PERLUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PASAR MODAL BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH



dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN. Lampiran : Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.

b. Undang-undang RI. Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. c. Surat dari PT. Danareksa Investment Management, nomor S-09/01/DPS- DIM. d. Pendapat pe

Pedoman Pelaksanaan Reksadana Syariah

BAB II PASAR MODAL SYARIAH DAN PROSES SCREENING DES

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sektor ekonomi dan keuangan mengalami banyak perkembangan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

KARAKTERISTIK TRANSAKSI PERBANKAN SYARIAH DIRINGKAS DARI PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO.59

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27):

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

BAB IV. Setelah dipaparkan pada bab II tentang fatwa Dewan Syariah Nasional dan

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pa

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1

BAB 3 OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN. Secara Umum reksa dana syariah dan reksa dana konvesional tidak jauh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kehadiran bank syariah ditengah-tengah perbankan konvensional

ISTILAH-ISTILAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

BAB III KEPUTUSAN KETUA BAPEPAM DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-314/BL/2007 TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH

I. PENDAHULUAN. Reksa dana adalah wadah pengelolaan dana/modal bagi sekumpulan investor

BAB IV SCREENING DES DI PT. BETONJAYA MANUNGGAL TBK. A. Analisis Implementasi Screening DES di PT. Betonjaya Manunggal Tbk

LAPORAN UJI TUNTAS & PENDAPAT HUKUM

ب س م االله الر ح من الر ح ي م


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

SALINAN NOMOR 18 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

BAGIAN I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang telah penulis laksanakan pada PT Bank

Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah. Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan munculnya Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. meliputi: kinerja perusahaan, pengumuman penerbitan sukuk, pengumuman

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan investasi syariah. Jakarta Islamic Index (JII) merupak an subset dari

- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.04/2017 TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SOSIALISASI. POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Jakarta, 2017

BAB I PENDAHULUAN. Di samping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukarkan uang,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

PEMBIAYAAN IJARAH MUNTAHIYA BITAMLIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Perbankan syariah atau yang dikenal dengan Islamic Banking, pada awalnya

PASAR UANG DAN PASAR MODAL SYARIAH. Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan manusia tanpa terkecuali dalam kegiatan di perbankan. Hal ini dapat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III OBYEK DAN METODOLOGI PENELITIAN. aktif diperdagangkan hingga penelitian ini dilakukan.

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG NOMOR /POJK.04/2017 TENTANG KRITERIA DAFTAR EFEK SYARIAH

Islamic Wealth Management

FATWA DSN MUI. Fatwa DSN 01/DSN-MUI/IV/2000: Giro. 1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari'ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga.

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH, BAGI HASIL, DAN DEPOSITO BERJANGKA

Menurut kepres no. 60 tahun 1998, pasar modal adalah bursa yang merupakan sarana untuk mempertemukan penawar dan peminta dana jangka panjang dalam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP MEKANISME PEMBAYARAN IMBALAN. A. Analisis Terhadap Mekanisme Pembayaran Imbalan

I. PENDAHULUAN. reksadana pertama oleh PT. BDNI Reksadana. Pengesahan Undang-Undang. sebagai salah satu instrument investasi di Indonesia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. posisi keuangannya. Secara faktual, pasar modal telah menjadi financial nervecentre

GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode pendekatan syariah Islam yang dapat menjadi alternatif bagi masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang memerlukan dana (investee) dan dengan pihak yang kelebihan dana

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang berlandaskan prinsip syariah demi menarik perhatian masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keadilan dan keterbukaan, yaitu Perbankan Syariah. operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil.

$!%#&#$ /0.#'()'*+, *4% :;< 63*?%: #E Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya

Prespektif Hukum Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA)

BAB I PENDAHULUAN. tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana

BAB I PENDAHULUAN. perbankan di Indonesia secara umum. Sistem perbankan syariah juga diatur dalam Undang-

sejak zaman Rasulullah, seperti pembiayaan, penitipan harta, pinjam-meminjam uang, bahkan pengiriman uang. Akan tetapi, pada saat itu, fungsi-fungsi

PERLAKUAN AKUNTANSI PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH PADA PT. BANK MUAMALAT INDONESIA Tbk.

LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-./BL/. Tanggal : PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. ANALISIS PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI KJKS CEMERLANG WELERI

Filosofi Investasi. Menunda/mengurangi konsumsi hari ini untuk mendapatkan keuntungan di masa datang

BAB I PENDAHULUAN. fiqh klasik.dewasa ini, wacana tentang Mudharabah menjadi semakin mencuat

PRODUK DAN REGULASI PASAR MODAL SYARIAH. Training of Trainer Modul

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Produk Simpanan Berjangka (Simka) / Deposito Mudharabah di KSPPS Arthamadina Banyuputih

Prinsip Syariah pada Pasar Keuangan October Bagaimana cara mengembangkan pasar?

EVALUASI PENERAPAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BERDASARKAN PSAK NO. 59 (Survai Pada BMI dan BMT) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari disiplin ilmu lainnya. Ilmu ekonomi memberikan pelajaran tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengorbankan konsumsi sekarang (sacrifice current consumption) dengan tujuan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELASANAAN AKAD MUDH ARABAH PADA SIMPANAN SERBAGUNA DI BMT BISMILLAH SUKOREJO

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN 18/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STIE DEWANTARA Pasar Modal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Investasi. Filosofi Investasi. Menunda/mengurangi konsumsi hari ini untuk mendapatkan keuntungan di masa datang

BAB I PENDAHULUAN. bersifat hutang dikenal dengan nama obligasi (Husnan, 2001:4).

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

BAB I PENDAHULUAN. jangka panjang dalam perekonomian ( Nurlita, 2014). Pasar modal

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melalui uraian teori dan analisis diatas, maka dalam penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terjadi. Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana. tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya (Kasmir,

BAB II LANDASAN TEORI. juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi. sebagai tempat untuk memindahkan uang, menerima segala bentuk

BAB IV PEMBAHASAN. 1. Pembukaan Simpanan Berjangka (SIJANGKA)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN. Sistem perbankan ganda (sistem konvensional dan sistem syariah)

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

BAB IV METODE PERHITUNGAN BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BSM CABANG PEKALONGAN DITINJAU DARI FATWA DSN-MUI NO.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam linguistik, analisa atau analisis adalah kajian yang

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN

GIRO DAN DEPOSITO A. PENGERTIAN GIRO

BAB IV ANALISIS MODEL PERHITUNGAN NISBAH BAGI HASIL PADA SIMPANAN BERJANGKA (DEPOSITO) DI BMT LESTARI MUAMALAT SURADADI TEGAL

Dr. Iwan P. Pontjowinoto 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. akan sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat

BAB IV PEMBAHASAN. A. Implementasi Prinsip Mudharabah Muthlaqah pada BNI ib Deposito

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini terlihat dari tindakan bank bank konvensional untuk membuka

Soal UTS Semester Gasal 2015/2016 Mata Kuliah : Akuntansi Syariah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERLUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PASAR MODAL BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH by KarimSyah Law Firm Level 11, Sudirman Square Office Tower B Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930, INDONESIA Phone: +62 21 577-1177 (Hunting), Fax: +62 21 577-1947, 577-1587 E-mail : info@karimsyah.com

PERLUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PASAR MODAL BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. Prinsip-prinsip Dasar Muamalat Islam. Ajaran Islam meliputi tidak saja aspek-aspek ritual (ibadat) yang mengatur tata cara bagaimana berhubungan dengan Tuhan, namun juga mengatur tentang aspek-aspek sosial (muamalat) yang mengatur tata cara hubungan manusia dengan sesama manusia. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh (kaidah dasar-dasar hukum fiqh), dalam masalah ibadah, hukum asal sesuatu adalah terlarang, kecuali ada perintah yang membolehkannya. Sedangkan dalam masalah muamalat, hukum asal sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali ada larangannya. Dengan demikian berdasarkan syariah Islam, pada prinsipnya segala perikatan adalah diperbolehkan kecuali ada nash yang melarangnya. Perikatan-perikatan yang berkaitan dengan kerja sama usaha, penanaman modal, utang piutang, pinjam meminjam, jual beli dan sebagainya, pada dasarnya boleh dilakukan oleh seorang Muslim dengan anggota masyarakat lainnya, sepanjang dalam perikatan tersebut tidak terdapat hal-hal yang dilarang. Dalam masalah muamalat ini, syariat Islam juga tidak pernah membeda-bedakan hak dan kewajiban antara Muslim dan Non-muslim, masing-masing mepunyai hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang mereka perjanjikan. Hal tersebut sesuai dengan ucapan Imam Ali bin Abu Thalib : "Dalam bidang muamalat, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita". Dalam aspek muamalat, Islam mengajarkan prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim sebagai berikut : 1. Tidak mencari rezeki pada hal-hal yang haram, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram pula; 2. Tidak menzalimi dan tidak dizalimi; 3. Keadilan pendistribusian kemakmuran; 4. Transaksi dilakukan atas dasar ridho sama ridho; 5. Tidak ada unsur riba (tambahan atas harta pokok tanpa adannya transaksi yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil /sesuai syariah); 6. Tidak ada unsur maysir (perjudian); 7. Tidak ada unsur gharar (ketidak jelasan/samar-samar). Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka kegiatan muamalat di bidang pasar modal, tidak lepas dari hal-hal tersebut. Kegiatan pasar modal yang berdasarkan prinsip syariah tidak boleh melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang haram (misalnya menyalurkan dana untuk pabrik minuman keras, pembangunan resor prostitusi atau resor perjudian), semua transaksi harus dilakukan atas dasar ridho sama ridho (tidak ada unsur pemaksaan), tidak ada pihak yang didzalimi atau mendzalimi, tidak ada unsur riba, tidak ada transaksi yang bersifat judi dan semua transaksi harus transparan dan jelas semua aspeknya. 1

II. Peraturan Perundangan Pasar Modal Indonesia. Kegiatan Pasar Modal di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1995 ("UUPM"). Pasal 1 butir 13 UU 8/95 menyatakan bahwa "Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek". Sedangkan Efek, dalam UUPM Pasal 1 butir 5 dinyatakan sebagai: "surat berharga yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas Efek dan setiap derivatif Efek". UUPM tidak membedakan apakah kegiatan Pasar Modal tersebut dilakukan berdasarkan prisnip-prisnip syariah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan Pasar Modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah. Beberapa kegiatan pasar modal yang sudah dan masih berjalan, seperti kegiatan jual beli saham, baik di pasar primer maupun pasar sekunder sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, sepanjang usaha yang dilakukan oleh perusahaan yang diperjualbelikan sahamnya tersebut adalah usaha yang halal. Prinsip syariah memperbolehkan jual-beli barang atau jasa yang halal berdasarkan asas ridho sama ridho. Namun, jika usaha perusahaan tadi melibatkan juga usaha-usaha yang dilarang, maka jual-beli saham untuk suatu usaha yang terlarang menjadi terlarang pula. III. Produk-produk Pasar Modal Berdasarkan Prinsip Syariah yang Sudah Ada. A. Reksadana Syariah. Dewan Syariah Nasional, suatu dewan yang dibentuk atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia yang bertujuan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa dan kegiatan usaha dengan prisnip syariah, telah mengeluarkan fatwa No. 20/DSN/- MUI/VI/2001. Fatwa tersebut memuat antara lain : 1. Dalam reksadana konvensional, masih terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah, baik dari segi akad, pelaksanaa investasi, maupun dari segi pembagian keuntungan. 2. Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan syariah, yang meliputi saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian deviden didasarkan pada tingkat laba usaha, penempatan pada deposito dalam bank umum syariah dan surat utang yang sesuai dengan syariah. 3. Jenis usaha Emiten haruslah sesuai dengan syariah, antara lain tidak boleh melakukan usaha perjudian dan sejenisnya, usaha pada lembaga keuangan ribawi, usaha memproduksi, mendistrubusi serta memperdagangkan makanan dan minuman haram serta barang-barang atau jasa-jasa yang merusak moral dan membawa mudarat. Pemilihan dan pelaksanaan investasi harus dilasanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak boleh ada unsur yang tidak jelas (gharar). Diantaranya tidak boleh melakukan penawaran palsu, penjualan barang yang belum dimiliki, insider trading-menyebarkan informasi yang salah dan menggunakan informasi orang dalam untuk keuntungan transaksi yang dilarang, serta melakukan investasi pada perusahaan yang tingkat hutangnya lebih dominan dari modalnya. 2

4. Emiten dinyatakan tidak layak diinvestasikan dalam reksadana syariah jika struktur hutang terhadap modal sangat bergantung pada pembiayaan dari hutang, yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba, Emiten memiliki Nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55%), manajemen emiten diketahui bertindak melanggar prinsip usaha yang Islami. 5. Mekanisme operasional reksadana syariah terdiri dari : Wakalah antara Manajer Investasi dan pemodal; serta mudharabah antara Manajer Investasi dengan pengguna investasi. 6. Karakteristik mudharabah adalah sebagai berikut: (1) pembagian keuntungan antara pemodal (yang diwakili oleh Manajer Investasi) dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang ditentukan dalam akad yang telah dibuat bersama dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada si pemodal, (2) pemodal menanggung resiko sebesar dana yang telah diberikan, (3) Manajer Investasi sebagai wakil pemodal tidak menanggung resiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya. 7. Penghasilan investasi yang dapat diterima dalam Reksadana syariah adalah: a. dari saham dapat berupa : (1) dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba, baik yang dibayarkan dlam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham, (2) Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dulu yang diberikan oleh emiten, (3) capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual beli saham di pasar modal. b. Dari obligasi yang sesuai dengan syariah : bagi hasil yang diterima secara periodik dari laba emiten. c. Dari Surat Berharga Pasar Uang yang sesuai dengan syariah : bagi hasil yang diterima oleh Issuer. d. Dari deposito dapat berupa : bagi hasil yang diterima dari bank-bank syariah. B. Obligasi Syariah Mudharabah. Selain fatwa tersebut, Dewan Syariah Nasional juga telah mengeluarkan fatwa mengenai Obligasi Syariah Mudharabah No.33/DSN-MUI/10/2002 tanggal 14 September 2002. Dalam fatwa tersebut dinyatakan antara lain bahwa : 1. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil, margin atau fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo. 2. Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah. 3. Obligasi mudharabah, emiten bertindak sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi syariah mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemodal). 4. Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. 5. Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad. 6. Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengembalian dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan hutang. 7. Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindah tangankan selama disepakati dalam akad. 3

Obligasi Syariah tersebut dapat diterbitkan oleh emiten dengan pembatasan tidak boleh dipergunakan untuk refinancing hutang emiten, akan tetapi hanya diperbolehkan sebagai modal kerja emiten saja. Disamping itu emiten juga harus menjamin bahwa pendapatan yang dibagihasilkan dengan para pemegang obligasi harus bersih dari unsur non-halal, adapun definsi unsur non-halal adalah sesuai dengan Fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tanggal 18 April 2001. Pendapatan yang dibagihasilkan itu juga harus berasal dari emiten sendiri, bukan dari perusahaan afiliasinya, karena yang terikat dengan perjanjian adalah emiten dengan para pemegang obligasi syariah. Kemusykilan muncul jika kita melihat istilah obligasi syariah mudharabah. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1998 menyatakan bahwa Obligasi adalah surat utang berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan. Sedangkan mudharabah adalah akad kerjasama usaha, dimana pemodal (shahibul maal) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak lainnya (mudharib) bertugas mengelola usaha. Keuntungan usaha dibagi menurut nisbah yang disepakati, sedangkan resiko kerugian ditanggung oleh si pemodal, kecuali jika resiko kerugian tersebut timbul akibat kelalaian si pengelola. Dalam akad mudharabah murni, tidak ada keharusan si pengelola usaha untuk menjamin pengembalian seluruh modal yang telah ditanam si pemodal. Hal ini bertentangan dengan definisi Obligasi sebagaimana disebutkan pada Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1998. Namun kemusykilan tersebut telah diatasi dengan dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional yang membuat definisi baru tentang Obligasi Syariah Mudharabah sebagaimana disebutkan di atas. Dalam definisi tersebut, dicantumkan kata-kata:... serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Bagian Kedua butir ke 7 dari fatwa tersebut juga menyatakan bahwa apabila emiten lalai dan atau melangggar perjanjian dan atau melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah dan si pemodal dapat meminta emiten untuk membuat surat pengakuan hutang. Pencantuman kalimat-kalimat tersebut dimungkinkan karena adanya pendapat para ulama tentang kewajiban si pengelola usaha (mudharib) untuk menjamin pengembalian dana Mudharabah jika terjadi hal melampaui batas, kelalaian atau pelanggaran akad/perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam bagian Memperhatikan butir 3 dari fatwa tersebut. IV. Kendala: Kekuatan Mengikat Fatwa DSN Instrumen-instrumen syari'ah yang dikeluarkan oleh suatu badan usaha atau lembaga keuangan selalu diawali dengan adanya Fatwa dari Dewan Syari'ah Nasional ("DSN") yang menjadi dasar hukum bagi keabsahan produk. Hanya saja yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah Fatwa DSN tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah dasar hukum yang mengikat, mengingat Fatwa DSN tidak termasuk dalam Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan. Pasal 2 Tap MPR tersebut mengatur tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 3. Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). 4

5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Dengan demikian, sampai saat ini penerbit-penerbit produk keuangan syariah sebenarnya mempunyai keleluasan untuk tidak mengikuti Fatwa DSN, karena Fatwa DSN bukanlah sumber hukum yang mengikat di negara Republik Indonesia. Misalnya bisa saja terjadi suatu produk berlabel syariah, tetapi pada kenyataannya mengandung unsur riba dan gharar dan tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada penerbit produk hapal (halal tapi palsu) tersebut. Atau lebih jauh lagi, penerbit-penerbit produk syariah dapat berkonspirasi untuk membuat Dewan Syariah sendiri (DSN Tandingan) yang sesuai dengan seleranya dan Fatwa DSN Tandingan tersebut dijadikan dasar dari penerbitan produk hapal (halal tapi palsu) tersebut. Demikian juga sebaliknya, Fatwa DSN bisa saja menyatakan suatu produk halal sesuai dengan hukum syariah, namun Bank Indonesia atau Bapepam atau Bapebti tidak mengizinkan penerbitan produk tersebut, karena mereka merasa mempunyai kewenangan untuk menentukan halal/haramnya suatu produk syariah. Contoh-contoh tersebut di atas dapat saja terjadi jika para penerbit produk berlabel syariah tersebut semata-mata mencari keuntungan dan mengabaikan semangat untuk memajukan ekonomi syariah. Oleh karena itu untuk menghindari adanya suatu tumpang tindih kewenangan untuk memutuskan apakah suatu instrumen/efek syariah dapat diterbitkan atau tidak dan kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga keuangan syari'ah, Fatwa DSN perlu diintegrasikan kedalam Peraturan Bank Indonesia (untuk produk-produk syariah perbankan) atau Keputusan Ketua Bapepam (untuk produk-produk pasal modal). Iswahjudi A. Karim & Mirza A. Karim KarimSyah Law Firm, Jakarta September 2005 5