PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya,

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang curah hujannya cukup

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

PERBEDAAN LAJU INFILTRASI PADA TANAH HUTAN DAN BUKAN HUTAN

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi dan pusat pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

Analisis Dampak Kawasan Resapan Terhadap Kebutuhan Air Bagi Masyarakat Di Kota Surakarta Oleh : Bhian Rangga JR K Prodi Geografi FKIP UNS

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN. kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian. Banjir merupakan bencana

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

PENGARUH PENAMBAHAN KOMPOS PADA TANAH UNTUK MENGURANGI GENANGAN DI KELURAHAN BULAK, KECAMATAN KENJERAN, KOTA SURABAYA

menyebabkan kekeringan di musim kemarau,

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

ABSTRAK PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

Pemanfaatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan Perhitungan Permeabilitas Untuk Setiap Titik Lubang Resapan di Rawa Makmur Permai Bengkulu

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

EFEKTIFITAS SUMUR RESAPAN DALAM MEMPERCEPAT PROSES LAJU INFILTRASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

Surface Runoff Flow Kuliah -3

PENENTUAN BESARNYA LAJU INFILTRASI AIR OLEH TANAH DENGAN METODE SINGLE RING INFILTROMETER. ABSTRACT

Seva Darwia, Ichwana, Mustafril Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

Studi Campuran Tanah dan Kompos sebagai Media Resapan pada Daerah Genangan

KONSEP DRAINASE DI LAHAN RAWA Oleh: Rusdi HA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

Transkripsi:

PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS SKRIPSI ALDY BAGUS PRAYOGA 1412147 DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN MEDAN 219

PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS SKRIPSI ALDY BAGUS PRAYOGA 1412147 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN MEDAN 219

PERNYATAAN ORISINALITAS Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Aldy Bagus Prayoga NIM : 1412147 Judul Skripsi : Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Medan, Agustus 219 Aldy Bagus Prayoga NIM 1412147 ii

ABSTRACT ALDY BAGUS PRAYOGA Implementation of Rooter System Technology to improve water absorption on vulnerable area of flood in Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE City development every year generate changes in land use. This lead to increased surface flow and decreased water quantities become absorbed into the ground and turn into waterlogged. Rooter System Technology is a technology adapted from improvement of infiltration wells and soil biopori implementation that are used to hold and absorb water into the ground through 2 meters depth inserted pipe into the ground with 45 degrees slope. The purpose of this research is to compare the result of water absorbtion on vulnurable area of flood before and after implementation rooter system technology. The method that used in this research are observation, data collection and data analysis. From the observation that have been done, there is significant difference result between land that using rooter system technology and the ordinary land. The land that does not using rooter system technology need approximately 3 minutes to absorb m³ of water. At the same time, the land that using rooter system technology need approximately 15 minutes to absorb m³ of water. Therefore, implementation of rooter system technology is three times faster to accelerate the absorption of the flooding. Keyword: Flood, Water Absorbtion, Soil, Rooter System Technology iii

ABSTRAK ALDY BAGUS PRAYOGA: Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE Pertumbuhan kota setiap tahun menyebabkan perubahan pada tata guna lahan. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan menurunnya kuantitas air yang meresap kedalam tanah yang menyebabkan terjadinya genangan air. Teknologi rooter system merupakan sebuah teknologi yang diadaptasi dari pengembangan penerapan sumur resapan dan biopori tanah yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air kedalam tanah melalui pipa yang ditanam sedalam 2 meter dengan kemiringan 45. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil penyerapan air pada lahan sebelum menggunakan teknologi rooter system dan sesudah menggunakan teknologi rooter system. Metode yang digunakan adalah pengamatan, pengambilan data, dan analisis data. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil perbandingan yang sangat signifikan antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dan lahan yang menggunakan teknologi rooter system. Lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system rata-rata membutuhkan waktu 3 menit untuk menyerap m³ air. Sedangkan lahan yang menggunakan teknologi rooter system rata-rata membutuhkan waktu 15 menit untuk menyerap m³ air. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemasangan teknologi rooter system 3 kali lebih cepat untuk mempercepat penurunan genangan air. Kata kunci: Genangan air, Penyerapan air, Tanah, Teknologi rooter system iv

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bah Birung Ulu, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada tanggal 29 Juni 1996. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Edy Prayetno dan Ibu Mulia Ningsih. Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 95178 Bah Birung Ulu pada tahun 22 28, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Islam Bah Birung Ulu pada tahun 28 211, dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Perguruan Taman Siswa Cabang Pemantangsiantar pada tahun 211 214. Pada tahun 214, penulis lulus di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih minat Departemen Budidaya Hutan. Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis merupakan anggota organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Pelatihan Dasar dan Pengkaderan Rimbawan pada tahun 215. Penulis juga telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan pada tahun 216. Pada tahun 217, penulis menjadi Asisten Praktikum Ekologi Hutan dan menjadi Asisten Koordinator Praktikum Ekologi Hutan pada tahun 218. Pada bulan Januari - Februari 218, penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Tahun 218 penulis memulai penelitian Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas di bawah bimbingan Dr. Budi Utomo, S.P., M.P. dan Afifuddin Dalimunthe, S.P., M.P. v

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya penulis masih diberikan pengetahuan, pengalaman, kekuatan dan kesempatan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Utomo, S.P., M.P. dan Afifuddin Dalimunthe, S.P., M.P. selaku komisi pembimbing serta Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Si. dan Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si. selaku dosen penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang teristimewa Ayahanda Edy Prayetno, Ibunda Mulia Ningsih serta Abangda Joko Ali Permady dan Adinda Sukmawanty Nur Azizah yang selalu memberikan doa, nasehat, semangat, dan kasih sayang serta dukungan moril dan materil kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada sahabat istimewa Suryani Dwi Cahya, Muhammad Taufiq, Adam Dominggus Alfiandi Simanjuntak, Benny Raja Bonar serta seluruh teman-teman di Fakultas Kehutanan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kelurahan Timbang Deli yang telah memberi ijin sebagai lokasi penelitian dan atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat ke berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih Medan, Agustus 219 Aldy Bagus Prayoga vi

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i PERNYATAAN ORISINALITAS... ii ABSTRACT... iii ABSTRAK... iv RIWAYAT HIDUP... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Banjir Beserta Dampak Banjir... 3 Faktor Terjadinya Banjir... 4 Pengendalian Banjir... 5 Daerah Resapan Air... 6 Sumur Resapan... 7 Teknologi Rooter System... 7 Manfaat Teknologi Rooter System... 9 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 1 Alat dan Bahan Penelitian... 1 Prosedur Penelitian... 1 Siapkan Alat dan Bahan... 1 Pemasangan Rooter System... 11 Penentuan Titik di Lokasi... 11 Pembuatan Lubang... 11 Pemasangan Pipa... 12 Cara Kerja Teknologi Rooter System... 12 Pengamatan... 13 Analisis Data... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi... 14 Pengamatan... 16 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 21 Saran... 21 vii

DAFTAR PUSTAKA... 22 LAMPIRAN... 24 viii

DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Akar tunggang yang menjadi inspirasi pada pembuatan teknologi rooter system... 8 2. Pipa yang akan digunakan untuk teknologi rooter system... 1 3. Sketsa pemasangan dan tata letak lokasi pipa untuk pemasangan teknologi rooter system... 11 4. Proses pembuatan lubang rooter system dengan menggunakan mesin bor modifikasi (kiri), mesin bor manual (kanan)... 11 5. Pemasangan pipa 2 meter untuk penerapan teknologi rooter system... 12 6. Gambaran tekstur tanah yang kurang mampu untuk menyerap air dipermukaan tanah di lokasi penelitian... 15 7. Hasil perbandingan tinggi genagan air pada waktu yang sama antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system... 2 ix

DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Sifat fisik tanah pada kedalaman 2 cm... 14 2. Sifat fisik tanah pada kedalaman 1 cm... 14 3. Hasil pengamatan penurunan volume air tanpa pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas... 16 4. Hasil pengamatan penurunan volume air dengan pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas... 18 x

DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman 1. Pengamatan penurunan volume air di lokasi penelitian... 24 2. Dokumentasi penelitian... 26 xi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Medan berada di dataran rendah (2,5 5 mdpl) dengan kemiringan tanah yang bervariasi antara 3% (cenderung datar) dan dilalui oleh 4 (empat) sistem sungai: Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Kera, dan Sungai Percut Sei Tuan. Keempat sungai ini memerlukan pengelolaan drainase secara baik untuk mengatasi permasalahan banjir dan genagan air pada musim hujan. Kota Medan memiliki hari hujan rata-rata perbulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan perbulan berkisar antara 211,67 mm 23,3 mm. Kondisi saat ini menunjukkan bahwasannya terdapat 9 titik kawasan rawan banjir dengan total luas kawasan rawan banjir di Kota Medan seluas 1.782 Ha. Salah satu faktor penyebab banjir di Kota Medan adalah banyaknya titik-titik genagan yang merupakan Daerah Cekungan sehingga sulit untuk mengalirkannya dengan konsep drainase yang sederhana (Perda, 215). Pertumbuhan kota setiap tahun menyebabkan perubahan tata guna lahan. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya aliran permukaan langsung dan menurunnya kuantitas air yang meresap ke dalam tanah, sehingga terjadi banjir pada musim hujan. Selama ini, konsep drainase yang banyak diterapkan di kotakota adalah sistem drainase pengaturan kawasan. Konsep ini pada prinsipnya menyebutkan bahwa seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai. Filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai mengakibatkan sungai akan menerima beban dari anak-anak sungai yang melampaui kapasitasnya, sementara tidak banyak air yang dapat meresap ke dalam tanah (Wahyuningtyas et al., 211). Persoalan banjir di kota Medan ternyata kini sudah berulang setiap tahun. Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan, dan tidak terhitung dana yang telah dikeluarkan melalui berbagai proyek penanggulangan banjir di kota ini, namun sampai sekarang banjir masih saja menghantui masyarakat kota Medan. Hal ini disebabkan karena banjir yang terjadi sekarang tidak hanya disebabkan karena jika hujan turun di hulu sungai Deli, hujan di kota Medan pun bisa menyebabkan banjir

2 dan genangan-genangan air di mana-mana. Begitu pula sejumlah kawasan permukiman padat penduduk yang menjadi langganan rendaman banjir, terutama kalau hujan deras mengguyur di bagian hulu sungai-sungai yang melintas kota Medan (Natalia, 214). Untuk menuntaskan banjir, pihak Pemerintah Kota Medan pernah memakai jasa tim konsultan dari Belanda untuk menemukan jalan keluar untuk air yang selama ini membanjiri kota Medan. Dari penelitian tersebut, antara lain diidentifikasi masalah sedimentasi. Penelitian ini lebih difokuskan pada banjir di daerah Kelurahan Timbang Deli yang terletak di jalan Pertahanan Medan Amplas dan bisa juga di akses melalui jalan Balai Desa. Kelurahan Timbang Deli tepatnya berada di daerah perbatasan antara kota Medan dengan Kabupaten Deli Serdang sehingga pembangunan industri-industri besar tumbuh dengan sangat pesat yang menyebabkan pembuatan drainase yang kurang baik. Teknologi Rooter System adalah teknologi yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah melalui pipa yang dirancang seperti akar pohon. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian dengan tujuan utama dari teknologi rooter system ini adalah mempercepat masuknya air ke dalam tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih cepat masuk ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur masyarakat. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil penyerapan air pada lahan yang menggunakan teknologi rooter system dan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai seberapa penting teknologi rooter system untuk pengendalian dan mengurangi banjir.

3 TINJAUAN PUSTAKA Banjir Beserta Dampak Banjir Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktivitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan dapat menimbulkan suatu bencana yang mengancam keamanan. Pada umumnya, banjir selalu terkait dengan kondisi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan sistem drainasenya. Banjir yang semula musibah berubah menjadi hal yang biasa, karena kerap kali terjadi dan bahkan menjadi rutinitas yang terjadi setiap musim hujan. Salah satu faktor yang menyebabkan banjir dan menurunnya permukaan air tanah di kawasan perumahan adalah proses alih fungsi lahan. Proses alih fungsi lahan dari lahan pertanian atau hutan ke perumahan akan dapat menimbulkan dampak negatif, apabila tidak diikuti oleh upaya-upaya menyeimbangkan kembali fungsi lingkungan. Disisi lain dipicu oleh pengembangan fisik bangunan rumah yang terlalu pesat ke arah horizontal yang menyebabkan tidak adanya lagi area terbuka sebagai resapan air, sehingga air yang meresap kedalam tanah menjadi kecil dan memperbesar volume aliran air permukaan (Parhusip, 213). Selama periode tahun 1991 sampai 1995, bencana banjir di Indonesia telah menimbulkan kerugian triliunan rupiah dengan korban jiwa sebanyak 4.246 meninggal, 6.635 luka-luka, dan sekitar 7 juta menderita serta 324.559 rumah mengalami kerusakan. Perkiraan kerugian tersebut belum memperhitungkan bencana banjir dalam skala kecil, kerugian immaterial dan kerugian tidak langsung yang tidak sedikit jumlahnya (Rosyidie, 213). Kota Medan dilalui oleh 3 (tiga) sungai besar yaitu Sungai Belawan, Sungai Deli, dan Sungai Denai, yang tersebar di wilayah Kota Medan. Bencana banjir di Kota Medan terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 211 sampai tahun 216 terdapat sekitar 8 kejadian bencana banjir di Kota Medan. Akibat bencana tersebut, 17 orang meninggal, 5.15 orang mengungsi, 1.873 rumah terendam banjir serta kerusakan fasilitas umum lainnya. Berdasarkan hasil analisis SIG, seluruh kecamatan di Kota Medan memiliki kategori areal rawan banjir dengan kelas sangat tinggi berjumlah rata-rata 31,7% (Tampubolon, 218).

4 Faktor Terjadinya Banjir Banjir dapat disebabkan oleh faktor alam, meliputi curah hujan yang tinggi, kapasitas alur sungai yang tidak mencukupi, aliran anak sungai yang tertahan oleh aliran induk sungai, terjadinya akumulasi debit puncak sungai induk dan anak sungai di pertemuan sungai pada waktu yang sama, terjadi pembendungan air sungai di muara akibat pasang dari laut, adanya penyempitan alur sungai atau ambang alam, adanya hambatan aliran oleh faktor geometri alur sungai berupa belokan-belokan sungai, endapan material di alur sungai dan kemiringan dasar sungai yang landai, yang memungkinkan terjadinya agradasi dasar sungai juga penyebab alamiah yang menimbulkan banjir. Banjir juga dapat disebabkan oleh perilaku manusia. Misalnya aktifitas manusia mengembangkan daerah pemukiman di sepanjang tepi alur sungai, adanya perubahan tata guna lahan di Daerah Pengaliran Sungai (DPS). Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk karena laju pertumbuhan penduduk dan migrasi yang cukup besar. Lahan-lahan yang sebelumnya menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dijadikan area permukiman dan berbagai fasilitas lain. Letak geografis juga sangat mempengaruhi keadaan lingkungan suatu daerah. Faktor ini menyebabkan keuntungan dan kerugian bagi penduduk yang bertempat tinggal pada daerah tersebut. Salah satunya yang banyak merugikan manusia pada saat ini adalah bencana banjir yang secara matematis tidak dapat terelakkan yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan. Bantaran sungai yang dimanfaatkan sebagai tempat permukiman dan ditanami tanaman keras dapat pula menjadi faktor penyebab banjir (Natalia, 214). Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir pada suatu daerah adalah sebagai berikut: perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir. Terjadinya banjir juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya. Di wilayah perkotaan,

5 ruang terbuka hijau dan taman kota luasnya masih banyak yang dibawah luas yang ideal untuk sebuah kota, kini semakin berkurang terdesak oleh permukiman maupun penggunaan lain yang dianggap mampu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi (Kodoatie dan Sjarief, 26). Pengendalian Banjir Hutan adalah salah satu cara yang paling efektif dalam mencegah terjadinya erosi dan banjir. Hal ini dikarenakan vegetasi-vegetasi yang tumbuh rapat di atas permukaan tanah dalam area hutan tersebut. Untuk pencegahan erosi dan banjir paling sedikit 7% tanah harus tertutup vegetasi. Pengaruh vegetasi terhadap erosi dan banjir antara lain: (1) menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah; (2) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi; (3) penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi (Hardjowigeno, 1987). Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi, lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata ruang wilayah dan kota serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya memperkecil kemungkinan dampak negatif yang terjadi serta memanfaatkan potensi dan peluang yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat setempat (Rosyidie, 213). Secara sederhana sumur resapan diartikan sebagai sumur gali yang berbentuk lingkaran. Sumur resapan berfungsi untuk menampung dan meresapkan air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah baik melalui atap bangunan, jalan dan halaman (Bisri dan Prastya, 29). Salah satu upaya untuk menanggulangi banjir yaitu dengan cara membuat sumur resapan. Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air tanah ke permukaan. Dengan demikian konstruksi

6 dan kedalamannya berbeda. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah. Sumur air minum harus digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah (Kusnaedi, 2). Daerah Resapan Air Daerah permukiman sebenarnya sangat tergantung dengan sumber daya alam berupa air yang diperlukan untuk kelangsungan hidup orang banyak, bahkan semua makhluk hidup yang berada di suatu kawasan tersebut. Keperluan air di daerah permukiman semakin lama akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Namun, air permukaan secara kuantitatif semakin lama ketersediaannya semakin terbatas dan secara kualitatif semakin lama semakin menurun (Siswanto, 21). Selama ini penanaman pohon merupakan salah satu kegiatan untuk mengurangi banjir. Tetapi untuk pemukiman yang terus berkembang, menjadikan lahan untuk penanaman pohon tidak mencukupi dalam pengendalian banjir. Salah satu solusi yang memungkinkan untuk mengurangi pasokan air banjir ini adalah dengan pembuatan sumur resapan. Daerah resapan air adalah tempat dimana air hujan dapat masuk ke dalam tanah dan selanjutnya mengisi atau menambah cadangan air tanah. Tidak semua lokasi mempunyai kemampuan yang sama dalam meresapkan air sehingga pemilihan lokasi pembuatan sumur resapan harus dilakukan secara sistematis dan terarah berdasarkan kajian ilmiah sesuai dengan tingkat penyerapan airnya (BLI, 213). Secara umum peresapan air merupakan proses masuknya air hujan ke dalam tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler dan gaya gravitasi dengan cara infiltrasi maupun perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. Dengan pengaruh gaya gravitasi air hujan akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan gaya kapiler akan mengalirkan air tersebut ke atas ke bawah dan ke arah horizontal. Sedangkan laju peresapan air adalah kecepatan masuknya air hujan ke dalam tanah selama hujan berlangsung karena faktor alam maupun berkat adanya campur tangan manusia. Laju peresapan air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tekstur tanah, bahan organik tanah, kepadatan tanah, jenis dan jumlah vegetasi (Asdak, 214).

7 Sumur Resapan Sumur resapan pada umumnya dianggap efektif untuk mengurangi limpasan permukaan jika dibuat pada tanah yang permeabilitasnya tinggi. Tampilan bentuk sumur resapan pada umumnya dibuat tanpa tinjauan estetika, sehingga apabila digunakan pada taman yang relatif luas tidak terasakan dominasi kehadirannya. Dalam kondisi dimana tekstur tanah cukup padat dan masif yang berarti volume pori relatif kecil dan permeabilitasnya rendah, maka pemanfaatan sumur resapan sebenarnya masih sangat berarti dalam mengurangi volume limpasan permukaan. Hal ini tentunya jika tinjauan dilakukan terhadap besarnya volume air hujan yang dapat ditampung sementara (Kustamar, 28). Beberapa alasan kenapa lubang resapan menjadi alternatif dalam pengelolaan air dikawasan urban adalah: (1) Daerah yang sempit sehingga tidak memungkinkan untuk pembuatan danau-danau buatan; (2) Praktis serta dapat dibuat oleh siapa saja; (3) Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi tanah; (4) Metode murah meriah serta dapat menumbuhkan semangat gotong royong di setiap lingkungan daerah urban. Pengambilan air tanah yang tidak diimbangi dengan memasukkan air hujan ke dalam tanah akan berakibat pada berkurangnya ketersediaan air tanah. Apalagi pada daerah yang baru terbangun, dengan mengubah ground cover dari bahan yang tidak ramah pada sumberdaya air, dari sawah atau tegalan menjadi permukiman dengan segala bentuk bahan perkerasan halamannya, membuat debit air larian meningkat (Yohana et al., 217). Teknologi Rooter System Teknologi Rooter System adalah teknologi yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah melalui pipa dimana pipa tersebut ditanamkan kedalam tanah. Teknologi rooter system hanya menampung air hujan bukan air limbah, sehingga teknologi rooter system merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Teknologi rooter system adalah teknologi yang diadopsi dari sistem perakaran tumbuhan. Akar pada umumnya memiliki fungsi untuk penyerapan air dan unsur hara yang terlarut di dalam tanah. Akar juga memiliki tugas untuk memperkuat berdirinya tumbuhan serta terkadang sebagai tempat untuk menimbun makanan. Saat biji berkecambah, akar lembaga atau calon akar memperlihatkan

8 sistem perakaran yang berbeda antara tumbuhan dikotil dan monokotil. Akar pada tumbuhan dikotil merupakan akar tunggang. Sedangkan akar pada tumbuhan monokotil merupakan akar serabut. Pohon Puspa (Schima wallichi) memiliki bentuk akar menjari diagonal kebawah dan bergelombang, pola perakaran primer yang tumbuh secara horizontal kemudian bercabang dengan kemiringan 45 dari bidang rata tanah dan ditumbuhi akar sekunder yang tumbuh halus dengan pertumbuhan mengelilingi setiap akar primernya. Akar puspa memiliki warna coklat muda menuju orange dengan kulit bersisik yang tumbuh menjari dan bergelombang dengan diameter akar mencapai 1,16 cm. Perakaran sudah mulai terdapat pada kedalaman 1 cm dari permukaan tanah. Dalam penggalian akar hanya ditemukan hingga pada kedalaman 193 cm, pada kedalaman ini akar sudah tidak ditutupi tanah lagi atau bisa disebut menggantung (Sitanggang, 216). Gambar 1. Akar tunggang yang menjadi inspirasi pada pembuatan teknologi rooter system Teknologi Rooter System ini merupakan modifikasi dari sumur resapan dan biopori tanah. Dalam pembuatan teknologi rooter system perlu diperhitungkan beberapa faktor dimana faktor yang diperhitungkan sama dengan faktor yang diperhitungkan dalam pembuatan sumur resapan, antara lain sebagai berikut : a. Faktor iklim: Semakin besar curah hujan di suatu wilayah berarti semakin besar atau banyak sumur resapan yang diperlukan. b. Kondisi air tanah: Pada kondisi permukaan air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan suplai air melalui sumur resapan.

9 c. Kondisi tanah: Sifat fisik yang langsung berpengaruh terhadap besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tekstur dan pori-pori tanah. Tanah berpasir dan porus lebih mampu merembeskan air hujan dengan cepat. d. Kondisi sosial ekonomi masyarakat: Perencanaan sumur resapan harus memperhatikan kondisi sosial perekonomian masyarakat. e. Ketersediaan bahan: Perencanaan konstruksi sumur resapan harus mempertimbangkan bagaimana ketersediaan bahan-bahan yang ada di lokasi (Kusnaedi, 211). Manfaat Teknologi Rooter System Teknologi rooter system adalah sebuah teknologi yang di adaptasi dari pengembangan penerapan sumur resapan dan biopori tanah yang pada dasarnya memiliki bentuk dan proses kerja yang hampir sama. Maka dari itu, teknologi rooter system mempunyai kegunaan yang hampir sama dengan sumur resapan dan biopori tanah, dimana kegunaannya sebagai berikut : 1. Pengendali banjir. Sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga terhindar dari penggenangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. 2. Konservasi air tanah. Sumur resapan sebagai konservasi air tanah, diharapkan agar air hujan lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumursumur atau mata air. Dengan adanya perubahan tata guna tanah tersebut akan menurunkan kemampuan tanah untuk meresapkan air. Hal ini mengingat semakin banyaknya tanah yang tertutupi tembok, beton, aspal dan bangunan lainnya yang tidak meresapkan air. 3. Menekan laju erosi. Dengan adanya penurunan aliran permukaan maka laju erosi pun akan menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian adanya sumur resapan yang mampu menekan besarnya aliran permukaan berarti dapat menekan laju erosi (Kusnaedi, 2).

1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 3 lokasi berbeda pada lahan yang kurang mampu menyerap air milik warga di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 218. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pipa paralon berdiameter 4 inchi dengan panjang 2 m sebanyak 14 pipa, mesin bor tanah yang telah di modifikasi, mesin genset 7 kva, bor pelubang, cangkul, galian tanah, palu, meteran, dan kamera. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain lahan yang rentan terdampak banjir, dimana lahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ukuran luas lahan sebesar 2 m x 15 m, kriteria dari pada lahan tersebut yaitu lahan yang tidak mampu untuk menyerap air yang ada di permukaan tanah. Prosedur Penelitian 1. Siapkan Alat dan Bahan Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pipa paralon 4 inchi dengan panjang 2 m dimana sisi dari pada pipa tersebut dilubangi 4 arah mata angin dan jarak antar lubang sebesar 1 cm dengan menggunakan mesin bor pelubang berdiameter 1 mm sebanyak 14 pipa, mesin bor tanah yang telah di modifikasi, mesin genset 7 kva, cangkul, galian tanah, ember, palu. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain lahan yang rentan terdampak banjir, dimana lahan yang digunakan dalam penelitian ini memiki ukuran luas lahan sebesar 2 m x 15 m dengan kriteria lahan kurang mampu menyerap air. Pipa yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Pipa yang akan digunakan untuk teknologi rooter system

11 2. Pemasangan Rooter System 1. Penentuan Titik di Lokasi Pemasangan teknologi rooter system di lokasi penelitian dilakukan dengan menentukan suatu titik lokasi pemasangan dengan 14 pipa yang akan digunakan. Jarak antara satu titik dengan titik lainya sejauh 5 meter dengan penentuan titik mengelilingi satu petak lahan tersebut berdasarkan kondisi lahan yang paling sering terkena banjir dengan penentuan sudut yang tepat. Rekayasa peletakan pipa dapat dilihat pada gambar 3. 2 m 15 m Gambar 3. Sketsa pemasangan dan peletakan pipa untuk pemasangan tekologi rooter system 2. Pembuatan Lubang Pembuatan lubang teknologi rooter system pada tanah dapat menggunakan cara manual dan juga memakai mesin bor tanah yang telah dimodifikasi. Namun untuk mempermudah, mempercepat, dan menghasilkan lubang yang bagus, pembuatan lubang harus menggunakan mesin bor. Dalam penelitian ini, proses pembuatan lubang tanah menggunakan mesin bor yang telah dimodifikasi dengan kemiringan 45 dengan kedalaman 2 meter dan diameter lubang 4 inchi. Pembuatan lubang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Peroses pembuatan lubang rooter system dengan menggunakan Mesin bor modifikasi (kiri), mesin bor manual (kanan).

12 Proses pembuatan lubang teknologi rooter system dengan menggunakan mesin bor tanah yang telah dimodifikasi sangat disarankan. Hal ini dikarenakan perbandingan waktu antara penggunaan bor tanah manual dengan mesin bor tanah yang telah dimodifikasi sangat signifikan. Dalam proses pengeboran tanah ini sering terjadi kesalahan-kesalahan yang menyebabkan longsornya lubang pada tanah akibat dari pengeboran dengan tingkat kemiringan 45. Longsor ini menyebabkan lubang tanah tidak sesuai dengan ukuran pipa sehingga pipa yang digunakan untuk teknologi rooter system tidak dapat masuk pada lubang yang disediakan. Maka dari itu, proses pembuatan lubang ini harus dikerjakan dengan keterampilan dan tanah ketelitian agar proses pemasangan pipa menjadi mudah. 3. Pemasangan Pipa Pemasangan pipa dilakukan dengan cara memasukan pipa paralon dengan panjang 2 meter dan diameter 4 inchi yang sekeliling sisinya telah dilubangi ke dalam tanah yang telah di bor dengan posisi kemiringan 45. Kemudian, bagian lubang pipa yang berada di permukaan tanah ditutup dengan menggunakan penutup yang terbuat dari bahan plastik yang sudah dilubangi untuk mencegah masuknya sampah atau kotoran lain yang dapat menyumbat. Pemasangan pipa dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Pemasangan pipa sepanjang 2 meter untuk penerapan teknologi rooter system 3. Cara Kerja Teknologi Rooter System Cara kerja teknologi rooter system ini adalah dengan menampung serta mengalirkan air masuk ke dalam tanah. Teknologi rooter system ini hanya menampung air hujan dan air genangan, bukan air limbah serta air yang lainnya. Air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat lebih rendah. Dengan mengacu

13 pada prinsip ini, titik teknologi rooter system ini sebaiknya dibuat pada lokasi yang lebih rendah sehingga air dapat berkumpul pada titik-titik rooter system. 4. Pengamatan Metode yang digunakan adalah metode visual yaitu dengan cara melihat dan mengamati bagaimana pengaruh penggunaan teknologi rooter system dengan tidak menggunakan rooter system terhadap daya serap air di lapangan. Adapun pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian, tinggi permukaan genangan air dilokasi penelitian, lama waktu tanah menyerap air yang tidak menggunakan teknologi rooter system, lama waktu tanah menyerap air yang menggunakan teknologi rooter system. Pengamatan tinggi permukaan genangan air dilakukan pada selang waktu 15 menit dengan perlakuan lahan menggunakan terpal plastik yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan genangan air. 5. Analisis Data Adapun tujuan dari pada analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu untuk melihat seberapa cepat air yang masuk ke dalam tanah dengan menggunakan teknologi rooter system dan seberapa cepat air yang masuk ke dalam tanah dengan tidak menggunakan teknologi rooter system. Rumus yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Volume = Panjang x Lebar x Tinggi

14 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitian Pemasangan teknologi rooter system ini dilakukan di 3 lokasi yang berbeda yaitu Lingkungan II, Lingkungan V, dan Lingkungan VII di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan, Sumatera Utara. Berdasarkan pengamatan dan pengambilan data, lokasi merupakan daerah yang memiliki intensitas curah hujan tinggi, pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah serta tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air sehingga seringnya terjadi banjir yang membuat masyarakat sekitar khususnya petani mengalami kerugian. Masalah banjir di lokasi tersebut sudah sangat sering terjadi yang disebabkan lahan yang terbatas untuk proses irigasi atau pembuangan air. Tabel 1. Sifat Fisik Tanah pada kedalaman 2 cm No. Parameter Lokasi ke-i Lokasi ke-ii Lokasi ke-iii 1. Tekstur Lempung Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berpasir 2. Bulk Density 1,19 g/cm³ 1,16 g/cm³ 1,14 g/cm³ 3. Porositas 55% 56% 56% 4. Permeabilitas 8,15 cm/jam 7,26 cm/jam 7,38 cm/jam 5. Kriteria Agak cepat Agak cepat Agak cepat Tabel 2. Sifat Fisik Tanah pada kedalaman 1 cm No. Parameter Lokasi ke-i Lokasi ke-ii Lokasi ke-iii 1. Tekstur Liat Liat Liat Berpasir 2. Bulk Density 1,42 g/cm³ 1,34 g/cm³ 1,41 g/cm³ 3. Porositas 46% 49% 46% 4. Permeabilitas 2,29 cm/jam 1,91 cm/jam 2,42 cm/jam 5. Kriteria Sedang Agak lambat Sedang Keterangan : Lokasi I (Lingkungan II, Timbang Deli) Lokasi II (Lingkungan V, Timbang Deli) Lokasi III (Lingkungan VII, Timbang Deli) Porositas Permeabilitas 1% (sangat halus) 8-6% (porous) 6-5% (baik) 5-4% (kurang baik) 4-3% (jelek) <3% (sangat jelek) <,125 (sangat lambat),125-,5 (lambat),5-2, (agak lambat) 2,-6,25 (sedang) 6,25-12,5 (agak cepat) 12,5-25, (cepat) >25, (sangat cepat) Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada lokasi I, II, dan III untuk kedalaman 2 cm dan 1 cm memiliki perbedaan kriteria permeabilitas. Adapun ketiga lokasi pada kedalaman 2 cm memiliki kriteria permeabilitas agak cepat.

15 Sedangkan pada kedalaman 1 cm, lokasi I dan II memiliki kriteria sedang dan pada lokasi II memiliki kriteria agak lambat. Jenis dan kondisi tanah di lokasi penelitian sangat berperan dalam upaya peresapan air. Kawasan resapan air merupakan tempat meresapnya air hujan ke dalam tanah yang selanjutnya menjadi air tanah. Kondisi yang sangat berpengaruh terhadap laju peresapan air adalah sifat fisik tanah. Oleh karena itu, sebelum pemasangan teknologi rooter system perlu diketahui bahwasannya faktor yang dipehitungkan untuk teknologi rooter system ini memiliki kesamaan dengan faktor yang diperhitungkan untuk sumur resapan. Kusnaedi (2) menyatakan bahwa Sifat fisik tanah yang langsung berpengaruh terhadap besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tekstur dan pori-pori tanah. Tanah berpasir lebih mampu merembeskan air hujan dengan cepat. Menurut Hardjowigeno (1987), bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin tinggi nilai padat suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti tanah makin sulit untuk meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Apabila tanah mengandung terlalu banyak liat, maka tanah tersebut dapat menyimpan air dalam jumlah yang besar, akan tetapi air tidak mudah meresap kedalam tanah tersebut karena air akan mengalir pada permukaan tanah dan menyebabkan erosi. Atau apabila tanah berpasir, air akan mudah meresap tetapi tidak dapat disimpan lama karena akan infiltrasi kelapisan bawahnya. Dengan demikian, tanah yang ideal adalah tanah yang mempunyai tekstur yang kandungan liat, pasir, dan debunya seimbang disebut lempung (loam) (Rachmiati, 213). Gambar 6. Gambaran tektur tanah yang kurang mampu untuk menyerap air dipermukaan tanah di lokasi penelitian Penerapan teknologi rooter system ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan luas lubang pori yang terbentuk kesegala arah di dalam tanah. Dengan bertambahnya jumlah lubang pori tersebut, maka jumlah (volume) untuk peresapan

16 air masuk ke dalam tanah akan meningkat. Untuk itu, perlu penanaman lubang rooter system yang lebih banyak lagi agar memperoleh jumlah daya tampung volume air yang lebih banyak. Pengamatan Pengamatan teknologi rooter system dilakukan di 3 lokasi pemasangan yang berbeda dengan pengulangan sebanyak 3 kali, baik pada lahan yang menggunakan teknologi rooter system maupun yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan tujuan sebagai pembanding. Pengamatan volume air yang masuk ke dalam tanah di 3 lokasi tanpa pemasangan teknologi rooter system dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengamatan penurunan volume air tanpa pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas Waktu (Menit) Lokasi I Volome (m³) Lokasi II Volume (m³) Lokasi III Volume (m³) 15 3 45 6 9 15 12 135 15 165 18 195 21 225 24 255 27 285 3 3,9 7,6 1,8 13,4 16,8 22,9 27,4 34,2 38,4 42,3 47,1 56,1 6,9 67,1 69,6 - - - - 4,6 7,9 11,6 16,1 2,4 24,6 28,4 33,8 37,5 43,5 47,9 5,4 54,8 59 62,9 66,1 69,2 - - 4,3 7,9 12,3 16,3 2,8 25,1 29,3 32,4 35,5 37,8 41,6 45,4 48,4 51,7 55,7 59,3 63,7 67,2 71,3 Penurunan volume air yang diserap oleh tanah tanpa pemasangan teknologi rooter system berlangsung sangat lama, baik pengamatan yang dilakukan di lokasi ke-i, lokasi ke-ii, maupun di lokasi ke-iii. Pada lokasi ke-i, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 24 menit. Pada lokasi ke-ii, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 27 menit. Sedangkan pada lokasi ke-iii, untuk menghabiskan genangan air

17 sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 3 menit. Semakin banyak volume air yang tertampung di atas permukaan tanah tersebut, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap air masuk ke dalam tanah. Asdak (214) menyatakan bahwa resapan air dikatakan baik apabila air dapat dengan lancar masuk ke dalam lapisan tanah dan air yang masuk menjadi cadangan air tanah. Resapan air berperan sebagai penyaring air tanah, ketika air masuk ke daerah resapan maka akan terjadi proses penyaringan air dari partikel-partikel yang terlarut di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air dalam tanah sangat lambat dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Kondisi lahan di lokasi ini sangat mempengaruhi dalam kemampuan tanah untuk melakukan penyerapan air masuk ke dalam tanah. Pada lokasi penelitian ini, kondisi tanah tidak memiliki vegetasi-vegetasi yang mampu untuk membantu menyerap air masuk ke dalam tanah dan kondisi tanah pada lokasi penelitian ini, khususnya di lokasi I dan lokasi II cenderung memiliki fraksi liat yang tinggi. Pada lahan dengan kondisi seperti ini sangat mempengaruhi daya serap tanah terhadap genangan air yang ada dipermukaan tanah. Ichwana dan Erida (28) menyatakan bahwa pada areal yang bervegetasi mempunyai kelas tekstur tanah lempung berdebu mempunyai kemampuan infiltrasi yang lebih besar dibandingkan di areal yang cenderung memiliki fraksi liat lebih banyak sehingga memyebabkan kemampuan infiltrasi yang kecil. Pada lokasi III dapat dilihat bahwa volume genagan air yang ada di lokasi ini lebih banyak dari lokasi-lokasi yang lainnya sehingga menyebabkan peningkatan waktu penurunan tinggi permukaan genangan air dari permukaan tanah yang ada di lokasi tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi tanah yang merupakan bekas rawa-rawa yang memiliki tekstur tanah lumpur, dimana tekstur tanah lumpur ini memiliki pori-pori tanah yang rapat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno dan Reyes (25), bahwa pelumpuran secara keseluruhan menyebabkan sifat tanah menjadi: (1) semua agregat tanah hancur sehingga tanah tidak berstruktur, (2) pori-pori kasar jumlahnya berkurang sedangkan pori- pori halus jumlahnya meningkat, (3) daya menahan air meningkat karena meningkatnya jumlah pori-pori mikro dalam tanah. Darwia et al. (217) menyatakan semakin banyak jumlah pori-pori tanah maka kemampuan tanah untuk

18 menyerap air semakin tinggi (infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah poripori tanah maka semakin rendah kemampuan tanah menyerap air. Pengamatan volume genangan air yang masuk ke dalam tanah dengan menggunakan teknologi rooter system dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4. Hasil pengamatan penurunan volume air dengan pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas Waktu (Menit) Lokasi I Volume (m³) Lokasi II Volume (m³) Lokasi III Volume (m³) 15 3 45 6 9 15 11,5 21,6 37 45,2 57-11,3 22,2 35 46,8 57,2 69,9 1,7 23,1 36,9 5,1 58,4 66,7 Pada Tabel 4 menunjukkan kecepatan waktu penyerapan genagan air yang masuk ke dalam tanah. Jika dibandingkan antara lahan yang tidak menggungakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system, maka terjadi perbedaan yang sangat signifikan untuk peningkatan waktu penyerapan. Pada lokasi ke-i, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ hanya membutuhkan waktu selama 9 menit. Pada lokasi ke-ii, untuk menghabiskan genangan air dengan jumlah m³ membutuhkan waktu selama 15 menit. Sedangkan pada lokasi ke-iii, dengan genangan air sebanyak m³ hanya membutuhkan waktu selama 15 menit. Hal ini membuktikan bahwa untuk mengalirkan genagan air yang ada dipermukaan tanah memerlukan pembuatan lubang yang lumayan besar serta memperbanyak pori-pori tanah agar seluruh air yang ada dipermukaan tanah dapat mengalir masuk ke dalam tanah. Menurut Pungut dan Widyastuti (213), air meresap ke dalam tanah melalui permukaan resapan. Permukaan resapan dapat diperluas dengan membuat lubang secara vertikal ke dalam tanah. Dengan adanya lubang ini, maka permukaan resapan menjadi bertambah karena adanya dinding lubang yang akan dapat meresapkan air ke samping melalui permukaan dinding lubang tersebut. Dalam pengukuran teknologi rooter system, hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran adalah intensitas hujan. Pengukuran dapat dilakukan saat intensitas hujan tinggi sehingga air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah

19 tertahan masuk ke dalam tanah. Menurut BBSDLP (26), infiltrasi merupakan interaksi kompleks antara intensitas hujan, karakteristik dan kondisi permukaan tanah. Intensitas hujan berpengaruh terhadap kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah. Bila intensitas hujan lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi, maka semua air mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, bila intensitas hujan lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi, maka sebagian dari air yang jatuh di permukaan tanah tidak mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam tanah, dan bagian ini akan mengalir sebagai aliran permukaan. Penutupan dan kondisi permukaan tanah sangat menentukan tingkat atau kapasitas air untuk menembus permukaan tanah, sedangkan karakteristik tanah, khususnya struktur internalnya berpengaruh terhadap laju air saat melewati masa tanah. Unsur struktur tanah yang terpenting adalah ukuran pori dan kemantapan pori. Disamping itu, pemasangan teknologi rooter system harus dibor sesuai dengan kebutuhan lahan agar mendapatkan hasil yang optimal. Teknologi rooter system ini diadopsi dari bentuk proyeksi akar pohon dengan kemiringan 45, kedalaman 2 meter, serta diameter 1,16 cm atau 4 inchi sehingga teknologi ini diharapkan sebagai pengganti akar pohon untuk proses penyerapan air. Jarak yang digunakan pada pemasangan teknologi ini diambil dari jarak tanam untuk reboisasi dan pengayaan hutan, yaitu 5 m x 5 m. Menurut PERMENHUT (21), kegiatan reboisasi dan pengayaan vegetatif dilakukan di kawasan hutan lindung yang terdegradasi. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa satu paket pekerjaan yang meliputi penyediaan bibit, penamanan dan pemeliharaan tanaman tahun berjalan. Jarak tanam yang dikembangkan bervariasi sesuai dengan kondisi lapangan, misalnya: 5m x 5m; 5m x 2,5m; 3m x 3m; 3m x 2m; dan lainnya. Sitanggang et al. (216) menyatakan bahwa bentuk akar tanaman menjari diagonal kebawah dan bergelombang, pola perakaran primer yang tumbuh secara horizontal kemudian bercabang dengan kemiringan 45 dari bidang rata tanah dan ditumbuhi akar sekunder yang tumbuh halus dengan pertumbuhan mengelilingi setiap akar primernya. Akar puspa memiliki warna coklat muda menuju orange dengan kulit bersisik yang tumbuh menjari dan bergelombang dengan diameter akar mencapai 1,16 cm. Perakaran sudah mulai terdapat pada kedalaman 1 cm dari

2 permukaan tanah. Dalam penggalian akar hanya ditemukan hingga pada kedalaman 193 cm, pada kedalaman ini akar sudah tidak ditutupi tanah lagi atau bisa disebut menggantung Berikut ini merupakan hasil perbandingan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system. 8 7 6 58,4 66,7 Volume (m³) 5 4 3 2 1 5,1 36,9 29,96 25,56 23,1 2,4 16,26 1,7 12,4 8,53 4,4 15 3 45 6 9 15 Waktu (Menit) Tanpa Teknologi Rooter System Dengan Teknologi Rooter System Gambar 7. Hasil perbandingan penurunan tinggi genangan air pada waktu yang sama antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system Grafik di atas menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system. Pada waktu 15 menit, lahan yang tidak menggunakan hanya mampu mengalirkan air sebanyak 29,96 m³. Sedangkan untuk lahan yang menggunakan teknologi rooter system mampu mengalirkan air masuk ke dalam tanah sebanyak m³. Maka dari itu, penggunaan teknologi rooter system dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi genangan-genangan yang berada di perkotaan dengan kondisi tanah yang sudah tertutup aspal maupun beton sehingga mampu mengatasi banjir yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi rooter system sangat berpengaruh besar terhadap proses penurunan genangan air dimana teknologi ini dirancang seperti akar pohon yang berguna untuk mengalirkan air di atas permukaan tanah agar masuk ke dalam tanah secara efektif.

21 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan teknologi rooter system di lahan yang terdampak banjir sangat efektif untuk mempercepat daya serap air oleh tanah dibandingkan dengan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system. Lahan yang menggunakan teknologi rooter system menyerap air di permukaan tanah 3 kali lebih cepat dibandingkan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system. Teknologi rooter system sangat berpengaruh besar terhadap proses penurunan tinggi genangan air dimana teknologi ini dirancang seperti akar pohon yang berguna untuk mengalirkan air dipermukaan tanah agar dapat masuk ke dalam tanah secara cepat. Saran Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggunakan pipa yang cukup tebal agar pipa yang digunakan tidak mudah rusak dalam jangka waktu yang singkat; memperbaiki sistem kerja mesin pengeboran agar dalam proses pembuatan lubang tidak mengalami kendala-kendala teknis; serta dalam proses pengamatan diharuskan untuk melakukan pemeliharaan agar teknologi rooter system dapat berfungsi dengan baik.

22 DAFTAR PUSTAKA Asdak C. 214. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 26. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Departemen Pertanian. Jakarta. [BLI] Badan Litbang dan Inovasi. 213. Sumur Resapan Salah Satu Teknologi yang Paling Memungkinkan dalam Menanggulangi Banjir di DAS Ciliwung. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Bisri M, Prasetya TAN. 29. Imbuhan Air Tanah Buatan Untuk Mereduksi Genangan (Studi Kasus Di Kecamatan Batu Kota Batu). Jurnal Rekayasa Sipil, 3(1): 77-9. Darwia S, Ichwana, Mustafril. 217. Laju Infiltrasi Lubang Resapan Biopori (LRB) Berdasarkan Jenis Bahan Organik Sebagai Upaya Konservasi Air dan Tanah. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 2(1): 32-33. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hardjowigeno S, Reyes ML. 25. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia. Malang. Ichwana dan Erida N. 28. Teknik Pembuatan Lubang Resapan Biopori untuk Meningkatkan Kapasitas Infiltrasi. Fakultas Pertanian Unsyiah. Banda Aceh. Kodoatie RJ dan Sjarief R. 26. Pengelolaan Bencana Terpadu. Yayasan Watampone. Jakarta. Kusnaedi. 2. Sumur Resapan Untuk Pemukiman Perkotaan Dan Pedesaan. Penebar Swadaya. Jakarta. Kustamar. 28. Memaksimalkan fungsi taman sebagai media resapan air hujan. Jurnal Spectra, 6(12): 44-53. Natalia M. 214. Banjir Di Perkotaan (Studi Kasus Kampung Aur Kecamatan Medan Maimun Kota Medan). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Parhusip NV. 213. Penerapan Sumur Resapan Pada Perencanaan Drainase Wilayah di Kecamatan Tarutung. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

23 [Perda] Peraturan Daerah Kota Medan. 215. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun 215-219. Pemerintah Kota Medan. Medan. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 21. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Pungut, Widyastuti S. 213. Pengaruh Artificial Recharge Melalui Lobang Resap Biopori Terhadap Muka Air Tanah. Jurnal Teknik Waktu, 11(1): 15-28. Rachmiati, Y. 213. Hubungan Iklim dan Tanah. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Gambung. Rosyidie A. 213. Banjir: Fakta dan Dampaknya, Serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 24(3): 241-249 Sitanggang D, Utomo B, Dalimunthe A. 216. Morfologi Perakaran Tumbuhan Monokotil dan Tumbuhan Dikotil. Peronema Forestry Science Journal, 5(3): 25-35. Siswanto J. 21. Sistem Drainase Resapan Untuk Meningkatkan Pengisian (Racharge) Air Tanah. Jurnal Natur Indonesia, 3(2): 129-137. Tampubolon K. 218. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Sebagai Penentuan Kawasan Rawan Banjir di Kota Medan. Jurnal Pembangunan Perkotaan, 6(2): 63-68. Wahyuningtyas A, Hariyani S, Sutikno FR. 211. Strategi Penerapan sumur Resapan Sebagai Teknologi Ekodraenase di Kota Malang (Studi Kasus: SUB DAS METRO). Jurnal Tata Kota dan Daerah, 3(1): 25-32. Yohana C, Griandini D, Muzambeq S. 217. Penerapan Pembuatan Teknik Lubang Biopori Resapan Sebagai Upaya Pengendaian Banjir. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Madani (JPMM), 1(2): 296-38.

24 LAMPIRAN Lampiran 1. Pengamatan penurunan volume air di lokasi penelitian Tabel 1. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan II, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3,9 3,3 4,5 3,9 3 8,1 6,9 7,8 7,6 45 11,4 9,9 11,1 1,8 6 13,5 12,6 14,1 13,4 17,4 16,2 16,8 16,8 9 23,1 23,1 22,5 22,9 15 28,2 27,3 26,7 27,4 12 33,3 34,2 35,1 34,2 135 37,8 38,4 39 38,4 15 44,4 4,8 41,7 42,3 165 49,5 45,6 46,2 47,1 18 59,1 54,3 54,9 56,1 195 64,2 58,8 59,7 6,9 21 68,7 64,8 67,8 67,1 225 7,2 69 69,6 69,6 24 Tabel 2. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan II, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3 45 6 9 12,3 23,4 37,2 47,4 57,3 1,5 19,2 36 43,2 56,1 11,7 22,2 37,8 45 57,6 11,5 21,6 37 45,2 57 Tabel 3. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan V, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3 45 6 9 15 5,1 7,8 11,7 15,9 19,8 23,7 29,1 5,1 8,4 13,2 16,8 21,9 25,2 27 3,6 7,5 9,9 15,6 19,5 24,9 29,1 4,6 7,9 11,6 16,1 2,4 24,6 28,4

25 12 135 15 165 18 195 21 225 24 255 27 31,5 33,6 39,3 44,1 46,2 51 54,9 58,5 62,7 66,6 35,7 4,2 45,6 49,8 52,2 56,7 64,2 68,4 69,3 7,8 34,2 38,7 45,6 49,8 52,8 56,7 57,9 61,8 66,3 7,2 33,8 37,5 43,5 47,9 5,4 54,8 59 62,9 66,1 69,2 Tabel 4. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan V, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3 45 6 9 15 11,4 22,2 34,8 45 57,6 69,3 1,8 21,6 34,5 47,1 57,3 69,3 11,7 22,8 35,7 48,3 56,7 71,1 11,3 22,2 35 46,8 57,2 69,9 Tabel 5. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan VII, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3 45 6 9 15 1,8 24,9 36,9 51,9 58,8 67,2 9,6 21,9 35,4 48,3 58,8 66 11,7 22,5 38,4 5,1 57,6 66,9 1,7 23,1 36,9 5,1 58,4 66,7 Tabel 6. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan VII, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3 45 6 9 15 12 4,2 8,4 12,9 17,1 21,6 25,8 29,4 32,7 3,9 6 9,9 14,1 18,6 23,4 27,6 29,7 4,8 9,3 14,1 17,7 22,2 26,1 3,9 34,8 4,3 7,9 12,3 16,3 2,8 25,1 29,3 32,4

26 135 15 165 18 195 21 225 24 255 27 285 3 37,2 39,6 43,8 47,1 51,6 53,7 57,3 6,6 64,8 68,4 72,9 32,4 34,2 37,8 41,4 43,8 47,7 52,2 56,4 6,9 65,1 69,6 36,9 39,6 43,2 47,7 49,8 53,7 57,6 6,9 65,4 68,1 71,4 35,5 37,8 41,6 45,4 48,4 51,7 55,7 59,3 63,7 67,2 71,3 Lampiran 2. Dokumentasi penelitian Gambar 1. Genangan air di lokasi I Gambar 2. Genangan air di Lokasi II Gambar 3. Genangan air di lokasi III Gambar 4. Kondisi tanah di lokasi penelitian Gambar 5. Lubang rooter system Gambar 6. Pemasangan pipa

27 Gambar 7. Tutup pipa rooter system Gambar 8. Pipa yang digunakan Gambar 9. Mesin bor tanah modifikasi