BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Proses perpindahan panas secara konduksi Sumber : (maslatip.com)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk membuat agar bahan makanan menjadi awet. Prinsip dasar dari pengeringan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Bergelombang untuk Pengering Bunga Kamboja

Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Datar Dengan Lima Sirip Berdiameter Sama Yang Disusun Secara Sejajar

Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Datar Dengan Sepuluh Sirip Berdiameter Sama Yang Disusun Secara Staggered

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

SKRIPSI ANALISA PERFORMANSI KOLEKTOR SURYA PELAT BERGELOMBANG UNTUK PENGERING BUNGA KAMBOJA DENGAN EMPAT SISI KOLEKTOR. Oleh :

Analisis performansi kolektor surya terkonsentrasi menggunakan receiver berbentuk silinder

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR...

SUDUT PASANG SOLAR WATER HEATER DALAM OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI DI DAERAH CILEGON

Analisa performansi kolektor surya pelat bergelombang dengan variasi kecepatan udara

Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di Atas Pelat Penyerap

Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap

SISTEM DISTILASI AIR LAUT TENAGA SURYA MENGGUNAKAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN TIPE KACA PENUTUP MIRING

Analisa Performansi Kolektor Surya Plat Datar Dengan Penambahan Sirip Berlubang Berdiameter Berbeda Yang Disusun Secara Staggered

BAB II DASAR TEORI. Perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

PENDEKATAN TEORITIS. Gambar 2 Sudut datang radiasi matahari pada permukaan horizontal (Lunde, 1980)

Performansi Kolektor Surya Tubular Terkonsentrasi Dengan Pipa Penyerap Dibentuk Anulus Dengan Variasi Posisi Pipa Penyerap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

PENGARUH JARAK ANTAR PIPA PADA KOLEKTOR TERHADAP PANAS YANG DIHASILKAN SOLAR WATER HEATER (SWH)

PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis Energi Unit Total Exist

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T in = 30 O C. 2. Temperatur udara keluar kolektor (T out ). T out = 70 O C.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Energi surya merupakan energi yang didapat dengan mengkonversi energi radiasi

TEKNOLOGI ALAT PENGERING SURYA UNTUK HASIL PERTANIAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR BERPENUTUP MIRING

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

BAB IV PERHITUNGAN SOLAR COLLECTOR TYPE PARABOLIC TROUGH

PENGANTAR PINDAH PANAS

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

Analisa Kinerja Alat Destilasi Penghasil Air Tawar dengan Sistem Evaporasi Uap Tenaga Surya

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Energi Matahari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Preparasi pengukuran suhu kolektor surya dan fluida kerja dengan Datapaq Easytrack2 System

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

9/17/ KALOR 1

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam

BAB IV. HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA

RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER

T P = T C+10 = 8 10 T C +10 = 4 5 T C+10. Pembahasan Soal Suhu dan Kalor Fisika SMA Kelas X. Contoh soal kalibrasi termometer

ANALISA KARAKTERISTIK ALAT PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNG PARABOLA

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving

Peningkatan Efisiensi Absorbsi Radiasi Matahari pada Solar Water Heater dengan Pelapisan Warna Hitam

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISA PERFORMANSI KOLEKTOR SURYA PELAT DATAR DENGAN LIMA SIRIP BERDIAMETER SAMA YANG DISUSUN SECARA EJAJAR. : I Wayan Sudiantara ABSTRAK

OPTIMALISASI PENYERAPAN RADIASI MATAHARI PADA SOLAR WATER HEATER MENGGUNAKAN VARIASI SUDUT KEMIRINGAN

Pengaruh Tebal Plat Dan Jarak Antar Pipa Terhadap Performansi Kolektor Surya Plat Datar

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi

PENGARUH BENTUK PLAT ARBSORBER PADA SOLAR WATER HEATER TERHADAP EFISIENSI KOLEKTOR. Galuh Renggani Wilis ST.,MT. ABSTRAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: ( Print)

SUHU DAN KALOR DEPARTEMEN FISIKA IPB

PENGARUH BENTUK DAN OPTIMASI LUASAN PERMUKAAN PELAT PENYERAP TERHADAP EFISIENSI SOLAR WATER HEATER ABSTRAK

KALOR SEBAGAI ENERGI B A B B A B

Perancangan Solar Thermal Collector tipe Parabolic Trough

PENGUJIAN MESIN PENGERING KAKAO ENERGI SURYA

Performansi Kolektor Surya Pemanas Air dengan Penambahan External Helical Fins pada Pipa dengan Variasi Sudut Kemiringan Kolektor

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik TAMBA GURNING NIM SKRIPSI

LAPORAN PRAKTIKUM AGROKLIMATOLOGI

P I N D A H P A N A S PENDAHULUAN

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

PERFORMANCE ANALYSIS OF FLAT PLATE SOLAR COLLECTOR WITH ADDITION OF DIFFERENT DIAMETER PERFORATED FINS ARE COMPILED BY STAGGERED

Bab II Teori Dasar. Gambar 2.1 Pemanas air surya pelat datar

Analisa Efisiensi Prototype Solar Collector Jenis Parabolic Trough dengan Menggunakan Cover Glass Tube pada Pipa Absorber

SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN. Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan

PENENTUAN EFISIENSI DARI ALAT PENGERING SURYA TIPE KABINET BERPENUTUP KACA

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kulit binatang, dedaunan, dan lain sebagainya. Pengeringan adalah

BAB II DASAR TEORI. ke tempat yang lain dikarenakan adanya perbedaan suhu di tempat-tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam

KARAKTERISTIK KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR DENGAN VARIASI JARAK PENUTUP DAN SUDUT KEMIRINGAN KOLEKTOR

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

Fisika Umum (MA101) Kalor Temperatur Pemuaian Termal Gas ideal Kalor jenis Transisi fasa

Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar terhadap Efisiensi Termal dengan Penambahan Eksternal Annular Fin pada Pipa

Fisika Dasar I (FI-321)

Perpindahan Panas. Perpindahan Panas Secara Konduksi MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 02

Lingga Ruhmanto Asmoro NRP Dosen Pembimbing: Dedy Zulhidayat Noor, ST. MT. Ph.D NIP

BAB II LANDASAN TEORI

LAMPIRAN I. Tes Hasil Belajar Observasi Awal

Karakteristik Pengering Surya (Solar Dryer) Menggunakan Rak Bertingkat Jenis Pemanasan Langsung dengan Penyimpan Panas dan Tanpa Penyimpan Panas

Studi Eksperimental Sistem Pengering Tenaga Surya Menggunakan Tipe Greenhouse dengan Kotak Kaca

Transkripsi:

5 BAB II DASAR TEORI 2.1 Perpindahan Panas Perpindahan panas (heat transfer) adalah proses berpindahnya energi kalor atau panas (heat) karena adanya perbedaan temperatur. Dimana, energi kalor akan berpindah dari temperatur media yang lebih tinggi ke temperatur media yang lebih rendah. Proses perpindahan panas akan terus berlangsung sampai ada kesetimbangan temperatur yang terjadi pada kedua media tersebut. Proses terjadinya perpindahan panas dapat terjadi secara konduksi, konveksi, dan radiasi. 2.1.1 Perpindahan panas secara konduksi Perpindahan panas secara konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi pada suatu media padat, atau pada media fluida yang diam. Konduksi terjadi akibat adanya perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang lain pada media tersebut. Ilustrasi perpindahan panas secara konduksi seperti digambarkan pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Proses perpindahan panas secara konduksi Sumber : (maslatip.com) Konsep yang ada pada konduksi merupakan suatu aktivitas atomik dan molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi dari partikel yang lebih energetik (molekul yang lebih berenergi atau bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik (molekul yang kurang berenergi atau bertemperatur lebih rendah), akibat adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut.

6 Proses perpindahan panas secara konduksi pada steady state melalui dinding datar suatu dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Perpindahan panas konduksi pada bidang datar Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.) Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier (Fourier Law of Heat Conduction) tentang konduksi, yang persamaan matematikanya dituliskan sebagai berikut ( Kreith, Frank, 1997): q = ka... (2.1) Dimana: q = Laju perpindahan panas konduksi (W) k A = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K) = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m) = Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m) Tanda (-) diselipkan agar memenuhi hukum Thermodinamika II, yang menyebutkan bahwa, panas dari media bertemperatur lebih tinggi akan bergerak menuju media yang bertemperatur lebih rendah. 2.1.2 Perpindahan Panas Konveksi Perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi dari suatu permukaan media padat atau fluida yang diam menuju fluida yang mengalir atau bergerak, begitu pula sebaliknya, yang terjadi akibat adanya perbedaan temperatur. Ilustrasi perpindahan panas secara konveksi digambarkan seperti Gambar 2.3

7 Gambar 2.3 Proses perpindahan panas secara konveksi Sumber: (nasrulbintang.files.wordpress.com) Suatu fluida memiliki temperatur (T) yang bergerak dengan kecepatan (V), diatas permukaan benda padat (Gambar 2.4). Temperatur media padat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka akan terjadi perpindahan panas secara konveksi dari benda padat ke fluida yang mengalir. Gambar 2.4 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.) Laju perpindahan panas konveksi mengacu pada Hukum Newton tentang pendinginan (Newton s Law of Cooling) (Incopera and De Witt), dimana: q = h. A. (T T ).... (2.2) Dimana: q = Laju perpindahan panas konveksi (W) h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m. K) A = Luas permukaan perpindahan panas (m )

8 T T = Temperatur permukaan (K) = Temperatur fluida (K) Menurut perpindahan panas konveksi, aliran fluida dapat diklasifikasikan menjadi: a. Konveksi paksa (forced convection). Terjadi bila aliran fluida disebabkan oleh gaya luar. Seperti: blower, pompa, dan kipas angin. b. Konveksi alamiah (natural convection). Terjadi bila aliran fluida disebabkan oleh efek gaya apungnya (bouyancy forced effect). Pada fluida, temperatur berbanding terbalik dengan massa jenis (density). Dimana, semakin tinggi temperatur suatu fluida maka massa jenisnya akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. 2.1.3 Perpindahan Panas Radiasi Perpindahan panas radiasi dapat dikatakan sebagai proses perpindahan panas dari satu media ke media lain akibat perbedaan temperatur tanpa memerlukan media perantara. Peristiwa radiasi akan lebih efektif terjadi pada ruang hampa, berbeda dari perpindahan panas konduksi dan konveksi yang mengharuskan adanya media perpindahan panas. Ilustrasi perpindahan panas secara radiasi digambarkan seperti gambar 2.5. Gambar 2.5 Proses perpindahan panas secara radiasi Sumber : (maslatip.com) Besarnya radiasi yang dipancarkan oleh permukaan suatu benda nyata (real)(q. ), adalah: q. = ε. σ. T. A... (2.3)

9 Sedangkan, untuk benda hitam sempurna (black body), dengan nilai emisivitas (ε = 1) memancarkan radiasi (q. ), sebesar: q. = σ. T. A... (2.4) Untuk laju pertukaran panas radiasi keseluruhan, antara permukaan dengan sekelilingnya (surrounding) dengan temperatur sekeliling (T ), adalah: q = ε. σ. T T. A... (2.5) Dimana: q = laju pertukaran panas radiasi (W) ε = Nilai emisivitas suatu benda (0 ε 1) σ = Konstanta proporsionalitas, disebut juga konstanta Stefan Boltzmann. Dengan nilai 5,67 x 10 (W/m K ) A = Luas bidang permukaan (m ) T = Temperatur benda (K) Dalam hal ini semua analisis tentang temperatur dalam pertukaran panas radiasi adalah dalam temperatur mutlak (absolut) yaitu Kelvin (K). 2.2 Konstanta Matahari Lapisan fotosfer memancarkan suatu spectrum radiasi yang terus menerus (continous), yang sekiranya cukup dapat dikatakan sebagai sebuah radiator sempurna pada temperatur 5762 K. Skema letak bumi terhadap matahari ditunjukkan pada gambar 2.6 berikut. Gambar 2.6 Bola matahari Sumber : (Arismunandar, Wiranto., 1995)

10 Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari (E ), adalah sama dengan hasil perkalian konstanta Stefan Boltzmann (σ), pangkat empat temperatur absolut (T ), dan luas. d (Arismunandar. Wiranto., 1995): E = σ. π. d. T... (2.6) Dimana: E = Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari (W) T = Temperatur permukaan matahari (K) d = diameter matahari (m) Pada Gambar 2.6 dijelaskan radiasi kesemua arah dimana energi yang diradiasikan mencapai luas permukaan bola dengan matahari sebagai titik tengahnya. Jari-jari (R) adalah sama dengan jarak antara matahari dan bumi. Luas permukaan bumi dapat dihitung dengan persamaan 4. π. R, dan fluks radiasi (G) (W/ m ). Pada satu satuan luas dari permukaan bumi tersebut dinamakan iradiasi. Dari penjelasan tersebut diperoleh persamaan (Arismunandar. Wiranto., 1995): G =...... (2.7) Dengan garis tengah matahari (d ) 1,39 x 10 m, temperatur permukaan matahari (T ) 5762 K, dan jarak rata-rata antara matahari dan bumi sebesar (R) 1,5 x 10 m, maka fluks radiasi persatuan luas dalam arah yang tegak lurus pada radiasi tepat atmosfer bumi adalah (Arismunandar. Wiranto., 1995): G =,. (,. )...(,. ) G = 1353 W m Faktor konveksi satuan untuk fluks radiasi yaitu 1,940 cal cm ; 429 Btu (jam ft ) ; 4,871 MJ (m. jam). 2.3 Radiasi Matahari Energi radiasi yang menimpa permukaan suatu benda, maka sebagian energi radiasi tersebut akan dipantulkan (reflection), sebagian akan diserap (absorbtion), dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisition), seperti tergambar pada Gambar 2.7

11 Radiasi datang Refleksivitas (ρ) Absorbsivitas (α) Transmisivitas (τ) Gambar 2.7 Bagan pengaruh radiasi datang Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013) Bagian yang dipantulkan (refleksivitas(ρ)), bagian yang diserap (absorbsivitas(α)), dan bagian yang diteruskan (transmisivitas(τ)). Pada benda bening seperti kaca atau benda transparan lainnya (Holman J.P., 1985), maka: ρ + α + τ = 1... (2.8) Sedangkan untuk benda padat lainnya yang tidak meneruskan radiasi thermal, nilai transmisivitas dianggap nol (Holman J.P., 1988), sehingga: ρ + α = 1... (2.9) Ada dua fenomena yang dapat diamati bila radiasi menimpa permukaan suatu benda. Jika sudut jatuh sama dengan sudut refleksi, maka dikatakan refleksi tersebut spektakular (spectaculer). Jika berkas jatuh radiasi tersebar merata ke segala arah sesudah refleksi, maka dikatakan refleksi tersebut sebagai refleksi baur (difuse). Kedua jenis refleksi tersebut tergambar seperti Gambar 2.8 Gambar 2.8 Fenomena refleksi spektakular (a) dan refleksi baur (b) Sumber : (Holman J.P., 1985)

12 Intensitas radiasi matahari akan berkurang penyerapan dan pemantulan yang dilakukan oleh atmosfer, sebelum intensitas matahari mencapai permukaan bumi. Ozon pada lapisan atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet). Sedangkan, karbon dioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (infrared). Selain pengurangan radiasi bumi langsung (radiasi sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air di atmosfer. Dimana radiasi yang dipancarkan tersebut mencapai bumi sebagai radiasi sebaran, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.9 Radiasi sorotan awan Radiasi sebaran Gambar 2.9 Radiasi sorotan dan radiasi sebaran Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013) Penjumlahan radiasi sorotan (beam) (I ), dan radiasi sebaran (difuse) (I ), merupakan radiasi total (I) pada permukaan horizontal per jam. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: I = I + I... (2.10) Nilai radiasi total (I) dapat juga dihitung dengan menggunakan bantuan alat solarymeter. 2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Radiasi Matahari di Bumi Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan radiasi matahari pada suatu permukaan di bumi antara lain:

13 a. Posisi matahari b. Lokasi dan kemiringan permukaan c. Waktu matahari d. Keadaan cuaca a. Posisi Matahari Sepanjang bumi mengelilingi matahari pada suatu lintasan yang berbentuk elips, yang disebut sebagai bidang ekliptika. Bidang ini membentuk sudut 23,5 terhadap bidang equator. Akibat peredaran bumi mengelilingi matahari, menimbulkan dampak perubahan musim pada permukaan bumi. Di Indonesia sendiri, ada dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi pada saat posisi matahari berada paling jauh diselatan bagi belahan bumi bagian utara (pada umumnya terjadi pada bulan Desember). Sedangkan musim kemarau terjadi pada saat posisi matahari berada pada titik paling utara bagian bumi (pada umumnya terjadi pada bulan Juni). Gambar.2.10 Posisi Peredaran Matahari Sumber: (elizarachma.blogspot.com) Terdapat 4 kedudukan bumi pada orbitnya, yaitu sebagai berikut. a. Tanggal 21 Maret Dilihat dari Bumi, Matahari tepat berada pada garis khatulistiwa (0º). Karenanya, Matahari seolah-olah terbit tepat di sebelah timur. Demikian pula, Matahari seolah-olah tenggelam tepat di sebelah barat.

14 b. Tanggal 21 Juni, dilihat dari Bumi, Matahari tampak berada pada 23½º lintang utara (LU). Karenanya, Matahari seolah-olah terbit agak sedikit bergeser ke utara. c. Tanggal 23 September, diamati dari Bumi, Matahari tampak kembali berada pada garis khatulistiwa. Akibatnya, Matahari seolah-olah terbit tepat di sebelah timur. d. Tanggal 22 Desember, Matahari tampak berada pada 23½º lintang selatan (LS) jika dilihat dari Bumi. Hal ini menyebabkan Matahari seolah-olah terbit agak sedikit bergeser ke selatan. b. Lokasi dan kemiringan permukaan Lokasi dan kemiringan permukaan benda ditentukan oleh besarnya sudut datang radiasi pada permukaan benda tersebut. Hubungan geometrik antara permukaan benda terhadap radiasi matahari yang datang, dapat dinyatakan dalam beberapa sudut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11 Gambar 2.11 Sudut zenith, sudut kemiringan, sudut azimuth permukaan, sudut azimuth surya Sumber: (Duffie dan Beckman, 1980) Dalam gambar 2.11 sudut zenith θ z diperlihatkan sebagai sudut antara sudut zenith z, atau garis lurus diatas kepala, dan garis pandang ke matahari. Sudut azimuth θ A, yaitu sudut antara garis yang mengarah ke utara dan proyeksi garis pandang ke

15 matahari pada bidang horizontal, kea rah timur dianggap positif. Sudut zenith dapat ditenukn dengan rumus sebagai berikut: Cos θ z = sin δ sin Ø + cos δ cos Ø cos ω (2.11) Deklinasi δ, yaiu sudut yang dibentuk oleh matahari dengan bidang equator, ternyata berubah sebagai akibat kemiringan bumi, + 23.45 o musim panas (21 juni) ke 23.45 o musim dingin (21 desember), yang dapat dilihat pada gambar. Harga deklinasi pada tiap saat dapat diperkirakan dari persamaan berikut: δ = 23,45 sin (360 Dimana: ) (2.12 n = hari dari tahun yang bersangkutan Sudut jam ω, dri definisi diatas adalah sama dengan nol pada tengah hari surya (solr noon), positif untuk pagi hari. Sebagai pengganti sudut zenith θ z, kadang-kadang digunakan sudut ketinggian surya (solar altitude angle) h = 90 o - θ z. sudut azimuth θ A dapat diturunkan dengn metode yang sama dan dinyatakan sebagai berikut: Cos θ A = ɸ ɸ. N (2.13) δ S Gambar 2.12 Deklinasi matahari, posisi dalam panas Beberapa pengertian sudut-sudut dalam hubungannya dengan posisi bumimatahari: Ø = Sudut lintang, sudut lokasi suatu tempat di permukaan bumi terhadap equator, dimana arah utara-selatan, -90 Ø 90, dengan utara positif.

16 θ = Sudut datang berkas sinar (angel of incident), sudut yang dibentuk antar radiasi langsung pada suatu permukaan dengan garis normal permukaan tersebut. θ = Sudut zenith, sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan garis normal bidang horizontal. β = Sudut kemiringan, sudut antara permukaan bidang yang dimaksud terhadap horizontal: 0 β 180 α = Sudut ketinggian matahari, sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan bidang horizontal. ω = Sudut jam (hour of angel), sudut antara bidang yang dimaksud dengan horizontal, berharga nol pada pukul 12.00 waktu surya. Setiap jam setara 15, kearah pagi negatif, dan ke arah sore positif. γ = Sudut azimuth permukaan, antara proyeksi permukaan pada bidang horizontal dengan meridian, titik nol di selatan, negatif timur, positif barat. γ = Sudut azimuth surya, adalah pergeseran anguler proyeksi radiasi langsung pada bidang datar terhadap arah selatan. δ = Deklinasi, posisi anguler matahari dibidang equator pada saat jam 12.00 waktu matahari. Sudut deklinasi dapat juga ditentukan dengan rumus:δ = 23,45 sin(360 ), rumus tersebut menurut Cooper (1969), dimana nilai n adalah nomor urutan hari dalam satu tahun yang dimulai dari 1 januari. Untuk sudut pada permukaan yang dimiringkan ke selatan maupun utara, mempunyai hubungan anguler seperti permukaan datar pada lintang (Ø β). Untuk belahan bumi pada bagian utara, hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.13

17 Gambar 2.13 Bagian bumi yang menunjukkan β, θ, Ø dan (Ø-β) untuk belahan utara Sumber: (Duffie dan Beckman, 2006) c. Waktu matahari Perhitungan intensitas matahari pada saat tertentu umumnya didasarkan pada waktu matahari, yaitu waktu tertentu dalam hubungannya dengan matahari yang didasarkan pada garis bujur lokasi tersebut. Waktu matahari dihitung dengan persamaan berikut: t = waktu standar + E + 4 (L L )... (2.14) Dimana: E= 9,87 sin 2B 7 cos B 1,5 sin B B = L = garis bujur waktu standar ( ) L = garis bujur lokasi d. Keadaan cuaca Faktor transmisi kandungan atmosfer dapat mempengaruhi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi. Di atmosfer, radiasi matahari diserap oleh unsur-unsur ozon, uap air, dan karbon dioksida. Disamping diserap, radiasi matahari juga dihamburkan oleh partikel-partikel seperti udara, uap air, dan debu. Pada dasarnya, radiasi matahari sering dihalangi oleh bermacam-macam tipe awan. Jadi untuk meramalkan radiasi matahari di bumi perlu diketahui tipe awan dan ketebalannya. Masing-masing tipe awan memiliki koefisien transmisi sendiri-sendiri.

18 2.4 Kolektor Surya 2.4.1 Bagian-Bagian Kolektor Surya Kolektor surya merupakan alat yang berfungsi menyerap efek radiasi sinar matahari dan merubahnya menjadi energi panas (kalor) yang berguna. Adapun bagian-bagian dari kolektor surya adalah: a. Penutup transparan (kaca bening) Penutup transparan merupakan lapisan teratas dari kolektor surya. Penutup transparan pada umumnya menggunakan kaca bening sebagai bahannya. Pemilihan kaca bening sebagai penutup transparan pada kolektor diharapkan memiliki sifat transmisivitas yang tinggi, serta sifat absorbsivitas dan refleksivitas serendah mungkin. Refleksivitas (daya pantul suatu benda) tergantung pada indek bias dan sudut datang yang dibentuk oleh sinar datang terhadap garis normal suatu permukaan. Sedangkan transmisivitas suatu permukaan dapat mempengaruhi intensitas energi matahari yang diserap oleh pelat penyerap. Transmisivitas kaca akan menurun bila sudut datangnya melebihi 45 terhadap vertical. Sedangkan absorbsivitas akan bertambah sebanding dengan panjang lintasan pada penutup transparan, sehingga bagian yang diteruskan menjadi berkurang. b. Pelat penyerap Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan dengan tingkat absorbsivitas yang tinggi, guna menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan memiliki tingkat emisivitas serendah mungkin. Disamping itu, pelat penyerap diharapkan memiliki nilai konduktivitas thermal yang tinggi. Pemilihan bahan dengan tingkat emisivitas serendah mungkin dimaksudkan agar kerugian panas karena radiasi balik sekecil mungkin. c. Isolasi Untuk menghindari terjadinya kehilangan panas ke lingkungan, bagian luar suatu kolektor surya diberi isolasi (perdam panas), yang dimana bahan yang digunakan sebagai isolator merupakan bahan dengan sifat konduktivitas thermal yang rendah.

19 2.4.2 Radiasi yang Diserap Kolektor Surya Pada kolektor surya yang digunakan sebagai pemanas udara, radiasi matahari tidak akan sepenuhnya diserap oleh pelat penyerap. Sebagian radiasi akan dipantulkan (direfleksikan) menuju bagian dalam penutup transparan. Pantulan sinar yang menuju penutup transparan akan dipantulkan kembali dan sebagian lainnya terbuang ke lingkungan. Proses penyerapan radiasi ini diperlihatkan pada Gambar 2.14 Gambar 2.14 Penyerapan radiasi matahari oleh kolektor Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013) Gambar 2.14 menjelaskan proses pemantulan berulang, dimana berkas radiasi yang menimpa kolektor, pertama akan menembus penutup transparan yang kemudian menimpa pelat penyerap. Sebagian radiasi akan dipantulkan kembali ke penutup transparan, dan sebagian lagi akan diserap pelat penyerap. Hasil pantulan radiasi dari pelat penyerap yang menuju katup transparan akan dipantulkan kembali ke pelat penyerap, sehingga terjadi proses pemantulan berulang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.14. simbol τ menyatakan nilai transmisivitas penutup transparan. Simbol α menyatakan nilai absorbsivitas anguler pelat penyerap, dan ρ menyatakan nilai refleksivitas radiasi hambur dari penutup transparan. Dari energi masuk yang menimpa kolektor, maka (τ α) adalah energi yang diserap oleh pelat penyerap, dan energi sebesar (1-α) adalah jumlah energi yang

20 dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai penutup tersebut merupakan radiasi hambur. Sehingga energi sebesar (1 α)τ ρ kemudian dipantulkan kembali oleh penutup menuju pelat penyerap, dan terjadi proses pemantulan berulang. Besarnya energi maksimum yang diperoleh kolektor adalah: (τα) = τα [(1 α)ρ ] = ( ).... (2.15) Untuk mendekatkan perhitungan kolektor dapat digunakan persamaan: (τα) 1,01 τα... (2.16) Perkalian antara transmittance-absorbtance product rata-rata atau (τα) adalah, perbandingan antara radiasi matahari yang diserap (S) terhadap radiasi matahri yang menimpa kolektor (I ). Sehingga radiasi matahari yang diserap oleh permukaan pelat penyerap adalah: S = (τα) I... (2.17) 2.5 Kolektor Surya Pelat Bergelombang Sebagai Pelat Penyerap dan Pembuat Arah Alur Aliran Fluida Rancangan kolektor surya pada penelitian ini akan menggunakan pelat seng sebagai pelat penyerap dan pembuat arah alur aliran fluida (udara) yang disusun pararel sehingga menciptakan beberapa saluran fluida kerja guna mengetahui performansi dari variasi jumlah saluran fluida kerja. 2.5.1 Penggunaan Pelat Bergelombang (Hollands, 1965) melakukan penelitian dengan menggunakan pelat bergelombang sebagai pelat penyerap pada kolektor surya. Yang arah fluida kerjanya menyeberangi pelat bergelombang (arah alirannya tidak mengikuti kontur pelat). Dimana pada penelitiannya, diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan pelat bergelombang sebagai absorber, dapat meningkatkan tingkat absorbsivitas pelat penyerap terhadap radiasi sinar matahari. Hollands juga mendapatkan hasil penelitian hubungan antara sudut timpa dengan refleksivitas yang dibuat dalam bentuk grafik seperti yang ditunjukkan Gambar 2.15.

21 Gambar 2.15 Grafik hubungan antara sudut timpa dengan refleksivitas Sumber: (Hollands, 1965) Dengan adanya bentuk gelombang, radiasi yang mengenai pelat penyerap, dimana sebagian akan dipantulkan ke penutup transparant, dan sebagian akan dipantulkan ke bagian gelombang disebelahnya seperti pada Gambar 2.16. Dimana pemantulan berulang akan lebih banyak terjadi daripada jika hanya menggunakan pelat datar sebagai pelat penyerap, yang hanya mengandalkan pemantulan berulang yang terjadi antara penutup transparan dan pelat penyerap. Gambar 2.16 Proses pemantulan berulang pada pelat bergelombang Sumber: (Hollands, 1965) Pelat bergelombang yang memiliki beda ketinggian atara gelombangnya juga berfungsi memantulkan panas ke sisi gelombang yang lainnya, yang diharapkan meningkatkan penyerapan panas.

22 2.5.2 Aliran Fluida pada Pelat Bergelombang Selain menambah luasan pelat penyerap, pelat bergelombang juga membuat fluida kerja (udara) dipaksa mengikuti kontur pelat yang bergelombang dengan tujuan sebagai pengganggu aliran fluida. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.17 Gambar 2.17 Aliran fluida pada pelat bergelombang Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013) Fluida yang mengalir diantara pelat menerima hantaran panas dari hasil penyerapan radiasi sinar matahari. Dimana aliran gelombang pada fluida dihasilkan dari pemantulan aliran fluida yang disebabkan karena kontur pelat yang tidak rata. Pemantulan fluida kerja yang berulang menyebabkan distribusi panas dari pelat penyerap ke fluida kerja lebih baik. 2.5.3 Kolektor Surya Pelat Bergelombang Kolektor surya ini memiliki rancangan dengan menggunakan pelat bergelombang sebagai pelat penyerap dan variasi jumlah pelat bergelombang yang disusun dibawah pelat penyerap. Aliran fluida kerja mengalir dibawah pelat penyerap, dan pada bagian atas pelat penyerap udara dikondisikan diam. a. Skema Kolektor Skema kolektor surya pelat bergelombang sebagai absorber ditunjukan pada Gambar 2.18

23 Gambar 2.18 Skema kolektor surya pelat bergelombang Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013) b. Tahanan Thermal Untuk tahanan thermal yang terjadi pada kolektor surya pelat bergelombang dapat dijelaskan seperti pada gambar 2.19

24 T 1 hr T Keterangan: k x T k x 1 hr T = temperatur fluida diam T = temperatur cover (kaca bening) T = temperatur pelat penyerap T = temperatur pelat samping T T = temperatur fluida mengalir 1 hc T 1 hc k x T k x T = temperatur pelat bawah 1 hr = perpindahan panas secara radiasi 1 hc = perpindahan panas secara konveksi k x = perpindahan panas secara konduksi T T = temperatur lingkungan k x T = temperatur isolator T c. Kesetimbangan energi Gambar 2.19 Rangkaian thermal kolektor - Kesetimbangan energi pada cover: 1. Radiasi dari lingkungan ke cover ( 1 hr ) 2. Konduksi dari cover ke fluida ( k x ) 3. Radiasi dari cover ke pelat penyerap ( 1 hr ) 4. Konduksi dari fluida ke pelat penyerap ( k x ) - Kesetimbangan energi pada pelat penyerap 1. Konveksi dari pelat penyerap ke fluida mengalir ( 1 hc )

25 2. Konduksi dari pelat penyerap ke pelat samping ( k k ) - Kesetimbangan energi pada pelat bawah: 1. Konveksi dari fluida mengalir ke pelat bawah ( 1 hc ) 2. Konduksi dari pelat samping ke pelat bawah ( k k ) 3. Konduksi dari pelat bawah ke isolator ( k k ) 2.6 Energi berguna dan Efisiensi Kolektor Surya Energi yang berguna digunakan untuk menghitung seberapa besar panas yang berguna yang dihasilkan oleh kolektor surya. Sedangkan efisiensi digunakan untuk menghitung performansi atau unjuk kerja dari kolektor surya tersebut. 2.6.1 Laju Aliran Massa Fluida Pengujian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui performansi kolektor surya dengan menggunakan pelat bergelombang sebagai pelat penyerap dan pelat bawah yang terbuat dari bahan dan bentuk yang sama dengan pelat penyerap untuk membuat laju aliran fluida mengikuti kontur pelat yang bergelombang. Untuk mengetahui besarnya laju aliran massa dapat diketahui dari perbedaan tinggi rendahnya ketinggian manometer saat proses pengujian. Gambar 2.20 Inclined manometer Menghitung laju aliran massa: 1. Menghitung perbedaan ketinggian pada manometer: h = sin θ. r... (2.18) 2. Menghitung kecepatan udara:

26 v = 2. g. h... (2.19) 3. Menghitung luas saluran masuk fluida kerja: A = P x L... (2.20) Setelah mendapatkan luas saluran masuk dan kecepatan udara maka laju aliran massa dapat dihitung: m = v. ρ. A... (2.21) Dimana: m = laju aliran massa (kg/s) v = kecepatan udara (m/s) A = luas saluran masuk udara (m ) ρ u = massa jenis udara (kg/m 3 ) 2.6.2 Energi Berguna Kolektor Surya Untuk perhitungan energi yang diserap atau energi berguna pada kolektor digunakan persamaan: Dimana: Q = m. C. (T T )... (2.22) Q = panas yang berguna (W) m = laju aliran massa fluida (kg/s) C = kapasitas panas jenis fluida ( J kg. C) ) T = temperatur fluida keluar ( C) T = temperatur fluida masuk ( C) 2.6.3 Efisiensi Kolektor Surya Efisiensi kolektor adalah perbandingan panas yang diserap oleh fluida atau energi berguna dengan intensitas matahari yang mengenai kolektor. Performansi kolektor dapat dinyatakan dengan efisiensi thermal. Akan tetapi, intensitas matahari berubah terhadap waktu, oleh karena itu efisiensi thermal kolektor dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

27 1. Instantaneous efficiency (efisiensi sesaat), adalah efisiensi pada keadaan steady untuk selang waktu tertentu. 2. Long term atau all-day efficiency adalah efisiensi yang dihitung dalam jangka waktu yang relatif lama (bisa per-hari atau per-bulan). Performansi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh performansi dari kolektor. Pengujian sistem kolektor surya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Pengujian untuk menentukan performansi kolektor. 2. Pengujian untuk menentukan performansi sistem secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan untuk menentukan performansi kolektor yang menggunakan pelat bergelombang saja sebagai absorber. Pengujian menggunakan metode Instantaneous efficiency (menggunakan metode dengan menghitung efisiensi dalam jangka waktu sesaat atau setiap 10 menit sekali) Efisiensi kolektor surya dihitung menggunakan persamaan: ŋ = Dimana: =..( )... (2.23). ŋ = efisiensi kolektor Q = panas berguna (W) m = laju aliran massa fluida (kg/s) C = kapasitas panas jenis fluida ( J kg. C ) T = temperatur fluida keluar ( C) T = temperatur fluida masuk ( C) A = luas bidang penyerapan kolektor (m ) I = radiasi surya yang jatuh pada bidang kolektor (W m ) 2.7 Pengering Surya Pengering surya memanfaatkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses pengeringan dengan bantuan kolektor surya. Ada tiga klasifikasi utama pengering surya (Mujumdar, 2006) yaitu :

28 1. Solar Natural Dryer, adalah pengering surya dengan alami tanpa menggunakan bantuan peralatan luar untuk mengalirkan fluida kerja, yang termasuk dalam kelompok ini adalah tipe kabinet, tipe tenda, tipe rumah kaca, dan tipe pengering cerobong. 2. Semiartifical Solar Dryer, adalah pengering surya dengan konveksi paksa, memanfaatkan bantuan peralatan luar untuk mengalirkan fluida kerja, salah satu yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Room Dryer. 3. Solar-Assisted Artificial Dryer, adalah pengering surya yang memanfaatkan lebih dari satu sumber energi matahari. Sumber energi lain hanya bersifat sebagai energi pembantu. 2.7.1 Energi Dalam Proses Pengeringan Surya Dalam Solar dryer, perpindahan massa air dari dalam bunga kamboja menuju udara pengering terjadi setelah penguapan air pada permukaan bunga dan adanya perbedaan konsentrasi uap air, penguapan ini terjadi karena bunga kamboja menerima energi kalor dari udara yang terjadi secara konveksi. Besarnya energi yang dibutuhkan untuk menguapkan air dalam bahan, adalah sebagai berikut: Q = m h... (2.24) Dimana : Q = jumlah panas yang dibutuhkan untuk penguapan, (kj) m = jumlah massa air yang ingin dikeluarkan dari bahan, (kg) h = panas laten penguapan air, (kj/kg) Dan untuk jumlah massa air yang ingin dikeluarkan dari bahan, dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Dimana : m = (,, %,... (2.25) m = massa bahan sebelum dikeringkan, (kg) m, = kandungan air bahan sebelum dikeringkan, (%) m, = kandungan air bahan setelah dikeringkan, (%)

29 Udara yang telah melewati kolektor, akan masuk keruang pengering dan kontak dengan bahan yang dikeringkan. Dalam proses ini, bahan menerima energi dari udara. Energi ini akan menguapkan air pada bahan yang dikeringkan. Energi ini dapat dihitung setelah unit pengering bekerja dan dilakukan pengukuran terhadap temperature pada ruang pengering, dimana bahan yang dikeringkan berada. Besarnya energy yang diberikan pada bahan untuk proses penguapan, adalah sebagai berikut: Q = h (m - m )... (2.26) Dimana : Q = energi panas yang diterima bahan dari udara untuk penguapan, (kj) m = massa bahan sebelum dikeringkan, (kg) m = massa bahan setelah dikeringkan, (kg) h = panas laten penguapan air, (kj/kg) Penentuan dimensi kolektor berdasarkan pada perencanaan kebutuhan energi penguapan dan effisiensi dari alat pengering yang dirancang. Kebutuhan energi yang diterima oleh kolektor selalu lebih besar daripada energi yang diterima bahan, ini dikarenakan effisiensi pengeringan yang dirancang belum ada yang mencapai 100%. Adanya losses energi sangat mempengaruhi besarnya effisiensi alat pengering yang dibuat. Besarnya energi radiasi matahari yang diterima, adalah sebagai berikut: Q = A I... (2.27) Dimana : Q = panas radiasi yang diterima, ( W ) A = luas permukaan kolektor, ( m ) I = intensitas radiasi matahari, ( W / m ) Lamanya waktu pengeringan, bergantung pada kondisi internal bahan yang dikeringkan dan kondisi lingkungan diluar bahan (udara pengering ). Kontrol kelembaban udara menjadi sangat penting, karena akan menentukan seberapa cepat dan besarnya massa air yang dapat diserap dari bahan yang dikeringkan. Besarnya laju pengeringan ditentukan oleh besarnya air yang dipindahkan dari bahan dan

30 waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan tersebut, menggunakan persamaan sebagai berikut: Dimana : m = m /t... (2.28) m = laju pengeringan (kg/s) t = waktu pengerigan (s) m w =Jumlah massa air yang ingin dikeluarkan (kg) 2.7.2 Effisiensi Pengeringan Surya Besarnya energi yang dapat dimanfaatkan dari energi total yang dapat diterima oleh kolektor untuk menguapkan air dalam bunga kamboja, menunjukkan efisiensi rancangan alat pengering surya yang telah dibuat. Semakin besar energi yang dapat dimanfaatkan, semakin besar pula effisiensi alat pengering tersebut. Besarnya effisiensi dapat ditentukan sebagai berikut: Dimana : η = x 100%... (2.29) η = effisiensi pengeringan ( %) Qp = energi panas yang diterima bahan dari udara untuk penguapan (kj) Qrs = panas radiasi yang diterima (W)