbiakan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tertentu yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tanaman. Peningkatan suhu udara ini juga mempercepat pematangan buah dan biji yang mengakibatkan penurunan mutu hasil tanaman. Beberapa program antisipasi yang penting untuk dilaksanakan diantaranya: penyusunan strategi dan perencanaan pengembangan infrastruktur (terutama jaringan irigasi), evaluasi tata ruang untuk pengaturan lahan (penyesuaian jenis tanaman dengan daya dukung lahan), pengembangan sistem informasi dan peringatan dini banjir serta kekeringan, penyusunan dan penerapan peraturan perundangan mengenai tata guna lahan dan metode pengelolaan lahan. Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Program mitigasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi rendah emisi, antara lain varietas unggul dan jenis tanaman yang rendah emisi dan atau kapasitas absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, biopestisida dan pakan ternak rendah emisi GRK. Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir, salinitas dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian, teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan dan lain-lain. Secara kelembagaan program ini diarahkan untuk pengembangan sistem informasi seperti sekolah lapangan iklim (SLI), sistem penyuluhan dan kelompok 43 P a g e

kerja (pokja) variabilitas dan perubahan iklim sub sektor pertanian serta pengembangan sistem asuransi pertanian akibat resiko iklim (crop weather insurance). Sejak tahun 2004, Sekolah lapangan Iklim (SLI) merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dalam memberdayakan petani agar lebih mampu memahami dan menggunakan informasi iklim untuk mengelola usahataninya. SLI juga merupakan upaya pemberdayaan petani agar lebih siap dalam menghadapi dan mengatasi dampak fenomena iklim. Pada periode tahun 2015-2019 strategi pemberdayaan petani dalam menghadapi dampak fenomena iklim tidak lagi dalam bentuk sekolah lapangan namun telah diimplementasikan dalam Penerapan Penanganan Dampak Perubahan Iklim (PPDPI). PPDPI dapat dilakukan melalui strategi antisipasi, adaptasi dan mitigasi. Kegiatan adaptasi dalam penanganan dampak perubahan iklim (banjir/kekeringan) antara lain Kalender Tanam (pola tanam berdasarkan pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi), Varietas Unggul Baru yang adaptif (toleran kegaraman, tahan kering, umur genjah dan tahan genangan), startegi pengelolaan sumber daya air (teknologi identifikasi potensi ketersediaan air, teknologi panen hujan dan aliran permukaan, teknologi prediksi curah hujan dan teknologi irigasi) serta strategi pengelolaan sumber daya lahan/tanah seperti pemupukan. Upaya adaptasi tersebut diatas dapat pada diterapkan atau menjadi pilihan untuk penanganan DPI yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat (spesifik lokasi). Sasaran pelaksanaan penerapan penanganan DPI dalah kelompoktani alumni SLI atau kelompok tani yang memiliki anggota alumni SLI yang lahannya di daerah rawan DPI (banjir/kekeringan) pada satu hamparan yang secara bersama-sama dapat menerapkan teknologi adaptasi di lahannya. Sebagai solusi untuk berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK melalui aksi-aksi mitigasi dan adaptasi dilakukan dengan penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat mendukung pertanian berkelanjutan sebagai berikut: (1) setiap aksi penurunan emisi GRK di sektor pertanian harus mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas; (2) dipilih yang sesuai dengan sistem dan usaha pertanian rakyat dalam meningkatkan kesejahteraan petani; (3) mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah, sehingga teknologi yang akan diterapkan harus bersifat tenologi tepat guna dan spesifik lokasi dengan mengadopsi sebesar-besarnya kearifan lokal. Sedangkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional akibat dampak perubahan iklim (banjir dan kekeringan), diperlukan adanya dukungan pengamanan produksi pangan dari dampak perubahan iklim melalui pemberdayaan kelompoktani/petani, dan 44 P a g e

penanganan dampak perubahan iklim secara optimal, melembaga, memasyarakat dan berkelanjutan. 4) Kebijakan Pengembangan Penanganan Pascapanen Sesuai Kebutuhan Lapangan Penanganan Pasca Penen Hasil Pertanian Asal Tanaman Yang Baik (Good Handling Practices) bertujuan untuk (1) menekan kehilangan/kerusakan hasil (losses), (2) memperpanjang daya simpan melalui sistem pergudangan, (3) mempertahankan kesegaran, (4) meningkatkan daya guna, (4) meningkatkan nilai tambah, (5) Meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan sarana, (6) meningkatkan daya saing, (7) memberikan keuntungan yang optimum dan/atau mengembangkan, serta (8) usaha pasca panen hasil pertanian asal tanaman yang berkelanjutan. Berdasarkan Permentan Nomor 44/OT.140/10/2009, pengertian Panen merupakan serangkaian kegiatan pengambilan hasil budidaya tanaman dengan cara dipetik, dipotong, ditebang, dikuliti, disadap dan atau dicabut pada umur/waktu, cara dan/atau sarana yang tepat. Penanganan Pascapanen tanaman pangan memegang peranan penting dan merupakan bagian integral sebagai pendukung pembangunan pertanian secara keseluruhan. Keberhasilan penanganan pascapanen tanaman pangan bukan hanya meningkatkan produksi tanaman pangan dan pendapatan petani, tetapi juga dapat meningkatkan mutu produksi guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan. Sasaran penanganan pascapanen tanaman pangan adalah : (1) Turunnya tingkat susut hasil (losses) tanaman pangan; (2) Tercapainya perbaikan mutu hasil panen tanaman pangan sesuai permintaan pasar; (3) Tercapainya perpanjangan masa simpan hasil tanaman pangan; (4) Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk tanaman pangan; (5) Tersusunnya pengembangan sistem pengelolaan pascapanen tanaman pangan; dan (6) Terbentuknya pengembangan dan pemantapan kelembagaan pascapanen. Salah satu upaya penanganan susut hasil, mempertahankan mutu, meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian sehingga mendorong peningkatan produksi yang bermutu adalah dengan pemberian sarana pascapanen berupa alat atau mesin pascapanen yang digunakan mulai proses panen sampai proses pengemasan, kepada kelompok tani/gabungan kelompok tani. 45 P a g e

5) Kebijakan Pendukung Lainnya a) Kebijakan mendukung program tematik Program tematik sebagai kegiatan yang secara langsung berimplikasi terhadap pertumbuhan di sektor pertanian yaitu: MP3EI, MP3KI, Pengarustamaan Gender, Tenaga Kerja, Pembangunan Daerah Khusus Perbatasan, Tertinggal dan Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai salah satu bagian dari rencana pembangunan jangka panjang Indonesia. Landasan hukumnya adalah Perpres Nomor 32 Tahun 2011. Pasal 1 ayat 2 Perpres ini menyebutkan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak 2011 sampai 2025. MP3EI disusun untuk melakukan percepatan pembangunan di setiap Koridor Ekonomi. Kebijakan yang diambil, baik pembangunan infrastruktur maupun perbaikan regulasi, diharapkan dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Ada enam koridor yang menjadi fokus dalam MP3EI yaitu: Koridor Ekonomi 1) Sumatera dengan tema Sentra Produksi dan Pengelolaan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional, 2) Jawa dengan tema Pendorongan Industri dan Jasa Nasional, 3) Kalimantan dengan tema Pusat Produksi dan Pengelolaan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional, 4) Sulawesi dengan tema Pusat Produksi dan Pengelolaan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional, 5) Bali-Nusa Tenggara dengan tema Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional, dan 6) Papua-Kepulauan Maluku dengan tema Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional. Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Di Indonesia (MP3KI), merupakan kebijakan pembangunan nasional yang pro job (membuka kesempatan kerja), pro-poor (berdampak pada kesejahteraan), progrowth (berpihak pada pertumbuhan ekonomi). Kebijakan pembangunan pro-growth tengah digalakkan melalui MP3EI yang lebih berorientasi pada market driven dan heavy investment. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemerataan dengan program MP3KI yang lebih berorientasi pada kebijakan pembangunan pro-job dan pro-poor. MP3KI memberi perlindungan dan penguatan pada kelompok yang fokus pada terciptanya pendapatan dengan pembukaan lapangan kerja serta bermuara pada pengentasan kemiskinan. 46 P a g e

Pengarustamaan Gender (PUG) mengarah kepada aspek kesetaraan dan keadilan petani (laki-laki dan perempuan) dengan memperhatikan kebutuhan, permasalahan, aspirasi, pengalaman, peran dan tanggung jawab serta dampaknya pada seluruh pelaku pembangunan. menjadi komitmen Kementerian/Lembaga sejak diterbitkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 dan RPJMN 2010-2014. Kemenenterian/Lembaga diwajibkan menerapkan PUG sebagai salah satu strategi dalam pencapaian program kerjanya. Strategi tersebut juga harus dilaksanakan pada kebijakan pembangunan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta mendorong setiap penyusunan perencanaan kebijakan/program diawali dengan proses analisis gender melalui empat aspek, yaitu: partisipasi, akses, kontrol dan manfaat yang diperoleh dari pelaku itu sendiri. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), adalah Program yang merupakan kerja sama antarnegara berkembang yang didasarkan pada prinsip-prinsip antara lain, solidaritas, nonkondisionalitas, mutual benefit dan non-interference. Kerjasama Selatan-Selatan terdiri dari dua, yaitu Kerjasama Ekonomi yang lebih luas antara negara berkembang, dan kerjasama Teknis yang lebih fokus di antara negara berkembang. Ketenaga Kerjaan disektor pertanian diharapkan mengalami penurunan, dan dengan menurunnya pangsa pasar tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian primer diharapkan akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan menurunkan jumlah petani yang hidup dalam kemiskinan, sehingga akan terjadi peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan, yang akhirnya akan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif sama dengan sektor industri dan jasa lainnya. Angkatan kerja pertanian primer diharapkan 7 persen pada 2045 dan PDB 3 persen pada 2045. Percepatan daerah tertinggal, menjadi arah kebijakan nasional dalam RPJMN 2015-2019 yaitu mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah dengan percepatan pembangunan daerah tertinggal.pemerintah memiliki target untuk mengupayakan pada tahun 2015 dapat mengentaskan daerah ketertinggalan turun dari 114 tahun 2014 menjadi 39 kabupaten pada 2019 termasuk daerah perbatasan dan terpencil. Pembangunan di daerah tertinggal lebih dominan ada pada upaya memaksimalkan pelayanan dasar sektor petanian. Kawasan khusus dan daerah perbatasan. Pembangunan di daerah perbatasan menjadi arah kebijakan nasional dalam RPJMN 2015-2019 yaitu mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah dengan percepatan pembangunan daerah perbatasan. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai 47 P a g e

sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Sektor pertanian menjadi dominan dalam pembangunan daerah perbatasan darat. Hal ini dikarekan Sektor pertanian lebih banyak dilaksankan di daratan. Untuk dapat bersaing dengan produk di Negara tetangganya meningkatkan pelayanan dasar di sektor pertanian, melalui pembanguan jalan usaha tani, pembangunan jaringan irigasi, subsidi benih dan pupuk, pendampingan, meningkatkan produksi dan produktivitas menjadi hal yang harus diperhatikan. Pengembangan Papua dan Papua Barat. Pembangunan di Papua dan Papua Barat menjadi arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 yaitu mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah dengan menjaga momentum pertumbuhan wilayah Jawa, Bali, Sumatera serta meningkatkan kinerja pusat-pusat pertumbuhan wilayah di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papau. Pembangunan infrastruktur dan kelembagaan menjadi hal yang sangat penting untuk diutamakan terkait dengan lokasi geografisnya yang sangat berbeda dengan porvinsi lainnya yang ada di Indonesia dan kuatnya adat yang masih melekat di masyarakat setempat. b) Kebijakan Tatakelola Kepemerintahan yang Baik dan Reformasi Birokrasi Penerapan tatakelola pemerintahan yang baik diharapkan terwujud dalam pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, dan kapasitas dan akuntabilitas kinerja bikrokrasi yang tinggi.tanpa pemerintahan yang bersih akan sulit dicapai pengelolaan sumber daya pembangunan secara akuntabel, yang akan berakibat langsung pada menurunnya kualitas pelayanan publik, serta menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Salah satu faktor utama dalam mewujudkan pemerintah yang bersih (Clean Goverment) dan kepemerintahan yang baik (Good Governance) adalah birokrasi. Birokrasi mempunyai peran yang penting dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efesien kualitas pelayanan kepada masyarakat serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan reformasi birokrasi yang merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar terhadap sistem penyelenggaraan 48 P a g e

pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi),ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia aparatur. Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan tatakelola pemerintahan dan pelaksanaan reformasi birokrasi, maka arah kebijakan yang akan dilakukan adalah pemantapan pelaksanaan yang telah dilakukan peride sebelumnya. Pemantapan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dilakukan melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang berwibawa, dan transparan. Untuk itu diperlukan upaya-upaya antara lain: (1) Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN: (2) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, melalui kebijakan keterbukaan informasi publik dimana pemerintah harus memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat yang ditopang oleh efisiensi struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai; (3) Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi (organisasi yang tepat, tatalaksana, prosedur yang jelas, regulasi yang tertib); (4) Mendorong penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja melalui perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik (mengukur kinerja Renstra, Renja dll); (5) Mengoptimalkan tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pegawai; (6) Penataan manajemen sumber daya manusia aparatur yang profesional yang mempunyai kompetensi; (7) Penataan pengawasan dan akuntabilitas kinerja; (8) Pembenahan sistem kelembagaan, ketatalaksanaan dan manajemen pemerintah di pusat dan daerah agar semakin efektif, efisien dan responsif serta berorientasi pada peningkatan kinerja SDM Aparatur; (9) Penyajian data yang lengkap, akurat dan terpercaya sebagai landasan pengambilan keputusan di semua level birokrasi, serta (10) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka efisiensi kerja dan optimalisasi pelayanan publik. 49 P a g e

3.3. Langkahdan Strategi Operasional Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 3.3.1. Langkah Operasional Berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menetapkan strategi pencapaian produksi tanaman pangan melalui: 1) Perluasan Areal Tanam/Peningkatan Luas Tanam, dan 2) Peningkatan Produktivitas. Langkah operasional untuk peningkatan produksi dan produktivitas padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi jalar terbagi dua yaitu; (1) Peningkatan Luas Tanam, dan (2) Peningkatan Produktivitas. Upaya peningkatan luas tanam yaitu melalui: (1) memanfaatkan lahan baku yang ada (pemanfaatan lahan peremajaan Perhutani dan Inhutani), (2) pencetakan lahan baru/cetak sawah, (3) optimalisasi atau peningkatan indeks pertanaman, (4) pemanfaatan lahan terlantar, (5) serta melalui pola tumpangsari. Dalam meningkatkan produktivitas lahan, diupayakan perbaikan dan pembangunan irigasi untuk 3 juta hektar sawah serta pembangunan 25 bendungan yang salah satunya ditujukan untuk pengarian sawah. Sedangkan dalam hal peningkatan luas tanam, diupayakan melalui pencetakan sawah baru sekitar 1 juta hektar. Selan itu dilakukan langkah mengembalikan atau menjaga kesuburan lahan agar produktivitas tetap terjaga secara berkelanjutan. 50 P a g e

Gambar 6. Langkah Operasional Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan 3.3.2. Strategi Operasional Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, ditempuh strategi operasional melalui Perluasan Areal Tanam/Peningkatan Luas Tanam dan Peningkatan Produktivitas. 51 P a g e