RINGKASAN EKSEKUTIF POLICY BRIEF PERTIMBANGAN YURIDIS PENGELOMPOKAN PERUMUSAN 9 RPP SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG KEANTARIKSAAN DALAM RPP YANG TERPISAH KELOMPOK PENELITIAN 2 Jakarta, Juni 2016 PUSAT KAJIAN KEBIJAKAN PENERBANGAN DAN ANTARIKSA (PUSAT KKPA) LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)
RINGKASAN EKSEKUTIF Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan sejak tanggal 6 Agustus 2013. Undang-Undang ini mengamanatkan dibentuknya sepuluh Peraturan Pemerintah (PP), dua Peraturan Presiden (Perpres) dan dua Peraturan Kepala yang menjadi peraturan pelaksanaannya. Khusus peraturan pelaksanaan yang berbentuk PP, saat ini telah disiapkan draft PP tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh, yang merupakan amanat dari Pasal 23 UU RI Nomor 21 Tahun 2013, yang pembahasannya telah sampai pada tahap harmonisasi. Sedangkan terhadap sembilan amanat lainnya muncul kebijakan Lembaga agar dapat dijadikan dalam satu PP saja. Dalam rangka memberikan masukan mengenai apakah mengatur dalam satu PP merupakan langkah yang tepat bila dilihat dari ilmu ketatanegaaraan Indonesia, mekanisme dan tahapan yang harus ditempuh serta konsekuensinya maka pada tahun 2016, Kelompok Peneliti 2 (Poklit 2) Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa (Pusat KKPA), melakukan kajian yang berjudul Pertimbangan Yuridis Pengelompokan Perumusan 9 RPP Sebagai Amanat Undang-Undang Keantariksaan Dalam RPP Yang Terpisah. Tujuan kajian ini adalah sebagai bahan masukan untuk Kepala LAPAN mengenai alternatif penyusunan 9 (sembilan) RPP yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Berdasarkan pendekatan teori hierarki norma (stufenbau) dari Hans Kelsen dan legal system theory oleh Lawrence M. Friedman dapat diketahui bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak memuat aturan yang secara tegas mewajibkan bahwa amanat PP yang tercantum dalam sebuah Undang-Undang harus disusun tergabung dalam satu PP atau dibuat terpisah. Kondisi ini menyebabkan timbulnya praktek yang beragam dalam penyusunan RPP yang menjadi amanat tersebut oleh K/L pemrakarsa. Amanat penyusunan yang digabungkan dalam satu PP misalnya UU RI No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yaitu dalam PP Nomor 46 Tahun 2012. Dilihat dari sisi materi muatan bahwa ketentuan tersebut mengamanatkan peraturan yang sejenis yaitu pengaturan tentang informasi MKG. Terkait dengan keantariksaan, mengingat sifat internasionalnya, maka umumnya pengembangan peraturannya dilakukan analogi dalam peraturan perundang-undangan pada rezim hukum laut atau hukum udara. Dilihat dari kedua rezim ini terdapat beberapa bentuk peraturan pelaksanaan, bahkan juga terdapat peraturan pelaksanaan yang bersifat setara yaitu undang-undang mengingat sifat dan materi dari peraturan tersebut selaras dengan analogi Indonesia meratifikasi perjanjian internasional dimana dalam Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan: (i) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; (ii) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (iii) kedaulatan atau hak berdaulat negara; (iv) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (v) pembentukan kaidah hukum baru; (vi) pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Hal ini terbukti di bidang hukum laut yang diatur dalam beberapa Undang-Undang terpisah dan peraturan pelaksanaannya juga beragam. Di bidang hukum udara, dengan hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maka dari 11 amanat yang ditindaklanjuti dengan PP, dengan amanat 2 tahun selesai semenjak disahkan maka sampai saat ini baru 2 PP yang disahkan yaitu (i) PP RI Nomor 77 Tahun 2012 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (digabung dari amanat Undang-Undang lainnya), (ii) PP RI Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Pembangunan Dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, sebagai amanat Pasal 216 dan Pasal 260 ayat (4). Kondisi ini terjadi mengingat kompleksitas materi muatan, dan pihak-pihak terkait yang beragam serta menyangkut aspek teknis yang harus diselaraskan dengan ketentuan internasional, sehingga penyusunan penggabungan dalam satu PP sangat sulit. Kompleksitas tidak hanya berkaitan dengan aspek yang diatur dalam amanat undang-undang itu sendiri, tetapi juga kompleksitas berkaitan dengan amanat dari undang-undang lain. Memperhatikan contoh implementasi pada pengembangan rezim hukum udara sebagaimana tersebut di atas, dan teori sistem hukum menurut Friedman, maka jika memperhatikan kebijakan LAPAN yang akan menggabungkan amanat 9 PP dari UU Keantariksaan dalam satu PP, akan mengalami kendala dan/atau hambatan yang tidak sedikit, mulai dari perumusan draft awal, proses pembahasan (PAK dan harmonisasi). Di samping tingkat kendala yang dihadapi dalam proses perumusan awal maupun pembahasan tersebut, kendala lain yang akan dihadapi adalah proses negosiasi dengan pihak terkait, serta perumusan perannya termasuk masalah konsepsi kelembagaan. Hal ini mengingat bahwa kegiatan keantariksaan kompleksitas pengaturannya identik dengan penerbangan. Dilihat dari praktik penerapan pengaturan tentang keantariksaan oleh negara-negara, dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian besar yaitu Negara yang memiliki hukum keantariksaan (i) berbentuk umum, (ii) peraturan perundangan yang lengkap dengan mendasarkan pada beberapa ketentuan aturan terpisah, (iii) yang memiliki ketentuan tertentu yang mengatur hal-hal yang khusus. Dengan mendasarkan pada praktik negaranegara ini, Indonesia menganut kelompok yang kedua yaitu sistem pengembangan peraturan perundangan yang lengkap dan membuat peraturan pelaksanaan yang terpisah. Hal ini terlihat dari pengesahan UU No. 21 tahun 2013 yang dipandang sebagai pengaturan yang lengkap dan bersifat umum, oleh karena itu masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa peraturan yang terpisah.
Di samping itu terdapat konsekuensi yang signifikan jika Indonesia menggabungkan dalam satu PP yaitu bahwa sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI, setiap peraturan yang disahkan, apabila terdapat pihakpihak yang terkait, memandang bahwa materi tersebut bertentangan dengan Undang-undang di atasnya dan yang setara, maka dimungkinkan untuk dilakukannya yudisial reviu yang dalam hal ini akan melemahkan kekuatan dan kepastian hukum dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut terdapat dua alternatif cara yang ditempuh dalam pengembangan peraturan implementasi UU No 21 Tahun 2013 yaitu (i) pengelompokan berdasarkan keterkaitan substansi pengaturan (ii) pengelompokan berdasarkan keterlibatan Indonesia dan keperluan aturannya. Pengelompokan pertama dimungkinkan untuk membuat dalam 4 PP yaitu: 1) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyelenggaraan Keantariksaan, merupakan implementasi dari: Pasal 27 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 57, Pasal 92, Pasal 94 ayat (3). 2) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5). 3) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Tanggung Jawab, Ganti Rugi, dan Asuransi Kegiatan Keantariksaan, merupakan implementasi dari: Pasal 80 jo Pasal 84 ayat (3), dan Pasal 84. 4) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan, merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e. Sedangkan pengelompokan berdasarkan keterlibatan Indonesia dan keperluan aturannya dimungkinkan dalam 3 PP yaitu: 1) PP Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran Serta Perlindungan Teknologi Keantariksaan, merupakan implementasi dari Pasal 27 ayat (3). 2) PP Tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5). 3) PP Tentang Persyaratan dan Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan, merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e. Dalam kaitan pilihan untuk pengelompokan pertama dan kedua, secara rasional dan proporsional dari pengelompokan norma dapat dilakukan baik untuk alternatif satu maupun alternatif dua. Sebagai tambahan, terdapat beberapa masukan alternatif pengelompokan 9 PP amanat UU Keantariksaan dari beberapa pakar ilmu perundang-undangan. Salah satunya Bapak Hestu Cipto Handoyo, SH, M.Hum, dosen Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan staf ahli DPD RI, membagi menjadi 3 kelompok:
1. RPP Penyelenggaraan Keantariksaan, yang merupakan implementasi dari teknologi sensitif (pasal 27), komersialisasi (pasal 37), keamanan dan keselamatan (pasal 57), izin peluncuran (pasal 69). 2. RPP Tanggung Jawab, Ganti Kerugian dan Asuransi Kecelakaan Penyelenggaraan Keantariksaan, yang merupakan implementasi dari ganti rugi (pasal 83), dan asuransi (pasal 84). 3. RPP Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa dan Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh, yang merupakan implementasi dari Bandar antariksa (pasal 50), dan penginderaan jauh (pasal 23) Sedangkan menurut Dr. Sukardi, SH, MH dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya), 9 PP amanat UU Keantariksaan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1. RPP Tata Cara Penjaminan Keamanan Teknologi Sensitif, yang merupakan implementasi dari teknologi sensitif (pasal 27), ganti rugi (pasal 83), asuransi (pasal 84), tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif (pasal 94 ayat (3)), dan peran serta masyarakat (pasal 92). 2. RPP Bandar Antariksa, yang merupakan implementasi dari bandar antariksa (pasal 50), dan keamanan dan keselamatan (pasal 57). Dalam menjembatani pelaksanaan kegiatan penyusunan RPP tentang Penyelenggaraan Keantariksaan yang telah berlangsung, maka penyusunan RPP tersebut dapat tetap dilanjutkan, namun mengarah pada upaya penyusunan RPP yang sejalan dengan beberapa usulan tim terkait penggabungan sebagaimana tersebut di atas, yaitu melalui penyusunan RPP penggabungan usulan pengelompokan pertama butir (1) (dengan fokus materi pengaturan RPP tentang Tata Cara Penyelenggaraan Keantariksaan).