PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA MATERI POKOK REAKSI REDUKSI-OKSIDASI KELAS X-A SEMESTER 2 DI SMA AL-FALAH KETINTANG SURABAYA



dokumen-dokumen yang mirip
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT DENGAN STRATEGI PROBLEM POSING

Peningkatan Ketuntasan Belajar Siswa Melalui Model

PENINGKATAN MOTIFASI DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW PLUS

Mondang Syahniaty Elfrida Sinaga Guru Mata Pelajaran IPA SMP Negeri 1 Lubuk Pakam Surel :

BAB I PENDAHULUAN. menuntut kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang, baik dalam ilmu

Eka Pratiwi Tenriawaru*, Nurhayati B, Andi Faridah Arsal. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

Jurnal Penelitian Tindakan dan Pendidikan 3(2)

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING STAD

: PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DENGAN METODE DEMONSTRASI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN KETUNTASAN

Unesa Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 2, No. 2, pp May 2013

QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.5, No.1, April 2014, hlm

Langkah 1 : Penomoran Langkah 2 : Mengajukan Pertanyaan. Langkah 3 : Berpikir Bersama Langkah 4 : Menjawab METODE PENELITIAN

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Materi Segiempat

PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENJASKES SISWA SMP

Bintang Zaura 1 dan Sulastri 2. Dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah 2 Guru SMP Negeri 1 Labuhanhaji Aceh Selatan

Unesa Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 2 No. 3 pp September 2013

ABSTRAK. Kata kunci: hasil belajar, model pembelajaran Think-Pair-Share

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT ( TGT) PADA PEMBELAJARAN FISIKA SMA

MINDAMORA SITUMORANG Guru SD Negeri Muliorejo

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia 2. Dosen Pembimbing Penelitian, P.Kimia, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia

PENERAPAN STRATEGI SNOWBALLING PADA MATERI ATOM, ION, MOLEKUL UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA KELAS VIII SMPN 19 SURABAYA

LEMMA VOL I NO. 1, NOV 2014

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT PADA MATA PELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENDESKRIPSIKAN NKRI MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN MODEL THINK-PAIR-SHARE. Erly Pujianingsih

PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DI KELAS VII-7 SMP NEGERI 1 BANGUN PURBA

Kata Kunci: Model Kooperatif Tipe STAD, PowerPoint 2007, Hasil Belajar.

PROSIDING ISBN :

PENERAPAN PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN AIR PADA MATERI SIFAT-SIFAT BANGUN DAN HUBUNGAN ANTAR BANGUN DI KELAS V SD

BAB III METODE PENELITIAN

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 02/Tahun XVIII/November 2014

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SLBN 1 Palu pada Materi Mengenal Pecahan dengan Menggunakan Kertas Lipat

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA SUB MATERI KETELADANAN ROSULULLAH SAW PERIODE MEKAH. Oon Rehaeni.

I. PENDAHULUAN. dianamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau. dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan

Unesa Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 2 No. 3 pp September 2013

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) pada Materi Bilangan Bulat

Oleh: Endang Mayawati SMP Negeri 1 Pogalan Kabupaten Trenggalek

Abas. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan PMIPA FKIP UNIB ABSTRAK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DEVELOPMENT

Dosen Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan PMIPA, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD)

PENERAPAN METODE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DISERTAI AUTHENTIC ASSESSMENT

Elvinawati Prodi Pendidikan Kimia, JPMIPA FKIP UNIB lvna Abstrak

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARIAS TERINTEGRASI PADA PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA

Kata kunci: Model kooperatif tipe STAD, Hasil Belajar.

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE PADA MATERI AJAR MENJAGA KEUTUHAN NKRI. Tri Purwati

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS TUTOR SEBAYA PADA MATERI HIMPUNAN DI KELAS VII-G SMPN 1 SEMANDING KAB. TUBAN

PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS) BERBASIS PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION (GI) UNTUK MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (PHK)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISKUSI KELAS DENGAN STRATEGI BEACH BALL PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DI SMAN 22 SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Penerapan Pembelajaran Kooperatif

Deliwani Br Purba Guru SMP Negeri 1 Bangun Purba Surel :

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA SUB MATERI KETELADANAN ROSULULLAH SAW PERIODE MEKAH. Oon Rehaeni.

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Pada Mata Pelajaran IPA di Kelas V SDN 10 Biau

PENINGKATAN KREATIVITAS MAHASISWA PADA MATA KULIAH MENGGAMBAR CAD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD merupakan model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER

Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi Universitas Negeri Surabaya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TSTS UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI SMK NU GRESIK

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN MICROSOFT POWERPOINT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 5 KOTA BENGKULU

WAHANA INOVASI VOLUME 4 No.2 JULI-DES 2015 ISSN :

Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas IV SDN Ambelang Pada Mata Pelajaran PKn Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Elok Mufidah dan Amaria Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya Tlp: , Abstrak

17 Media Bina Ilmiah ISSN No

I. PENDAHULUAN. mendorong terjadinya belajar. Pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuantujuan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN JUCAMA PADA MATERI TEOREMA PYTHAGORAS

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kimia kelas XI IPA 1 di

JURNAL MATEMATIKA DAN PEMBELAJARANNYA 2013 VOLUME 1, NO. 1. ISSN ABSTRAK

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN

Kata kunci : Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), motivasi dan prestasi belajar

Oleh: Ning Endah Sri Rejeki 2. Abstrak

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI METODE PEMBELAJARAN PERMAINAN SIMULASI PADA MATA PELAJARAN PPKN SMP NEGERI 5 TEBING TINGGI

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR- SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VII MTs NEGERI NGRONGGOT NGANJUK

PENERAPAN METODE INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI IPS di MAN 2 PROBOLINGGO

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

Studi komparasi pengajaran kimia metode gi (group investigation) dengan stad ( student teams achievement divisions)

METODE PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN PELAJARAN PKN SISWA KELAS IX-7 SMP NEGERI 8 TEBING TINGGI.

Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Tentang Jurnal Khusus Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Kelas XII IPS 2 SMA Negeri I Jogorogo

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR TEMA KEGEMARAN

Mahasiswa Program Studi Pendidikan kimia, Jurusan PMIPA,FKIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENGHITUNG ARITMATIKA SOSIAL MELALUI PENERAPAN MODEL STAD. Kasurip

OPTIMALISASI PENGGUNAAN MEDIA POWER POINT DALAM UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR IPA SISWA KELAS IX-A SMP NEGERI 11 MATARAM

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS SISWA SDN KEBUN BUNGA 6 BANJARMASIN

mengembangkan berbagai macam tingkat dan jenis sekolah.

Oleh : HERI SUTRISNO NIM : ABSTRAK

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menjabarkan hasil-hasil

PENERAPAN MODEL STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK MELIHAT DAYA SERAP SISWA KELAS VIII-1 SMP NEGERI 29 MEDAN

Sumono 38. Kata kunci : Metode STAD, Hasil Belajar, IPA. 38 Guru Kelas VI SDN Darungan 02 Tanggul Kabupaten Jember

Penelitian Tindakan Kelas Rumpun Bidang Fisika, Biologi, Kimia dan IPA

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MAHASISWA MELALUI DIRECT INSTRUCTIONAL PADA MATAKULIAH PENGANTAR AKUNTANSI

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran kimia di sekolah, umumnya masih berorientasi kepada materi yang

Rasiman 1, Wahyu Widayanto 2. Abstrak

Transkripsi:

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA MATERI POKOK REAKSI REDUKSI-OKSIDASI KELAS X-A SEMESTER 2 DI SMA AL-FALAH KETINTANG SURABAYA Afrida Trisnawati, Ismono ABSTRAK Pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas. Berdasarkan wawancara dengan guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya bahwa sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi pokok menggunakan metode ceramah. Hal ini menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada pelajaran kimia khususnya reaksi reduksi-oksidasi, sehingga nilai materi pokok ini rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengelola kelas, aktivitas siswa, hasil belajar dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dan respon siswa dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilaksanakan dalam tiga kali putaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola kelas terhadap proses penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD selama 3 putaran didapatkan ratarata sebesar 63,98%, sehingga mendapatkan penilaian baik. Selain itu pada kegiatan belajar mengajar terjadi interaksi positif antar siswa di kelas dalam memahami materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD seiring dengan meningkatnya aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa yakni pada putaran I sebesar 9,5%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar 12,3% dan 22,8%. Dari hasil angket diperoleh respon sebanyak 87% siswa menyatakan pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan. Sedangkan dari hasil tes, ketuntasan belajar pada putaran I sebesar 73,3%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar 86,7% dan 93,3%. Kata Kunci : Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. 1. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat pesat, maka pendidikan yang merupakan suatu kegiatan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan demi kemajuan suatu bangsa. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 2000 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada KBK ini siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas. Dalam memenuhi harapan KBK, guru harus mampu mengembangkan metode dan keterampilan mengajar. Peran guru adalah membantu para siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip-prinsip bukan memberi ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas (Nur, dkk, 1999: 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya pada tanggal 12 Oktober 2006 diketahui sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi pokok menggunakan metode ceramah. Metode ceramah ini menyebabkan siswa 9

kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan menjadikan suasana kelas menjadi membosankan. Materi pokok reaksi reduksi-oksidasi menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan dimengerti salah satunya siswa dituntut dapat menentukan atom yang mengalami reaksi reduksi dan reaksi oksidasi berdasarkan pengikatan dan pelepasan oksigen, penerimaan dan pelepasan elektron dan perubahan bilangan oksidasi serta memberi nama suatu senyawa. Hal ini menyebabkan siswa merasa jenuh dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam materi pokok reaksi reduksi-oksidasi dan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri. Oleh karena itu diperlukan keterlibatan siswa secara aktif selama kegiatan belajar mengajar dengan cara saling berdiskusi, tanya jawab baik antar siswa maupun antara siswa dengan guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA Al- Falah Ketintang Surabaya bahwa guru dalam menyampaikan materi reaksi reduksioksidasi menggunakan metode ceramah, sehingga didapatkan ketuntasan pada tahun ajaran 2005-2006 hanya mencapai 15%. Di mana hasil ini jauh dari standar ketuntasan yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al- Falah Ketintang Surabaya yakni 85%. Hasil angket yang diberikan pada siswa kelas XI diperoleh 59,26% siswa menyatakan kesulitan dalam mempelajari materi reaksi reduksi-oksidasi dan 66,67% siswa tidak tertarik dengan model pengajaran yang digunakan oleh guru mereka, ini menunjukkan bahwa siswa kurang aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran materi pokok reaksi reduksi-oksidasi. Di kelas X-A SMA Al-Falah menurut informasi dari guru kimia menyatakan siswa cenderung pasif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil angket yang diberikan kepada siswa kelas X-A diperoleh sebesar 67,86% siswa tidak senang dengan pelajaran kimia, 75% siswa sulit dalam mempelajari kimia dan 67,86% siswa menyatakan guru kurang bervariasi dalam menyampaikan materi kimia. Hal ini menjadikan siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat sehingga pengetahuan yang diperoleh tidak bertahan lama dan terbukti dari hasil ulangan kimia pada bab sebelumnya yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru kimia kelas X-A yakni mencapai ketuntasan sebesar 57%. Di mana hasil ini belum menunjukkan standar ketuntasan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al-Falah Ketintang Surabaya yakni 85%. Untuk itu diupayakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah di atas. Salah satu alternatif adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Menurut penelitian Slavin bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibanding pengalaman-pengalaman belajar individu atau kompetitif (Ibrahim, M, dkk, 2000: 16). Pada pembelajaran kooperatif siswa dapat berpartisipasi selama kegiatan belajar mengajar melalui tutorial, karena ada kalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri dan ada pula siswa yang lebih mudah belajar melalui mengajar atau melatih temannya sendiri. Model pembelajaran kooperatif terdiri atas empat tipe yaitu Student Team Achievement Division (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok dan pendekatan struktural yaitu terdiri dari Think-Pair-Share (TPS) dan Numbered-Head-Together (NHT) (Ibrahim, M, dkk, 2000). Dalam hal ini digunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang merupakan suatu model pembelajaran yang paling sederhana serta dapat menumbuhkan kemampuan membantu teman. Pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi ini menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan 95

dimengerti, maka dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa dapat belajar bersama dengan kelompok yang heterogen baik dalam kemampuan maupun jenis kelamin dan siswa yang menguasai materi pelajaran lebih dulu harus membantu teman sekelompoknya yang belum menguasai materi pelajaran. Menurut hasil penelitian dari Anggelita (2006) bahwa dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas siswa yakni pada putaran I adalah 5,18%, putaran II adalah 1,07% dan putaran III adalah 17,0% serta dapat meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa yakni pada putaran I adalah 55,77%, putaran II adalah 82,69% dan putaran III adalah 92,31%. Dari uraian di atas penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan judul: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi kelas X-A semester 2 di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam 3 putaran di mana setiap putaran terdiri dari tahap yakni: 1) Rencana Pada tahap ini meliputi persiapan instrumen penelitian yaitu rencana pembelajaran, LKS, lembar observasi dan soal tes untuk tiap putaran. 2) Kegiatan dan Pengamatan Pada tahap ini meliputi tindakan yang dilakukan peneliti serta mengamati dampak atau hasil dari tindakan yang telah dilakukan. 3) Refleksi Pada tahap ini penelitian melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan. ) Revisi Pada tahap ini peneliti membuat revisi rancangan untuk dilakukan pada putaran berikutnya. 2.2 Analisis Data Penelitian (1) Analisis Lembar Aktivitas Siswa. Lembar aktivitas siswa dianalisis dengan menggunakan persentase (%), yaitu: frekuensi aktivitas yang muncul % aktivitas x100% total frekuensi aktivitas (2) Analisis Lembar Pengelolaan Pembelajaran. Data kemampuan guru dalam mengelola kelas selama proses kegiatan belajar mengajar dianalisis dengan menggunakan skala Likert dengan keterangan skor seperti pada tabel 2.1 sebagai berikut: Tabel 2.1 Keterangan Skor Skala Likert Skor Keterangan 1. Sangat kurang 96

2. 3.. 5. kurang Cukup Baik Sangat baik (Riduwan,2005) Data yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk persentase. Skor kriterium = Skor tertinggi x aspek x jumlah observer/pengamat jumlah hasil perhitungan p x100% skor kriterium Perhitungan persentase dilakukan pada tiap aspek penilaian dan keseluruhan aspek penilaian. Hasil persentase yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada tabel 2.2 sebagai berikut: Tabel 2.2 Interpretasi Persentase Pengelolaan Pembelajaran No Persentase Kategori 1. 2. 3.. 5. 0%-20% 21%-0% 1%-60% 61%-80% 81%-100% Sangat kurang Kurang Cukup Baik Sangat baik (Riduwan, 2005) a) Analisis Data Hasil Belajar Siswa Analisis untuk mengetahui masing-masing ketuntasan belajar setelah pembelajaran. Secara individual siswa telah tuntas belajar jika mencapai nilainya 69 dengan perhitungan sebagai berikut: B Nilaisiswa x100 N keterangan: B = Banyaknya soal yang dijawab benar N = Banyaknya soal (Surapranata, 200) sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika terdapat 85% siswa telah mencapai nilai 69 dengan perhitungan sebagai berikut: Jumlahsiswa yangtuntas x100% Jumlah seluruh siswa b) Analisis Angket Siswa Untuk menganalisis hasil angket menggunakan persentase dari jumlah siswa yang telah memilih tiap-tiap alternatif jawaban dengan rumus: F P x100% N Keterangan: P = Persentase F = Jumlah jawaban responden N = Jumlah responden Interpretasi persentase respon siswa seperti pada tabel 2.3 sebagai berikut: 97

Tabel 2.3 Interpretasi Persentase Respon Siswa No Persentase Kategori 1. 2. 3.. 5. 0%-20% 21%-0% 1%-60% 61%-80% 81%-100% Sangat kurang Kurang Cukup Baik Sangat baik (Riduwan,2005) 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengelolaan Pembelajaran kooperatif % Rata-rata 68 66 6 62 60 58 56 5 67.23 65 59.71 I II III Putaran Grafik 3.1 Pengelolaan pembelajaran kooperatif Grafik di atas menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif pada putaran I sebesar 59,71% (cukup), pada putaran II meningkat menjadi 65% (baik) dan pada putaran III sebesar 67,23% (baik). Pada putaran I kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sebesar 59,71%, hal ini dikarenakan aktivitas guru ada yang mendapat penilaian kurang baik dalam melatih keterampilan kooperatif kepada siswa dan pengelolaan waktu. Pada pertemuan ini guru dan siswa masih menyesuaikan diri dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Siswa belum terbiasa belajar kelompok dan menggunakan keterampilan kooperatif dengan baik sehingga guru kesulitan untuk melatih siswa menggunakan keterampilan kooperatif. Pada pertemuan ini guru juga kurang baik dalam mengelola waktu yaitu banyak digunakan untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Siswa belum terbiasa untuk belajar berkelompok. Pada putaran II, masalah tersebut diperbaiki sehingga penilaian terhadap pengelolaan pembelajaran meningkat yaitu mendapat kriteria baik. Pada putaran ini kemampuan guru dalam melatih keterampilan kooperatif telah meningkat dan guru cukup baik dalam mengatur waktu. Siswa cepat dalam membentuk kelompok sehingga guru tidak memerlukan waktu lama dalam mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Guru telah mengingatkan siswa untuk menggunakan keterampilan kooperatif, aktivitas guru ini dapat mendorong siswa untuk menggunakan keterampilan kooperatifnya sehingga suasana pembelajaran pada putaran II ini lebih hidup. Kemampuan guru pada putaran III mendapat penilaian baik (67,23%). Siswa sudah terbiasa belajar secara berkelompok sehingga guru tidak memerlukan waktu lama untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompoknya. Aktivitas guru yang meningkat pada putaran III yaitu melatih keterampilan kooperatif siswa, ini berarti 98

guru berusaha untuk meningkatkan kegiatan belajar dengan menekankan kegiatan pada kelompok kooperatif dan membimbing siswa untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas belajarnya. Untuk aktivitas yang lainnya, nilai yang diperoleh sama dengan nilai pada putaran II yang menunjukkan bahwa cara mengajar guru sudah konstan dengan kualifikasi baik dan cukup. Secara keseluruhan diperoleh nilai akhir hasil pengamatan pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah 63,98% (baik), persentase ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan dalam penelitian ini mempunyai penilaian baik. 3.2 Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran % Aktivitas 35 30 25 20 15 10 5 0 1 2 3 5 6 7 Kategori Aktivitas Siswa Putaran I Putaran II Putaran III Grafik 3.2 Kategori aktivitas siswa Keterangan : 1. Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru 2. Membaca (buku siswa/ LKS) 3. Berdiskusi/bertanya antar siswa. Berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru 5. Mempresentasikan hasil kerja kelompok 6. Menyimpulkan materi yang telah dipelajari 7. Mengerjakan postes. Grafik 3.2 menunjukkan bahwa aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa dan berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru mengalami peningkatan pada tiap putaran. Pada putaran I, persentase kedua aktivitas ini masih kecil yakni 9,5% karena pada putaran ini siswa belum menggunakan keterampilan kooperatifnya. Aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa pada putaran II (12,3%) dan putaran III (22,8%), sedangkan berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru pada putaran II (10,5%) dan putaran III (13,%), persentase kedua aktivitas ini meningkat karena siswa sudah terbiasa menggunakan keterampilan kooperatifnya dan siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran tiap putaran. Persentase aktivitas mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru pada putaran I (32,3%) dan putaran II (33,3%) mengalami peningkatan, karena pada putaran I dan II siswa masih kurang aktif sehingga guru banyak menjelaskan materi dan memberi informasi tentang model pembelajaran kooperatif. Pada putaran III (19%), persentase aktivitas ini mengalami penurunan, hal ini menunjukkan bahwa siswa lebih aktif dalam pembelajaran sehingga guru tidak 99

banyak memberikan informasi tentang materi dan memotivasi siswa dalam menggunakan keterampilan kooperatifnya. Pada putaran I persentase aktivitas membaca (buku siswa/ LKS) sebesar 11,%, putaran II sebesar 6,7% sedangkan putaran III sebesar 5,7%. Persentase aktivitas pada putaran I lebih besar dari putaran II dan III, karena pada putaran I siswa masih bersikap individual sehingga untuk memahami materi siswa lebih menonjolkan aktivitas membaca daripada berdiskusi antar siswa. Pada putaran II dan III, aktivitas ini makin menurun karena siswa sudah menggunakan keterampilan kooperatifnya dalam memahami materi. Aktivitas mempresentasikan hasil kerja kelompok pada putaran I dan II sama yakni sebesar 1,3%, karena siswa belum berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya. Pada putaran III, aktivitas ini meningkat yakni sebesar 15,2%, karena siswa sudah berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya walaupun berbeda dengan temannya sehingga suasana kelas lebih aktif. Sedangkan aktivitas menyimpulkan materi yang telah dipelajari juga mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena siswa lebih memahami materi ketika menggunakan keterampilan kooperatifnya dan siswa juga lebih berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya. Berdasarkan pembahasan aktivitas siswa di atas maka penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan aktivitas siswa. 3.3 Ketuntasan Tes Hasil Belajar Ketuntasan belajar ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al- Falah Ketintang Surabaya yakni seorang seorang siswa secara individu dikatakan tuntas belajar jika telah memperoleh nilai 69 atau lebih dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar jika kelas tersebut telah terdapat 85% siswa tuntas belajar. % Ketuntasan Klasikal 100 80 60 0 20 0 86.7 93.3 73.3 I I II Putaran Grafik 3.3 Ketuntasan belajar siswa secara klasikal Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada putaran I, siswa yang dikatakan tuntas sebanyak 22 siswa dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 8 siswa, ketuntasan belajar secara klasikal pada postes tersebut mencapai 73,3% sehingga apabila didasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini belum tuntas. Pada putaran II, siswa yang tuntas sebanyak 26 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 86,7% sehingga apabila didasarkan kesapakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan tuntas. 100

Pada putaran III, siswa yang tuntas sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 2 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 93,3% sehingga apabila didasarkan kasepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan tuntas. Berdasarkan pembahasan ketuntasan tes hasil belajar di atas maka penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi. 3. Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif Angket respon yang diberikan kepada 30 siswa setelah pembelajaran pada putaran ketiga berakhir. Data angket digunakan untuk menggunakan respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD. Dari analisis angket respon siswa diperoleh sebanyak 73% siswa menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya, sedangkan sebanyak 87% siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan.. Kesimpulan dan Saran.1 Kesimpulan Berdasarkan pelaksanakan penelitian pada putaran I, II dan III diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD pada putaran I sebesar 59,71% (cukup), putaran II meningkat menjadi 65,00% (baik) dan pada putaran III meningkat menjadi 67,23% (baik). Secara keseluruhan diperoleh rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD sebesar 63,98% yang mendapat penilaian baik. (2) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa yang meliputi berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru, pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 10,5% dan 13,%. Aktivitas siswa berdiskusi/bertanya antar siswa juga mengalami peningkatan. Pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 12,3% dan 22,8%. (3) Respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat baik. Hal ini terlihat dari pernyataan mereka bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya (73%), sedangkan siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan sebanyak 87%. () Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada putaran I, ketuntasan klasikal siswa mencapai 73,3%, pada putaran II dan III ketuntasan secara klasikal meningkat yaitu 86,7% dan 93,3%..2 Saran-Saran Dari hasil penelitian ini, yang dapat disarankan peneliti sebagai masukan adalah: (1) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD perlu diterapkan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran kimia pada materi pokok yang lain. 101

(2) Hendaknya siswa dilatih terlebih dahulu dengan model pembelajaran kooperatif supaya mereka terbiasa belajar kooperatif sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. (3) Untuk mengukur supaya siswa tidak terlalu lama dalam membentuk kelompok, maka guru sebaiknya menekankan kepada siswa terutama ketua kelompoknya untuk bertanggung jawab dalam mengorganisasikan anggotanya ke dalam kelompok belajar sebelum belajar dimulai. DAFTAR PUSTAKA Anggelita, Devi Maria. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Pokok Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Untuk Mencapai ketuntasan Belajar Siswa Di SMA Antartika Sidoarjo. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta. Fatmawati, Suci Elliyan. 200. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achivement Division (STAD) Pada Pokok Bahasan Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Siswa Kelas II-5 Semester 2 Di SMA Wachid Hasyim 2 Taman. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. FMIPA. 2005. Panduan Penulisan Skipsi dan Penilaian Skipsi. Surabaya: UNESA. Ibrahim, Muslim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nur, Muhammad, dkk. 1999. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Nur, Muhammad, dkk. 2005. Pembelajaran kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS. Purba, Michael. 2002. Kimia IB Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: ALFABETA. Risdiana, Herra. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam mencapai ketuntasan Belajar Kimia Pada Pokok Bahasan Alkana, Alkena dan Alkuna Siswa Kelas 1-9 SMU Kartika V-3 Surabaya. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA. Sutresna, Nana. 2000. Kimia Untuk Sekolah Menengah Umum Kelas I. Bandunng: Grafindo Media Pratama. Surapranata, Sumarna. 200. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 200. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Tim Pelatih PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Researh). Jakarta: DEPDIKBUD. 102

TIPE-TIPE KESEPAKATAN SISWA DALAM MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA MATERI POKOK IKATAN KIMIA Lutfiah dan Suyono Abstrak: Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi ikatan kimia di SMK, (2) Mengetahui persentase setiap tipe kesepakatan siswa, dan (3) Mengetahui kecenderungan antara tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa. Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 22 siswa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah The One-Shot Case Study. Instrumen penelitian ini terdiri dari instrumen identifikasi tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase Pair dan lembar penilaian. Prosedur pengumpulan data terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan (proses pembelajaran dan tes), dan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, adalah: (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1; 8,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2; 26,36%), (3) Salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), () Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe ; 1,5%), (5) Kedua siswa salah sebelum tukar pendapat dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%). Pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share), siswa yang menjawab benar setelah tukar pendapat cenderung memperoleh hasil belajar yang bagus. Kata Kunci: Tipe Kesepakatan, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair- Share, ikatan kimia. PENDAHULUAN Dalam kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2006, mata pelajaran kimia telah diberikan mulai kelas satu pada semua program keahlian. Dimana mata pelajaran kimia berfungsi hanya sebagai penunjang terhadap mata pelajaran program produktif, sehingga siswa kurang tertarik dan cenderung meremehkan mata pelajaran tersebut. Salah satu materi pokok mata pelajaran kimia yang diberikan di SMK kelas satu adalah ikatan kimia. Materi ini merupakan materi pokok yang memiliki sifat teoritis yang memerlukan adanya pemahaman konsep. Dalam materi ini menjelaskan tentang terjadinya ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan logam dan menuliskan senyawa kimia. Sementara itu materi pembelajaran yang bersifat teoritis, kurang memberi contohcontoh yang kontekstual, metode penyampaian bersifat monoton, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal seperti metode penyampaian materi ikatan kimia yang

digunakan oleh guru SMK Negeri 3 Surabaya yaitu metode ceramah, sehingga siswa merasa jenuh yang menyebabkan siswa kurang aktif. Berdasarkan data ketuntasan belajar siswa kelas 1 audio video tahun ajaran 2005-2006 diperoleh 80% yang telah mencapai nilai 60, data tersebut menunjukkan bahwa kelas tersebut belum mencapai skala ketuntasan yang telah ditetapkan oleh sekolah, yaitu 85%. Seorang guru harus pandai dalam memilih model pembelajaran yang tepat, menciptakan suasana kelas yang kondusif, serta menguasai materi pokok yang diajarkan yaitu mendeskripsikan terjadinya ikatan ion dan ikatan kovalen, menjelaskan ikatan logam dan menuliskan tata nama senyawa kimia. Peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dalam proses pembelajaran dengan menyiapkan lembar jawaban yang berbeda, yaitu lembar jawaban untuk fase Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari kedua lembar jawaban tersebut, dapat diklasifikasikan beberapa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase Pair. Di mana tipe-tipe kesepakatan yang dibuat pasangan merupakan gambaran dari pemahaman siswa terhadap pertanyaan yang didiskusikan. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) adalah suatu model pembelajaran yang diawali dengan guru memberikan masalah untuk difikirkan secara mandiri beberapa saat (Think), kemudian diselesaikan secara berpasangan (Pair). Setelah itu salah satu pasangan siswa diminta untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang hasil kerjanya dan dilanjutkan untuk pasangan yang lain (Share). Berdasarkan fenomena yang terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya, dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, siswa sering melakukan kesalahan yaitu pada pelaksanaan fase Think, siswa-siswa tidak mengerjakan soal yang diberikan guru secara mandiri, tetapi siswa sudah melakukan berbagi pendapat dengan temannya. Sehingga pemikiran individu siswa tidak terlaksana. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya instrumen pada penelitian-penelitian tersebut yang menjamin bahwa fase Think benar-benar dilaksanakan sebelum melakukan langkah Pair. Padahal terdapat beberapa keuntungan dari model pembelajaran kooperatif diantaranya dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka dan siswa juga lebih memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi, khususnya pada tipe TPS (Think-Pair-Share) siswa diberikan waktu untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2000). Dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi yang dilanjutkan dengan Think, Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar (Pair), Membimbing kelompok bekerja dan belajar, evaluasi (Share), memberikan penghargaan (Ibrahim, 2000). Pada langkah menyajikan informasi, diperlukan adanya media pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa agar mudah memahami materi yang diajarkan dan supaya pembelajaran tidak bersifat monoton. Media yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah media interaktif. Penyampaian materi dengan menggunakan media ini akan mendorong siswa untuk dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang disajikan oleh guru. Interaksi dalam media ini berbentuk materi dan contoh soal yang menampilkan sub pokok materi dan disertai dengan animasi. Dengan menggunakan media ini siswa diharapkan mampu memiliki ketertarikan, senang dan santai dalam proses belajar. Apalagi jika media ini diterapkan dalam pembelajaran kimia, dimana ilmu kimia merupakan ilmu dasar dari ilmu terapan yang dipelajari dalam program produktif di SMK. 10

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul Identifikasi Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share pada Materi Pokok Ikatan Kimia di SMK. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa rumusan masalah, yaitu Bagaimana Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi pokok ikatan kimia di SMK?, berapa besar prosentase Tipe-tipe kesepakatan siswa tersebut, bagaimana kecenderungan antara tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa? Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi guru dalam memilih model pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan dapat menjadi acuan bagi guru dalam upaya memperkecil kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share berlangsung. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini mempunyai bentuk deskriptif dengan rancangan penelitian The One-Shot Case Study. Yang digambarkan sebagai berikut: X O (Arikunto, 2002) Keterangan: X = perlakuan yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair- Share. O = Pengukuran kemampuan berupa tes hasil belajar. Pendiskripsian tipe-tipe kesepakatan siswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung, sedangkan untuk pendiskripsian kecenderungan antara tipe-tipe kesepakatan siswa dengan tes hasil belajar siswa dilakukan setelah pembelajaran berlangsung. Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu kesepakatan yang diperoleh pada fase pair oleh pasangan siswa atas jawaban pertanyaan yang diberikan guru dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. 2. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. 3. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.. Tipe kesepakatan menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 5. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. 105

6. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. Persentase Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu perbandingan antara Tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali 100. Tipe kesepakatan % X 100 siswa Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 30 siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada sub bab ini memuat tentang penyajian data penelitian yang diikuti dengan hasil analisis masing-masing data dan dilanjutkan pembahasan. 1. Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think-Pair-Share) Tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh setelah siswa mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menggunakan lembar jawaban yang berbeda dalam proses pembelajaran, yaitu lembar jawaban untuk fase Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari data yang diperoleh dapat diberikan hasil analisis bahwa tipe kesepakatan siswa pada LKS 1, 2 dan 3 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) ada enam tipe sebagai didefinisikan di atas. Munculnya keenam tipe kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa diskusi yang dilakukan oleh dua siswa dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair- Share) berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa setelah bertukar pendapat dengan pasangannya. Peningkatan berfikir siswa terjadi apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri menjawab salah, kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. Begitu juga dengan penurunan berfikir siswa terjadi apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri menjawab benar, kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. Dilihat dari 6 tipe kesepakatan yang muncul, yang paling berbahaya adalah tipe kesepakatan yang terjadi penurunan berfikir siswa, yaitu kesepakatan di mana salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena tipe tersebut merugikan pasangannya, dan kesepakatan di mana kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena terjadi saling merugikan di antara siswa, untuk tipe 5 tidak membahayakan karena sama-sama tidak ada potensinya dan tanggung jawab guru untuk membetulkan konsep bagi siswa yang mempunyai tipe ini. Selain itu terdapat tipe kesepakatan yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir yaitu tipe 1 dimana kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan tipe dimana kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar pendapat. Hal ini wajar terjadi pada proses tukar pendapat yang dilakukan oleh dua 106

orang, jika dalam berfikir secara mandiri kedua siswa berfikir yang sama, maka hasil diskusi mereka juga menghasilkan apa yang telah difikirkan mereka. 2. Persentase Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Persentase tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh dengan membandingkan antara jumlah tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui jumlah tiap tipe-tipe kesepakatan siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 sebanyak 106; tipe kesepakatan 2 sebanyak 58; tipe kesepakatan 3 sebanyak 6; tipe kesepakatan sebanyak 32; tipe kesepakatan 5 sebanyak 16 dan tipe kesepakatan 6 sebanyak 2. Dengan demikian dapat diketahui masing-masing persentase tipe kesepakatan siswa dengan membandingkan antara jumlah tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100, sehingga diperoleh tipe kesepakatan 1 dengan persentase 8,18%; tipe kesepakatan 2 dengan persentase 26,36%; tipe kesepakatan 3 dengan persentase 2,72%; tipe kesepakatan dengan persentase 1,5%; tipe kesepakatan 5 dengan persentase 7,27%; dan tipe kesepakatan 6 dengan persentase 0,91%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase peningkatan berfikir (tipe kesepakatan 2 dan 5) lebih besar daripada penurunannya (tipe kesepakatan 3 dan 6). Peningkatan berfikir siswa menunjukkan adanya saling membantu satu sama lain, hal ini mencerminkan bahwa Think-Pair-Share telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur, sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa Think-Pair-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Keberhasilan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dapat dilihat dari adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa, walaupun dalam penelitian ini terdapat siswa yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir, seperti pada Ke dua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat, akan tetapi hal tersebut wajar terjadi dalam hubungan tukar pendapat antara dua individu, jika kedua individu ketika berfikir secara mandiri memikirkan hal yang sama, maka dalam tukar pendapat mereka menghasilkan seperti apa yang mereka fikirkan. Rata-rata persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat sebesar 8,18%. Angka tersebut masih rendah, sehingga perlu di tingkatkan lagi, sedangkan kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar pendapat memperoleh rata-rata persentase sebesar 1,5%. Walaupun angka tersebut lebih kecil dari persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat, namun persentase tersebut (1,5%) perlu diperkecil lagi agar terjadi peningkatan berfikir siswa. 3. Kecenderungan antara Tipe Kesepakatan dengan Hasil Belajar Siswa Kecenderungan tipe kesepakatan siswa terhadap hasil belajar siswa dapat dilihat setelah mengetahui hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan menggunakan skor hasil belajar. Skor 1 diberikan pada siswa yang menjawab benar dan skor 0 diberikan pada siswa yang menjawab salah. Analisis dilakukan pada tiap-tiap indikator hasil belajar. 107

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui rata-rata skor hasil belajar siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia yang dilihat di setiap indikator, diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,86; tipe kesepakatan 2 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,76; tipe kesepakatan 3 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,67; tipe kesepakatan dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,68; tipe kesepakatan 5 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,57 dan tipe kesepakatan 6 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,50. Hal ini menunjukkan bahwa skor hasil belajar yang dihasilkan siswa pada tipe kesepakatan yang terjadi peningkatan berfikir (tipe 2) lebih besar daripada tipe kesepakatan yang terjadi penurunan berfikir (tipe 3) dan (tipe 5) lebih besar daripada (tipe 6). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan berfikir siswa cenderung menghasilkan skor hasil belajar yang lebih besar daripada penurunan berfikir siswa. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair- Share) memberikan pengaruh positif dalam hal berfikir siswa. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (2000), bahwa pembelajaran kooperatif dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam sehingga memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi. Selain itu fenomena tersebut juga sejalan dengan pendapat Nasution (1982) bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika siswa saling mendiskusikan suatu masalah untuk mencapai kesepakatan dengan temannya. Tipe kesepakatan siswa yang dominan muncul pada tiap indikator hanya tipe kesepakatan 1, 2 dan. Apabila dilihat dari hubungan tipe kesepakatan siswa dengan persentase ketercapaian indikator menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 1 (tidak terjadi peningkatan atau penurunan berfikir) cenderung tinggi, akan tetapi besarnya persentase ketercapaian indikator tersebut disetiap indikator berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Seperti pada indikator menjelaskan pembentukan ion memiliki persentase lebih kecil daripada menjelaskan gas mulia. Hal tersebut disebabkan karena untuk mencapai indikator menjelaskan pembentukan ion lebih sulit daripada menjelaskan konfigurasi elektron gas mulia. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa yang semula ketika secara mandiri berfikir salah, kemudian berpasangan dengan siswa yang semula secara mandiri berfikir benar dan akhirnya memperoleh kesepakatan yang benar hanya muncul pada 2 indikator yaitu indikator 7 dan 10 dengan masing-masing persentase ketercapaian indikator sebesar 59% dan 72%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah. Seharusnya persentase ketercapaian indikator tersebut cenderung tinggi, karena dalam tipe tersebut akhirnya memperoleh jawaban yang benar. Ketidak sesuaian tersebut dikarenakan perbedaan dalam hal berfikir ketika siswa berfikir secara mandiri, sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi dalam bertukar pendapat. Hal ini sesuai dengan salah satu postulat yang diungkapkan oleh French dalam Sarwono (1983) yaitu dalam sebuah hubungan dua orang, seseorang yang dipengaruhi akan mengubah pendapatnya mengikuti pasangannya tetapi tidak diikuti dengan perubahan kognitifnya melainkan dikarenakan kekuasaan dasar yang lebih kuat diantara salah seorang tersebut, seperti kekuasaan rujukan, kekuasaan ganjaran, kekuasaan hukuman, kekuasaan pengabsahan dan kekuasaan keahlian. 108

Adapun dua siswa berpasangan yang semula ketika secara mandiri berfikir salah dan pada saat bertukar pendapat memperoleh kesepakatan yang salah hanya muncul pada 2 indikator yaitu indikator 2 dan 5 dengan masing-masing persentase ketuntasan indikator sebesar 59% dan 100%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah. Seharusnya persentase ketuntasan indikator tersebut cenderung rendah, karena pada tipe tersebut kedua siswa setelah bertukar pendapat masih berfikir salah. Ketidaksesuaian tersebut dapat disebabkan adanya perubahan berfikir siswa pada saat fase Share. Pada fase Share salah satu pasangan berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang mereka bicarakan, oleh karena itu pada fase inilah setiap individu memperbaiki pemahaman mereka tentang jawaban yang telah dibicarakan dengan pasangannya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa diskusi perlu dilakukan di dalam seting seluruh kelompok. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa. Seorang siswa telah tuntas belajar bila ia telah mencapai nilai >60 dan suatu kelas dikatakan tuntas bila di kelas tersebut telah mencapai 85% yang telah mencapai nilai >60. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan siswa yang tidak tuntas belajar di kelas 1 Audio-video 2 SMK Negeri Surabaya pada materi pokok ikatan kimia yaitu sebanyak 3 dari 22 siswa dengan masing-masing nilainya 50, 3 dan 50. Dengan demikian, ketuntasan klasikal di kelas tersebut mencapai 86,36%. Secara umum dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur dapat menghantarkan siswa mencapai indikator hasil belajar. Hal ini dapat dilihat pada ketuntasan klasikal siswa kelas 1 Audio-Video 2 yang mencapai 86,36%. Besar persentase tersebut telah melebihi batas ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan sekolah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Jika dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair- Share) siswa benar-benar berfikir secara mandiri pada fase Think dan bertukar pendapat pada fase Pair, maka dapat ditemukan tipe-tipe kesepakatan siswa pada materi pokok ikatan kimia di SMK ada 6 tipe, yaitu: a. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. b. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. c. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. d. Tipe kesepakatan menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 109

e. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar. f. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah. 2. Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia di SMK memiliki persentase yang berbeda-beda, yaitu (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1; 8,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2; 26,36%), (3) Salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), () Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe ; 1,5%), (5) Kedua siswa salah sebelum tukar pendapat dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%). 3. Terdapat kecenderungan antara tipe-tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa yang dilihat pada tipe kesepakatan yang dominan muncul, yaitu (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi, (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi, () Kedua siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe ) cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi jika ada perubahan pemahaman siswa setelah melakukan fase Share. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan, penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berikut: 1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jika model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dilaksanakan sesuai dengan prosedur, maka dapat memberikan pengaruh positif pada siswa sehingga peneliti menghimbau agar para guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia. 2. Pada penelitian ini masih banyak ditemukan siswa yang berfikir salah setelah bertukar pendapat pada fase Pair. Oleh karena itu peneliti menghimbau agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana upaya untuk mengurangi siswa yang masih berfikir salah pada fase Pair. 3. Perlu diwaspadai bagi guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dengan munculnya tipe kesepakatan yang menyebabkan penurunan berfikir siswa dan untuk mengetahui munculnya tipe-tipe kesepakatan tersebut, sebaiknya guru menggunakan LKS seperti yang digunakan peneliti. Daftar Pustaka 110

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, S. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Ibrahim, M dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep Karakteristik dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nur, Muhammad dan Wikandari. 200. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya. Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta. 111

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH PADA MATERI POKOK BAHAN KIMIA DALAM BAHAN MAKANAN KELAS VII-A DI SMP NEGERI 1 BALONGBENDO SIDOARJO Kristina Mayasari, Ismono Dalam proses pembelajaran, guru kurang menghubungkan materi yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa sulit mentransfer konsep tersebut dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah, guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam KBM sehingga dapat meningkatkan retensi dan memungkinkan siswa menerapkan konsep tersebut pada situasi yang baru atau kehidupan sehari-hari. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) untuk mengetahui pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah, aktivitas guru dan siswa, ketuntasan belajar dan respon siswa. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh skor ratarata untuk kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dari putaran I sampai putaran III sebesar 3,2, 3,9,,5. Aktivitas guru selama proses pembelajaran meningkat seperti menghubungkan pelajaran dengan pengetahuan awal siswa sebesar 5,0%, 5,8%, 6,7%, memotivasi siswa sebesar 9,2%, 10,8%, 12,5%, membimbing siswa melakukan refleksi penyelidikan sebesar 10,0%, 12,5%, 13,3% dan merangkum materi pelajaran sebesar 9,2%, 12,5%, 12,5%. Aktivitas siswa juga meningkat dari putaran I sampai III selama proses pembelajaran seperti membaca (LKS, Hand Out) sebesar 9,5%, 10,5%, 11,0%, melakukan diskusi sebesar 9,0%, 10,5%, 13,5%, meyajikan hasil penyelidikan sebesar 11,5%, 12,0%, 12,5% dan merangkum materi pelajaran sebesar 9,5%, 10,5%, 11,0%. Untuk tiap putarannya, ketuntasan belajar pada putaran I sampai putaran III sebesar 85,0%, 90,0% dan 95,0%. Hasil respon siswa yang merasa senang menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalahdari putaran I sampai III sebesar 80,0%, 82,5%, 87,5%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pengelolaan pembelajaran, aktivitas guru dan siswa, ketuntasan belajar siswa dan respon siswa. Kata Kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan. 1. PENDAHULUAN SMPN 1 Balongbendo menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2002-2003. Kurikulum Sains merupakan bagian dari Kurikulum Berbasis Kompetensi dimana siswa dituntut mempunyai life skill (kecakapan hidup). Pendidikan sains lebih menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar siswa mampu memahami dan mempelajari fenomena alam sekitarnya. Namun pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar, guru masih tetap berperan aktif dalam memberikan informasi kepada siswa. Siswa seharusnya berperan lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal inilah yang diharapkan dalam KBK yaitu siswa diarahkan mengembangkan 112

pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan, nilai, sikap dan minat agar dapat melakukan sesuatu dalam kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab (Mulyasa, 200). Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Agus Dwi, guru Sains di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo pada tanggal 7 Oktober 2006 bahwa berdasarkan MGMP, siswa dikatakan tuntas belajar secara individual jika mencapai nilai 60 dan dikatakan tuntas belajar secara klasikal jika terdapat 70% siswa yang memperoleh nilai 60. Kenyataannya, siswa yang belum tuntas belajar sebanyak 80 % dari jumlah siswa seluruhnya, sedangkan yang tuntas sekitar 20 % dari jumlah siswa seluruhnya. Berarti siswa yang belum tuntas belajar yaitu 32 siswa dan yang tuntas belajar hanya 8 orang. Kemudian berdasarkan hasil angket prapenelitian jumlah siswa yang mempunyai kemauan besar untuk mengikuti pembelajaran sains sebesar 89,7 % dan yang menganggap pembelajaran sains menyenangkan sekitar 17,95 %. Jumlah siswa yang menganggap pembelajaran sains khususnya pada materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan menarik sebesar 25,6 %. Melihat beberapa permasalahan diatas, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah, dimana dalam model pembelajaran ini siswa diajak untuk terlibat aktif dalam memecahkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan melakukan percobaan dan berdiskusi dalam kelompok dan pada akhirnya siswa dapat menemukan sendiri konsep yang berkaitan dengan bahan kimia dalam bahan makanan. Sedangkan materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah bahan kimia dalam bahan makanan. Materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan dipilih karena materi ini tergolong sulit. Peneliti memilih kelas VII-A sebagai objek penelitian karena berdasarkan hasil wawancara dengan guru sains yang mengajar di kelas VII-A bahwa siswa yang aktif selama kegiatan belajar mengajar sangat sedikit. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Pokok Bahan Kimia Dalam Bahan Makanan Kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan serta memperbaiki kondisi dimana praktekpraktek pembelajaran dilalakukan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999: 6). 2. METODE PENELITIAN Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas VII-A pada semester II tahun pelajaran 2006-2007 di SMP Negeri 1 Balongbendo. Peneliti memilih kelas VII- A. 2.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan dalam tiga kali putaran. Setiap putaran terdiri dari tahap yaitu: Tahap 1. Perencanaan (Planning) Tahap 2. Tindakan/ observasi (Action/ Observaton) Tahap 3. Refleksi (Reflective) Tahap. Revisi (Revise) 113