KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON SERTA APLIKASINYA PADA MASYARAKAT JAWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB V PENUTUP. Indonesia ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Kitab ini merupakan jilid pertama

AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

Wujud Akulturasi Budaya Islam Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

Pendidikan Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya.

Pengaruh Islam dalam Kepemimpinan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

BAB I PENDAHULUAN. serta mudah dipahami oleh orang awam lantaran pendekatan-pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

ARSITEKTUR ISLAM PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubagus Arief Rachman Fauzi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193).

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB V KESIMPULAN. akan memaparkan beberapa pokok pemikiran penting yang merupakan inti

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

SILABUS MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA MADYA

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

LEGENDA JAKA TINGKIR VERSI PATILASAN GEDONG PUSOKO KARATON PAJANG DAN FUNGSINYA BAGI MASYARAKAT: TINJAUAN RESEPSI SASTRA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Secara biologis manusia diklasifikasikan sebagai homosapiens yaitu sejenis

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Sambutan Presiden RI Pd Silaturahmi dg Peserta Musabaqah Hifzil Quran, tgl 14 Feb 2014, di Jkt Jumat, 14 Pebruari 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

SKRIPSI. Diajukan Oleh:

Indonesia (Nusantara) telah terbentuk pola-pola kehidupan rohaniyah. Masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

Babilangan Nama dan Jodoh dalam Tradisi Banjar. Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2004), cet. ke-2, h

ISLAMIC CENTRE DI KABUPATEN DEMAK

KAWIN MIS-YAR MENURUT HUKUM ISLAM (Kajian Fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawi)

TRADISI MEMBANGUN RUMAH DI DESA SUNGAI RANGAS ULU KECAMATAN MARTAPURA BARAT KABUPATEN BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

Filsafat Ilmu dan Logika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

: Restu Gunawan, Sardiman AM, Amurwani Dwi L., Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, dan Agus Mulyana.

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki banyak pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

Sambutan Presiden RI pada Peringatan Nuzulul Quran 1430 H, Senin, 07 September 2009

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL

Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI. Oleh MUHAMMAD HASAN NIM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

KEBUDAYAAN SUKU BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. islam di Nusantara. Dan proses masuknya agama Islam di Indonesia menjadi

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENGAJIAN RUTIN (STUDI KASUS: MASJID DARUL FALAH KOTA LANGSA) S K R I P S I. Diajukan Oleh : MUDARISSIN

METODE DAKWAH DI KALANGAN REMAJA PERKOTAAN (Studi Kasus Aktifitas Dakwah Forum Komunikasi Remaja ROMANSA di Kel. Tambakaji Ngaliyan Semarang)

BAB I PENDAHULUAN. Dakwah mempunyai sebuah pengertian sebagai suatu ajakan dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH TENTANG HUKUM SHALAT IDUL FITRI SKRIPSI

SITI MEGAWATI NIM:

LARANGAN MENIKAH SESUKU DIDESA SIPUNGGUK KECAMATAN SALO KABUPATEN KAMPAR DITINJAU DARI PANDANGAN ISLAM SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Konversi agama merupakan suatu fenomena agama yang tidak

STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG SYARAT WANITA ZINA YANG AKAN MENIKAH

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Secara garis besar pendidikan Agama Islam yang diberikan di sekolah atau. keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah Swt.

KISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH TSANAWIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012

ADAB MURID TERHADAP GURU MENURUT IMAM AL-GHAZALI, SYEKH AZ-ZARNUJI DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN OLEH RAHMATULLAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dan India. Hubungan itu

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID

PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN TINGKAT NASIONAL XXII, 17 JUNI 2008, DI SERANG, PROPINSI BANTEN Selasa, 17 Juni 2008

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB I. Aaditama, 1998), hlm Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma arif, 1989), hlm. 15

ZAKAT HARTA ORANG YANG TIDAK CAKAP BERTINDAK SKRIPSI. Diajukan Oleh: ROHANA BINTI MAHUSSAIN. Mahasiswa Fakultas Syari ah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa, masing-masing suku

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

PERANAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI JAWA PADA ABAD XV-XVI MENURUT HISTORIOGRAFI TRADISIONAL SKRIPSI. Oleh

BAB 1. Pendahuluan. kepada manusia lainnya. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah di negara ini memiliki adat istiadat dan tradisi masing-masing yang

ISLAMISASI NUSANTARA Materi Ke 2. HIKMATULLOH, M.PdI

BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS KEISLAMAN DENGAN SIKAP TERHADAP RITUAL PENGRAWIT PADA MAHASISWA ISI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Hijriyah atau pada abad ke tujuh Masehi. Ketika itu, berbagai agama dan

Transkripsi:

KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON SERTA APLIKASINYA PADA MASYARAKAT JAWA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh: Bay Aji Yusuf NIM: 101032121611 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON SERTA APLIKASINYA PADA MASYARAKAT JAWA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Juli 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Perbandingan Agama. Jakarta, 27 Juli 2009 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Ida Rosyidah, M.A. Maulana, M.A. NIP: 19630616 199003 2002 NIP: 19650207 199903 1001 Anggota, Prof. Suwarno Imam S Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP: 150 033 254 NIP: 19610827 199303 1002 Dr. Hamid Nasuhi, MA NIP: 19630908 199001 1001

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih berperadaban. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihakpihak tersebut, terutama kepada : 1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyidah, MA; Sekretaris Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Hamid Nasuhi, MA selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru. 3. Prof. Suwarno Imam S dan Drs. Agus Darmaji, M. Fils selaku penguji penulisan skripsi ini yang telah menguji penulis dengan teliti sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Ayahanda, Tubagus Asmamuni R.H. dan Ibunda, Babay Chapsyah yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik

penulis hingga sekarang ini. Munajat yang beliau gubah di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin bagi penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan. 5. Kakanda-kakanda tercinta, Ir. Tb. Bay Adam Hasyim beserta Istri, Tb. Bay Amri Hakim, S.Ag beserta istri dan Adinda-adinda tersayang, Tb. Bay Harkat Firdaus, Tb. Bay Ageng Rochman, dan Tb. Bay Achmad Al-Imam yang tak pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Mereka merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang. 6. Kawan-kawan jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001-2002 yang telah mendahului dan yang masih tertinggal di kampus. 7. Ade Faiz Faizal yang telah banyak berkorban dan direpotkan penulis dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. 8. Aa Isol (terima kasih telah memberi spirit yang luar biasa). Rahman Halim dan Aip Ngaco (terima kasih untuk saran-sarannya), Shopienya Pippo (terima kasih untuk printernya), Ridwan Barqoi (terima kasih untuk pinjaman uangnya), Hasiolan (terima kasih sudah menemani penulis dari awal menyerahkan proposal skripsi sampai sidang munaqosyah), Rizky Syam (terima kasih telah menyediakan konsumsi untuk sidang), Bang Idik dan Agien (terima kasih untuk kamera dan pemotretan sidang), Bang Bogs, Bang Idik, Anton, Rifki Arsilan, Rio, Jhonday, Cuplay, Oland, Agin, Bohal (terima kasih atas kehadirannya pada sidang munaqosyah). 9. Keluarga Besar KM. UIN JAKARTA (dari Senior sampai Junior); Bang Bogs, Bang Mixil, Bang Irfan, Bang Awa, Bang Sahal dan Teh Iyuy, Bang Ginting, Bang Ukay dan Teh Siska, Sahid dan Eha, Dewa Nyiul, Ivan

Nyong, Dedi CS, Ibing Lasso, Mumun, Ebe dan Noey, Mustoleh Borang, Roni van Java, Paskih Hidayat, Hasiolan, Husni Mubarok, Rifki Arsilan, Ridwan Fokus, Akbar el-wasil, Rizky Syam, Yoga, Cak Iphoenk, Itba Pedro, Ka Joy, Ka Roy, Jhonday, Munir Zhiro-zhiro, Trio Rio, Bung Adam, Paung, Cepot, Syifa, Agien, Uchil, Rahma Dahsyat, Upie Soulmate, Soraya, Lupus, Pippo, Manto, Cuplu, Mumu, Syifak, Panden, Surya Deno, Alan Pamungkas, Andai, Pandai, Adit, Ridwan Barqoi, Hj. Mahesa, Ncek, Aang, Pandai, Cuplay dan lain-lain. 10. Keluarga Besar penghuni Pondok Mungil (Bang Bhotz, Joy Kutil, Dens Gembel, Ebi Kambing, Sindu, Adit Bulu, Tebe dan lain-lain), Keluarga Besar Pisangan (Bang Idik, Bang Ojie, Bang Bhul, Ghalo, Awe, Chipluks, Dhepaks), Keluarga Besar KPA Arkadia (Ncang Bendo, Bang Jaing, Bang Dedi Black, Jangkar, Khole, Juho, Muchel, Basis Kecap dan lain-lain), Keluarga Besar penghuni Pohon Sukun (Bang Ats, Nyamuk, Risdiklat, Ajhon, Baginda, Alan Sumanjaya, Ibing Lasso), Keluarga Besar Gank Sanyo, Keluarga Besar HIMATA dan HMB, Keluarga Besar Teater Syahid, Keluarga Besar FORDIS, Keluarga Besar FAC, Keluarga Besar Partai Boenga, Keluarga Besar KM. Raya, Keluarga Besar Tambal Band, Keluarga Besar Wali Band, Kawan-kawan Pesanggrahan dan sekitarnya, Kawan-kawan TK, SD, Ibtidaiyah, Diniyah, Tsanawiyah, Aliyah. 11. Wanita-wanita yang pernah hinggap dan yang masih hinggap dalam kehidupan penulis yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan kuliah. 12. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin. Jakarta, 27 Juli 2009 M.

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5 C. Metodologi Penelitian... 6 D. Tujuan Penulisan... 6 E. Sistematika Penulisan... 7 BAB II SEJARAH PENULISAN PRIMBON A. Definisi Primbon... 8 B. Lintasan Sinkretisme Jawa... 11 1. Sinkretisme Hindu Jawa... 11 2. Sinkretisme Jawa-Islam... 14 C. Muncul dan Berkembangnya Primbon... 20 BAB III KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON A. Definisi Ruang dan Waktu... 26 1. Definisi Ruang... 27 2. Definisi Waktu... 28 B. Konsep Ruang dalam Primbon... 29 C. Konsep Waktu dalam Primbon... 30

BAB IV APLIKASI PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA A. Perhitungan Waktu dalam Primbon... 33 B. Perhitungan Ruang dalam Primbon... 35 C. Aplikasi Primbon Pada Masyarakat Jawa... 38 1. Membaca Jodoh dalam Primbon... 41 2. Membaca Gejala Alam dalam Primbon... 48 BAB V PENUTUP A...Kes impulan... 50 B....Sar an... 52 DAFTAR PUSTAKA... 53

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyebaran agama Islam di pulau Jawa segera diikuti dengan berkembangnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf Arab, atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu. Berkembangnya kepustakaan agama Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Pada masa Demak berkuasa, pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang oleh Simuh disebut kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam kejawen ini lebih berkembang kemudian pada masa kerajaan Mataram, terutama dalam pemerintahan Sultan Agung. Masa keemasan Sultan Agung rupanya bukan hanya terlihat dalam kekuatan militernya yang mampu menundukkan pemberontakanpemberontakan di wilayah pesisir yang didukung golongan santri, melainkan juga berperan dalam perkembangan sosial-budaya. 1 Perbedaan antara masyarakat pesantren yang mempergunakan perhitungan tahun Hijriyah, dengan masyarakat kejawen yang umumnya tetap berpegang pada tahun Saka, menimbulkan masalah sosial yang cukup rumit. Untuk kokohnya sendi kerajaan perlu ada kompromi dari kedua sistem perhitungan tahun tersebut. 1 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI Press, 2008), h. 11.

Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh kerajaan Mataram, yakni perhitungan tahun Jawa, yang hampir secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, berdasarkan atas perjalanan bulan. Namun awal perhitungann Jawa ini tetap pada tahun satu Saka, yaitu tahun 78 Masehi. 2 Bagi masyarakat pesantren, tidak ada masalah untuk menerima perhitungan tahun Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, karena tahun Jawa disesuaikan dengan tahun Hijriyah yang berdasarkan atas peredaran bulan, dan begitu juga nama-nama hari dan bulan mempergunakan nama-nama yang terdapat dalam pesantren. Sebaliknya bagi masyarakat kejawen, perubahan dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran matahari ke tahun Jawa yang berdasarkan peredaran bulan, sebenarnya menghadapi persoalan yang cukup rumit. Namun persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan tahun Saka tetap dipertahankan. Dengan cara demikian, Sultan Agung berhasil menyeragamkan perhitungan tahun di antara masyarakat pesantren dengan masyarakat kejawen pada umumnya. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan Serat, Babad, dan pelaksanaan tradisi kejawen. Di samping itu, pembaharuan perhitungan juga merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses Islamisasi tradisi dan kebudayaan Jawa, yang telah berlangsung semenjak berdirinya kerajaan Jawa-Islam Demak. 3 2 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 12. 3 Ibid., h. 13.

Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang disebut primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini Simuh menamakannya dengan Kepustakaan Islam Kejawen. Berdirinya kerajaan Mataram ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaan Islam kejawen. Primbon sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi tampaknya lebih menggejala pada masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok. 4 Bahkan Alfani Daud menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada masyarakat Islam Banjar. 5 Ajaran dalam primbon, erat kaitannya dengan waktu. Sehingga ketika di Jawa terjadi konversi dari tahun Saka yang menggunakan perhitungan matahari menjadi tahun Jawa yang menggunakan perhitungan peredaran bulan memunculkan konsekuensi yang sangat tinggi bagi perhitungan primbon yang menjadi pegangan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa, waktu adalah tatanan yang berada di luar semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan waktu yang baik, bagi 4 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (Jakarta: Qalam, 2002), h. 81. 5 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 366.

yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas. 6 Selain itu masyarakat Jawa memandang semua penghuni kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan, dengan tempatnya yang relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga tempatnya dalam kosmos ini. 7 Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang waktu ini memegang peranan kunci dalam memahami tempat manusia di dunia. Setiap benda dan peristiwa di dunia ini sering tergantung dalam ketertiban agung ruang absolut. Bumi ini juga tergantung dalam tata tertib rotasi bulan dan matahari. Matahari dan bulan tergantung pada tata tertib jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung pada ruang absolut. 8 Tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan primbon merupakan sintesa dari kebudayaan Jawa kuno yang telah mapan dengan kebudayaan Islam yang datang kemudian. Sultan Agung Mataram merupakan tokoh yang sangat berperan penting dalam mensintesakan kedua kebudayaan tersebut. Ia mengubah perhitungan tahun Saka Jawa kuno yang menggunakan perhitungan 6 Jacob Soemarjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 85. 7 Ibid., h. 86. 8 Ibid., h. 88.

matahari (syamsiyah) dengan perhitungan bulan (qamariyah) dan memulai angka tahunnya dengan tahun Saka. 9 Dengan demikian perhitungan tahun yang digunakan adalah menggunakan perhitungan bulan seperti halnya tahun Hijriyah, namun memulai angka tahunnya dengan perhitungan tahun Saka, sehingga muncullah perhitungan Jawa dengan menetapkan hari-hari pasaran seperti Pon, Wage, Pahing, Kliwon, dan Legi. Perhitungan waktu yang digunakan primbon yang banyak ditulis pada masa Mataram Islam merupakan buah karya dari pemikiran Sultan Agung. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan skripsi ini tidak meluas, perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penulisannya. Setidaknya penulisan skripsi ini bukan untuk merasionalkan primbon atau menjelaskan sisi irasonalnya, melainkan untuk melihat sejauh mana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon tersebut serta hubungannya dalam kehidupan beragama. Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam satu pertanyaan: 1. Bagaimana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon serta aplikasinya dalam masyarakat Jawa? 1983), h. 43. 9 Graaf, de H.J, Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: Grafiti Pers,

C. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metodologi Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian library research, yakni dengan menelusuri sumber-sumber pustaka yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Bahan-bahan berupa buku primer dan sekunder, kitab, naskah kuno dan artikel yang diperoleh dari beberapa perpustakaan baik Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Universitas, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Daerah. Adapun buku primer yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Primbon Betaljemur Adammakna karya Harya Tjakraningrat edisi bahasa Indonesia. 2. Teknik penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006 M./1427 H. D. Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Memperluas khazanah intelektual 2. Memahami konsep ruang dan waktu dalam primbon serta mencari nilainilai toleransi dalam primbon?

E. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi 5 bab. Bab 1, Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian dan teknik penulisan, tujuan penulisan serta sistematika penulisan. Bab 2, menjelaskan sejarah munculnya primbon dengan melihat kondisi sosial keduanya serta perkembangannya hingga sekarang. Pada bab 3, menguraikan definisi Ruang dan Waktu menurut para filosof, konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon. Sementara pada bab 4, membahas tentang aplikasi primbon pada masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa perhitungan dalam melakukan segala sesuatu. Bab 5, berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.

BAB II SEJARAH PENULISAN PRIMBON A. Definisi Primbon Primbon merupakan buku yang berisi perhitungan, perkiraan, ramalan dan sejenisnya mengenai hari baik dan buruk untuk melakukan segala sesuatu, serta perhitungan untuk mengetahui nasib dan watak pribadi seseorang berdasarkan hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik. 10 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan bahwa primbon merupakan kitab yang berisi ramalan perhitungan baik, buruk dan sebagainya. 11 Umumnya primbon bersifat anonim. Kalaupun ada nama yang tertera, sebagian besar hanya merupakan penyusunnya saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang ditulis pangeran Harya Tjakraningrat dari kesultanan Yogyakarta. Suwardi Endraswara menyebutkan bahwa primbon merupakan gudang ilmu pengetahuan. Mistikus Jawa disebut juga primbonis. Karena segala gerak dan tingkah lakunya didasarkan pada kitab primbon. Karena primbon memuat berbagai macam persoalan hidup. Dalam hal ini Suwardi membagi ajaran primbon sebagai berikut: 12 1. Pranata Mangsa Merupakan cara membaca gejala alam semesta. Atau disebut juga tafsir ngalam semesta. Biasa digunakan kaum tani pedesaan untuk menghitung waktu tandur (menanam padi) atau nelayan untuk mengetahui waktu melaut. 10 Behrend, Primbon (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2001), h. 2. 11 Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: DEPDIKBUD, 1991), h. 1191. 12 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003), h. 119.

2. Petungan Petungan merupakan hitung-hitungan neptu (nilai numerik). Misalnya dalam mencari kecocokan jodoh, nama laki-laki dan perempuan dihitung sedemikian rupa sesuai dengan abjad Jawa yang 20, kemudian dibagi tujuh. Maka sisanya adalah kondisi yang akan terjadi jika menikah. 3. Pawukon Pawukon Merupakan rumusan perhitungan waktu, baik hari, pasaran, bulan ataupun tahun 4. Pengobatan Merupakan wejangan pengobatan tradisional. 5. Wirid Wirid, biasanya berupa sastra Wedha. Di dalamnya terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Yang bertujuan agar terciptanya keharmonisan manusia Jawa dengan sesamanya, alam semesta dan Tuhan. 6. Aji-Aji Aji-aji merupakan gambaran hidup supranatural orang Jawa. Menurut masyarakat kejawen, mantra memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa jika diyakini. 7. Kidung Syair yang berisi wejangan dan sebagainya. 8. Ramalan/Jangka Ramalan sama halnya dengan seni petungan. Hanya saja lebih luas, tidak sekedar masalah individu seperti jodoh dan nikah, tetapi lebih

bersifat luas, seperti apa yang terjadi dalam masyarakat diramalkan dalam Jangka Jayabaya. 9. Tata Cara Slametan Merupakan tata cara ritual orang Jawa sebagai tanda syukur, tolak bala ataupun yang lainnya. 10. Donga/Mantra Donga atau mantra seperti halnya wirid dan aji-aji, tetapi menggunakan ayat-ayat al-qur an yang ejaannya dijawakan. 11. Ngalamat/Sasmita Gaib Ngalamat biasanya berupa fenomena aneh di alam semesta. Masyarakat kejawen menganggap fenomena ganjil tersebut sebagai pertanda. 13 Primbon merupakan catatan-catatan yang dianggap penting mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pedoman hidup dan tatanan tradisi. Dalam primbon, misalnya, terdapat catatan mengenai berbagai mantra dan rumusan mencari waktu-waktu tertentu yang dianggap baik (untung; Jawa) untuk melakukan segala sesuatu dan waktu-waktu yang dianggap jelek (naas; Jawa) untuk melakukan sesuatu. Primbon yang tertua ditulis pada masa Mataram Islam. Ini menunjukkan bahwa sebelum Mataram, bahkan sebelum masuknya Islam ke Jawa, Primbon belum didokumentasikan secara tertulis. Namun demikian, akar primbon yang berupa ramalan astrologi telah lama dengan Serat Jayabaya atau yang biasa dikenal sebagai ramalan Jayabaya. 14 13 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003), h. 119. 14 Purwadi, Ramalan Sakti Prabu Jaya Baya, h. 7.

Perhitungan Jawa yang digunakan dalam primbon baru ditetapkan oleh Sultan Agung setelah melihat dua masyarakat yang hidup di Jawa, yang oleh Clifford Geertz disebut, Santri dan Abangan. 15 Rupanya Sultan Agung hendak mendamaikan masyarakat Santri yang menggunakan perhitungan Hijriyah (bulan) dan masyarakat Abangan yang menggunakan perhitungan tahun Saka (matahari). Ia kemudian menetapkan perhitungan Jawa dengan menggunakan perhitungan bulan, diambil dari kalender Hijriyah, namun dimulai dari tahun Saka saat itu serta menggunakan nama-nama pasaran Jawa (Pon, Wage, Pahing, Kliwon dan Legi,). 16 Perhitungan inilah yang digunakan dalam primbon. B. Lintasan Sinkretisme Jawa 1. Sinkretisme Hindu Jawa Semenjak awal Masehi, tradisi kebudayaan Jawa yang telah mapan mulai menyerap pengaruh agama dan unsur-unsur kebudayaan Hindu- Buddha. Dari pelacakan sejarah bisa disimpulkan bahwa datangnya pengaruh Hindu-Buddha melalui lapisan atas. Yakni melalui penggubahan para cendekiawan Jawa yang mengenal bahasa Sansekerta dan dapat membaca kepustakaan Hindu, terutama karya-karya sastra keagamaan Mahabarata dan Ramayana. Oleh karena itu, J.W.M. Bakker dalam bukunya Agama Asli Indonesia menyimpulkan bahwa agama Hindu dan Buddha tidak diterima secara utuh di Jawa. Akan tetapi melalui proses Jawanisasi. Selain itu, pengaruh Hindu dan Buddha hanya mengakar pada 15 Clifford Geertz, Santri, Priyai, Abangan (Yogyakarta: Ganesha, 1981), h. 102. 16 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 11.

lapisan atas masyarakat Jawa. Sedangkan lapisan bawah di pedesaan umumnya tetap dikuasai alam pikiran dan tradisi animisme-dinamisme. 17 Yang menarik, pengaruh Hindu ini bisa dimanfaatkan oleh lapisan cendekiawan Jawa untuk menciptakan kebudayaan tulisan. Sehingga muncullah berbagai macam karya sesudah cendekiawan Jawa menggubah tulisan Hindu menjadi huruf Jawa yang terkenal sebagai abjad hanacaraka. Masyarakat Jawa juga meminjam perhitungan tahun Saka menjadi alat mencatat peristiwa-peristiwa sejarah mereka. Dengan demikian, pengaruh Hindu meningkatkan taraf kebudayaan Jawa dari tradisi lisan menjadi tradisi tulisan. Selain itu, pengaruh Hindu juga memunculkan lapisan cendekiawan Jawa yang makin lama kekuasaannya makin luas, sehingga lapisan ini menjelma menjadi lapisan para priyai Jawa. Berkaitan dengan meluasnya kekuasaan lapisan priyai, maka muncullah kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu baik di Jawa Tengah (Mataram kuno), Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur yang puncak kebesarannya pada masa Majapahit. Maka sebagai hasil pengolahan unsur-unsur Hinduisme yang terutama dikelola oleh para priyai Jawa beserta sastrawan dan budayawannya, tradisi kehidupan dan kebudayaan Jawa tersusun dua lapis, yakni lapisan atas (priyai) dan lapisan bawah di pedesaan. 18 Masyarakat petani pedesaan yang merupakan mayoritas dan yang menjadi lapisan bawah tetap pada tradisi religi animisme-dinamisme, di mana pengaruh Hindu-Buddha hanya menjamah bagian luarnya. Adapun kehidupan kepercayaan dan tradisi kehidupannya tetap dijiwai religi 17 Rahmat Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 43. 18 Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 54.

aslinya. Sebaliknya, lapisan priyai yang mengembangkan kebudayaan istana sangat dipengaruhi filsafat ajaran Hindu-Buddha dan menjelma menjadi kebudayaan yang halus dan tinggi. Tradisi kehidupan masyarakat pedesaan masih tetap mengandalkan kebudayaan lisan, sebaliknya, tradisi kehidupan masyarakat istana telah beralih ke kebudayaan tulisan. 19 Meskipun kehidupan lapisan para priyai tidak melepaskan tradisi animisme-dinamisme asli, atau bahkan diganti dengan Hinduisme, namun perbedaan antara lapisan wong cilik (desa) dengan peradaban lapisan priyai yang lebih halus dan tinggi cukup mencolok. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa yang makin dijiwai oleh sikap dan faham feodalisme, maka lapisan masyarakat dan kebudayaan priyai yang halus merupakan tipe ideal bagi masyarakat pada umumnya. Sehingga sikap hidup orang pedesaan pada umumnya berusaha meniru gaya hidup priyai. Bisa disimpulkan bahwa taraf peradaban seseorang diukur dari seberapa jauh ia sanggup meniru tata cara dan gaya priyaisme ini. Simuh menyebut model masyarakat seperti ini sebagai Negara Teater. Di mana masyarakat pedesaan mengkiblat gaya kehidupan istana seperti para penonton memusatkan perhatian pada tingkah laku pemain drama yang sedang berkiprah di atas panggung. Itulah puncak kebesaran kerajaan Majapahit yang kemudian harus dihadapi para penyebar agama baru, yaitu Islam. 13. 19 Simuh, Warisan Tradisi Kejawen, Kumpulan Makalah Seminar (Jakarta: LIPI, 1979), h.

Adanya dua lapisan sosial dengan dua tipe budaya yang tingkat perbedaannya cukup menonjol, langsung atau tidak pasti akan mewarnai corak interaksi antara agama dan kebudayan Islam dengan tradisi kejawen. 20 2. Sinkretisme Jawa-Islam Berdirinya kesultanan Demak yang merupakan kekuasaan Islam, meskipun tidak berumur panjang, tetapi mempunyai arti yang sangat penting bagi penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Begitu pentingnya kedudukan kesultanan Demak, sehingga sastrawan Jawa yang menciptakan Serat dan Babad menjadikannya sebagai titik tolak zaman peralihan. Yaitu peralihan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam. Dari hasil penelitian sejarah, diperkirakan bahwa agama Islam menyebar ke Indonesia, khususnya di Jawa, melalui jaringan perdagangan dan pengembaraan ulama-ulama Sufi yang merupapkan juru dakwah sesudah kekhalifahan Baghdad runtuh pada tahun 1258 M. Sangat mungkin guru-guru Thariqat mengembara sambil berdagang dan menyiarkan agama. Hal ini dikuatkan dengan corak pemikiran Islam Nusantara yang sejak semula amat diwarnai ajaran Sufisme (tasawuf). 21 Setidaknya sejak abad ke-13 M, Islam menjadi kekuatan baru di Nusantara dengan munculnya kesultanan Samudera Pasai di Aceh yang beragama Islam. Namun baru pada abad ke-16 M kekuatan politik Islam baru menonjol dengan berdirinya kesultanan Demak. Demikian pula pengaruh pemikiran keagamaan yang menonjol muncul pada abad ke-16 M. 20 Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, h. 54. 21 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 1999), h. 13.

Di Jawa muncul naskah-naskah yang memuat ajaran-ajaran ke- Islaman, terutama Tasawuf dengan ditemukannya naskah berabjad Jawa yang disebut sebagai het boek van bonang. Demikian pula di Aceh, pada abad ke-16 M mulai muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran ke- Islaman yang terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Al Raniri dan Abdul Rauf Sinkel. Lambat laun, agama Islam menyebar dan diterima masyarakat, terutama masyarakat pesisir Jawa yang tidak terlalu terkena pengaruh Hindu. Oleh karena itu daerah pesisir merupakan ladang yang paling subur bagi penyebaran agama baru (Islam), karena di daerah tersebut sangat tipis menerima pengaruh Hindu-Buddha. Setelah itu maka segera muncul sistem pendidikan dan pengajaran agama, walaupun sederhana, namun cukup teratur yang kemudian terkenal dengan sebutan pesantren. Nama santri sendiri merupakan warisan dari kosa-kata Hinduisme, namun isinya adalah Islam. Maka penyebaran agama Islam merupakan kekuatan peradaban baru yang mulai mengakar di sepanjang pesisir pulau Jawa sebagai basis kekuatannya, dan secara perlahan memasuki pedalaman yang didominasi pengaruh Hindu-Buddha dan kepercayaan Jawa asli. Islam yang menyebar pesat pada akhirnya memudarkan kekuasaan Majapahit yang merupakan benteng terakhir bagi kerajaan Jawa-Hindu, dan kemudian runtuh pada tahun 1518 M. 22 Runtuhnya kekuasaan Majapahit disusul dengan berdirinya kerajaan Demak yang merupakan pewaris tradisi Majapahit. Beralihnya kekuasaan 22 Simuh, Warisan Tradisi Hindu Kejawen, h. 13.

secara damai ke tangan kesultanan Demak tidak berarti melenyapkan peradaban Istana Majapahit, melainkan terjadinya proses Islamisasi secara perlahan terhadap peradaban Istana Jawa-Hindu tersebut. 23 Dengan peralihan kekuasaan dari Kerajaan Hindu-Jawa pedalaman ke kerajaan Islam pesisir, yang kemudian diikuti konversi agama dari Hindu- Buddha ke Islam, artinya dalam pemerintahan zaman feodal dengan konsep Negara Teater, maka agama masyarakat Jawa berkiblat pada agama rajanya. Sehingga masyarakat Jawa banyak memeluk Islam, meskipun hanya sekedar mengucapkan syahadat tanpa dibarengi dengan kewajiban syari at. Dari sini mulailah adanya dua varian dalam kalangan umat Islam Jawa, yakni Santri dan Abangan. 24 Ciri yang membedakan antara dua varian di atas hanyalah pada taraf keislaman mereka. Santri adalah yang telah menyadari dan mentaati rukun Islam yang lima. Ukuran kesadarannya adalah ketaatan menjalankan Shalat lima waktu yang merupakan tiang agama. Adapun varian Abangan belum aktif melakukan shalat lima waktu secara sadar, namun dengan pengakuan dan penerimaan dua kalimah syahadat, berarti mereka sudah Islam. Menurut Purbatjaraka, peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak menyebabkan para Priyai dan Cendekiawan Jawa yang kehidupannya bergantung pada istana, akhirnya harus mendekati sastrawan dan budayawan Jawa dengan tokoh-tokoh pesantren pendukung kesultanan Demak. Bahkan banyak pula para cendekiawan dan para priyai Jawa yang 23 H.J. De Graaf dan Pegeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), h. 3. 24 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyai, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), h. 78.

kemudian berguru pada para penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan Wali. Sebuah contoh, dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Jaka Tingkir dari daerah pedalaman pergi ke Demak. Akhirnya Jaka Tingkir diambil menantu Sultan Demak. Jaka Tingkir merupakan priyai kejawen yang kemudian berguru pada Sunan Kudus, seorang wali yang disucikan masyarakat Jawa. Di dalam pesantren Kudus ini, Jaka Tingkir menjadi teman seperguruan Arya Panangsang, seorang pemuka masyarakat Santri dari Jipang. 25 Proses mengalirnya para priyai Jawa ke Demak diikuti dengan pertemuan kebudayaan istana dengan kebudayaan pesantren. Menurut Purbatjaraka, hal ini menyebabkan munculnya kitab-kitab Jawa yang memuat hal-hal keislaman. Memang semenjak berdirinya kesultanan Demak pada abad ke-16 M, mulai nampak terjadinya akulturasi kebudayaan Jawa-Hindu dengan kebudayaan pesantren. Dalam hal ini yang paling berperan adalah para sastrawan dan budayawan yang bertujuan memperkaya dan meningkatkan warisan budaya istana masa lalu. Simuh menyebut proses ini sebagai Islamisasi warisan budaya istana, bukan Jawanisasi Islam. Hal ini berdasarkan empat pertimbangan. 26 25 W.L. Olthof (penyusun), Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 (Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 47. 26 Simuh, Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen, (Kumpulan Makalah Seminar LIPI, 1979), h. 5.

Pertama, warisan budaya istana yang sangat halus dan adi luhung pada zaman Islam hanya bisa dipertahankan dan dimasyarakatkan apabila dipadukan dengan unsur Islam. Kedua, para pujangga dan sastrawan Jawa sangat memerlukan bahan untuk berkarya. Sedangkan hubungan dengan Hinduisme telah terputus pada masa kekuasaan Islam. Satu-satunya sumber yang mendampingi kitabkitab kuno hanya kitab-kitab pesantren, baik dari naskah melayu, Jawa Pegon, atau Arab. Selain itu, para pujangga dan sastrawan Jawa tahu betul bahwa dalam lingkungan pesantren terdapat sumber-sumber konsep ketuhanan, etika dan falsafah kebatinan yang kaya. Hal itu menguatkan pengkajian para sastrawan dalam memperkaya khazanah budaya Jawa. Ketiga, pertimbangan stabilitas sosial budaya dan politik. Adanya dua lingkungan budaya, yakni pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar terjalin saling pengertian dan menghindarkan atau mengeliminasi konflikkonflik yang mungkin terjadi. Salah satu contoh yang jelas adalah usaha Sultan Agung untuk menggabungkan perhitungan kalender Saka dengan Hijriyah. Keempat, pihak istana sendiri sebagai pendukung dan pelindung agama, tentu merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan siar Islam. Maka semenjak Sultan Demak, muncullah upacara keagamaan yang disebut Sekaten, Grebeg Maulud dan sebagainya. 27 Pertimbangan-pertimbangan inilah yang memungkinkan proses akuturasi sehingga membagi Islam Jawa menjadi dua varian. Di dalam 27 Simuh, Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen, h. 7.

kebudayaan pesantren, unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dipandang tidak bertentangan dengan syari at Islam diinkulturasikan untuk mendukung kebudayaan Islam. Proses pengolahan unsur-unsur lama ke dalam Islam inipun mengalami keberagaman pula. Bagi para santri di daerah-daerah pedesaan, di mana unsur tarikat sangat dominan, mereka lebih bersikap akomodatif dengan tradisi animisme-dinamisme warisan budaya lama. Maka perbedaan antara yang telah nyantri dengan yang masih abangan hanya dalam taraf kesadaran menjalankan Shalat lima waktu. Istilah santri itu sendiri adalah contoh konkret dari proses inkulturasi warisan budaya lama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa akulturasi bersifat evolutif, tidak serta merta berubah. Akar lama yang positif untuk mendukung suasana baru tidak akan tercabut sama sekali. Adapun dalam kalangan Islam kejawen, yang terjadi sebaliknya, yaitu unsur-unsur Islam yang diserap dan diinkulturasikan dalam kebudayaan Jawa. Sehingga warna Islamnya juga mengalami keberagaman. Dalam masyarakat pedesaan di mana sistem religi animisme-dinamisme menguasai cara hidup mereka. Pengaruh Islam berjalan secara alamiah melalui pergaulan dan dakwah. Dengan demikian, unsur-unsur Islam merembes dan diinkulturasikan dalam tradisi budaya pedesaan. Sebagaimana dalam kebudayaan pesantren dalam menyerap dan menginkulturasikan unsur-unsur kejawen terdapat sikap selektif, demikian pula dalam budaya istana kejawen. Dalam masyarakat pesantren hasil-hasil seni dan budaya, baik yang bercorak ke-hinduan ataupun yang

bertentangan dengan sufisme, hingga kini menurut Simuh belum dapat diterima. 28 Proses sinkretisme dari Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Jawa hingga terjadi akulturasi dengan Islam yang datang kemudian, memunculkan para intelektual yang tidak hanya bercorak ketuhanan dan etika seperti Suluk, tetapi juga memunculkan filsafat kosmologi Jawa seperti primbon yang baru muncul pada masa Mataram. C. Muncul dan Berkembangnya Primbon Suatu hal yang mesti diketengahkan di sini adalah pertumbuhan dan perkembangan sastra dan kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam Kejawen mulai berkembang subur pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M. Yakni sesudah beralihnya pusat kesultanan ke daerah pedalaman dalam masa kekuasaan Pajang pada pertengahan abad ke-16 M dan kemudian disusul dengan berdirinya kesultanan Mataram. 29 Kesultanan Pajang berdiri setelah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) sebagai menantu Demak menjadi penguasa setelah menang perang dengan Arya Panangsang, Adipati Jipang, yang sama-sama merasa pewaris kerajaan Demak setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata pada tahun 1549 M. 30 Sultan Hadiwijaya memilih Pajang di daerah pedalaman sebagai pusat kerajaan karena ia berasal dari pedalaman, yakni keturunan Pengging. Selain itu, sebagian besar pendukungnya berada di pedalaman. Berbeda dengan Jipang yang banyak mendapat dukungan dari daerah pesisir. Namun 28 Simuh, Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen, h. 8. 29 Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 436. 30 H.J. De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam, h. 41.

kesultanan Pajang tidak berlangsung lama dan digantikan kesultanan Mataram di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati (Sutawijaya) sejak tahun 1578 Masehi. Dalam kesultanan Mataram ini, amat dirasakan perlunya mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur kebudayaan pesantren atau pesisiran bagi terciptanya stabilitas sosial politik dan kebudayaan, yang oleh H.J. De Graaf dinyatakan sebagai puncak kebesaran dan kekuasaan Mataram. 31 Semenjak masa kesultanan Demak, Pesantren merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang cukup teratur sesudah sistem pendidikan Mandala pada masa Hindu tergusur. Sultan Mataram sendiri belum sempat mendirikan sistem pendidikan secara teratur. Karena bukan merupakan kebutuhan yang mendesak. Sehingga pada masa itu hingga pertengahan abad ke-19 M, para Priyai Jawa, terutama calon sastrawan dan pujangga kenamaan seperti Yasadhipura, Ranggawarsita, Mangkunegara IV dan lainnya secara khusus pada masa mudanya dikirim ke pesantren. Pesantren merupakan pendidikan dengan kitab-kitab agama dan sastra yang melimpah. Pengaruh sastra pesantren dan melayu yang juga telah diislamkan menumbuhkan sastra pesisiran yang membentang sepanjang daerah-daerah pesisir pulau Jawa dan Madura. Karya-karya sastra tersebut merupakan sumber utama dalam mengembangkan dan memperkaya sastra Jawa Kraton pada masa Mataram. 31 Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), h. 13.

Setelah Sultan Agung berhasil menundukan bupati-bupati pesisiran dari daerah pesantren yang tidak tunduk dan tidak mau mengakui kekuasaan Mataram, maka hampir seluruh Jawa berada di bawah kekuasaan Mataram. Persoalan yang sejak lama harus diatasi adalah stabilitas sosial, politik dan budaya. Sejak masa kesultanan Pajang, persoalan yang sangat rumit adalah menghadapi perlawanan bupati-bupati pesisir yang mendapat dukungan masyarakat pesantren dan legitimasi para wali. Masalah ini tidak hanya diatasi dengan menggunakan kekuatan senjata saja. 32 Sebagai raja yang bijaksana dan mempunyai wawasan sosial budaya yang luas, Sultan Agung segera mempelopori langkah pembaruan sosial budaya. Pada mulanya ia menggunakan politik integrasi dengan pernikahan. Hal ini nampak dengan mengawinkan bupati Cakraningrat I, penguasa daerah Madura dengan saudara perempuan Sultan sendiri. Demikian pula dengan perkawinan Pangeran Pekik, bupati Surabaya dengan putri Pandan Sari, saudaranya yang lain. Hal ini diikuti dengan upaya pendekatan kultural, yakni pengislaman warisan kultur Jawa. Nampaknya Sultan Agung juga menyadari benar bahwa di Jawa terdapat dua kekuatan yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan sejarah masyarakat Jawa pada umumnya. Yakni masyarakat pesantren dengan budaya barunya, dan masyarakat kejawen yang masih terikat ketat warisan budaya lama yang ber-intikan mistik Hindu-Buddha. Jurang perbedaan ini tercermin dalam cara mereka mempergunakan perhitungan tahun. Masyarakat 32 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 438.

pesantren berpegang pada kalender Hijriyah atas dasar perjalanan bulan (lunar/qamariyah), sedangkan masyarakat kejawen menggunakan tahun Saka atas dasar pergerakan matahari (solar/syamsiyah). Sultan Agung berusaha menciptakan keselarasan dan stabilitas sosialpolitik bagi kebesaran kerajaan Mataram. Maka ditempuhlah politik Islamisasi perhitungan tahun Saka yang dirubahnya jadi perhitungan tahun Jawa yang disesuaikan dengan Hijriyah yang menggunakan perhitungan bulan. Penciptaan tahun Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1633 M merupakan bentuk perpaduan antara perhitungan Hijriyah dan Saka. Karena secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, baik mengenai bilangan dan nama-nama hari setiap minggunya ataupun nama-namanya. Namun awal perhitungan tahunnya tetap mempertahankan tahun Saka, yaitu bermula dari tahun 78 Masehi sebagai tahun pertama. Dengan demikian angka tahun karya-karya kejawen sebelum tahun 1633 Masehi tidak perlu dirubah dan disesuaikan. 33 Selain itu hari-hari kejawen disertakan dengan dan dipadukan dengan hari-hari Hijriyah menjadi hari pasaran, seperti Senin Pahing, Selasa Pon dan sebagainya. Maka perubahan itu tidak menimbulkan kegoncangan bagi berlakunya tradisi dan ilmu kejawen. Oleh karena itu sistem perhitungan tahun Jawa ciptaan Sultan Agung ini cukup memuaskan kedua belah pihak, bisa diterima dalam masyarakat pesantren dan kejawen tanpa menimbulkan kesulitan dan kegoncangan. Jadi sebenarnya tahun Jawa ini cukup unik, karena merupakan perpaduan antara tahun Hindu, Jawa dan Islam. 33 Simuh, Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen, h. 8.

Pergantian hitungan kalender Saka (matahari) ke hitungan Hijriyah (bulan) yang melahirkan kalender Jawa, mempunyai peranan yang sangat besar bagi munculnya penulisan primbon. Karena memang, dasar penulisan primbon adalah perhitungan Qamariyah (bulan). Sehingga wajar jika dalam beberapa hal menggunakan saduran kata-kata bulan Arab seperti Safar, Dulka dah dan lainnya. Selain itu jelas terlihat dalam nama-nama Penget Palintangan yang rupanya menyadur nama-nama buruj (zodiak) dalam bahasa Arab, saperti Kamluon, Sur, dan lain sebagainya. 34 Perbandingan Palintangan Primbon dengan Buruj Ilmu Hikmah Palintangan Nept Buruj Zodiak Bulan Khodam u Kamlun 13 Al Hamlu Aries Muharam Jafkhail Sur 14 Al Tsauru Taurus Shafar Bisghail Djud 15 Al Jawza Gemini Rab. Awal Waktsail Surtan 16 Al Sarthan Cancer Rab. Akhir Raghail Kasad 17 Al Asad Leo Jum. Awal Jamsyail Sambulah 18 Al Virgo Jum. Akhir Hanghail Sanbulah Mijan 7 Al Mizan Libra Rajab Ha dzail Ngakarad 8 Al Aqrab Scorpion Sya ban Wal aghail Kus 9 Al Qaws Sagitariu Ramadhan Nartsail s Jadiyun 10 Al Jadyu Carpicor Syawal Amtayail n Daliyun 11 A Dalwu Aquarius Dzu Wandzaail Qa dah Kuda 12 Al Hut Pisces Dzu Hijah Thighail Dari sini dapat disimpulkan bahwa primbon belum muncul pada masa Hindu-Buddha. Bahkan jangka (ramalan) Jayabaya baru dituliskan Ranggawarsita pada masa Mataram Islam. Sehingga bisa dipastikan 34 Harya Tjakraningrat, Attasadhur Adammakna, (Solo: Buana Raya, 1994), h. 163

munculnya primbon karena adanya pengaruh dari sufisme Persia, seperti perhitungan dalam tradisi ilmu hikmah ataupun ilmu falaq. Hal ini dikuatkan dengan kentalnya konsep makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang dalam bahasa Jawa disebut jagat gedhe dan jagat cilik, terdapat dalam ilmu hikmah dengan sebutan alam al ulya dan alam al adna. 35 Sehingga gerak makrokosmos mempengaruhi nasib mikrokosmos. Selain itu keduanya mempunyai kemiripan dalam menempatkan huruf. Di mana huruf, baik abjad Jawa ataupun Hijaiyah, bukanlah tanpa makna. Setiap huruf mempunyai nilai numeriknya sendiri yang disebut neptu. Dalam primbon, jelas tersirat bahwa nama seseorang mempengaruhi watak dan semua yang dilakukannya. Sehingga dalam mencari jodoh, seseorang harus menghitung neptu pasangan laki-laki dan perempuan dengan rumusan tertentu. 36 Pada mulanya, primbon hanyalah catatan-catatan pribadi yang diwariskan turun temurun di lingkungan keluarga, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Namun pada awal abad ke-20 primbon mulai dicetak dan diedarkan secara bebas. Primbon cetakan tertua berangka tahun 1906 Masehi, diterbitkan oleh De Bliksem dengan ketebalan 36 halaman. Namun primbon tersebut belum tersusun secara sistematis. 35 Ade Faizal, Tradisi Ilmu Hikmah, Dari Sufisme Persia Hingga Kyai Nusantara (Jakarta: Lemlit UIN, 2009), h. 5. 36 Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna (Solo: Buana Raya, 1994), h. 12.

Di Perpustakaan Nasional terdapat banyak jenis primbon seperti Kitab Ta bir, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, Lontarak Bola dan lain-lain. 37 Primbon yang ditulis lebih sistematis terbit pada tahun 1930-an. Selanjutnya primbon bukan lagi sekedar catatan keluarga, tetapi justru sudah menjadi petunjuk praktis dalam kehidupan. Seri Primbon Betaljemur Adammakna terbitan Yogyakarta misalnya, disusun secara berseri dengan Attasadhur Adammakna dan Lukmanakim Adammakna dalam dua bahasa, Jawa dan Indonesia. 38 13, h. 395. 37 Behrend, Primbon, h. 2. 38 Bambang Harsrinuksmo, Primbon (Jakarta: Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2001), Vol.

BAB III KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON A. Definisi Ruang dan Waktu Manusia dan alam semesta sama-sama mengada dalam ruang dan waktu. Sejak seorang manusia dilahirkan hingga kematiannya, ia berada dalam ruang dan waktu dunia ini. Tetapi penjelasan mengenai apa itu ruang dan waktu, rupanya sejak zaman Yunani dan Upanishad di India, hinga sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Karenanya tetap akan muncul jawabanjawaban berikutnya dalam filsafat kosmologi. Ketika St. Agustinus ditanya mengenai waktu, ia menjawab Saya tahu apa itu waktu. Tetapi jika saya diminta menjelaskannya, saya tidak tahu. 39 1. Definisi Ruang Adapun ruang, Anton Bekker membaginya dalam empat golongan pemikiran. Golongan pertama adalah Subjektif, golongan ini menyatakan bahwa ruang itu konsep subyektif saja tanpa realitas. Seperti penjelasan Kant, bahwa tempat dan ruang merupakan konsep tanpa dasar objektif. Hanya bentuk subjektif dalam persepsi. Kaum positivis juga berpendapat bahwa ruang dan waktu tidak mempunyai arti. Sebab keduanya bukan realitas empiris yang dapat dibuktikan dengan metode empiris ilmiah. 40 Golongan kedua adalah golongan Realisme-Ekstrim, realitas tersendiri. Penganutnya kebanyakan para filsuf Timur dan filsuf pra- 39 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 83. 40 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, h. 111.

Sokrates di Barat. Menurut golongan ini, ruang bersifat tak terbatas, abadi, tak terobservasi, dan menjadi syarat kemungkinan ekstensi, tetapi tidak sama dengan ekstensi. Ruang terbagi menjadi dua, yakni ruang yang memuat dunia, dan ruang yang kosong di seberang sana. Golongan ketiga ialah mereka yang melihat ruang sebagai konsep dengan dasar riil. Aristoteles misalnya menyatakan bahwa ruang adalah riil sejauh terdapatkan keleluasaan berdimensi dengan panjang, lebar, dan tingginya. Ruang absolut tidak ada, harus bertolak, yaitu realitas yang berbeda dengan substansi kosmos. Ruang merupakan konsep logis saja, tetapi dengan satu landasan dalam kenyataan. Adapun golongan terakhir adalah kaum eksistensialis. Ruang selalu dihidupi dalam praktis. 2. Definisi Waktu Anton Bakker menggolongkan pemikiran tentang waktu dalam 4 golongan. Golongan pertama adalah golongan subjektivisme. Golongan ini menyatakan, bahwa waktu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan bentuk subjektif-individual yang berasal dari pikiran. Ruang dan waktu adalah konstruksi-konstruksi yang bersifat relatif, terbatas dan ilusif. Pandangan ini terdapat di Barat ataupun Timur. Di Barat dimulai dari Parmenides dan Zeno di zaman Yunani, sampai Descarters, John Locke, David Hume, Kant, Hegel, dan Carnap di abad XX. Sedang di dunia Timur diwakili Budhis yang menyatakan Masa lalu, masa depan, ruang fisik dan individu-individu tidak lebih dari deretan nama-nama bentuk pemikiran, kata-kata dari kebiasan umum. 41 41 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 84.

Golongan kedua adalah Realisme Ekstrem, yang menyatakan bahwa waktu itu realitas absolut otonom yang universal, tidak memiliki kesatuan intrinsik, tetapi hanya menunjukkan urutan-urutan murni. Pandangan yang bersifat spiritual ini berkembang di kalangan filsuf India purba seperti Kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 SM. Mereka menyatakan bahwa waktu adalah substansi nonmaterial yang riil. Substansi unitaris yang terbatas, abadi, noneksisten dan tak terbagikan. Waktu itu hanya satu yang menampung dan meresapi segala yang ada. Di samping itu ada waktu empiris yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan. Waktu empiris oleh konvensi manusia diletakkan atas waktu riil itu. Pandangan demikian juga dianut oleh manusia Indonesia kuno, di mana primbon muncul. Di Barat juga terdapat pendapat seperti ini pada Newton, Whitehead, Clarke dan Alexander. Golongan ketiga adalah Realis Lunak, yang berpendapat bahwa waktu merupakan aspek perubahan riil, tetapi dihasilkan oleh subjek dan terabstraksi dari kreativitas pengkosmos. Penganutnya antara lain adalah Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, dan Einstein. Golongan terakhir ialah kaum Subjektivisme Lunak, yang banyak dianut eksistensialis. Dalam hal ini Henri Bergson menyatakan bahwa waktu itu memang riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi dan tidak terukur, sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi. 42 42 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), h. 110.

B. Konsep Ruang dalam Primbon Seperti yang ditunjukkan oleh Anton Bakker, Indonesia menganut paham ruang dan waktu sebagai realisme-ekstrim. Waktu adalah tatanan yang berada di luar semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas. Pandangan tentang ruang pun realistis-ekstrim. Semua penghuni kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan dengan tempatnya yang relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga tempatnya dalam kosmos ini. 43 Ruang sejati juga absolut, menyeluruh dan holistik. Ruang absolut ini menjadi dasar dari ruang relatif pula, dan berada di dalamnya. Ruang manusia dan semesta yang relatif itu tersusun dalam tata tertib holistik dalam ruang absolut. Hubungan antara ruang relatif dengan ruang absolut adalah ketergantungan padanya. Setiap benda dan peristiwa dalam ruang relatif, 43 Ibid., h. 112.

tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan ruang absolut. Setiap benda dan peristiwa dalam ruang relatif tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan ruang absolut. Setiap benda dan peristiwa di dunia ini saling tergantung dalam ketertiban agung ruang absolut. Bumi ini juga tergantung pada tata tertib rotasi bulan dan matahari. Matahari dan Bulan tergantung pada tata tertib jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung dari ruang absolut tadi. Inilah sebabnya dalam primbon, semua hal di dunia manusia memiliki pola hubungan satu sama lain. Setiap benda menempati ruangnya sendiri yang relatif terhadap keberadaan benda-benda yang lain. Keyakinan ini seperti membuat primbon seolah-olah merupakan ngelmu gathuk (ilmu mencocokkan). Kesan demikian bisa saja terjadi, karena pola menghubung-hubungkan itu tidak baku. 44 C. Konsep Waktu dalam Primbon Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang waktu ini memegang peranan kunci dalam memahami tempat manusia di dunia. Waktu yang nonmaterial menentukan tempat dan ruang yang material. Manusia dan bendabenda serta peristiwa-peristiwa adalah material. Karena absolutnya peranan waktu yang universal dan otonom ini, primbon memperinci hitungan waktu sampai hal yang sekecil-kecilnya, yakni hitungan jam. Tetapi juga menghitung 44 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 119.