PENDANAAN URUSAN PUSAT MELALUI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH



dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Drs. Hamdani, MM, M.Si, Ak, CA,CIPSAS Staf Ahli Mendagri Bidang Ekonomi dan Pembangunan

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR ISI PENGANTAR... I DAFTAR ISI... II DAFTAR TABEL... V DAFTAR GAMBAR... VI BAB I PENDAHULUAN... I-1

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

KEPUTUSAN KEPALA BAPPEDA KABUPATEN BLORA NOMOR /2033 TAHUN 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KOTA BALIKPAPAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PELAKSANAAN UU. NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH, KECAMATAN DAN DESA. Bagian Pemerintahan Setda Kab. Lamongan

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA

I. PENDAHULUAN. Indonesia diperhitungkan oleh negara-negara lain. Hasil dari alam ini juga yang

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH JEMBER TAHUN ANGGARAN 2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 80 TAHUN 2008 TENTANG

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT dan GUBERNUR PAPUA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2008 NOMOR 06 SERI D 01

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB IV PLAFON ANGGARAN SEMENTARA BERDASARKAN URUSAN PEMERINTAHAN DAN PROGRAM/KEGIATAN

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH.

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

PERATURAN DAERAH KOTA MOJOKERTO NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 2 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak. Menurut UU Republik Indonesia No 28 tahun 2007, pajak

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 17 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 21 Tahun 2008

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2008 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

RINGKASAN APBD MENURUT ORGANISASI DAN URUSAN PEMERINTAHAN

PENATAAN KELEMBAGAAN URUSAN PANGAN

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

D A F T A R I S I Halaman

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN ALOKASI BELANJA PEGAWAI DAN BELANJA PUBLIK. Oleh: DIREKTUR JENDERAL KEUANGAN DAERAH

TINJAUAN TENTANG ANGGARAN BANTUAN SOSIAL Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Dasar Hukum... 7 B. Gambaran Umum Daerah

Transkripsi:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan PENDANAAN URUSAN PUSAT MELALUI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Oleh: Prof. Dr. Robert Simanjuntak (Universitas Indonesia) Dr. Riatu M. Qibthiyyah (Universitas Indonesia) Dr. Fauziah Zen (Universitas Indonesia) Masrizal, M.Soc.Sc (Universitas Andalas) LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2014 Didukung oleh:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan PENDANAAN URUSAN PUSAT MELALUI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Oleh: Prof. Dr. Robert Simanjuntak (Universitas Indonesia) Dr. Riatu M. Qibthiyyah (Universitas Indonesia) Dr. Fauziah Zen (Universitas Indonesia) Masrizal, M.Soc.Sc (Universitas Andalas) LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2014 Didukung oleh:

Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD) Acknowledgement Buku Pendanaan Urusan Pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ini disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD). Disclaimer Pandangan dan pendapat alam buku Pendanaan Urusan Pusat Melalui APBD ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan tidak serta menggambarkan pandangan Pemerintah Australia

DAFTAR SINGKATAN APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BPHTB : Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan DBH : Dana Bagi Hasil FGD : Focus Group Discussion IMB : Izin Mendirikan Bangunan IUP : Izin Usaha Pertambangan IUPK : Izin Usaha Pertambangan Khusus KPP : Kantor Pelayanan Pajak NJOP : Nilai Jual Objek Pajak NJOPTKP : Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NOP : Nomor Objek Pajak OSS : One Stop Service PAD : Pendapatan Asli Daerah PBB : Pajak Bumi dan Bangunan PBB P2 : PBB Perdesaan dan Perkotaan PBB P3 : PBB Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PMK : Peraturan Menteri Keuangan PP : Peraturan Pemerintah PPh : Pajak Penghasilan PPJ : Pajak Penerangan Jalan PPN : Pajak Pertambahan Nilai PTSP : Pelayanan Terpadu Satu Pintu SISMIOP : Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak SOP : Standard Operating Procedure SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang SUSENAS : Survei Sosial dan Ekonomi Nasional TA : Tahun Anggaran UU : Undang-Undang VAT : Value Added Tax WP : Wajib Pajak v

RINGKASAN EKSEKUTIF S elama empat belas tahun pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, persoalan yang terkait dengan kewenangan antar tingkat pemerintahan terus mengemuka. Salah satunya adalah kewenangan/urusan mismatch dengan antara tingkat tingkat pemerintahan pemerintahan yang yang mendanai memiliki pelaksanaan urusan/kewenangan tersebut. Sebagai misal, tidak jarang pemerintah daerah melalui APBD-nya mendanai urusan/kewenangan pusat karena alasan-alasan tertentu dan juga format pelayanan langsung yang secara keseluruhan diasosiasiakan menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah. Dinamika pelaksanaan desentralisasi menyebabkan hal-hal semacam ini sulit untuk terhindarkan. Kondisi ideal dimana semestinya setiap urusan sudah jelas siapa yang melaksanakan serta darimana sumber pendanaannya, seringkali terkendala untuk dilakukan, dan untuk itu deviasi dari kondisi ideal ini tentu perlu untuk dicari jalan keluarnya. Hal ini juga merupakan bagian dari kajian untuk proses persiapan dan transisi implementasi terkait dengan amandemen UU No 32 yang sudah disahkan di DPR dimana dinyatakan secara jelas bahwa Kementerian Keuangan akan memberikan sanksi kepada instansi Pusat yang mendanai urusan Daerah, ataupun kepada Daerah yang mendanai urusan Pusat. Kajian ini melakukan eksplorasi sejauh mana kondisi inkonsistensi bentuk pendanaan dan acuan kewenangannya terjadi dengan fokus kepada isu pendanaan urusan Pusat oleh Daerah. Tiga pertanyaan pokok yang dikaji di sini adalah kondisi-kondisi apa yang menyebabkan pemerintah daerah mempertimbangkan untuk mendanai urusan pusat atau membantu instansi vertikal; bagaimana dampak dukungan pendanaan pelaksanaan urusan Pusat tersebut terhadap pengelolaan APBD dan/atau bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah; dan Bagaimana alternatif solusi untuk kendala yang dihadapi di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah Pusat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertama, review berbagai regulasi tentang kewenangan pemerintahan dan pengelolaan administrasi keuangan pemerintah daerah vi

dilakukan melalui desk study. Kedua, focus group discussion (FGD) dan penyebaran kuesioner dilakukan di beberapa daerah sampel, untuk mendalami berbagai variasi bentuk pendanaan dan/atau pelaksanaan urusan Pusat oleh pemerintah daerah, dan untuk mengetahui perspektif di daerah terkait pelaksanaan kewenangan dan bagaimana hal tersebut berimplikasi terhadap pengelolaan APBD. Ketiga, dilakukan juga in-depth interview di Pusat khususnya terhadap mereka yang melakukan evaluasi pelaksanaan program dan pengelolaan APBD, untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari FGD. Dari pelaksanaan FGD, desk study, in-depth interview, dan kuesioner dideteksi empat hal yang menyebabkan pendanaan urusan Pusat oleh APBD. Empat hal tersebut adalah, berdasarkan (ranking persepsi) adalah: 1) kelambatan Pusat dalam merespon kebutuhan daerah yang merupakan kewenangan Pusat; 2) implikasi dari peraturan atau program dari Pusat yang menimbulkan tugas tambahan pada pemerintah daerah; 3) adanya beberapa jenis urusan yang dalam saat tertentu lebih tepat menjadi urusan daerah; dan 4) belum adanya regulasi ataupun SOP untuk beberapa urusan tertentu sehingga memunculkan multi-interpretasi atas peran dan keterlibatan daerah. Dalam hal ini, bidang atau urusan dengan peluang tumpang-tindih yang cukup besar dan kemungkinan juga rentan untuk terjadinya inkonsistensi antara bentuk pendanaan dan pelaksanaan kewenangan, terdapat di 4 bidang urusan, yaitu: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan perhubungan. Terkait dengan bentuk pencatatan di APBD dan administrasi pelaksanaan kegiatannya, dari hasil FGD dan in-depth interview, juga didapatkan informasi kecenderungan untuk kurangnya transparasi pencatatan mata anggaran di APBD untuk bentuk pendanaan urusan pusat melalui APBD. Berdasarkan hasil kajian, ada tiga rekomendasi pokok yang diberikan, yakni: (i) Pemerintah Pusat seyogyanya membuat ketentuan dan mekanisme pelaksanaannya yang secara jelas mendefinisikan kriteria urusan Pusat yang dapat ditalangi (dibiayai sementara) oleh APBD; dan (ii) untuk urusan atau program yang mengakibatkan munculnya implikasi pembiayaan oleh APBD dalam bentuk hibah ke Pusat, perlu dibuat batasan daerah yang boleh memberikan hibah dan daerah yang tidak boleh memberikan hibah vertikal, dimana daerah dengan kemampuan fiskal rendah seharusnya tidak dibebani dengan tambahan pembiayaan berupa hibah ke Pusat.; lalu (iii) mengkaji kemungkinan penyerahan sebagian kewenangan Pusat ke Provinsi yang memenuhi syarat tertentu, terutama beberapa Provinsi dengan kemampuan fiskal tinggi dan kapabilitas yang memadai untuk mengurus beberapa urusan tertentu. RINGKASAN EKSEKUTIF vii

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN S Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memberikan dampak yang signifikan dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah di Indonesia. Penyempurnaan kebijakan desentralisasi fiskal yang telah berjalan lebih dari satu dasa warsa terus dilakukan hingga saat ini. Kontinyuitas dalam penyempurnaan berbagai kebijakan tersebut menjadi sebuah keharusan sejalan dengan perkembangan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang juga semakin dinamis. Terkait dengan itu, Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) yang beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah terus berupaya melakukan kajian-kajian yang ditujukan untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan kebijakan desentralisasi fiskal yang semakin berkualitas. Selama tahun 2014, TADF telah menyelesaikan 4 (empat) penelitian untuk mengkaji kebijakan yang telah ada dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan baru yang akan diterapkan oleh Pemerintah Pusat. Kajian yang dilakukan TADF ini bersifat based on research sehingga dapat menjadi masukan bagi Pemerintah dalam menyempurnakan kebijakan yang telah ada. Salah satu hasil penelitian tersebut adalah Kajian APBD Mendanai Urusan Pusat. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh daerah, masih ditemui adanya pelaksanaan kegiatan yang merupakan urusan pemerintah pusat namun didanai dari APBD. Hal ini terutama terkait dengan beberapa penyelenggaraan urusan yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat secara langsung. Kondisi tersebut perlu dicermati agar tidak memberikan beban terhadap pengelolaan APBD yang transparasn dan akuntabel, serta sesuai dengan kaedah peraturan perundangan. Untuk itu, kajian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan utama, yaitu (1) kondisi-kondisi apa yang menyebabkan pemerintah daerah mempertimbangkan untuk mendanai urusan pusat atau membantu instansi vertical; (2) bagaimana dampaknya terhadap pengelolaan APBD dan/atau bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah; dan (3) bagaimana alternatif solusi untuk viii

kendala yang dihadapi di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan pelaksanaan pembagian urusan yang berpihak pada pelayanan public kepada masyarakat namun juga tidak menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan APBD. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal dan seluruh pihak terkait yang telah memberikan kontribusinya dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi juga kami sampaikan kepada Australia Indonesia Partnership for Decentralization yang telah memberikan dukungan untuk pelaksanaan kegiatan ini. Semoga rekomendasi yang disampaikan dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia. Direktur Jenderal Boediarso Teguh Widodo KATA PENGANTAR ix

KATA PENGANTAR DIREKTUR PROGRAM AIPD S ejak tahun 2012, Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) mendukung Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiscal berbasis penelitian (research based policy). Pada tahun 2014 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan empat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini: 1. Kajian untuk Mendukung Penyusunan Naskah Akademik Revisi UU No. 28 Tahun 2009 2. Kajian atas Indikator Standar Pelayanan Nasional di Bidang Layanan Publik Dasar yang Relevan dengan Pengalokasian Dana Alokasi Khusus 3. Studi Penerapan Medium Term Expenditure Framework dalam Alokasi Belanja Daerah 4. Pendanaan Urusan Pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan dalam buku Policy Brief 2014. Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi fiscal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi masyarakat. Jessica Ludwig-Maaroof Direktur Program AIPD x

DAFTAR ISI Daftar Singkatan... v Ringkasan Eksekutif... vi Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan... viii Kata Pengantar Direktur Program AIPD Daftar Isi... x... xi Daftar Tabel... xiii Daftar Gambar... xiv Bab 1 Pendahuluan... 1 Latar Belakang... 1 Pertanyaan Kajian... 3 Tujuan... 3 Metode... 3 Bab 2 Isu Kewenangan Antartingkat Pemerintahan... 5 Latar Belakang... 5 Pembagian Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan... 5 Permasalahan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan: Perspektif Pemerintah Daerah.. 9 Bab 3 Identifikasi Bentuk Pendanaan APBD untuk Urusan Pusat... 12 Sebab dan Motivasi Pendanaan Melalui APBD... 13... 16 Pendanaan APBD untuk Urusan Pusat Berdasarkan Jenis Urusan Bab 4 Administrasi Pendanaan APBD untuk Urusan Pusat Pengelolaan dalam APBD... 21... 21 Belanja Daerah dan Hibah Daerah... 22 Belanja Tidak Terduga dan Pendanaan Keadaan Darurat... 26 Belanja Bantuan Sosial... 28 Belanja untuk Pendanaan Urusan Pusat: Hubungan dengan Pelayanan Dasar dan Kapasitas Fiskal... 32 xi

Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan... 36 Kesimpulan... 36 Rekomendasi Kebijakan... 37 Daftar Pustaka... 39 Lampiran... 41 Lampiran A. Hasil Survei di Setiap Daerah Sampel... 41 1. Makassar dan Sulawesi Selatan... 41 2. Badung dan Bali... 44 3. Sulawesi Utara dan Sangihe... 47 4. Sabang... 50 5. DKI Jakarta... 53 Lampiran B. Data LHP LKPD dan Realisasi APBD... 57 Lampiran C. Keterkaitan dengan RUU HKPD... 66 xii DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Contoh Kasus dan Identifikasi Sebab untuk Pendanaan melalui APBD untuk Urusan Pusat Tabel 3.2... 14 Perspektif Instansi di Tingkat Pemerintah Pusat untuk Contoh Kasus dan Sebab dari Pendanaan melalui APBD untuk Urusan Pusat... 16 Tabel 4.1 Persentase Hibah dari Total Pengeluaran... 25 Tabel 4.2 Persentase Belanja Tidak Terduga Terhadap Total Pengeluaran... 27 Tabel 4.3 Persentase Bantuan Sosial dari Total Pengeluaran... 31 Tabel 4.4 Perspektif Responden di Tingkat Daerah dan Pusat Mengenai Alternatif dan Input Terkait dengan Pendanaan Melalui APBD untuk Urusan Pusat... 33 Tabel 4.5 Korelasi Belanja Pelayanan Dasar dengan Jenis Belanja Hibah, Bantuan Sosial, dan Belanja Tidak Terduga: Provinsi dan Kabupaten/Kota Tabel 4.6... 34 Rata-Rata Persentase Belanja Hibah, Belanja Sosial, dan Belanja Tidak Terduga berdasarkan Porsi Belanja Pelayanan Dasar: Provinsi dan Kabupaten/Kota Tabel B1... 35 Persentase Hibah kepada Instansi Pusat dan atau Urusan Pusat dan Deskripsi-nya Tahun 2011 (Berdasarkan Data LHP LKPD Pemerintah Provinsi)... 57 Tabel B2 Persentase Hibah kepada Instansi Pusat dan atau Urusan Pusat dan Deskripsi-nya Tahun 2012 (Berdasarkan data LHP LKPD Pemerintah Provinsi)... 61... 64 Tabel B3 Persentase Fungsi Pelayanan Dasar Terhadap Total Belanja Tabel B4 Kapasitas Fiskal Provinsi di Indonesia... 65 xiii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 10 Gambar 2.2 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi Gambar 3.1... 10 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi... 17 Gambar 3.2 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat... 18 Gambar 3.3 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah... 19 Gambar 3.4 Bidang-Bidang Lain yang Berpotensi Tumpang-tindih... 19 Gambar 4.1 Apakah Pemerintah Daerah Melakukan Koordinasi dengan Pusat dalam Hal Berikut?... 21 Gambar A1.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 41 Gambar A1.2 Tujuan dari Bentuk Pendanaan Urusan Pusat melalui APBD... 42 Gambar A1.3 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi... 42 Gambar A1.4 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah... 43 Gambar A1.5 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi... 43 Gambar A1.6 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat... 44 Gambar A2.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 44 Gambar A2.2 Tujuan dari Bentuk Pendanaan Urusan Pusat Melalui APBD... 45 Gambar A2.3 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi xiv... 45

Gambar A2.4 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah... 46 Gambar A2.5 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi Gambar A2.6... 46 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah... 47 Daerah dengan Pemerintah Pusat Gambar A3.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 47 Gambar A3.2 Tujuan dari Bentuk Pendanaan Urusan Pusat Melalui APBD... 48 Gambar A3.3 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi... 48 Gambar A3.4 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah... 49 Gambar A3.5 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi Gambar A3.6... 49 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat... 50 Gambar A4.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 50 Gambar A4.2 Tujuan dari Bentuk Pendanaan Urusan Pusat Melalui APBD... 51 Gambar A4.3 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi... 51 Gambar A4.4 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah... 52 Gambar A4.5 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi Gambar A4.6... 52 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat... 53 Gambar A5.1 Posisi Kewenangan Antartingkat Pemerintahan: Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat... 53 Gambar A5.2 Tujuan dari Bentuk Pendanaan Urusan Pusat Melalui APBD... 54 Gambar A5.3 Frekuensi Koordinasi dengan Instansi Pusat Dibandingkan dengan Provinsi... 54 Gambar A5.4... 55 Penyebab Pendanaan Urusan Pusat oleh Pemerintah Daerah Gambar A5.5 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi Gambar A5.6... 55 Peluang Terjadinya Tumpang-tindih Kewenangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat... 56 xv

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang S Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah memasuki tahun ke empat belas, namun dalam perjalanannya masih banyak persoalan yang muncul yang menghambat tercapainya tujuan-tujuan desentralisasi tersebut. Salah satu isu yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan penerapan/pelaksanaan kewenangan antar tingkat pemerintahan, dimana terdapat kesenjangan antara praktek hubungan antar tingkat pemerintahan dengan ketentuan/regulasi yang mengaturnya. Perkembangan regulasi mengenai pengelolaan fungsi atau pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan juga cukup didominasi oleh kewenangan yang bersifat bersama (concurrent) untuk beberapa bidang seperti di bidang yang terkait pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pengelolaan kemiskinan. Selain itu, untuk bidang dengan pembagian kewenangan yang cukup jelas antar tingkat pemerintahan, interaksi pemerintah daerah dengan instansi pemerintah pusat juga cukup tinggi dengan adanya pelaksanaan program yang merupakan urusan Pusat yang dilakukan oleh pemerintah daerah ataupun melalui administrasi pengelolaan bentuk penerimaan pemerintah daerah tertentu. Salah satu isu pokok yang muncul dari pelaksanaan kewenangan fungsi pemerintahan tersebut adalah terkait dengan sumber pendanaannya, dimana kerap terjadi persoalan mismatch antara yang memiliki kewenangan/urusan dengan pihak yang mendanai. Mismatch terkait dengan bentuk pendanaan ataupun pelaksanaan fungsi yang akan dicakup dalam kajian ini adalah mengenai pendanaan dan/atau pelaksanaan fungsi atau urusan Pusat yang dilakukan oleh pemerintah daerah (lewat APBD). Beberapa contoh kasus bisa dikemukakan di sini. APBD mendanai perbaikan jalan nasional karena tuntutan dari masyarakat atas kerusakan yg terjadi. Hal ini lebih didorong oleh desakan masyarakat yg tentunya tidak peduli mengenai status jalan tertentu. Contoh riil misalnya Jalan di Pekayon Pondok Gede, yang berstatus Jalan Nasional karena pada waktu itu merupakan penghubung jalan untuk embarkasi penginapan haji Pondok Gede. Pada saat jalan tersebut 1

rusak, Pemda Kota Bekasi tidak jarang melakukan perbaikan karena protes dan desakan dari masyarakat Bekasi. Contoh riil lain yaitu Jalan Lintas Kalimantan (jalan nasional) yang rusak dan diperbaiki (meskipun hanya perbaikan sementara) dengan menggunakan dana APBD Propinsi yang dilalui jalan tersebut. Hal lain misalnya berkenaan dengan APBD yang mendanai beberapa item pada kegiatan event nasional, misalnya untuk pengamanan oleh Paspampres ataupun Kepolisian. Ini sering terjadi di ibukota atau di daerah wisata seperti Bali. Selanjutnya yang kerap terjadi di Daerah Otonom Baru dimana APBD mendanai pengadaan tanah (atau bahkan sekaligus dengan bangunannya) untuk pembangunan kantor vertikal Pusat, seperti Kantor Kepolisian, Kantor Distrik Militer dan lain-lain. Contoh lain adalah pembangunan fasilitas tertentu, misalnya stadion olah raga oleh Pusat, namun statusnya belum diserahkan kepada daerah. Pada saat yg sama APBN juga tidak mengeluarkan biaya pemeliharaan, namun stadion tersebut memang sering digunakan untuk keperluan Pemda. Pada kasus semacam ini seringkali biaya pemeliharaan akhirnya dikeluarkan oleh APBD.1 Kondisi saat ini, cukup sulit untuk menarik garis pemisah yang tegas terhadap praktek-praktek semacam ini, sebab saat berhadapan dengan fakta di lapangan, aturan normatif yang berlaku ternyata tidak sepenuhnya bisa digunakan. Namun di sisi lain, secara normatif urusan setiap level pemerintahan seharusnya sudah dapat teridentifikasi secara jelas dan demikian pula sumber pendanaannya (diatur dalam UU 32/2004, 33/2004 dan PP 38/2007). Seperti kita ketahui bersama, di dalam Draft Revisi UU 33/2004 dimuat ayat bahwa Kementerian Keuangan akan mengeluarkan sanksi kepada instansi Pusat yang mendanai urusan daerah dan sebaliknya juga sanksi kepada daerah yang mendanai urusan Pusat. Semangat pengaturan ini dilandasi oleh argumentasi ideal bahwa memang seharusnyalah suatu urusan jelas sumber pendanaannya dan tidak boleh terjadi tumpang tindih. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi (dan mungkin juga akan tetap terjadi) adalah kesenjangan antara aturan normatif dengan kenyataan di lapangan. Hasil observasi sementara dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada dasarnya daerah tidak merasa nyaman dengan praktik semacam, itu karena tidak sesuai dengan kondisi ideal pembagian kewenangan juga dan kemungkinan menyalahi aturan normatif yang ada. Bahkan BPK juga mengindikasikan hal ini sebagai pelanggaran yang bisa berkonsekuensi hukum. Namun hal ini nampaknya terjadi lebih banyak karena keterpaksaan yang harus dilakukan oleh daerah untuk menjaga hubungan koordinasi dengan instansi Pusat dan (terutama) untuk kepentingan menghindari kerawanan sosial yang mungkin terjadi karena letupan-letupan dalam masyarakat. 1 2 PENDAHULUAN

Pertanyaan Kajian Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa pertanyaan mendasar dari masalah dalam kajian penelitian ini adalah: 1. Kondisi apa yang menyebabkan pemerintah daerah mempertimbangkan untuk mendanai urusan pusat atau membantu instansi vertikal? 2. Apakah dukungan pendanaan pelaksanaan urusan Pusat berdampak baik atau buruk terhadap pengelolaan APBD dan/atau bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah? 3. Bagaimana perbaikan dan alternatif solusi untuk kendala yang dihadapi di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah Pusat? Tujuan 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong pendanaan daerah untuk urusan Pusat. 2. Menganalisis kendala dan tantangan pemerintah daerah dan instansi di tingkat pemerintah Pusat terkait dengan pelaksanaan dan atau pendanaan APBD untuk urusan pusat. 3. Mengkaji alternatif solusi terkait dengan permasalahan pelaksanaan pendanaan APBD untuk urusan Pusat. Metode Sesuai dengan pertanyaan masalah dalam kajian ini, metode Penelitian yang digunakan mencakup: 1. Desk study terkait dengan regulasi kewenangan dan pengelolaan administrasi keuangan pemerintah daerah. 2. FGD (Focus Group Dicussion) dan kuesioner pendukung untuk instansi di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 3. In-depth interview atau follow-up FGD terhadap beberapa instansi di pemerintah pusat. Desk study pemetaan regulasi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor governance dan legalitas dari pelaksanaan atau bentuk pendanaan untuk fungsi terkait. Desk study juga mencakup analisis konteks kasus di negara lainnya yang mungkin dapat memberikan gambaran mengenai alternatif solusi dari permasalahan pelaksanaan atau pendanaan urusan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah ini. Focus Group Discussion (FGD) akan dilakukan di beberapa sampel daerah, dan berdasarkan cakupan kemungkinan variasi bentuk pendanaan dan atau pelaksanaan urusan Pusat oleh PENDAHULUAN 3

pemerintah daerah, ataupun seringnya dilakukan event nasional di daerah, maka daerah sampel untuk FGD akan mencakup: 1 Daerah Otonom Baru (Provinsi Sulawesi Utara) 1 Daerah Khusus/Istimewa (DI Yogyakarta) 1 Kota/Kabupaten dan Provinsi (Badung dan Provinsi Bali) 1 Provinsi (DKI Jakarta) 2 Daerah Perbatasan (Kabupaten Sangihe dan Kota Sabang) Kuesioner FGD untuk tingkat pusat dan daerah didesain untuk mengidentifikasi pandangan partisipan terkait dengan pelaksanaan kewenangan dan bagaimana hal tersebut memberikan implikasi dalam pengelolaan APBD. Kemudian, sebagai pengembangan dari identifikasi struktur permasalahan terutama dalam konteks koordinasi, implementasi regulasi, dan juga untuk penanganan permasalahan tersebut akan dilakukan in-depth interview. Dalam hal ini, in-depth interview akan dilakukan untuk melengkapi informasi dari FGD yang dilakukan untuk instansi di daerah. Target in-depth interview di tingkat Pusat adalah untuk instansi pusat yang memang melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program dan pengelolaan APBD seperti BPKP, BPK, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Bappenas, serta salah satu K/L atau lembaga di tingkat pusat seperti Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk mendukung desk study dan juga pengumpulan data primer melalui FGD (dan kuesionernya) dan in-depth interview, akan juga dilakukan pengolahan data sekunder terutama untuk data dan informasi yang terkait dengan bentuk penerimaan dan program pengeluaran yang dilakukan bersama antara tingkat pemerintah daerah dengan instansi pemerintah pusat, atau melalui identifikasi. 4 PENDAHULUAN

BAB II ISU KEWENANGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN Latar Belakang P elaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai fungsi pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daerah dan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam hal pendanaan, hubungan keuangan antara pusat dan daerah ditunjukkan dengan pemberian dana transfer daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Masing-masing jenis transfer daerah memiliki kriteria khusus yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping adanya aktivitas transfer dana ke daerah, salah satu yang menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal ialah adanya kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada daerah. Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah ini diatur melalui UU Nomor 32/2004, yakni enam kewenangan yang mutlak berada di tingkat pemerintah pusat: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah mendorong terlaksananya pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Pembagian Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Pembagian kewenangan pusat dan daerah telah diatur secara rinci dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 2 dalam PP 38/2007 membagi urusan 5

pemerintahan ke dalam urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan yang dibagi bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pasal tersebut juga menguraikan 31 bidang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagai berikut. 1. pendidikan; 2. kesehatan; 3. pekerjaan umum, 4. perumahan; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perhubungan; 8. lingkungan hidup; 9. pertanahan; 10. kependudukan dan catatan sipil; 11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 13. sosial; 14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 15. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 16. penanaman modal; 17. kebudayaan dan pariwisata; 18. kepemudaan dan olahraga; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. statistik; 23. kearsipan; 24. perpustakaan; 25. komunikasi dan informatika; 26. pertanian dan ketahanan pangan; 27. kehutanan; 28. energi dan sumber daya mineral; 29. kelautan dan perikanan; 30. perdagangan; 31. perindustrian. 6 ISU KEWENANGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

PP Nomor 38/2007 tersebut juga menjelaskan secara rinci mengenai 26 bidang urusan wajib dan 8 bidang urusan pilihan. Adapun urusan-urusan wajib meliputi: 1. pendidikan; 2. kesehatan; 3. lingkungan hidup; 4. pekerjaan umum; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perumahan; 8. kepemudaan dan olahraga; 9. penanaman modal; 10. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 11. kependudukan dan catatan sipil; 12. ketenagakerjaan; 13. ketahanan pangan; 14. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 15. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 16. perhubungan; 17. komunikasi dan informatika; 18. pertanahan; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. sosial; 23. kebudayaan; 24. statistik; 25. kearsipan; 26. perpustakaan. Sedangkan urusan-urusan pilihan meliputi: 1. kelautan dan perikanan; 2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; 8. ketransmigrasian. ISU KEWENANGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN 7