BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS WACANA KRITIS TENTANG KOMUNITAS HARDCORE FRIENDS STAND UNITED (FSU) DALAM FILM BOSTON BEATDOWN VOL. II. Oleh SAMUEL CHANDRAMUKTI PEMASELA

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sistem diskriminasi dan pemisahan ras (apartheid). Sistem diskriminasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sesuatu yang dapat dirasakan, dipikirkan, dan dihayati, dalam seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mengonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang melingkupinya. Pada saat kita

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.

BAB I PENDAHULUAN. luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Qacan Kritis Teks Jurnalistik Pada Surat Kabar Online Le Monde

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

ANALISIS WACANA KRITIS TENTANG PEMBERITAAN SUPORTER PERSIB DAN PERSIJA DALAM MEDIA PIKIRAN RAKYAT ONLINE DAN RAKYAT MERDEKA ONLINE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Apriyanti Rahayu FAuziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat. Musik juga menjadi warna tersendiri yang dapat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB V IDEOLOGI ARMADA RACUN

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber informasi yang sangat penting bagi masyarakat. Di antara berbagai media

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. lain, seperti koran, televisi, radio, dan internet. produksi Amerika Serikat yang lebih dikenal dengan nama Hollywood.

BAB III METODE PENELITIAN. mendalam. Dalam bab ini peneliti akan menggunakan Analisis Wacana yaitu

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pengertian metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi massa yang terdiri dari tiga elemant peanting yaitu media, audience,

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 3 PERSEPSI MAHASISWA JEPANG TENTANG ISLAM YANG MUNCUL SETELAH MENONTON TELEVISI PASCAPERISTIWA 9/11

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi kita. 1. tersebar banyak tempat, anonym dan heterogen.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ANGKET PENELITIAN. No. Responden

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media komunikasi massa yang membawa pesan yang berisi gagasan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Disadur dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi diartikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sementara itu, istilah politik pada konteks ini berarti kekuasaan. Oleh

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap permasalahan yang ada. Metode penelitian bermakna seperangkat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang, memudahkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Politik menurut Aristoteles yang dikutip dalam Arifin (2011: 1) adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu komunikasi saat ini berkembang pesat jika dibandingkan dengan masa lampau, hal

semakin majunya teknologi teknologi yang terus ditemukan. Selain itu hal ini juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan agenda politik. bangsa Indonesia yang negaranya menganut paham demokrasi. Salah satu tahapan

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh informasi dan pengetahuan serta wadah untuk menyalurkan ide,

BAB IV PENUTUP. kembali isu yang dianggap penting dalam sebuah media. Unsur-unsur audio visual

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

PEMAKNAAN SISTEM SIMBOL DALAM IKLAN ROKOK OLEH KHALAYAK DEWASA AWAL KOTA BOGOR (Kasus Iklan Sampoerna A Mild tajuk Tanya Kenapa? )

Bagan 3.1 Desain Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. media visual yang bekerja dengan gambar-gambar, simbol-simbol, dan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, seni, lukisan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN. (komunikator) mampu membuat pemakna pesan berpola tingkah dan berpikir seperti

Transkripsi:

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1 Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada dalam sebuah kancah alternatif dan menarik pengikutnya dengan hal-hal yang dianggap memberontak. Mereka mendapat sebuah wadah yang sama dimana keberadaan mereka dapat diterima. Hardcore berkembang sebagai sebuah budaya tandingan atas budaya dominan yang sedang berlangsung di Amerika pada pertengahan dekade 80-an. Sebuah jawaban atas kematian musik punk di dalam kancah musik alternatif, yang mengalami kemunduran karena dominasi gelombang pop-elektronik saat itu. Lebih daripada warna musik yang terkandung di dalamnya, genre ini muncul sangat bertepatan dengan kebijakan-kebijakan politik luar negeri presiden Amerika Serikat saat itu, yakni Ronald Reagan, terhadap permasalahan perang dingin dan perang Irak yang pertama. Genre musik metal, punk, maupun hardcore secara tegas mengakui adalah sebuah bentuk counter-culture terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat. Berada dalam sebuah kancah alternatif membuat para pengikutnya tertarik dengan hal-hal yang dianggap memberontak. Para pengikut kancah tersebut tidak merasa asing, dikarenakan perilaku memberontak mereka mendapat sebuah wadah yang sama, dimana mereka tidak merasa asing di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dipaparkan, punk, metal, maupun hardcore memiliki sebuah ideologi pemberontakan yang identik dengan nafas genre masing-masing (Robbyansyah, 2011 : 341). Di Indonesia sendiri musik hardcore sudah mulai masuk sekitar medio 1990-an, namun tidak terlalu terlihat karena berada dalam bayangan musik metal yang lebih menjadi favorit saat itu. Sepuluh tahun kemudian

pada medio 2000-an, genre ini berkembang sangat luas di Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan bahkan sampai ke Salatiga. Di kota kecil seperti Salatiga pun, scene hardcore mulai terbentuk satupersatu hingga akhirnya menjadi hal yang sangat familiar terutama di kalangan pelajar. Band-band dengan genre hardcore mulai mendominasi panggung underground dan indie di Salatiga. Kaos band, jaket, dan topi ber-atributkan hardcore, menjadi barang yang paling dicari oleh pelajar SMP dan SMA. Dengan cepat film Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes menjadi refrensi wajib untuk anak-anak di dalam scene-scene hardcore lokal, yang bahkan sebagian besar berumur dibawah 18 tahun. Distorsi ada dalam bentuk tidak tersedianya terjemahan atau subtitle dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, maka fokus film ini akan jatuh pada citra kekerasan yang ditampilkan. Sedikit banyak film Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes ini mempengaruhi pemikiran dan tindakan dari anak-anak dalam scene hardcore. 2 Pada tahun 2004, beberapa anggota Friend Stand United (FSU) membuat film dokumenter berjudul Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes yang mendokumentasikan perilaku agresif, gaya hidup dan wawancara langsung dengan beberapa anggota FSU selama periode 1990-an. Dalam film tersebut diperlihatkan secara eksplisit bagaimana cara mereka bersenang senang dan mengekspresikan diri dalam gigs (adalah istilah acara kolektif dalam musik underground), salah satunya dengan moshing dan slamdancing. Adapun beberapa video yang memperlihatkan seringnya mereka terlibat dalam perkelahian, secara individu maupun berkelompok. Sebuah ideologi yang tertanam dibalik gaya hidup dan perilaku agresif para anggota FSU yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang awam. Karena pada awalnya scene FSU ini adalah komunitas heterogen yang bergerak melawan paham fasis yang saat itu masih banyak terselip dalam beberapa genre musik seperti neo-nazi punk

dan white power. Menurut Theodor Adorno dalam homogenisasi musik yang berorientasi sebatas komoditas dan hiburan, selalu masih ada beberapa pihak yang menggunakan musik sebagai sesuatu yang lebih. Adorno menyebutnya Elitisme. Adorno menerangkan elitisme disini sebagai sebagian kecil dari mereka yang terpilih dan tercerahkan, dengan cara melaksanakan praktek intelektual dan kultural dalam musik mereka, dan bisa memisahkan diri dari aktivitas massa sehingga bisa melawan kekuatan industri budaya, atau bisa disebut musik sebagai media resistensi. Perkembangan media membantu film ini menyebar sampai ke Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam komunitas komunitas serupa yang ada di berbagai kota bahkan Salatiga. Kebanyakan dari mereka mengadopsi mentah mentah apa yang terlihat di film tersebut tanpa mengerti maksud dan pesan sebenarnya dibalik isi kekerasan yang secara terang terangan didokumentasikan dalam film ini, karena beberapa distorsi yang terjadi seperti tidak tersedianya sub-title dalam film dan tingkatan umur penonton yang rata rata masih berstatus pelajar sekolah. Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran berbagai macam gagasan, konsep, serta dapat memunculkan dampak dari penayangannya. Ketika seseorang menonton sebuah film, maka pesan yang tersirat secara eksplisit maupun implisit oleh film tersebut secara tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap maksud pesan dalam film. Seorang pembuat film merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan. Cerita pada film tidak saja berupa refleksi dari realitas kehidupan masyarakat yang dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi media representasi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film menghadirkan dan membentuk kembali realitas berdasarkan kode kode, 3

konvensi konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Film sebagai sebuah konsep representasi memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk, baik pada proses maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi juga menjadi penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh lagi, makna dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan ungkapan verbal tapi juga visual. (Hall, 1997 : 68). Elgin Nathan James adalah salah satu aktor utama pendiri FSU, seorang ber-ras afro-amerika yang dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan alkoholik dan pemadat (ganja). Namun ironisnya James teguh membentuk mental dan sikap untuk tidak mengkonsumsi zat-zat tersebut. James juga menolak keyakinan pasif warisan dari orang tuanya (yang telah mengikuti Martin Luther King Jr) dan mulai mempelajari tulisan-tulisan Malcolm X, Stokley Carmichael dan Huey P. Newton, menggabungkan pemikiran mereka dengan cita-cita punk yang agresif (Catalano, 2003 : 14-16). Pada awal periode 2000-an, James mendokumentasikan perkembangan FSU di Boston pada periode 1990-an dalam beberapa film dokumenter, dan salah satunya yang sangat terkenal adalah Boston Beatdown Volume II. Bertajuk See The World Through Our Eyes, James menunjukan bagaimana scene ini berjuang mempertahankan ideologi mereka dengan cara mereka sendiri meskipun sedikit ekstrim. Dalam film Boston Beatdown ini, musik tidak hanya sekedar musik yang didengarkan untuk sebatas hiburan. Namun lebih dari itu, musik berrevolusi menjadi salah satu media sub-kultur urban yang di dalamnya terdapat sebuah prinsip, gaya hidup, sikap, dan ideologi yang dikonversikan ke dalam kehidupan nyata dari sudut pandang scene FSU di Boston. Dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang pesan dan makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Elgin James melalui media film Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes. 4

Untuk memfokuskan penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas terarah, penulis mengambil analisis wacana model Teun A. Van Dijk, yang membagi secara teks, kognisi sosial dan konteks sosial. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari teks (struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro)? 2. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari sudut kognisi sosial? 3. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari sudut konteks sosial? 1.3 Tujuan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk : 1. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana film dokumeneter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari teks (struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro). 2. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana film documenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari sudut kognisi sosial. 5

3. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana film documenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes dilihat dari sudut konteks sosial. 1.4 Manfaat Penelitan Manfaat Teoritis 1. Memberi gambaran bagaimana latar belakang maupun ideologi yang mendasari gaya hidup scene FSU dalam film Boston Beatdown Vol. II. 2. Memperkaya wawasan tentang sub-kultur urban di masyarakat. 3. Menjadi landasan dan gambaran penelitian bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotika film. Manfaat Akademis Peneliti diharapkan mampu mengembangkan ilmu komunikasi berdasarkan teori komunikasi yang telah dipelajari dalam perkuliahan sebelumnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu membalikan persepsi khalayak terhadap film dokumenter Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes sebagai sebuah film yang tidak hanya mendokumentasikan tentang kekerasan. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan terhadap para khalayak yang aktif di scene hardcore lokal Salatiga dalam proses penyaringan pesan dan makna yang diberikan oleh sebuah media. 6