BAB II LANDASAN TEORI



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. agara diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Fungsi MSDM. dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu (Husein, 2002) :

2.1.2 Tipe-Tipe Kepemimpinan Menurut Hasibuan (2009: ) ada tiga tipe kepemimpinan masing-masing dengan ciri-cirinya, yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan sumber daya dengan sebaik-baiknya. Sumber daya yang paling penting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang di kemukakan oleh Martoyo (2000), bahwa kepuasan kerja adalah

BAB I PENDAHULUAN. organisasi dan kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan yang sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA.1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN PROPOSISI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Hal ini bersentuhan dengan Undang - undang Nomor 20 Tahun 2003

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu faktor internal yang turut menentukan keberhasilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Semangat Kerja. Mathis (2002) mengatakan masalah semangat kerja di dalam suatu

BAB II KERANGKA TEORI. Kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam

BAB I PENDAHULUHAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. semua tingkatan manajemen di perusahaan. Bagaimanapun majunya. berhasil atau tidaknya suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi kunci utama dari sekian banyak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan organisasi sosial pada saat ini menimbulkan derasnya gerakan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Tinggi Swasta terkemuka di Bandung. UTama secara konsisten berkomitmen untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kerja yang dimilikinya (Djastuti, 2011). Handayani (2008) berpendapat bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berjalansecara berkesinambungan, maka sangat dibutuhkan karyawan yang dapat

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Pengertian Manajemen Sumber Daya. perusahaan, karyawan, dan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup perusahaan. Orang (manusia) merupakan elemen yang selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. alami (ada sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. perusahaan yang penting seperti pabrik, atau suatu organisasi secara keseluruhan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

BAB I PENDAHULUAN. diubah dengan Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

IDENTITAS RESPONDEN. Nama : ( Boleh tidak diisi ) Mohon Bapak/ Ibu periksa kembali semua jawaban agar jangan sampai ada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Masyarakat Indonesia dengan laju. peningkatan sumber daya manusia. Mulyasa (2011:3) mengemukakan:

BAB II URAIAN TEORITIS. pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. situasi atau organisasi (perusahaan) tertentu. Dalam partisipasi penyusunan anggaran,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mengambil populasi pada karyawan PT Kereta Api Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia. Organisasi yang berorientasi pada profit maupun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Sutarto dalam buku Usman (2009:146) dalam buku Manajemen : Teori,

BAB I PENDAHULUAN. penanganan terhadap kualitas Sumberdaya Manusia, khususnya pada. tingkatan organisasi. Sumberdaya Manusia yang besar apabila dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam suatu perusahaan atau organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada unsur manusianya. Unsur manusia yang paling menentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Achievement Motivation Theory atau Teori Motivasi Berprestasi dikemukakan

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

MSDM Handout 10. Seminar Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB I PENDAHULUAN. perlu adanya sebuah pengelolaan atau manajemen yang baik. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tercapai produktivitas kerja karyawan. Kinerja karyawan yang tinggi sangatlah

BAB II LANDASAN TEORI

MODUL KELIMA KEPEMIMPINAN. Di Susun Oleh: Erna Multahada, M.Si

DETERMINAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT. X MEDAN. BAGUS HANDOKO Dosen Fakultas Ekonomi STIE Harapan Medan

pekerja yang puas akan membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para pimpinan merasakan usaha dan kinerja mereka berhasil apabila

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja menurut Martoyo (2004:132) adalah keadaan emosional karyawan

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perusahaan, karena turnover akan menyebabkan kerugian yang lebih besar

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas dan sumber daya yang dimiliki perusahaan. perusahaan sektor publik. Salah satu perusahaan sektor publik yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok, sebagai pemberi tugas atau sebagai pengarah dan mengkoordinasikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

PENGARUH MOTIVASI, POLA KEPEMIMPINAN DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP KINERJA KARYAWAN BIDANG KEUANGAN PADA PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

ABSTRAK. Kata kunci : insentif, kepuasan kerja, komitmen organisasional dan motivasi kerja. ABSTRACT

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Menurut Veithzal Rivai (2004:309) mendefinisikan penilaian kinerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang karyawan agar karyawan tersebut dapat tergerak untuk melakukan

Penempatan Pegawai. School of Communication & Business Inspiring Creative Innovation. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Ulrich dalam Novliadin (2007) mengungkapkan bahwa, Kunci sukses

BAB I PENDAHULUAN. Sutiadi (2003:6) dalam Ida Ayu dan Suprayetno (2008) mendefinisikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran menurut Weiss (1990 ) dalam Robbins dan Judge (2008)

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Organisasi Non-Profit Organisasi nirlaba atau organisasi non-profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). (Komang, 2008) Karakter dan tujuan dari organisasi non-profit menjadi jelas terlihat ketika dibandingkan dengan organisasi profit. Organisasi non-profit berdiri untuk mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas, sedangkan organisasi profit sesuai dengan namanya jelas-jelas bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi non-profit menjadikan sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga, karena semua aktivitas organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk manusia. (Komang, 2008) Organisasi profit memiliki kepentingan yang besar terhadap berkembangnya organisasi nirlaba. Dari organisasi inilah sumber daya manusia yang handal terlahir, memiliki daya saing yang tinggi, aspek kepemimpinan, serta sigap menghadapi perubahan. Hampir diseluruh dunia ini, organisasi nirlaba merupakan agen perubahan terhadap tatanan hidup suatu komunitas yang lebih baik. Daya jelajah mereka 10

11 menyentuh pelosok dunia yang bahkan tidak bisa terlayani oleh organisasi pemerintah. Kita telah saksikan sendiri, bagaimana efektifnya daya jelajah organisasi nirlaba ketika terjdi bencana tsunami di Aceh, ratusan organisasi nirlaba dari seluruh dunia seakan berlomba membuat prestasi tehadap proyek kemanusiaan bagi masyarakat Aceh. (Komang, 2008) Menurut Sri Sapto (2009), organisasi nirlaba dapat didefinisikan secara hukum sebagai organisasi yang tidak dapat mendistribusikan aset atau pendapatannya untuk kepentingan dan kesejahteraan pekerja atau pemimpinnya. Akan tetapi dibalik pembatasan yang demikian, terdapat beberapa kelonggaran. Yang pertama adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk memberikan kompensasi untuk pekerjanya sebagai imbal balik atas kinerja yang diberikan. Yang kedua adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk mencari keuntungan, akan tetapi sekali lagi bukan untuk didistribusikan melainkan untuk pendanaan proyek lainnya. Keuntungan lainnya adalah organisasi nirlaba tidak dikenai pajak. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang menuntut manajemennya untuk mampu memberikan program dan pelayanan kepada publik sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh para penyandang dana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa organisasi nirlaba sangat tergantung kepada penyandang dana dan memberikan pelaporan kepada para pelaporan kepada penyandang dana tersebut.

12 2.1.1 Non-Government Organization (NGO) Non-Government Organization (NGO) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Organisasi Non Pemerintah atau lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ririen (2009) NGO adalah suatu kelompok atau asosiasi nirlaba yang beraktifitas di luar struktur politik yang terinstitusionalisasi. Pencapaian hal-hal yang menjadi minat atau tujuan anggotanya diupayakan melalui lobi, persuasi, atau aksi langsung. Ririen (2009), NGO biasanya memperoleh sebagian pendanaannya dari sumber-sumber swasta. Semakin baik kinerja dan produktifitas yang dihasilkan oleh sebuah NGO sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat semakin besar, maka dana yang akan mengalir ke NGO tersebut tentunya akan semakin besar pula. Hal itu menunjukkan bahwa kepercayaan dari pihak-pihak donatur untuk mendanai sebuah NGO tentu saja semakin besar. Candra (2009), World Bank membagi NGO ke dalam 2 kelompok, yaitu 1. NGO Operasional Tujuan utamanya adalah perancangan dan implementasi proyek pengembangan. Kelompok ini menggerakkan sumber daya dalam bentuk keuangan, material atau tenaga relawan, untuk menjalankan proyek dan program mereka. Proses ini umumnya membutuhkan organisasi yang kompleks. NGO operasional ini masih dapat dibagi atas 3 kelompok besar: a. Organisasi berbasis masyarakat yang melayani suatu populasi khusus dalam suatu daerah geografis yang sempit;

13 b. Organisasi Nasional yang beroperasi dalam sebuah negara yang sedang berkembang, dan c. Organisasi Internasional yang pada dasarnya berkantor pusat di negara maju dan menjalankan operasi di lebih dari satu negara yang sedang berkembang. 2. NGO Advokasi Tujuan utamanya adalah mempertahankaan atau memelihara suatu isu khusus dan bekerja untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan pemerintah untuk atau atas isu itu. Berlawanan dengan manajemen proyek operasional, organisasi ini pada dasarnya berusaha untuk meningkatkan kesadaran (awareness) dan pengetahuan dengan melakukan lobi, kegiatan pers dan kegiatan-kegiatan aktivis. NGO ini pada dasarnya bekerja melalui advokasi atau kampanye atas suatu isu dan tidak mengimplementasikan program. Kelompok ini menjalankan fungsi yang hampir sama dengan kelompok operasional, namun dengan tingkatan dan komposisi yang berbeda. Pencarian dana masih perlu namun dengan ukuran yang lebih kecil. Menurut Abidin & Rukmini dalam Zulfan (2008), karakteristik NGO sendiri pada umumnya adalah : 1. Independen, artinya tidak berafiliasi kepada sebuah kekuatan politik tertentu. 2. Nirlaba, artinya non-profit atau tidak mencari keuntungan, dan mengutamakan kepentingan masyarakat. 3. Sukarela, lebih menyediakan waktu untuk kepentingan lemabaga.

14 4. Non-birokratis, tidak melalui prosedur yang berbelit-belit. 5. Komunitas kecil, terdiri dari beberapa orang saja, dilihat dari struktur dan ruang lingkup. 6. Lahir dan dekat dengan lapisan masyarakat bawah (grassroots). Philip Elderidge (1995) dalam Zulfan (2008) mengajukan tiga model hubungan NGO dengan negara, dilihat dari orientasi NGO dalam menjalankan berbagai kegiatannya, yaitu: 1) High Level Partnership: Grassroots Development. Karakteristik jenis ini ditandai hubungan yang sangat partisipatif, mengutamakan kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan dibanding dengan kegiatan yang bersifat advokasi, kurang memiliki minat pada hal yang bersifat politis, tapi mempunyai perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan selalu memelihara dukungan pada tingkat grassroots. 2) High Level Politics: Grassroots Mobilization. Karakteristik jenis ini cenderung hanya aktif dalam kegiatan politik dan umumnya bersifat advokatif terutama untuk mendukung peningkatan kesadaran politik di tingkat masyarakat. 3) Empowerment at the grassroots. Karakteristik jenis ini cenderung memusatkan perhatian pada pemberdayaan masyarakat pada tingkat grassroots, dan tidak berminat mengadakan kontak dengan pemerintah dan umumnya tidak mau terlibat dalam kegiatan berskala besar.

15 2.2 Motivasi Kerja Motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong, merangsang atau menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukannya sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Menurut Winardi (2007) dalam Yakub (2010), motivasi berasal dari kata motivation yang berarti menggerakkan. Motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entutiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Sedangkan motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan non-moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjannya secara positif atau secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan. Martoyo (2004) dalam Yakub (2010) memberikan pengertian motivasi kerja adalah pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi kerja adalah faktor yang mendorong orang untuk bekerja dengan cara tertentu. Dorongan dapat berupa positif dan negatif, dorongan positif akan menghasilkan kemampuan yang bermanfaat bagi organisasi, akan tetapi dorongan yang negatif akan berdampak terhadap kerugian organisasi.

16 Maslow memandang kebutuhan manusia berdasarkan suatu hirarki kebutuhan dari kebutuhan yang paling rendah hingga kebutuhan yang paling tinggi. Model Maslow ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan kebutuhan seseorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk kerja. Menurut Mary Ann dan Steven (2008), kebutuhan pokok manusia yang diidentifikasi Maslow dalam urutan kadar pentingnya adalah sebagai berikut: a) Phycological needs, yaitu kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, dan papan. b) Security needs, yaitu kebutuhan keamanan jiwa, raga, dan harta benda milik. Jika dikaitkan dengan kerja maka kebutuhan akan keamanan sewaktu bekerja, perasaan aman yang menyangkut masa depan pekerja. c) Social needs atau kebutuhan sosial untuk memiliki keluarga dan sanak saudara, rasa dihormati, status sosial, harga diri, dan kebutuhan pendidikan dan agama. d) Esteem needs, yaitu kebutuhan prestise dan percaya diri dengan berbagai titel dan gelar-gelar kehormatan. e) Self-actualization needs, yaitu suatu kebutuhan aktualisasi diri sebagai bukti kesuksesan seseorang dalam berkarya. Apabila seseorang dapat memenuhi kelima tingkatan kebutuhannya secara harmonis melalui imbalan kerja yang diperolehnya dari organisasi tempat dia mengabdi, maka dapat diperkirakan akan sangat memotivasi orang bekerja giat, tanpa

17 diperintah orang lain. Kesimpulan yang dapat ditarik dari teori ini adalah untuk memotivasi orang bekerja giat sesuai keinginan kita, sebaiknya kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan harapannya. Namun kelemahan dari teori ini adalah bahwa kebutuhan manusia itu tidaklah berjenjang dan hierarkis, tetapi kebutuhan itu perlu dipenuhi secara simultan pada tingkat intensitas tertentu, dengan menentukan apa yang harus dipenuhi lebih dahulu. Dari semua uraian tersebut dapat diketahui bahwa motivasi kerja mendorong timbulnya perilaku dan mempengaruhi serta mengubah perilaku. Pendapat ini mengarah kepada apa yang disebut sebagai fungsi motivasi, yaitu: mendorong timbulnya kelakuan atau perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul sesuatu perbuatan/tindakan. Motivasi kerja berfungsi seperti pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi kerja berfungsi sebagai penggerak. Besar kecilnya motivasi kerja akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan. Robbin (2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan untuk kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan individual. Radig (1998), Soegiri (2004) dalam Antoni (2006) mengemukakan bahwa pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk meningkatkan gairah kerja sehingga dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh organisasi. Hubungan motivasi, gairah kerja, dan hasil optimal mempunyai bentuk linear dalam arti dengan pemberian motivasi kerja yang baik, maka gairah kerja akan

18 meningkat dan hasil kerja akan optimal sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Gairah kerja sebagai salah satu bentuk motivasi dapat dilihat antara lain dari tingkat kehadiran, tanggungjawab terhadap waktu kerja yang telah ditetapkan. Mangkunegara (2005), dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua teknik memotivasi pekerja, yaitu: 1. Teknik pemenuhan kebutuhan pekerja, artinya bahwa pemenuhan kebutuhan pekerja merupakan fundamen yang mendasari perilaku kerja. 2. Teknik komunikasi persuasive, adalah merupakan salah satu teknik memotivasi kerja pekerja yang dilakukan dengan cara mempengaruhi pekerja secara ekstra logis. Teknik ini dirumuskan dengan istilah AIDDAS yaitu Attention (perhatian), Interest (minat), Desire (hasrat), Decision (keputusan), Action (aksi atau tindakan), dan Satisfaction (kepuasan). Penggunaannya, pertama kali pemimpin harus memberikan perhatian kepada pekerja tentang pentingnya tujuan dari suatu pekerjaan agar timbul minat pegawai terhadap pelaksanaan kerja, jika telah timbul minatnya maka hasratnya akan menjadi kuat untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan kerja dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin. Dengan demikian, pegawai akan bekerja dengan motivasi tinggi dan merasa puas terhadap hasil kerjanya.

19 2.3 Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan serangkaian nilai-nilai, norma-norma kepercayaan, dan pengertian yang dianut oleh anggota organisasi dan dianggap sebagai kebenaran bagi anggota yang baru dan penerapan suatu budaya tentunya akan berdampak pada kinerja yang dicapai oleh organisasi itu sendiri. Schein dalam Yakub (2010) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat diartikan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan, diteliti atau dikembangkan oleh berbagai kelompok yang ada dalam organisasi. Definisi Schein ini mengilustrasikan bahwa budaya mencakup asumsi dasar yang dipelajari oleh anggota organisasi yang kemudian dikembangkan di dalam organisasi tersebut. Sedangkan Martin dan Powers dalam Yakub (2010) menjelaskan budaya organisasi berdasarkan pendekatan fungsional : 1. Budaya memberikan interpretasi tentang sejarah lembaga yang dapat digunakan oleh anggota untuk menguraikan bagaimana mereka diharapkan untuk berperilaku di masa depan. 2. Budaya dapat menciptakan kepatuhan terhadap nilai-nilai organisasi atau falsafah manjemen sehingga pekerja merasa mereka bekerja untuk sesuatu yang mereka yakini. 3. Budaya dapat memberikan mekanisme pengendalian organisasional, yang secara informal menyetujui atau melarang beberapa pola perilaku. 4. Ada kemungkinan bahwa beberapa macam budaya organisasi dikaitkan dengan produktivitas dan profitabilitas yang lebih besar.

20 Budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Pengertiannya, bahwa budaya organisasi adalah nilai yang menentukan arah perilaku dari anggota di dalam organisasi. Jika value tadi menjadi shared value, maka terbentuk sebuah kesamaan persepsi akan perilaku yang sesuai dengan karakter organisasi. Dengan demikian, budaya organisasi memandu dan membentuk sikap serta perilaku pekerja. Dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai dasar yang dibentuk, dikembangkan dan menjadi pedoman bertindak bagi anggota organisasi, yang menjadi identitas dari organisasi tersebut dan membedakan dari organisasi yang lain. Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins (2001) dalam Yakub (2010) sebagai berikut: 1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi. 3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu. Nilai-nilai yang sudah disepakati bersama, akan dijadikan tolak ukur tindakan dari setiap individu, dan akan mengesampingkan kepentingannya sendiri.

21 4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil. Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan tindakan pekerja dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu. Budaya organisasi tidak terbentuk dengan sendirinya. Budaya organisasi ada di dalam suatu organisasi karena adanya campur tangan manusia yang ada di dalamnya. Budaya merupakan fenomena yang melingkupi kehidupan manusia sepanjang waktu karena secara konstan diperankan dan dibentuk oleh manusia. Selanjutnya Tika (2006) memberikan kesimpulan tentang proses pembentukan budaya organisasi melalui empat tahapan, yaitu tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan kelompok/perorangan dalam organisasi. Pada tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi. Tahap ketiga adalah bahwa artifak, nilai dan asumsi akan diimplementasikan sehingga membentuk budaya organisasi. Tahap terakhir adalah bahwa dalam rangka mempertahankan budaya organisasi dilakukan pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi.

22 2.4 Kepemimpinan Dubrin (2005), mengungkapkan bahwa kepemimpinan itu adalah upaya mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan dengan cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, atau tindakan yang menyebabkan orang lain bertindak atau merespons dan menimbulkan perubahan positif, kekuatan dinamis yang penting untuk memotivasi dan mengkoordinasikan organasasi dalam rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan diantara pekerja agar tujuan organisasional dapat tercapai. Nimran (2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan atau leadership adalah merupakan suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti yang akan dikehendaki. Robbins (1996) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan. Siagian (2002) mengemukakan bahwa peranan pemimpin atau kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan ada tiga bentuk yaitu peranan yang bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peran pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan peranan yang bersifat interpersonal dalam organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam perusahaan atau organisasi merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada bawahan, dan seorang pemimpin mempunyai peran sebagai penghubung. Peranan yang bersifat informasional mengandung arti bahwa seorang pemimpin dalam organisasi mempunyai peran

23 sebagai pemberi, penerima dan penganalisa informasi. Sedangkan peran pemimpin dalam pengambilan keputusan mempunyai arti bahwa pemimpin mempunyai peran sebagai penentu kebijakan yang akan diambil berupa strategi-strategi yang mampu untuk mengembangkan inovasi, mengambil peluang atau kesempatan dan bernegosiasi dan menjalankannya dengan konsisten. Kepemimpinan pada intinya merupakan proses mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian ini menekankan pada kalimat mempengaruhi orang lain, yang di dalamnya terkandung unsur hubungan, proses, dan kegiatan. Untuk mencapai tujuan bersama, seorang pemimpin perlu menggunakan berbagai cara. Cara-cara tersebut biasanya diwujudkan dengan memberi petunjuk, mengarahkan, dan membina untuk melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Gupta (2004) dalam Yakub (2010), paling tidak ada tiga perspektif yang bersifat universal dan lintas budaya terkait dengan kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan neo karismatik / transformasional. Teori ini fokus pada bagaimana pemimpin menciptakan kinerja yang baik dari pengikutnya melalui transendensi perilaku kepentingan pribadi dengan jalan menunjukkan kebutuhan akan aktualisasi diri yang tinggi, memegang erat nilai-nilai personal, dan motivasi implisit para pengikut. Singkatnya perspektif ini adalah ikatan bersama antara pemimpin dan pengikut dalam satu tujuan yang saling menguntungkan. 2. Kepemimpinan berorientasi regu (team-oriented leadership). Teori ini fokus pada interaksi antara pimpinan dan anggota kelompok, secara spesifik

24 menekankan kemampuan pemimpin untuk meningkatkan tingkat partisipasi kelompok dan keterlibatannya. Perspektif ini dapat dikatakan sebagai leadermember exchange theory, yang menguji kepemimpinan dari teori peran. 3. Kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership). Perspektif ini dikembangkan dan menyatakan bahwa pemimpin mengartikulasikan visi dan misi dalam bentuk ideologis, menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi akan keyakinan-keyakinan diri, dan seperangkat contoh keterlibatan dan komitmen terhadap misi organisasi. Sejalan dengan tiga orientasi itu, maka berkembang aneka gaya kepemimpinan. Beberapa di antaranya yang popular adalah: 1. Gaya kepemimpinan otokratis Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Sebagai pemimpin, ia hanya menunjukkan dan memberi perintah dan kewajiban bawahan untuk mengikuti dan menjalankannya, tidak boleh membantah ataupun mengajukan saran. 2. Gaya kepemimpinan laissez-faire Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Pimpinan sama sekali tidak memberikan kontrol atau koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan pada anggota-anggota kelompok, tanpa petunjuk dari pimpinan atau berupa saran-saran dari pimpinan. Kepemimpinan model ini memberikan kebebasan seluas-luasnya pada keputusan kelompok atau individu, tanpa ikut sertanya pemimpin.

25 3. Gaya kepemimpinan demokratis Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompok. Pemimpin selalu berusaha menstimulasi anggota - anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Ciri - ciri gaya kepemimpinan demokratis adalah: semua kebijaksanaan merupakan pembicaraan dan keputusan kelompok, didorong dan dibantu pemimpin. 4. Gaya kepemimpinan karismatik Kepemimpinan karismatik diidentifikasikan sebagai kepemimpinan penting dalam hubungannya dengan kepuasan. Pemimpin karismatik dipandang sebagai mistis, narsistik, dan memiliki kemampuan personal yang magnetis. Kepemimpinan di seluruh organisasi memegang peranan yang vital, demikian pula dalam organisasi nirlaba. Kriteria pemimpin organisasi nirlaba yang paling utama adalah memiliki kemauan. Pemimpin harus memiliki niat dan bukan dipaksa oleh orang lain. Kriteria kedua adalah memiliki kapasitas untuk mendengar dan menyelesaikan permasalahan. Kriteria ketiga adalah memiliki kemampuan mengkader. Dengan mengkader maka keberlangsungan organisasi akan dapat terjamin. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang bukan menghambat kemunculan kader-kader yang lebih muda, tetapi justru memberi inspirasi dan motivasi bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang. Kriteria keempat adalah memiliki kemampuan dalam hal pengumpulan dana. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan determinasi serta kecerdasan pemimpin dalam merajut relasi antara donatur, volunteer, dan masyarakat. (Komang, 2007)

26 Dari uraian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah penilaian pimpinan dalam mempengaruhi bawahan sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang direfleksikan dengan indikator: memberikan pengarahan kepada bawahan, memberikan dukungan kepada bawahan, mengikutsertakan bawahan dalam mengambil kebijaksanaan, bersifat empati kepada bawahan, dan memberikan penghargaan kepada bawahan. 2.5 Kepuasan Kerja Werther dan Davis (1986) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi kesukaan atau ketidaksukaan menurut pandangan pekerja terhadap pekerjaannya. Dole dan Schroeder (2001) dalam Brahmasari (2008), mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Testa (1999) dan Locke (1983) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman pengalaman pekerjaan. Lebih lanjut Koesmono (2005) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau pekerja terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja. Gibson, Ivancevich,

27 dan Donnely (1996) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota organisasi dapat dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta imbalan dan hukuman yang mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan kerja dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota organisasi, pergantian pekerjaan anggota organisasi, kemangkiran atau absensi, keterlambatan, dan keluhan yang biasa terjadi dalam suatu organisasi. Robbins (2001) dalam Brahmasari (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Ini berarti penilaian (assesment) seorang pekerja terhadap puas atau tidak puasnya dia terhadap pekerjaan merupakan penjumlahan yang runit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain). Menurut Ramayah (2001) dan Janssen (2001) dalam Koesmono (2005:28) mengemukakan bahwa seorang manajer akan sangat peduli pada aspek kepuasan kerja, karena mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat memberikan lingkungan yang memuaskan kepada pekerjanya dan percaya bahwa perilaku pekerja yang puas akan membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para manajer merasakan usaha dan kinerja mereka berhasil apabila keadilan dalam penghargaan memberikan tingkat kepuasan kerja dan kinerja. Situasi pekerjaan yang seimbang akan meningkatkan perasaan dalam kontrol terhadap kehidupan kerja dan

28 menghasilkan kepuasan kerja. Sehingga para manajer mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan kepuasan kerja para bawahannya agar dapat memberikan kontribusi yang positif pada organisasinya. Davis (1985) dalam Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa: job satisfaction is related to a number of major employee variables, such as turnover, absences, age, occupation, and size of the organization in which an employee works. Berdasarkan pendapat tersebut, Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Kepuasan kerja berhubungan dengan tingkat absensi (kehadiran) mengandung arti bahwa pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan umur mengandung arti bahwa pegawai yang cenderung lebih tua akan merasa lebih puas daripada pegawai yang berumur relatif lebih muda, karena diasumsikan bahwa pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan dan pegawai dengan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidak-seimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung arti bahwa pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah, karena pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan ukuran organisasi mengandung arti bahwa besar kecilnya

29 organisasi dapat mempengaruhi proses komunikasi, koordinasi, dan partisipasi pegawai sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya. Faktor yang ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan keuangan, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. 2.5.1 Mengukur Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang paling sering dipelajari dalam penelitian perilaku organisasi. Menurut Spector (1997) dalam Santoso (2009), kepuasan kerja didefinisikan sejauh mana orang menyukai atau tidak menyulai pekerjaan mereka. Cara yang paling umum dalam mengukur kepuasan kerja adalah dengan menggunakan skala penilaian dimana pekerja melaporkan mengenai pekerjaannya. Dalam kaitannya dengan proyek DIPECHO yang dilaksanakan oleh Wetlands International maka pertanyaannya yang berhubungan imbalan, tanggungjawab kerja, berbagi tugas, dan rekan kerja. Beberapa kuesioner bertanya ya atau tidak sedangkan yang lain meminta untuk menilai kepuasan pada skala 1 5 (1 mewakili

30 dimana sama sekali tidak puas dan 5 mewakili sangat puas ). Demikian pula yang dikatakan George dan Jones dalam Santoso (2009), tingkat kepuasan kerja dapat berkisar antara sangat puas ke sangat tidak puas. Menurut Greenberg dan Baron (2003) dalam Santoso (2009), pendekatan yang paling umum untuk mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan kuesioner di dalamnya menggunakan skala rating-rating seperti berikut ini : 1. Job Descriptive Index (JDI) Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya menggambarkan beberapa aspek pekerjaan, diantaranya mengenai pekerjaan itu sendi, gaji/imbalan, peluang promosi, supervision, dan hubungan kerja. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan 2 penilaian iya atau tidak, yang tergolong dalam skala nominal. 2. Minnesota Satisfaction Questionnare (MSQ) Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya orang-orang mengindikasikan kepuasan dengan memperluas aspek-aspek mengenai pekerjaannya. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan skala likert, dimana nilai tertinggi merupakan tingkatan dari kepuasan kerja. 3. Pay Satisfaction Questionnare (PSQ) Sebuah kuesioner yang dirancang untuk menilai tingkat kepuasan kerja dengan berbagai aspek mengenai benefit yang diperoleh. Robbins (2001) dalam Brahmasari (2008) menambahkan bahwa ada 2 cara pendekatan untuk mengukur yakni single global rating dan summation score yang terdiri dari sejumlah aspek pekerjaan. Pada single global rating hanya bertanya pada