Citra Pangan Lokal. Majalah. Inovasi Pangan. untuk peningkatan. Jahe Instan Tepung Glukomanan Potensi Ubi Hutan Pengembangan Pangan Ketahanan Pangan



dokumen-dokumen yang mirip
Masyarakat Ilmuwan danteknolog Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Mie merupakan jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah. dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mie juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Tabel 1.1 Daftar Impor Bahan Pangan Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Pada abad modern ini, filosofi makan telah banyak mengalami pergeseran. Makan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmiati Tsaniah, 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DAN UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN MAKANAN DENGAN BAHAN DASAR KENTANG DAN UBI JALAR

MODUL 5 PIZZA IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu pizza ikan yang dihasilkan memiliki tekstur yang lembut, rasa dan aroma khas ikan.

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BISNIS KRIPIK KENTANG

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah gizi merupakan masalah global yang terjadi di sebagian besar belahan

Teknologi Pengolahan Hasil Ubi Jalar dan Ubi Kayu

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai

I PENDAHULUAN. gembili, sagu, kimpul, gadung dan sebagainya (Muhandri, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya

Ekonomi Pertanian di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif

PENGOLAHAN JAGUNG SEBAGAI BAHAN PANGAN. Agus Sutanto

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota tujuan wisata. Oleh karena itu, bisnis-bisnis

DIVERSIFIKASI OLAHAN UMBI-UMBIAN LOKAL SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

TEHNIK PEMBUATAN MIE SEHAT. Dr. Sri Handayani

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya terus meningkat secara global, termasuk di Indonesia.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

PROFIL USAHA KRIPIK TALES

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BIKA SINGKONG Mata Kuliah : Lingkungan Bisnis Kelompok G

Suplemen Majalah SAINS Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah pengidap diabetes melitus (diabetesi) di dunia saat ini terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMANFAATAN TEPUNG UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN DENGAN PENCAMPURAN TEPUNG TEMPE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman singkong adalah komoditas tanaman umbi-umbian yang dapat

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa Indonesia adalah beras, karena beras merupakan. makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman umbi-umbian, baik

BAB I PENDAHULUAN. kacang tanah. Ketela pohon merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kondisi perekonomian yang menuju arah globalisasi, merek yang kuat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya jumlah pangan yang perlu disediakan untuk dikonsumsi. Selain itu

Usaha Untung Besar, Dari Cookies Aneka Rasa

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

BAB 1 PENDAHULUAN. Jajanan pasar Indonesia yang ada di tanah air kita merupakan ciri khas budaya

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan gizinya serta aktif dalam olahraga (Almatsier, 2011).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan

Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

BAB 1 LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif. Oleh : Sri Purwanti *)

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

: Laila Wahyu R NIM :

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT

Written by Administrator Sunday, 06 September :45 - Last Updated Sunday, 06 September :56

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk di dalamnya kekayaan

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang penting sebagai penghasil sumber bahan pangan, bahan baku makanan,

Tabel 1. 1 Jumlah Wisatawan Kota Bandung. Wisatawan Tahun mancanegara domestik jumlah

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh (Khomsan, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengolahan hasil pertanian dalam pelatihan ini dimaksudkan untuk mengubah bentuk bahan baku menjadi bahan

POTENSI SAGU SEBAGAI SUMBER PANGAN GLOBAL Oleh Bambang Hariyanto dan Agus Tri Putranto

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

Transkripsi:

Majalah J e m b a t a n I n o v a s i T e k n o l o g i Jahe Instan Tepung Glukomanan Potensi Ubi Hutan Pengembangan Pangan Ketahanan Pangan Edisi 1 - November 2013 07 10 17 20 31 Inovasi Pangan untuk peningkatan Citra Pangan Lokal

Editorial Cukup mengejutkan, hasil survey yang dilakukan oleh divisi kajian dan kebijakan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen terhadap restoran lokal dan asing tahun 2012 menunjukkan bahwa, frekuensi kunjungan konsumen restoran waralaba lokal yang datang lebih dari lima kali hanya 38,4%, sedangkan responden restoran waralaba asing sebagian besar (72,4%) berkunjung lebih dari lima kali. Hal ini berarti restoran waralaba asing mempunyai konsumen setia yang lebih banyak dibanding restoran waralaba lokal. Hasil survey ini menjadi sebuah pengingat bahwa preferensi pangan masyarakat mulai bergeser dari pangan lokal. Disaat prefensi konsumsi masyarakat mulai berubah ini, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan hasil yang mengejutkan pula dimana prevalensi nasional hipertensi pada penduduk umur > 18 tahun adalah sebesar 29,8%, prevalensi nasional penyakit diabetes melitus adalah 1,1% dan prevalensi nasional strok adalah 0,8%. Munculnya penyakit-penyakit degeneratif ini dipicu oleh kegemukan/obesitas akibat pola makan tidak seimbang dan kurangnya olahraga. Fenomena ini pun terjadi pada semua lapisan masyarakat berdasarkan data Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa, angka prevalensi kegemukan dan obesitas di kalangan sosioekonomi bawah hampir menyamai kalangan sosio-ekonomi atas. Berbagai upaya pemerintah bersama masyarakat telah dilakukan untuk menekan prevalensi terhadap penyakit degeneratif. Diantaranya adalah program penyuluhan hidup sehat seperti mengonsumsi pangan yang lebih beragam. Berbagai kalangan termasuk MITI turut berupaya untuk mensosialisasikan kembali ke pangan lokal kepada masyarakat. Namun, yang masih menjadi kendala adalah bagaimana mengangkat citra pangan lokal agar dapat berdaya saing dengan pangan luar negeri. Tentunya hal ini memerlukan kreatifitas tersendiri khususnya dalam teknologi pengolahan dan pengemasan pangan lokal agar menjadi salah satu pilihan pangan yang disukai masyarakat. Majalah Beranda MITI ini merupakan suatu media transformasi informasi yang dirangkum dari web Beranda MITI. Edisi perdana ini, Oktober 2013, hadir dengan fokus pada inovasi-inovasi teknologi pangan untuk mengolah pangan lokal dengan menghadirkan tulisan-tulisan dari para kontributor Beranda MITI. Selain itu disertakan opini dan ulasan Prof. Slamet Budijanto, Guru Besar Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor yang mengulas pentingnya kembali ke pangan lokal untuk mempertahankan ketahanan pangan. Majalah Beranda MITI online ini dapat diunduh gratis pada web site Beranda MITI www.beranda.miti.or.id. Tentu saja, masih terlalu awal untuk menilai majalah online ini dapat dikatakan baik, namun kami sebagai redaksi selalu berusaha terbaik menyampaikan hal-hal menarik dan informatif dalam upaya kembali ke pangan lokal. Satu hari satu kali pangan lokal. Penerbit MITI Press Suci Latifah, S.Gz @latifahsuci Redaktur Pelaksana Penanggung Jawab Dr. Dwi Handoko @dwihandoko Redaksi Pelaksana Suci Latifah, S. Gz @latifahsuci Staff Redaksi Nuri Ikawati, S.IP @nuriikawati Ahmad Ufuwan, S.E @ufuwan Desain Grafis Muhtajin, S. Pd @muhtajin89 Keuangan Ummy Syarifah, S. Si @ummysyarifah Alamat Redaksi Palmyra Square 25A No. 11-12 Alam Sutera, Tangerang Telp/Fax +62 21-29315008 Email miti.kajian@gmail.com Website http://beranda.miti.or.id Salam kontribusi 1 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Release: Hasil Survei Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Membeli Pada Konsumen Waralaba Restoran Lokal dan Asing Pada Bulan Februari-Maret 2013, Bidang Kajian dan Kebijakan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) melakukan sebuah survey tentang perilaku konsumen pada waralaba makanan asing dan lokal, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen. Riset ini dilakukan di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta dengan melibatkan total 500 responden. Total responden ini dibagi dua, 250 untuk restoran waralaba asing dan 250 untuk restoran waralaba lokal. Teknik pengambilan sample dilakukan dengan metode Quota Sampling, masing-masing kota berjumlah 125 responden yang dibagi menjadi asing dan lokal. Penentuan responden tiap kota berdasarkan kriteria tertentu seperti batasan usia, diambil secara acak (responden merupakan kelipatan tujuh dari responden sebelumnya) di pusatpusat gerai waralaba masakan asing dan lokal. Hasil riset menunjukkan bahwa profil kedua responden, menunjukkan karakteristik yang sama, berasal dari anak muda dengan rentang usia 17-25 tahun dengan pendidikan SLTA. Perilaku infomasi kedua jenis responden inipun memiliki kecenderungan yang serupa, yakni sama-sama aktif dalam mengunjungi social media seperti facebook, twitter dan whats app. Rata-rata kedua responden pun menyukai traveling, baca dan wisata kuliner sebagai kegiatan yang sering dilakukan. Meskipun memiliki karakteristik yang sama, kedua jenis responden ini memiliki perilaku yang berbeda dalam proses keputusan membeli. Frekuensi kunjungan responden restoran waralaba lokal yang lebih dari lima kali hanya 38,4%, sedangkan responden restoran waralaba asing sebagian besar (72,4%) berkunjung lebih dari lima kali. Hal ini berarti restoran waralaba asing mempunyai konsumen yang setia lebih banyak dibanding lokal. Temuan ini sejalan dengan realita yang ada sekarang, yakni bisnis franchise restoran asing yang memang lebih bergeliat dibanding lokal. Karena restoran waralaba asing memiliki konsumen yang lebih loyal dilihat dari frekuensi kunjungan yang sebagian besar lebih dari lima kali. Bagi responden restoran waralaba asing, rasa suka atau nyaman saat mengkonsumsi produk di restoran waralaba asing ternyata bukan ditimbulkan oleh kelezatan makanan ataupun kandungan gizi yang terkandung dalam makanan. Hasil uji regresi dengan nilai probabilitas 0,05 menunjukkan bahwa tingkat popularitas restoran dan kesan mahal yang ditimbulkan oleh restoran waralaba asing merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan membeli responden. Nilai signifikansi untuk faktor tingkat popularitas adalah 0,023, sedangkan untuk image mahal adalah 0,008 dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasa suka karena popularitas maupun kesan mahal restoran makin tinggi pula frekuensi kunjungan responden. Kesan mahal dan terkenal yang melekat pada restoran waralaba asing merupakan faktor penarik bagi konsumen. Harga, kandungan gizi maupun kelezatan makanan bukan menjadi pertimbangan bagi responden dalam proses pembuatan keputusan membeli di restoran waralaba asing. Hal ini bertolak belakang pada temuan terhadap responden restoran waralaba lokal. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa keputusan membeli responden di restoran waralaba lokal dipengaruhi oleh faktor kelezatan makanan yang disajikan. Nilai signifikansi yang diperoleh oleh faktor kelezatan makanan ini adalah sebesar 0,000 dengan arah positif. Sehingga, semakin tinggi kelezatan yang dirasakan, semakin tinggi pula frekuensi kunjungan responden. Frekuensi kunjungan responden yang sebagian besar kurang dari 5 kali menunjukkan bahwa faktor kelezatan saja tidak cukup untuk membuat responden loyal. Lalu bagaimana dengan perbandingan kualitas antara kedua jenis restoran tersebut?

Jika dilihat dari segi kualitas restoran, yaitu tingkat kelezatan makanan, keramahan pramusaji, kandungan gizi dan kenyamanan ruangan, indeks yang diperoleh restoran waralaba asing dan lokal tidak berbeda jauh. Total indeks kualitas restoran waralaba asing adalah 1118 sedangkan lokal adalah 1101. Kenyamanan ruangan merupakan satusatunya item yang perbedaan indeksnya cukup besar. Restoran waralaba lokal mendapatkan indeks dari respondennya sebesar 290, sedangkan asing 409. Sementara itu, dari segi keramahan pramusaji, restoran waralaba asing memang mendapat nilai yang lebih tinggi (172) dibandingkan lokal (141), namun selisihnya tidak begitu besar. Sedangkan nilai untuk kelezatan makanan (lokal 476, asing 406) dan kandungan gizi makanan (lokal 196, asing 128) restoran waralaba lokal mendapat indeks yang lebih tinggi dimata respondennya dibandingkan asing. Masing-masing item tersebut telah diuji menggunakan T-Test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan atau nyata. Hasil uji T-test dengan nilai kepercayaan 95% menunjukkan, bahwa semua item baik dari nilai indeks lokal maupun asing mempunyai nilai signifikansi 0,000. Artinya, terdapat perbedaan secara nyata dalam penilaian responden terhadap masingmasing item tersebut. Hal ini berarti, dari segi kelezatan dan kandungan gizi makanan, restoran waralaba lokal mendapat nilai yang lebih tinggi di mata respondennya dibanding asing. Namun, dari aspek pelayanan yang lain, waralaba makanan lokal masih harus banyak berbenah untuk bisa menghasilkan kenyamanan ruangan dan pramusaji yang ramah serta responsif. Hasil riset ini tidak hanya semakin mempertegas realita dilapangan tentang lebih digandrunginya restoran waralaba asing dibanding lokal, serta image mahal dan terkenal yang melekat sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen, namun juga memberikan temuan menarik tentang perbandingan kualitas restoran di mata masing-masing konsumennya yang menjadi responden. Permendag Nomor 07 Tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Makanan dan Minuman memang membatasi jumlah gerai dan mengharuskan penyertaan modal, kemitraan serta penggunaan konten lokal minimum 80%, namun ada satu hal krusial yang tampaknya alpa untuk dirumuskan. Penciptaan kesempatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan pembinaan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) agar siap bersaing dengan waralaba asing yang mempunyai system mapan serta modal besar. Berdasarkan temuan hasil riset ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan fokus pembinaan pemerintah untuk para pengusaha lokal agar bisa bersaing merebut pasar dalam negeri. Kelebihan berupa kelezatan dan kandungan gizi saja ternyata tidak cukup mempengaruhi konsumen untuk membeli. Oleh sebab itu, perlu ada edukasi untuk melakukan packaging yang menarik, serta pemahaman bahwa berbisnis makanan tidak hanya menjual cita rasa, tapi juga pelayanan lain sebagai sebuah kesatuan. Pelayanan berupa kenyamanan ruangan, pramusaji yang ramah dan responsif merupakan beberapa aspek yang tidak terpisahkan dalam bisnis ini dan merupakan produk yang menjadi jualan pengusaha juga. Apalagi melihat konsumen terbesar di bisnis kuliner ini adalah anak muda, maka tempat makan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, namun juga ajang untuk bersosialisasi. Maka penting diperhatikan bagaimana menyajikan sebuah resto yang menyediakan berbagai fasilitas menunjang agar para anak muda sebagai konsumen betah untuk berlama-lama. Selain itu, karakteristik konsumen yang aktif dalam media sosial, mengharuskan para pengusaha lokal untuk bisa tanggap dalam mengikuti trend tersebut. Tidak hanya untuk memasarkan produk, tapi untuk mengikuti apa yang sedang menjadi kecenderungan pasar saat ini. Pemerintah dalam hal ini bisa mulai melakukan edukasi teknologi untuk para pengusaha makanan lokal agar tidak gagap terhadap perkembangan teknologi komunikasi ini. Jika pembinaan ini bisa dilakukan, bukan tidak mungkin para pelaku industri pangan lokal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Daftar Isi 07 10 13 17 20 24 01 09 12 16 18 23 30 Editorial Artikel Jahe instan atau gula jahe? Tepung Glukomanan... Selandia Baru: Potret... Potensi Ubi Hutan sebagai... Opini Pengembangan Pangan... Media Perfilman dan Televisi... 31 36 Ulasan Ahli Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional oleh Prof. Dr. Slamet Budijanto 4 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia @MITI_NEWS Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Bringing Technology to the People For More Information : www.miti.or.id www.beranda.miti.or.id www.gopanganlokal.miti.or.id www.mahasiswa.miti.or.id www.vrl.miti.or.id www.ors.miti.or.id www. bti-c.com www.git-miti.com

Kontributor Foto Majalah Beranda Majalah beranda merupakan transformasi dari web beranda miti yang telah berkembang manjadi majalah. Majalah Beranda membuka kesempatan bagi pembaca yang ingin mengirimkan foto ke redaksi majalah beranda dengan kriteria sebagai berikut. Ketentuan pengiriman foto Foto yang dikirimkan adalah karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya Terbuka untuk semua kalangan (Pelajar atau umum) Jenis kamera bebas (DSLR/pocket kecuali handphone camera) Ukuran foto: foto yang dikirimkan dengan sisi terpanjang minimal 1000 pixel maksimal 1500 pixel, save quality medium 6, resolusi 300 Editing yang diperbolehkan sebatas cropping, sharpening, level dan saturasi warna. Karya foto bukan manipulasi digital Tidak diperkenankan memberi tulisan/watermark/logo/kode/frame apapun pada foto Foto harus merupakan hasil karya yang orisinal yang dibuat oleh pengirim Foto yang dikirimkan dapat berupa foto ilustrasi sub tema maupun foto obyek Foto yang dikirimkan tidak boleh bermasalah dengan hak cipta, merek dagang, moral, privasi dengan seseorang atau institusi Foto tidak boleh mengandung pornografi serta fitnah dan kebencian Setiap pengirim harus menjamin bahwa publikasi semua foto oleh Majalah Beranda tidak akan memunculkan masalah hukum dikemudian hari Foto dikirimkan ke email redaksi majalah beranda: mb.redaksi@gmail.com dengan keterangan Foto_Sub tema_nama pengirim, contoh: Foto_Budaya hemat energi_faiz Penerimaan pengiriman foto maksimal tanggal 3 Januari 2013 Setiap foto kontributor yang dimuat dalam Majalah Beranda akan mendapat insentif sebesar Rp. 150.000,- Mencantumkan biodata: 1. Nama lengkap beserta foto 3x4 2. Tempat & Tanggal Lahir 3. Alamat Email 4. Akun twitter (jika ada) 5. No. Telepon/Mobile Phone 6. Aktivitas saat ini Tema foto: Energi Obyek foto berkaitan dengan: 1. Sustainable Energy 2. Economic and Energy 3. Local Energy Industry 4. Green Energy 5. Sumber Daya Energi Sebagai Modal Pembangunan 6. Budaya Hemat Energi 7. Energi Baru Terbarukan (EBT)

Jahe instan atau gula jahe? Gula Jahe GettyImage Industri-industri pangan kini mulai melirik hal-hal yang berbau herbal, alami, dan organik. Hal tersebut tak jauh dari gencarnya semboyan Go Green dan Go Pangan Lokal. Berbagai upaya untuk membuat produk alami dan lokal diusahakan demi menggaet konsumen. Kata-kata seperti baik untuk kesehatan tubuh dan lingkungan menghiasi usaha marketing p r o d u k pangan di n e g e r i ini. 7 GettyImage Faktanya produk pangan tersebut hanya disisipi sedikit hal alami dan lokal. Sebagian besar produk lokal seperti sayur, buah, dan umbi memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Selain itu, produkproduk lokal yang alami tersebut dapat memberikan dampak yang baik bagi lingkungan daripada produk-produk sintetis. Oleh karena itu, kini produk lokal sering dijadikan bahan utama atau hanya dijadikan sebagai batu loncatan bagi para pemegang kuasa industri pangan. Industri kecil maupun besar saling berebut konsumen, meraup keuntungan sebesarbesarnya. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu produk lokal yang diandalkan demi kebutuhan industri. Menurut Prastowo (2007: 1), Komoditas jahe saat ini masih menempati urutan teratas dalam penggunaan, sehingga masih memiliki peluang besar untuk dikembangkan terus melalui pengembangan sumber-sumber pertumbuhan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus seiring berjalannya waktu. Jahe dapat diolah menjadi berbagai macam jenis produk pangan. Terlebih lagi sekarang ini inovasi telah merasuk ke sendi-sendi pikiran manusia. Bukan tak mungkin di tahun mendatang produk turunan jahe menjadi lebih banyak. Untuk saat ini olahan jahe yang paling populer yaitu Jahe Instan. Menurut Riana (2012), jaheinstan adalah jahe yang berbentuk butiran-butiran/ serbuk dan dalam penggunaannya mudah melarut dalam air dingin atau air panas. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Artikel : Jahe Instan atau Gula Jahe? Jahe merupakan salah satu produk lokal yang dapat diolah menjadi berbagai macam jenis produk pangan. Pengolahan jahe instan di industri menengah ke bawah masih menggunakan cara tradisional GettyImage Pengolahan jahe instan di industri menengah ke bawah masih menggunakan cara tradisional. Pengolahan seperti ini didasarkan pada sifat gula pasir yang bisa kembali mengkristal setelah dicairkan dalam kondisi yang tidak asam (ph > 6,7). Prinsip cara pembuatannya yaitu: jahe dicuci bersih, dikupas, dan dipotong-potong. Kemudian jahe dihaluskan dengan cara ditumbuk, diparut, atau diblender. Jahe yang telah lembut diperas sehingga menghasilkan sari jahe. Sari jahe kemudian diuapkan/ dipanaskan hingga mengental. Lalu ditambahkan gula ke dalamnya dan diaduk terus hingga menjadi bubuk atau kristal. Jahe instan sudah siap dan segera dikemas agar tidak tercemar mikrobia kontaminan yang menyebabkan jahe instan rusak. Pada proses pembuatan dengan cara tradisional tersebut, perbandingan komposisi jahe banding gula yaitu satu banding dua. Ini artinya jika jahe yang digunakan 1 kg maka gula yang diperlukan adalah 2 kg. Gula memang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Namun, kelebihan gula dalam tubuh justru dapat merusak tubuh. Tubuh manusia normalnya sudah tercukupi kebutuhan gulanya, yaitu maksimal 50 gram per hari, dari karbohidrat yang berupa nasi atau umbi-umbian. Gula mampu meningkatkan kadar gula darah dan produksi insulin. Menurut Health (2006: 28) kelebihan gula dalam tubuh dapat menekan sistem imun sehingga gangguan autoimun seperti arthritis dan multiple schlerosis dapat terjadi dengan mudah. Selain itu gula juga dapat menyebabkan candidiasis yaitu infeksi karena jamur Candida albicans. Jika konsumsi makanan manis dan karbohidrat sederhananya berlebihan, jamur akan menginfeksi lambung dan berkembang biak dengan cepat sehingga dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan menghambat penurunan berat badan. Sayangnya teknologi ini hanya compatible untuk industri besar. Sudah selayaknya pemerintah yang berwenang dibidangnya memberikan bantuan kepada industri menengah ke bawah agar bisa meninggalkan metode tradisional membuat jahe instan dan beralih ke metode yang lebih baik untuk 8 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Artikel : Jahe Instan atau Gula Jahe? Profil Penulis Nurullia Nur Utami @NNurullia Nurullia adalaha mahasiswa S1 Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Univirsitas Gadjah Mada. Nurullia dikenal aktif sebagai staff PSDI (Pengembangan Sumber Daya Insani) BEM FTP UGM, staff divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah ASC (Agritech Study Club) UGM kesehatan konsumen. Selain itu, sebagai masyarakat atau pelajar, dapat juga merumuskan solusi yang lebih baik untuk permasalahan ini. Penciptaan alat baru yang lebih ramah sangat dibutuhkan untuk industri skala menengah kebawah. Konsumsi jahe memang baik untuk kesehatan, namun jahe instan dengan jumlah gula yang banyak justru akan membahayakan tubuh. Sudah sepatutnya produksi jahe instan dengan cara tradisional diganti atau diinovasi agar gula yang digunakan secukupnya saja. Teknologi spray drying merupakan cara yang tepat untuk menggantikannya. Spray drying merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering berupa serbuk atau butiran oleh suatu proses penyemprotan bahan ke dalam medium kering yang panas (Dziezak, 1980). Referensi Dziezak, J.D. 1980. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Journal of Food Technology. 18 (4) : 138 Health, Vita. 2006. Diet VCO: Panduan Menurunkan Berat Badan dengan Minyak Kelapa Murni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Prastowo, Bambang. 2007. Booklet Teknologi Unggulan Tanaman Jahe. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Riana. 2012. Laporan Jahe Instan. http://rianayetmi14.blogspot.com. Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 pukul 07:30 Rubrik Pembaca Redaksi Majalah Beranda menerima kritik, saran dan masukan dari pembaca. Silakan email ke mb.redaksi@gmail.com 9 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Tepung Glukomanan dari Umbi Porang sebagai Subtitusi Tepung Terigu pada Produk Pangan Alternatif berupa Mie Rendah Kalori Indonesia memiliki beragam tanaman bahan pangan penghasil pati yang dapat dijadikan bahan baku bahan pangan pokok. Secara umum, terdapat dua sumber bahan baku pati di Indonesia yakni sumber pati mayor dan minor. Sumber pati mayor terdiri dari beras, jagung, gandum, sorgum, singkong, kentang, ubi jalar, talas dan sagu. Sedangkan sumber pati minor terdiri dari berbagai macam umbi seperti kimpul, garut, suweg, uwi, iles-iles, ganyong dan porang. Sumber pati minor masih sangat minim pemanfaatannya sebagai produk pangan komersil. Salah satu sumber pati minor yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah umbi porang. Tidak banyak yang mengenal umbi porang sebagai bahan pangan lokal yang banyak tumbuh di lahan hutan di Jawa Timur. Umbi porang memiliki kandungan glukomanan yang memiliki fungsi sebagai pengenyal, pembentuk tekstur dan pengental makanan. Umbi Porang (Amorphophallus oncophyllus), merupakan salah satu kekayaan alam asli Indonesia. Tidak banyak yang mengenal umbi porang sebagai bahan pangan lokal yang banyak tumbuh di lahan hutan di Jawa Timur. Umbi porang pada awalnya dikembangkan untuk mendukung program konservasi hutan. Seperti tepung terigu, umbi porang memiliki kandungan glukomanan yang memiliki fungsi sebagai pengenyal, pembentuk tekstur dan pengental makanan. Umbi porang masih dijual dalam bentuk chips (irisan kering dan tipis dari umbi porang) ke Jepang sebagai bahan utama dari produk tepung konjak. Glukomanan adalah polisakarida dalam famili mannan. Glukomanan terdiri dari monomer β-1.4 α-mannose dan α-glukosa. Glukomanan yang terkandung dalam umbi porang memiliki sifat yang dapat memperkuat gel, memperbaiki tekstur, mengentalkan, dan lain sebagainya. Saat ini, umbi porang belum dimanfaatkan oleh industri di Indonesia atau masyarakat secara luas sebagai bahan tambahan atau fungsional produk makanan. Hal ini disebabkan masyarakat belum dapat mengolah umbi porang tersebut menjadi 10 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Artikel : Tepung Glukomanan dari Umbi Porang bahan pangan yang praktis untuk dimakan. Begitu juga pada industri makanan di Indonesia. Sebaliknya, industri yang memanfaatkan glukomanan sebagai bahan baku atau bahan tambahan justru mengimpor tepung glukomanan (konjac flour) dari Jepang. Dengan pertimbangan kondisi tersebut, pemanfaatan tepung glukomanan dari umbi porang sebagai bahan baku utama produk mie rendah kalori yang merupakan salah satu produk pangan alternatif dinilai sangat potensial sebagai solusi dalam melepaskan ketergantungan Indonesia akan gandum dan tepung terigu impor secara perlahan dalam produksi mie. Produksi tepung glukomanan dari umbi porang tergolong sederhana. Umbi porang mentah yang telah dikupas kemudian dicuci dan diiris tipis (untuk hasil yang baik dapat di slice dengan mesin) lalu dikeringkan dengan sinar matahari (12 jam 24 jam) atau dapat juga dikeringkan dengan menggunakan pengering oven dalam waktu kurang lebih 24 jam. Umbi porang yang telah diiris tipis dan kering disebut dengan chips. Chips ini kemudian ditepungkan dengan cara dihaluskan dengan mesin disk mill atau menggunakan blender. Dalam tepung umbi porang terdapat kandungan kalsium oksalat yang cukup tinggi yang bila dikonsumsi dapat menimbulkan gatal pada lidah dan kulit manusia sehingga tepung porang harus dimurnikan terlebih dahulu sebelum dipisahkan glukomanannya. Pemurnian tepung porang dari kalsium oksalat dapat dilakukan dengan maserasi bertahap menggunakan etanol 40%, 60% dan 80%. Menurut Widjanarko (2011), tepung porang yang dicuci dengan me-maserasi tepung porang dengan etanol konsentrasi rendah 40% akan melarutkan senyawa polar yang terkandung dalam bahan seperti kalsium oksalat, protein, pati, dan abu. Sedangkan maserasi pada etanol 60% dan 80% akan melarutkan lemak yang terkandung pada tepung. http://simonbw.lecture.ub.ac.id/ 11 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Artikel : Tepung Glukomanan dari Umbi Porang Profil penulis: Khoirunisa Prawita Sari @khoeeruu Khoerunisa adalah Mahasisiwa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Khoerunisa dikenal aktif dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai staff Kajian strategi dan advokasi BEM Fakultas Teknologi Pertanian. Kemudian tepung dikeringkan kembali di oven pada suhu 40ºC selama 40 menit dan kemudian dipisahkan antara glukomanan dan senyawa pengotor yang tidak diinginkan berdasarkan berat jenis sehingga dihasilkan tepung glukomanan murni. Harga tepung glukomanan berkisar antara Rp 20.000/100 gram. Walaupun tergolong mahal, namun hanya diperlukan sedikit glukomanan sebagai bahan pengental makanan ataupun dalam pembuatan mie. Hal ini dikarenakan sifat glukomanan yang memiliki daya absorbsi air yang tinggi yakni dapat menampung air kurang lebih 100 kali dari beratnya dalamair. Tepung porang dari umbi porang memiliki kandungan nutrisi sebagai berikut : air 6.8%, glukomanan 64.98%, pati 10.24%, protein 3.42%, lemak 0%, serat berat 5.9% dan kalsium oksalat sebesar 0%. Aplikasi tepung glukomanan pada produk mie dapat dibuat dengan mencampur tepung dengan air dingin yang telah ditambahkan baking soda (soda kue) dengan perbandingan 6 gram tepung, 0.4 gram baking soda dengan 450 ml air dan garam secukupnya. Seluruh bahan dicampurkan dalam keadaan dingin dan diaduk secara merata selama 10 menit. Kemudian dipanaskan selama 5 s/d 10 menit. Setelah itu adonan yang berbentuk gel digiling sehingga berbentuk mie yang dikukus terlebih dahulu sebelum disajikan dengan bumbu. Proses pembuatan mie yang sederhana ini memungkinkan mie dapat dibuat oleh masyarakat sebagai bahan pangan pengganti mie yang terbuat dari gandum. Adanya glukomanan juga membentuk tekstur kenyal pada mie yang umumnya disukai konsumen Indonesia. Selain itu manfaat glukomanan bagi tubuh sebagai salah satu makanan dietary fiber dan rendah kalori menjadikan mie yang terbuat dari tepung glukomanan ini sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi pangan alternatif yang sehat dan sesuai untuk penderita diabetes. Referensi Anonim. 2009. Pangan Lokal. [Terhubung berkala]. http://agoesman120.wordpress.com (11 Mei 2013). M. Alonso-Sande, dkk.2008. Glucomannan, a Promising Polysaccharides for Biopharmaceutical Purposes. Eur. J. Pharm. Biophar. Widjanarko, Simon Bambang. 2011. Efek Hidrogen Peroksida terhadap Sifat Fisiko Kimia Tepung Porang (Amorphophallus oncophyllus ) dengan Metode Maserase dan Ultrasonik. Jurnal Teknologi Pertanian XII. 12 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Selandia Baru: Potret Negara Maju Berbasis Pertanian Kesuksesan Selandia Baru sebagai Negara Petani dan Peternak semata-mata karena kesadaran masyarakat untuk mencintai potensi yang dimilikinya, serta didukung oleh kemudahan perizinan usaha yang menempati urutan ke-2 dari 195 negara sedunia. Negara subtropis yang memiliki kesan segar dan indah ini mempunyai kondisi geografis yang mirip dengan Indonesia. Selandia Baru, dikenal dengan nama New Zealand di mancanegara, memiliki hamparan lahan berbukit dan landai. Negara ini merupakan contoh nyata salah satu negara yang berhasil memajukan kehidupan petani dan peternak, serta sukses mengolah berbagai industri yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan. Selandia Baru memiliki luas wilayah kedaulatan seluas 268.680 km2 dengan jumlah populasi mencapai 4.430.400 jiwa. Negara ini terbagi menjadi dua pulau yaitu Utara dan Selatan dengan bentuk permukaan yang menyerupai pulau Sulawesi dan Jawa. Selandia Baru merupakan negara maju dengan kontribusi hasil pertanian, perternakan dan perkebunan sebesar 4.8% dari total Produk Domestik Bruto per kapita (CIA World Factbook 2012). Jika diteliti lebih lanjut persentase tersebut terlihat kecil, namun yang mengagumkan, jika dilihat dari persentase komoditi ekspor, produkproduk hasil pertanian, perikanan, perkebunan merupakan kekuatan utama dalam mendatangkan devisa. Hampir 50% komoditas ekspor Selandia Baru berasal dari industri pertanian yang diekspor ke negara-negara tetangga seperti Australia, Amerika, China, Jepang dan Inggris. Tabel 1. Perbandingan Antara Indonesia dan Selandia Baru Perbandingan Selandia Baru Indonesia Luas Negara 268.680 km 2 1.904.569 km 2 Luas Daratan 263.638 km 2 1.811.569 km 2 Luas Laut 5.642 km 2 930.000 km 2 Populasi 4.315.800 juta jiwa 240.271.522 juta jiwa PDB $ US 130,69 Triliun $ US 514,29 Triliun Persentase Produksi Sektor Agrikultur terhadap PDB 4.8% 14.90% Persentase Komponen Ekspor terhadap PDB 66% 30% Laju Inflasi 4% 18.3% Kemudahan Perizinan Usaha Urutan 2 dari 195 negara Urutan 128 dari 195 negara Sumber: Wijaya (2009) 13 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Peternakan Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian GettyImage Hampir 50% komoditas ekspor Selandia Baru berasal dari industri pertanian yang diekspor ke negara-negara tetangga seperti Australia, Amerika, China, Jepang dan Inggris. Negara ini memiliki hampir 13.000 peternakan sapi, baik skala kecil milik perorangan hingga yang besar. Hampir sepertiga luas negara merupakan daerah peternakan, sehingga tak heran ekspor produk susu menjadi salah satu pemasukan terbesar negara. Hampir semua peternakan menggunakan model peternakan padang rumput (ranch). Pengelolaan rumput dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh musim, jenis rumput, luas lahan, pemupukan dan faktor kesuburan tanahnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan padang rumput sudah diketahui secara luas oleh peternak karena dukungan infrastruktur dan hasil riset yang telah lama dilakukan. Metode peternakan untuk biri-biri, sapi potong maupun sapi perah tidak jauh berbeda dengan peternak sapi di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu dengan cara penggembalaan di padang rumput yang dimiliki oleh peternak yang dikelilingi oleh kawat yang dialiri listrik tegangan rendah. Hasil utama industri peternakan Selandia Baru terdiri dari daging berkualitas, bahan wol dari bulu domba, mentega, margarin, telur ayam, susu perah dan keju. Peternak di Selandia Baru hanya memiliki hari libur sebanyak 4 hari (Hari Raya Natal dan Paskah, Hari Buruh, dan Ulang Tahun Ratu Inggris) sehingga mereka bekerja hampir sepanjang tahun termasuk saat musim panas dan musim dingin. 14 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Perkebunan Harvesting GettyImage Perikanan GettyImage 15 Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian Zaitun, Apel, Anggur, dan Kiwi menjadi komoditas hortikultura yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Selandia Baru. Dengan memadukan potensi keindahan alamnya, petani perkebunan dan pemilik kebun menjadikan perkebunan mereka sebagai objek wisata. Banyak restoran yang menyajikan produk dengan bahan baku yang diambil langsung dari kebun mereka. Cara ini tentu saja menarik banyak wisatawan untuk berkunjung. Pemerintah Selandia Baru memiliki kebijakan yang ketat dalam sektor perikanan. Pemerintah menetapkan kuota terhadap hasil tangkapan nelayan lokal sebagai bentuk manajemen sumber daya kelautan, dan juga berbagai inspeksi dan karantina terhadap kapal asing yang beroperasi di perairan Selandia Baru untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebihan terhadap hasil laut dan satwa flora dan fauna asing yang mungkin terbawa dan menjadi hama pengganggu ekosistem kelautan dan darat. Pemerintah memberikan penyuluhan secara merata dan jelas kepada para petambak dan nelayan, dan juga memberlakukan kontrol harga perikanan yang ketat melalui policy recommended retail price, atau harga eceran resmi rata-rata dengan perbedaan kurang lebih 10%. Hal ini menjamin nelayan dan petambak tetap mendapatkan keuntungan dan berkiprah di bidangnya. Dari sekian banyak hasil laut dan tambak, produk hasil laut Selandia Baru yang terkenal ialah, kerang cangkang hijau, ikan salmon, tiram Pasifik asal Asia, dan Abalone. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Perekonomian Selandia Baru GettyImage Profil penulis: Riska Ayu Purnamasari @rizkuna Riska Ayu Purnamasari saat ini tengah menempuh pendidikan S2 di University of Tsukuba, Jepang. Riska menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor Jurusan Biokimia. Saat ini Riska juga aktif dalam Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa. Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian Perekonomian negara Selandia Baru bertumpu pada perdagangan hasil laut sejak abad ke-19. Pada awal tahun 1970-an Selandia Baru mengalami kemerosotan perekonomian yang sangat drastis, keadaan ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak yang berakibat pada berkurangnya permintaan dunia terhadap barang-barang primer Selandia Baru dan tersendatnya akses Selandia Baru ke dalam pasar Inggris setelah terbentuknya Uni Eropa. Standar kehidupan di Selandia Baru mengalami kejatuhan menjadi di bawah Australia dan Eropa Barat, dan pada tahun 1982 Selandia Baru memiliki pendapatan per kapita yang paling rendah di antara negara-negara maju yang disurvey oleh Bank Dunia. Sejak tahun 1984, pemerintah-pemerintah penerus di Selandia Baru berurusan dengan restrukturisasi ekonomi makro (yang pada mulanya dikenal sebagai Rogernomics dan kemudian berubah menjadi Ruthanasia), secara cepat mengubah Selandia Baru dari ekonomi yang sangat proteksionistis menjadi ekonomi pasar bebas. Walaupun Selandia Baru sangat bergantung kepada perdagangan internasional. Sehingga Selandia Baru rentan terhadap hargaharga komoditas internasional dan resesi global. Namun, sektor pertanian, hortikultura, perikanan, kehutanan, dan pertambangan, yang berasal dari sumber daya alam (SDA) unggulan di negara ini mampu menjadi industri penting yang mendunia. Referensi Anonim. 2008. Ekonomi New Zealand. [Terhubung Berkala]. http://newzeanando. wordpress.com/tentang-selandia-baru/ekonomi/ CIA World Factbook 2012. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ geos/nz.html Prabowo H. 2004. Pesona Peternakan New Zealand. [Terhubung Berkala]. http://koranpdhi. com/buletin-edisi4/edisi4-nz.htm Wijaya A. 2009. Belajar dari Kesuksesan Negara Selandia Baru. [Terhubung Berkala]. http:// bangkittani.com/pertanian-internasional/belajar-dari-kesuksesan-negara-selandia-baru/ 16 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Potensi Ubi Hutan sebagai Alternatif Industrialisasi dan Ketahanan Pangan Lokal 17 GettyImage Masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya yang berada di daerah Sultra Kepulauan tentu tidak merasa asing dengan buah Kolope. Tanaman yang dikenal di Indonesia sebagai tanaman Ubi Hutan atau Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) yang termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Tanaman ini tergolong tanaman umbiumbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Ubi hutan menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Tanaman ini tumbuh liar di hutanhutan. Selama masa pertumbuhan tidak membutuhkan perawatan atau penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkosumsinya melakukan pengolahan terhadap ubi hutan di saat musim kemarau panjang. Ketika kemarau datang, masyarakat pergi ke hutan mencari ubi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan. Meskipun demikian, terdapat pula masyarakat mengonsumsi ubi hutan sebagai makanan khas meskipun tidak mengalami kemarau panjang ataupun krisis pangan. Pengolahan yang baik terhadap ubi hutan dapat membuatnya bertahan lama hingga dapat dikonsumsi lagi pada tahun berikutnya. Sehingga tanaman ini menjadi sangat berpotensi sebagai alternatif ketahanan pangan nasional. Kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara mengolah ubi hutan dengan cara yang berbeda. Di Kabupaten Muna, setelah ubi hutan diiris tipis dan dijemur dalam beberapa hari hingga kering seperti kerupuk, selanjutnya dilakukan perendaman dalam air garam (air laut). Pada daerah Bau-Bau khususnya di pedesaan, Kolope (ubi hutan) yang telah diiris dan dijemur hingga kering diaduk dalam wadah yang berisi air laut selama setengah hari. Setelah itu, ubi hutan ditiriskan dan dikeringkan secara sederhana dengan bantuan angin. Sedangkan di Kabupaten Konawe Selatan, ubi hutan yang dikenal dengan sebutan O Wikoro diolah dengan menaruh ubi hutan yang telah dikupas ke dalam jaring yang dikaitkan pada sebuah sungai yang mengalir selama seharian. Kemudian hasilnya diiris tipis-tipis lalu dikeringkan dengan bantuan matahari. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

Artikel : Potensi Ubi Hutan sebagai Alternatif Industrialisasi dan Ketahanan Pangan Lokal Jumlahnya yang banyak dan mudah ditemui di hutan secara liar membuat pengolahannya di masyarakat sungguh beragam. Tidak hanya sebatas pada makanan pokok saja, tetapi juga dapat diolah dalam bentuk makanan khas daerah, dan kripik instan berbagai rasa. Namun, hasil survey penelitian diperoleh bahwa perendaman memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kadar racun dalam ubi hutan (Aman, 2007). Kadar racun yang dimaksud adalah zat toksik yang dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida (HCN). Efek terbentuknya HCN yang di rasakan apabila kita memakan ubi hutan yang tidak sesuai dengan anjuran yaitu tidak nyaman ditengorokan, diikuti pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan. Bahkan dalam jumlah yang sangat besar dapat menyebabkan kematian. Tantangan inilah yang selama ini menyebabkan kurangnya ketertarikan masyarakat terhadap potensi ubi hutan. Padahal selain jumlahnya yang banyak dan mudah ditemui di hutan secara liar, pengolahannya di masyarakat cukup beragam. Tidak hanya sebatas pada makanan pokok saja, tetapi juga dapat diolah dalam bentuk makanan khas daerah, kripik instan berbagai rasa, dan berbagai inovasi pangan lainnya. Jika pemerintah mampu mengembangkan jenis tanaman ini, tentu akan menjadi ikon daerah yang akan menjadi alternatif industrilisasi pangan lokal. Profil penulis: Maulana Jayadin @Maulana_Jayadin Maulana adalah Mahasiswa Universitas Haluoleo. Maulana senang menulis. Beberapa tulisannya dipubilkasikan secara online pada Lingkar Studi Ilmiah Penalaran FKIP UHO. Saat ini Maulana juga aktif tergabung dalam Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa. Referensi Aman, La Ode. 2007. Efektifitas Penjemuran Dan Perendaman Dalam Air Tawar Untuk Menurunkan Kandungan Toksik HCN Ubi Hutan (Dioscorea Hispida Dennst). UNG: Gorontalo. Diakses dari: http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/nj/article/download/42/13. Departemen Pertanian. 2013. Manfaat Umbi Gadung Sebagai Pangan Alternatif, Pestisida Nabati Dan Pupuk Organik Cair. Diakses dari: http://cybex.deptan.go.id/lokalita/ manfaatumbi-gadung-sebagai-pangan-alternatif-pestisida-nabati-dan-pupuk-organik-cair. Wikipedia. 2013. Diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/gadung. 18 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013

19 Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013