PENINGKATAN KECERNAAN PROTEIN DAN ENERGI BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI PADA AYAM BROILER

dokumen-dokumen yang mirip
PENINGKATAN NILAI KECERNAAN PROTEIN KASAR DAN LEMAK KASAR PRODUK FERMENTASI CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DEDAK PADI PADA BROILER

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

Nilai Kecernaan Protein Ransum yang Mengandung Bungkil Biji Jarak (Ricinus communis, Linn) Terfermentasi pada Ayam Broiler (Tjitjah Aisjah)

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh

Peningkatan Energi Metabolis Produk Fermentasi Campuran Bungkil Inti Sawit dan Dedak Padi

Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

SUHU FERMENTOR TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR PRODUK FERMENTASI BUNGKIL KELAPA SAWIT

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

LUMPUR MINYAK SAWIT KERING (DRIED PALM OIL SLUDGE) SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI DALAM RANSUM RUMINANSIA

Mairizal 1. Intisari. Kata Kunci : Fermentasi, Kulit Ari Biji Kedelai, Aspergillus Niger, Ayam Pedaging.

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

PEMAKAIAN ONGGOK FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS PERIODE PERTUMBUHAN

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

BUNGKIL INTI SAWIT DAN PRODUK FERMENTASINYA SEBAGAI PAKAN AYAM PEDAGING

PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK TERFERMENTASI OLEH

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

BAB I PENDAHULUAN. dapat mencapai 60%-80% dari biaya produksi (Rasyaf, 2003). Tinggi rendahnya

Penggunaan Bungkil Inti Sawit Terfermentasi untuk Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

PEMANFATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 1. LUMPUR SAWIT KERING DAN PRODUK FERMENTASINYA SEBAGAI BAHAN PAKAN AYAM BROILER

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

I. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan

Produk Samping Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan Alternatif di Kalimantan Tengah: 1. Pengaruh Pemberian Solid terhadap Performans Ayam Broiler

KANDUNGAN LEMAK KASAR, BETN, KALSIUM DAN PHOSPOR FESES AYAM YANG DIFERMENTASI BAKTERI Lactobacillus sp

Ade Trisna*), Nuraini**)

FERMENTASI BUNGKIL INTI SAWIT SECARA SUBSTRAT PADAT DENGAN MENGGUNAKAN ASPERGILLUS NIGER

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

PEMANFAATAN CASSAPRO (SINGKONG FERMENTASI) DALAM RANSUM AYAM KAMPUNG PERIODE STARTER

PENGGUNAAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN PRODUK FERMENTASINYA DALAM RANSUM ITIK SEDANG BERTUMBUH

EVALUASI NILAI GIZI LUMPUR SAWIT HASIL FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER PADA BERBAGAI PERLAKUAN PENYIMPANAN

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER

PEMANFAATAN TEPUNG LIMBAH ROTI DALAM RANSUM AYAM BROILER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP EFISIENSI RANSUM SERTA

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

TINJAUAN PUSTAKA. rendah dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada

PEMANFAATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 3. PENGGUNAAN PRODUK FERMENTASI LUMPUR SAWIT SEBELUM DAN SETELAH DIKERINGKAN DALAM RANSUM AYAM PEDAGING

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

I. PENDAHULUAN. hasil produksi pengembangan ayam broiler akan semakin tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di

BAB I PENDAHULUAN. Burung puyuh mempunyai potensi besar karena memiliki sifat-sifat dan

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

I. Mangisah, Tristiarti, W. Murningsih, M.H. Nasoetion, E.S. Jayanti, dan Y. Astuti Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

KONSUMSI DAN KECERNAAN JERAMI JAGUNG MANADO KUNING DAN JERAMI JAGUNG HIBRIDA JAYA 3 PADA SAPI PO

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(2): , Mei 2016

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

PEMANFAATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 2. LUMPUR SAWIT KERING DAN PRODUK FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN ITIK JANTAN YANG SEDANG TUMBUH

I. PENDAHULUAN. dan diusahakan sebagai usaha sampingan maupun usaha peternakan. Puyuh

Yosi Fenita, Irma Badarina, Basyarudin Zain, dan Teguh Rafian

PENGARUH FERMENTASI ISI RUMEN SAPI DENGAN Trichoderma viride TERHADAP ENERGI METABOLIS PADA AYAM BROILER. Jeni Rarumangkay*

Pengaruh Pemberian Ampas Teh (Camellia sinensis) Fermentasi dengan Aspergillus niger pada Ayam Broiler

Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

Dini Widianingrum 1, Ruhyat Kartasudjana 2, Hendi Setiyatwan 5 ABSTRAK. I. Pendahuluan

EFEK FERMENTASI AMPAS UMBI GARUT (Maranta arundinacea LINN.) DENGAN KAPANG Aspergillus niger TERHADAP NILAI KECERNAAN RANSUM AYAM PEDAGING

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

RETENSI NITROGEN DAN ENERGI METABOLIS RANSUM YANG MENGANDUNG CACING TANAH (Lumbricus rubellus) PADA AYAM PEDAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

PENGARUH PENGGUNAAN DAUN MURBEI (Morus alba) SEGAR SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN RANSUM TERHADAP PERFORMANS BROILER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III MATERI DAN METODE. Kampung Super dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2016 dikandang

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

PEMANFAATAN TANDAN KOSONG SAWIT FERMENTASI YANG DIKOMBINASIKAN DENGAN DEFAUNASI DAN PROTEIN BY PASS RUMEN TERHADAP PERFORMANS TERNAK DOMBA

Dulatip Natawihardja Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat Ransum dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh

Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p 9 17 Online at :

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

PEMBERIAN PAKAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR TIPE MEDIUM PADA FASE PRODUKSI KEDUA

BAB I PENDAHULUAN. tercatat sebesar 237 juta jiwa dan diperkirakan bertambah 2 kali lipat jumlahnya. ayam sebagai salah satu sumber protein hewani.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

Fermentasi Lemna sp. Sebagai Bahan Pakan Ikan Untuk Meningkatkan Penyediaan Sumber Protein Hewani Bagi Masyarakat

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG

NILAI ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM BROILER PERIODE FINISHER YANG DISUPLEMENTASI DENGAN DL-METIONIN SKRIPSI JULIAN ADITYA PRATAMA

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

PERBANDINGAN KOMPOSISI DAN DOSIS INOKULUM KAPANG Phanerochaete chrysosporium DAN Neurospora crassa DALAM PROSES FERMENTASI PAKAN TERNAK

Pemanfaatan Kapang Aspergillus niger sebagai Inokulan Fermentasi Kulit Kopi dengan Media Cair dan Pengaruhnya Terhadap Performans Ayam Broiler

PEMANFAATAN AMPAS KELAPA LIMBAH PENGOLAHAN MINYAK KELAPA MURNI MENJADI PAKAN

PEMANFAATAN JAMUR PELAPUK PUTIH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS NUTRISI JERAMI PADI. Jamila Mustabi, Asmuddin Natsir, Ismartoyo dan Tutik Kuswinanti

MATERI DAN METODE. Materi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh

Transkripsi:

PENINGKATAN KECERNAAN PROTEIN DAN ENERGI BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI PADA AYAM BROILER (Increased Protein and Energi Metabolism Digestibility by Fermented Palm Kernel Meal in Broiler) PHILIPUS SEMBIRING Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan ABSTRACT Palm Kernel Meals (PKM) is apotential raw material for animal feed. It has not been used optimaly yet due to its low protein and high fibres and lignin content. Other problem being used as feed for poultry is the shells. The fermentation with Phanerocheate crysosporium under solid substrate method could improve its nutrient value and reduce the fibre content. The metabolic energy was measured according to a modified method of SIBBALD and MORSE (1983a) using 30 broilers kept in a batteray pen of 20 x 45 x 45 cm 3 size. The digestibility of protein was analysed using an external indicator according to a method described by SKLAN and HUENWITZ (l980). Digesta was collected following a produce of ALI and LESON (l995) and calculated according to COEN at al. (l996) on 20 broilers consisting10 broilers each as a replication. The birds were fed on non-fermented PKM and fermented PKM. The data were analysed by T-student test. The study showed that the metabolic energy of non-fermented PKM was 2261 kcal/kg compared to 2516.24 kcal/kg of fermented PKM. The digestible protein of fermented PKM (80.86%) was higher than non-fermented PKM (46.53%). The fermentation of P. Crysosporium increased metabolic energy at 255 kcal/kg and digestible protein at 34.33%. Key Words: Palm Kernel Meal (PKM), Fermentation, Metabnolic Energy, Digestible Protein, Broiler ABSTRAK Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan bahan baku pakan ternak yang potensial tetapi belum dimanfaatkan secara optimal karena kandungan protein yang rendah dan seat kasar serta lignin yang tinggi. Kelemahan lain lain bila digunakan sebagai pakan unggas adalah cangkang yang keras. Proses ferentasi dengan Phanerochaefe crysosporium melalui substrat padat dapat meningkatkan nilai gizi bahan pakan serta menurunkan kandungan serat kasar. Energi metabolis diukur mengikuti metode modifikasi dari SIBBLAD dan MORSE (1983a) menggunakan 30 ekor ayam broiler pada kandang baterai ukuran 20 x 45 x 45 cm3. Kecernaan protein diukur menggunakan indikator eksternal yang mengacu kepada metode SKLAN dan HUENWITZ (l980). Digesta dikoleksi mengikuti metode ALI dan LESON (l995) dan dihitung memakai metode COEN et al. (l996) terhadap 20 ekor ayam broiler yang terdiri dari 10 ekor sebagai ulangan. Ayam diberi BIS yang tidak difermentasi dan difermentasi dengan P. Crysosporium. Data dianalisa menggunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi metabolis BIS fermentasi sebesar 2261 kcal/kg dibanding 2516,24 kcal/kg BIS fermentasi. Kecernaan protein BIS fermentasi meningkat 80,86% dibanding tanpa fermentasi sebesar 46,53%. Fermentasi BIS dengan P. Crysosporium dapat meningkatkan energi metabolis sebesar 255 kcal/kg dan kecernaan protein sebesar 34,33%. Kata Kunci: Bungkil Inti Sawit (BIS), Fermentasi Energi, Metabolis, Kecernaan Protein, Broiler PENDAHULUAN Populasi ayam pedaging meningkat dari 621.870.000 ekor pada tahun 2001 menjadi 865.075.000 ekor pada tahun 2002 dan relatif stabil hingga tahun 2005 sebesar 864.246.000 ekor, sedangkan populasi unggas lainnya pada tahun yang sama seperti ayam buras 286.690.000 ekor, ayam petelur 98.491.000 ekor, dan itik 34.275.000 ekor (STATISTIK 626

PETERNAKAN INDONESIA, 2005). Kemajuan ternak unggas ini didukung oleh produknya yang disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena merupakan sumber gizi yang baik, rasanya enak dan harganya relatif murah. Di samping itu keberhasilan industri perunggasan ini selain ditopang oleh penguasaan manajemen beternak dan pengadaan bibit yang baik juga diimbangi dengan penyediaan ransum yang berkualitas. Sedemikian pentingnya peranan ransum pada peternakan unggas sehingga peran biaya tersebut mencapai 70 80% dari total biaya produksi. Pada industri perunggasan ayam ras, sering mengalami fluktuasi yang cukup tajam, karena sarana input utama masih tergantung kepada bahan impor, seperti tepung ikan (50%), jagung (50 60%) dan bungkil kedelai (100%) (KARTASUDJANA, 2002). Sebagai bahan impor harganya sangat bergantung pada kurs dollar yang fluktuatif. Oleh karena itu sewaktu krisis ekonomi pada medio Juli 1997 menimpa Indonesia, nilai valuta asing mencapai empat kali lipat hingga menyebabkan harga ransum melonjak. Kondisi ini menyebabkan hampir 80% peternakan ayam broiler menderita kerugian karena biaya pakan cukup tinggi dan sering tidak seimbang dengan harga jual hasil produksi. Ketergantungan sebagian besar kebutuhan bahan pakan yang masih didatangkan dari luar negeri menunjukkan bahwa Industri perunggasan Indonesia masih sangat labil. Impor jagung pada tahun 2003 mencapai 1,5 juta ton dan bungkil kedelai sekitar 1 juta ton (AFFANDI, 1996; FAO, 2003 yang disitasi SINURAT, 2003). Produksi pakan ternak di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 6.200.000 ton, meningkat menjadi 7.221.000 ton pada tahun 2005. Angka ini menunjukkan bahwa produksi pakan ternak telah mulai bangkit kembali setelah krisis moneter tahun 1997 (STATISTIK PETERNAKAN, 2005). Untuk mengurangi biaya pakan perlu memanfaatkan pakan alternatif yang merupakan produk sumber daya alam Indonesia berupa limbah perkebunan dan hasil ikutannya dari pabrik minyak kelapa sawit yang tersedia relatif banyak sepanjang tahun seperti bungkil inti sawit (BIS). BIS sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya kendala yang terkandung di dalamnya yakni serat kasar dan lignin yang tinggi sehingga sulit dicerna ternak terutama untuk ternak monogastrik. Potensi kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) cukup besar dan Indonesia menempati produksi pada urutan kedua di dunia setelah Malaysia. Menurut data pusat penelitian kelapa sawit di Medan pada tahun 2000 luas tanaman kelapa sawit di Indonesia sebesar 3.134.000 Ha dengan produksi tandan buah segar (TBS) 20,18 ton/hektar/tahun. Sebesar 5% dari tandan buah segar ini dihasilkan inti sawit, dari jumlah itu dihasilkan sebanyak 45 46% minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO) dan 45 46% dihasilkan Bungkil Inti Sawit (Palm Kernel Meal/PKM). Produksi Bungkil Inti Sawit tahun 2005 sebesar 2.516.944 ton (STATISTIK PERKEBUNAN INDONESIA, 2006). Bungkil Inti Sawit dapat digunakan sebagai bahan baku pakan. ternak alternatif yang cukup potensial. Hasil penelitian terdahulu di Malaysia telah digunakan hingga 30% untuk pakan ayam pedaging dan petelur untuk pemenuhan kebutuhan energi dan protein (ELISABETH, 2002), namun palatabilitas untuk unggas rendah karena mengandung serat kasar yang tinggi yakni antara 21,1 24% (DAVENDRA, 1977; LUBIS, 1980). Kandungan nutrisi BIS sangat bervariasi terutama kandungan serat kasarnya cukup tinggi dengan proteinnya rendah (SUPRIYATI et al., 1998; DAVENDRA, 1977). Variasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, daerah asal, jenis kelapa sawit dan proses pengolahan (ARITONANG, 1986). Penelitian tentang upaya peningkatan nilai gizi bungkil inti sawit dengan memanfaatkan kapang P. chrysosporium dalam proses fermentasi diharapkan dapat memperbaiki kecernaannya dan menurunkan kandungan serat kasar serta memperbaiki ketersediaan energi sehingga pemanfaatannya dalam ransum ayam broiler pun dapat ditingkatkan dengan tidak mengganggu performannya. MATERI DAN METODE Percobaan penentuan energi metabolis dan kecernaan protein bungkil inti sawit yang tidak di fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi yang terbaik dari hasil percobaan pertama 627

yaitu dosis inokulum 5% dan waktu fermentasi 4 hari. Bahan utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah bungkil inti sawit yang terdiri dari bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi hasil terbaik dari percobaan pertama. Ayam yang dipergunakan yaitu final stock ayam broiler CP 707 yang berumur 4 minggu sebanyak 30 ekor. Ayam ditempatkan secara acak pada kandang percobaan sesuai dengan perlakuan. Jumlah kandang batterey yang digunakan sebanyak 30 unit yang masing masing berukuran 20 x 45 x 45 cm 3, tiap unit ditempati oleh satu ekor ayam. Setiap unit kandang percobaan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum, sedangkan lampu listrik digunakan hanya untuk penerangan. Sebelum penelitian dimulai, kandang dan semua peralatan yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dan disucihamakan. Penyucihamaan kandang dilakukan satu minggu sebelum ayam dimasukkan. Penentuan energi metabolis Sebanyak 30 ekor ayam broiler dibagi kedalam dua perlakuan, yang masing-masing perlakuan terdiri atas 15 ekor ayam sebagai ulangan. Perlakuan yang dilaksanakan yaitu ayam broiler yang diberi bungkil inti sawit yang tidak difermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi. Metode yang digunakan untuk menentukan nilai energi metabolis adalah dengan menggunakan modifikasi metode SIBBALD dan MORSE (1983a). Nilai energi metabolis yang diukur adalah energi metabolis yang dikoreksi dengan nitrogen yang diretensi. Setelah semua data yang diperlukan diperoleh, perhitungan energi metabolis tepung bungkil inti sawit yang tidak difermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi kemudian dihitung menurut modifikasi metode SIBBALD dan MORSE (1983a) sebagai berikut: ME N (kcal/kg)= ( EB xa) ( J EB ) [( AxN )/ 100 ( J N /100)] p ex ex p ex ex x8, 22 A dimana: ME N = Energi Metabolis yang dikoreksi oleh N yang diretensi (kcal/kg) EB p = Energi bruto pakan (kcal/kg) EB ex = Energi bruto ekskreta (kcal/kg) A = Banyaknya bahan yang dikonsumsi tiap ekor ayam broiler (g/hari) J ex = Jumlah ekskreta (g/hari) N p = N pakan (%) N ex = N ekskreta (%) 8,22 = Konstanta energi N yang diretensi (faktor konversi) Penentuan kecernaan protein Metode yang digunakan untuk menentukan kecernaan protein bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi adalah dengan menggunakan indikator. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator internal. Sebanyak 20 ekor ayam broiler dibagi ke dalam dua perlakuan, yang masing masing perlakuan terdiri atas 10 ekor ayam sebagai ulangan. Perlakuannnya adalah bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi yang terpilih dari percobaan pertama. Bungkil inti sawit yang telah dianalisa kadar Nitrogennya terlebih dahulu ditimbang untuk diketahui beratnya. Kemudian bungkil inti sawit perlakuan dalam bentuk pasta dimasukkan secara force-feeding ke dalam oesophagus ayam broiler masing-masing sebanyak 70 gram, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Untuk mendapatkan ekskreta didasarkan pada metode SKLAN dan HUWITZ (1980) yaitu menggunakan teknik mematikan ayam percobaan. Untuk mengoleksi digesta yang diperoleh kurang lebih 10 cm dari ileo-caecal dengan tujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dengan urine (ALI dan LEESON, 1995). Sampel feses kemudian dikeringkan, digiling dan seterusnya dianalisis kandungan protein, indikatornya dianalisis dengan analisis proksimat. Untuk menghitung kecernaan protein dengan menggunakan indikator dapat dilakukan dengan memakai metode COEN et al. (1996) sebagai berikut: DC protein = Po/Io - P 1 /I 1 Po/Io X 00% Keterangan: 628

dimana: DC protein = kecernaan protein L 0 = kandungan indikator lignin pakan yang diberikan I 1 = kandungan indikator lignin dalam feses Po = kandungan protein dalam pakan yang diberikan = kandungan protein dalam feses P 1 Analisa statistik Pengaruh perlakuan, diuji dengan menggunakan uji student-t (STEEL dan TORRIE, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Energi Metabolis Bungkil Inti Sawit Fermentasi. Rataan kandungan energi metabolis bungkil inti sawit, bungkil inti sawit fermentasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan kandungan energi metabolis bungkil inti sawit, bungkil inti sawit fermentasi Ulangan Bungkil inti sawit Bungkil inti sawit fermentasi kcal/kg 1 1632,40 1696,35 2 2265,67 2397,36 3.1781,73 3569,05 4 3391,08 1872,42 5 1960,77 2767,12 6 1724,77 1841,71 7 2587,90 3483,86 8 2142,06 2195,25 9 2102,46 2407,28 10 2320,93 2438,47 11 1568,88 3470,22 12 2591,75 1424,37 13 2370,40 3498,35 14 2797,33 3290,57 15 2376,79 1391,20 Rataan 2260,99 2516,24 Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan bungkil inti sawit fermentasi (2516,24 kcal/kg) lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi (2260.99 kcal/kg) atau terjadi peningkatan 12,23%. Namun setelah dilakukan Uji t menunjukkan bahwa antara bungkil inti sawit fermentasi dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi tidak berbeda nyata (P > 0,05). Perbaikan nilai energi metabolis akibat fermentasi oleh P. chrysosporium merupakan adanya perubahan komposisi zat makanan secara biologis yang berpengaruh terhadap kandungan energi metabolis,namun tidak berbeda secara statistik. Hal ini sejalan dengan pendapat SHURTLEFF dan AOYAGI (1979), yang menyatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan molekulmolekul komplek atau senyawa organik seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna. P. chrysosporium menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa (komponen serat kasar) menjadi glukosa yang merupakan sumber energi bagi ayam broiler. Penurunan kandungan serat kasar akan berdampak terhadap nilai kecernaan, yang pada gilirannya akan memperbaiki nilai energi metabolis bahan pakan. Sejalan dengan pendapat TILLMAN et al. (1984) dan MCDONALD et al. (1995), yang menyatakan bahwa serat kasar adalah suatu zat makanan yang berpengaruh terhadap kecernaan, dan kecernaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap energi metabolis bahan pakan. Kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi Untuk memperoleh gambaran tentang kecernaan protein bungkil Inti Sawit fermentasi disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi (80,86%) lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi (46,53%) atau dengan perkataan lain perlakuan fermentasi pada bungkil inti sawit menyebabkan peningkatan kecernaan protein sebesar 34,33%. Uji T menunjukan bahwa antara kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi berbeda sangat nyata lebih tinggi (P < 0,05). Sejalan dengan 629

pendapat RANJAHN (1985) pengolahan bahan pakan berpengaruh terhadap kecernaan zat-zat makanan. Pengolahan antara lain seperti penggilingan, pemanasan, pemasakan, pemberian alkali dan fermentasi. Akibat pengolahan bukan saja bentuk fisik bahan pakan yang berbeda namun berpengaruh terhadap kualitas seperti kecernaan bahan kering, energi, protein dan bahan organik lainnya. Demikian juga MONTONG et al. (1981), menyatakan bahwa kandungan serat kasar dalam bahan pakan berpengaruh terhadap kecernaan zat-zat makanan seperti protein dan bahan organik lainnya. Pakan yang berserat kasar tinggi, menghasilkan kecernaan yang rendah, hal ini disebabkan adanya ikatan lignoselulosa yang sulit dicerna (JANSEN dan CARRE, 1985). Terdegradasinya lignin, selulosa maupun hemiselulosa selama proses fermentasi berlangsung (telah dibahas pada penelitian tahap pertama) menyebabkan kecernaan BIS fermentasi semakin meningkat. Tabel 2. Rataan kecernaan protein Bungkil inti sawit (BIS) fermentasi Ulangan Bungkil inti sawit BIS fermentasi ------------------- % ------------------- -- 1 43,03 63,98 2 55,75 77,32 3 73,58 88,54 4 44,23 85,38 5 47,13 84,86 6 36,89 82,10 7 39,25 81,81 8 41,46 84,36 9 41,35 84,62 10 42,61 75,58 Rataan 46,53 80,86 KESIMPULAN 1. Energi metabolis bungkil inti sawit tanpa fermentasi sebesar 2261 kcal/kg, dibandingkan energi metabolis BIS fermentasi 2516.24 kcal/kg. Kecernaan protein BIS fermentasi 80,86% meningkat dibandingkan dengan BIS tanpa fermentasi 46,53%. 2. Fermentasi Bungkil Inti Sawit dengan P. crysosporium meningkatkan energi metabolis sebesar 255 kcal/kg dan kecernaan protein sebesar 34,33% 3. Penggunaan bungkil inti sawit fermentasi dalam ransum ayam broiler sampai tingkat 30% tidak menyebabkan efek negatif terhadap performans ayam broiler sampai pemeliharaan 5 minggu. 4. Fermentasi Bungkil Inti Sawit dengan P. crysosporium yang dapat memperbaiki energi metabolis dan kecernaan protein diharapkan dapat meningkat penggunaannya dalam ransum ayam broiler sehingga berperan dalam pengembangan broiler sebagai sumber protein hewani dalam mendukung ketahanan pangan yang berkelanjutan. 5. Pemenfaatan Bungkil Inti Sawit yang merupakan hasil ikutan pabrik minyak inti sawit dan sumber daya bahan pakan local dapat menekan biaya ransum ayam broiler dan menekan import bahan pakan ternak serta dapat melestarikan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA ALI, M.A. and LEESON, S. 1995. The nutritive value of some indigenous asian poultry feed ingredients. J. Anim. Feed Sci. Technology 55:227-237. ARITONANG, D. 1986. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Babi yang Sedang Tumbuh. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. BIOLORAI, R.Z. HARDUF, B. LOSIF and E. ALUMOT, 1973. Apparent Amino Acid Absorption from Feather Meal by Broiler Chicks. J. Nutrition 49: 395 399. BOOMINATHAN K. dan C.A. REDDY. 1992. Fungal Degradation of Lignin: Biotechnological Applications. Handbooks of Mycology. Volume 4: Fungal Biotechnology. Edited by ARORA D.K., R.P. ELANDER and K.G. MUKERJI. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Hongkong. BUCKLE, K.A., G.H. EDWARD, dan M. WOOTON, 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Pres, Jakarta. 630

CHET, W. 2004. World Technical Support Team. Emerging Cobb Broiler Concepts COEN H.M. SMITS, CHANTAL, A.A. MAARSEN, JOHAN, M.V.M. MOUWEN and JOS F.J.G. KONINKX. 1996. The Antinutritive Effect of a Carbocymethylcellulose with High Viscosity in Broiler Chickens is not Assosiated With Mucosal Damage. In: Viscosity of Dietary Fibre in Relation to Lipid Digestibility in Broiler Chickens, Proefchrift. pp. 71 79. DAVENDRA, C. 1977. Utilation of Feeding Stufs from the Oil Palm, Malaysia Society of Animal Production Serdang, Malaysia. DHAWALE, S.S. dan KATRINA, K. 1993. Alternatif Methods for Production of Staining of Phanerochaete Crysosporium Bacydiospores. J. Applied. Environ. Microbiol. pp. 1675 1677. EATON, D., H.M. CHANG and T.K. KIRK. 1980. Fungal Decoloritation of Kraft Bleach Plants Effluents, TAPPI J. 63(10). ELIZABETH. 2002. Potensi Industri Kelapa Sawit dalam Mendukung Pengembangan Peternakan di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl. Brigjend. Katamso No.51, Medan 20158. JANSSEN, VMMA dan B. CARRE. 1985. Influence of Fiber on Digestibility of Poultry Feeds. In: Recent Developments in Poultry Nutrition. COLE, D.J.A. and W. HERESIGN (Eds.). London Butterworths pp. 78 93. KETAREN, P.P., A.P. SINURAT, D. ZAINUDDIN, T. PURWADARIA dan I.P. KOMPIANG. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam pedaging. JITV 4(2): 107 112. KARTASUDJANA, R. 2002. Manajemen Ternak Unggas (Buku Ajar). Dalam rangka kerjasama antara Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dengan DIKTI melalui Program Semi-Que IV Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. KIRK, T.K. 1973. Polysaccharide Integrity as Related to Degradation of Lignin in Wood by White Rot Fungi. Phytopathology 63: 1504 1507. KISMONO, S.S. 1986. Toleransi Ayam Broiler Terhadap Kandungan Serat Kasar, Serat Detergent Asam, Lignin dan Silika dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Alang-alang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. LEISOLA, M.S.A and S. GARCIA. 1989. The Mechanism of Lignin Degradation. In: Enzym system for Lignocellulose Degradation. COUGHLAN, M.P. (Ed.). Elsevier Applied Sci., London. LUBIS, D.A. 1980. Ilmu Makanan Ternak, P.P. Pembangunan Jakarta. MC DONALD, P.R.A. EDWARDS, J.F.G. GREENHIGH and C.A. MORGAN. 1995. Animal Nutrition. The Fifth Ed. Longman Scientific and Technical Harlow, UK. MESSNER, K. JACKLIN FARCHER, S., ERTLER, G. BLAHA, A., 1988. Decolorization and Dechlorination of Bleach Plant Effluents by Phanerochaete chrysosporium Immobilized on Foam, dalam DECHEMA Biotechnology Conferences Vol. 2 : Bioreactor, Down stream Processing, Process and Reactor Modelling, Bio Process, Vctt Publishers. MONTONG, M., J. TALUMEWO, P.SITORUS dan ABDURRAYS, 1981. Pengaruh pemberian litter dan onggok pada sapi perah dara. Bull. Lembaga Penelitian Peternakan (29): 1 4. PURWATI, 1985. Pemanfaatan aktivitas jamur untuk penurunan warna air limbah industri pulp dan kertas. Berita Sellulosa XXI(1). RANJAHN, S.K. 1985. Source of feed for ruminant producton in South Asia. In: Forages in South Asia and South Pacific Agriculture. BALIR, G.J. D.A. IVORY and T.R. EVANS. Australian Centre for International Agriculture Reseach, Canberra. SCOTT, M.L., M.C. NEISHEIM, R.J. YOUNG. 1982. Nutrition of The Chicken. Third Ed., Published M.L. Scott and Associates, Ithaca New York SETIAWIHARJA, B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta. SHURTLEFF, W. Dan AOYAGI A., 1979. The Book of Tempeh. Profesional Edition. Harper and Row Publishing, New York Hagerstown, San Fransisco, London, A New Age Fodds Study Center Book SINURAT, A.P. 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit Fermentase Sebagai Bahan Pakan Unggas. Wartazoa Volume VI. Pusat Penelitian Peternakan. SIBBALD, I.R. and P.M MORSE, 1983. Effect of Nitrogen Correction and of Feed Intake on True Metabolizable Energy Value. Poult. Sci. 62: 138 142. 631

SKLAN, D. and S. HURWITZ, 1980. Protein Digestion and Absorpation in Young Chick and Turkey. J. Nutrition. 110: 139 144. STATISTIK PETERNAKAN, 2005. Statistical on Livestock. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI. STEEL R.G.D. and J.H. TORRIE, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan Biometrik). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 48 233. SUPRIYATI, T. PASARIBU, H. HAMID dan A.P. SINURAT. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat pada dengan Menggunakan Aspergillus niger. JITV 3(3): 165 170. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSO HADIPRODJO, S.PRAWIRO KUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Pers, Yogyakarta. VALLI, K. BARRY. J. BROCK DINESH, K. JOSHI dan H. MITCHEL. 1992. Degradation of 2,4 Dinitrotoluene by the Lignin Degrading. Fungus Phanerochaete Crysosporium. J. Appl. Environ. Microbiol. pp. 221 228. WINARNO, F.G. 1980. Microbial Convertion of Lignocellulose into Feed Straw and Other Fibrous by Product as Feed. Elsevier, Amsterdam, Oxford, New York. YEONG, S.W., T.K. MUKHERJEE and R.I. HUTAGALUNG, 1981. The nutrition value of palm kernel cake as a feed stuff for poultry. Proc. of a Nutritional Workshop on Oil Palm by Product Utilisation. December 1981, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 100 107. ZABELL, R.A., MORREL J.J, 1992. Microbiology : Decay and its Prevention, Academic Press, Inc. 632