BAB 3 SEDIMENTASI. Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan secara



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

Supernatan yang dihasilkan dari thickener ini (di zone of clear liquid) masih mempunyai nilai BOD yang besar, karena itu air dikembalikan ke unit

PRASEDIMENTASI 7. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

PENENTUAN KAPASITAS UNIT SEDIMENTASI BERDASARKAN TIPE HINDERED ZONE SETTLING

TUGAS AKHIR UJI KINERJA MEDIA BATU PADA BAK PRASEDIMENTASI PERFORMANCE TEST OF STONE MEDIA ON PRE-SEDIMENTATION BASIN. Oleh : Edwin Patriasani

Teori Koagulasi-Flokulasi

MODUL 1.06 SEDIMENTASI

PRAKTIKUM OPERASI TEKNIK KIMIA I SEDIMENTASI

PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU PDAM DENGAN MEMODIFIKASI UNIT BAK PRASEDIMENTASI (STUDI KASUS: AIR BAKU PDAM NGAGEL I)

UJI KINERJA MEDIA BATU PADA BAK PRASEDIMENTASI

Uji Kinerja Media Batu Pada Bak Prasedimentasi

Proses Pengolahan Air Minum dengan Sedimentasi

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

EVALUASI EFISIENSI KINERJA UNIT CLEARATOR DI INSTALASI PDAM NGAGEL I SURABAYA

Jurusan. Teknik Kimia Jawa Timur C.8-1. Abstrak. limbah industri. terlarut dalam tersuspensi dan. oxygen. COD dan BOD. biologi, (koagulasi/flokulasi).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN HIDRODINAMIKA FLOKULATOR BERBENTUK SETENGAH LINGKARAN DAN PERSEGI PANJANG PADA PROSES FLOKULASI MENGGUNAKAN ALIRAN MELALUIMEDIA KELERENG

Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Hotel X di Surabaya

SEDIMENTASI 11. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

UJI KEMAMPUAN SLOW SAND FILTER SEBAGAI UNIT PENGOLAH AIR OUTLET PRASEDIMENTASI PDAM NGAGEL I SURABAYA

PRE-ELIMINARY PRIMARY WASTEWATER TREATMENT (PENGOLAHAN PENDAHULUAN DAN PERTAMA)

BERDASARKAN TIPE FlOCCUlENT

ANALISIS PENGOLAHAN HASIL SAMPING N₂O DENGAN KARBON AKTIF DAN SEDIMENTASI UNTUK MENURUNKAN NILAI TDS DAN TSS

DIAGRAM ALIR 4. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA

PEMANFAATAN AERASI UNTUK MENGURANGI KADAR COD DAN FOSFAT DALAM AIR LIMBAH CAR WASH

Suarni Saidi Abuzar, Rizki Pramono Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Andalas ABSTRAK

TL-4102 PBPAL. Pengolahan Pertama PENYARINGAN

STUDI EVALUASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SECARA TERPUSAT DI KAWASAN INDUSTRI REMBANG PASURUAN (PIER)

KLASIFIKASI PADATAN MENGGUNAKAN ALIRAN FLUIDA

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

BAB II DASAR TEORI 2.1 Aplikasi Backfill di PT Antam Tbk UBPE Pongkor

MODUL 3 DASAR-DASAR BPAL

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER

FLOKULASI 10. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

IMPROVING THE QUALITY OF RIVER WATER BY USING BIOFILTER MEDIATED PROBIOTIC BEVERAGE BOTTLES CASE STUDY WATER RIVER OF SURABAYA (SETREN RIVER JAGIR)

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

Laporan Khusus Laboratorium Opersi Teknik Kimia I SEDIMENTASI. Disusun oleh: ZAKIATUL FITRI

PENURUNAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID PADA PROSES AIR BERSIH MENGGUNAKAN PLATE SETTLER

Sistem Aerasi Berlanjut (Extended Aeratian System) Proses ini biasanya dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem paket (package treatment)

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

SEMINAR AKHIR. Mahasiswa Yantri Novia Pramitasari Dosen Pembimbing Alfan Purnomo, ST. MT.

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1. 2 Tujuan Percobaan

Laporan Praktikum Teknik Kimia I Sedimentasi

STUDI EFEKTIVITAS LAMELLA SEPARATOR DALAM PENGOLAHAN AIR SADAH

BAB II LANDASAN TEORI

KOAGULASI 9. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Kualitas Air. Segmen Inlet Segmen Segmen Segmen

KOMBINASI PROSES AERASI, ADSORPSI, DAN FILTRASI PADA PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

BAB V EVALUASI PENGOLAHAN AIR MINUM EKSISTING KAPASITAS 233 L/det

PEMISAHAN MEKANIS (mechanical separations)

BAB III TEORI DASAR Pengertian Air Limbah Kegiatan Penambangan. limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air yang terkena

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

Berbagai jenis screen yang bisa diaplikasikan pada pengolahan air limbah seperti gambar berikut. Gambar : Screen

PENDAHULUAN. 1 dan 2

EFFECTS OF ROTATION AND SLUDGE ADDITION ON ROTATING SEDIMENTATION PERFORMANCE IN REMOVING TURBIDITY

PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH PADA IPAL INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT BTIK LIK MAGETAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

Penurunan Kadar Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Dalam Air Tanah dengan Metode Aerasi Conventional Cascade dan Aerasi Vertical Buffle Channel Cascade

PENENTUAN KARAKTERISTIK AIR WADUK DENGAN METODE KOAGULASI. ABSTRAK

Oleh : Aisyah Rafli Puteri Dosen Pembimbing : Dr.Ir. Nieke Karnaningroem, MSc

INTEGRASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI BENANG DAN TEKSTIL MELALUI PROSES ABR DAN FITOREMOVAL MENGGUNAKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes)

UNIT PENGOLAHAN AIR MINUM 5

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Kekeruhan dan Total Coli

PENGARUH RASIO MEDIA, RESIRKULASI DAN UMUR LUMPUR PADA REAKTOR HIBRID AEROBIK DALAM PENGOLAHAN LIMBAH ORGANIK

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Kekeruhan dan Total Coli

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

PERENCANAAN ULANG INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) PG TOELANGAN, TULANGAN-SIDOARJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

Analisis Zat Padat (TDS,TSS,FDS,VDS,VSS,FSS)

BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGARUH PENAMBAHAN GEOTEKSTIL PADA UNIT SLOW SAND FILTER UNTUK MENGOLAH AIR SIAP MINUM

BAB III METODE PENELITIAN

PERENCANAAN MOBILE WATER TREATMENT PADA MOBIL PICK UP DAIHATSU GRAN MAX DESIGN OF MOBILE WATER TREATMENT ON DAIHATSU GRAN MAX PICK UP CAR

PENELITIAN PENGOLAHAN AIR KOLAM PENAMPUNGAN LINDI DENGAN GRANULAR FILTER KARBON AKTIF PADA TIPE REAKTOR VERTIKAL

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) D-22

BAB I PENDAHULUAN. demikian, masyarakat akan memakai air yang kurang atau tidak bersih yang

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu sumber air baku bagi pengolahan air minum adalah air sungai. Air sungai

LAMPIRAN A PERHITUNGAN BIOREAKTOR (ANAEROBIC BAFFLE REACTOR)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Persiapan Penelitian. Gambar 15 Dimensi Penampang Basah Bangunan Filtrasi HRF

PERENCANAAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN ALTERNATIF MEDIA BIOFILTER (STUDI KASUS: KEJAWAN GEBANG KELURAHAN KEPUTIH SURABAYA)

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

PERTEMUAN VII KINEMATIKA ZAT CAIR

UJI KINERJA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PARTIKEL BOARD SECARA AEROBIK

Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Pendahuluan. Prinsip Dasar. RBC (Rotating Biological Contractor) Marisa Handajani. Ukuran standar: Putaran 1,0-1,6 rpm

STUDI LITERATUR DESAIN UNIT PRASEDIMENTASI INSTALASI PENGOLAHAN AIR MINUM

Hasil Penelitian dan Pembahasan

TUGAS MANAJEMEN LABORATORIUM PENANGANAN LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN LUMPUR AKTIF DAN LUMPUR AKTIF

ALIRAN FLUIDA. Kode Mata Kuliah : Oleh MARYUDI, S.T., M.T., Ph.D Irma Atika Sari, S.T., M.Eng

RBC (Rotating Biological Contractor) Marisa Handajani. Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB 3 SEDIMENTASI 3.1. Teori adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk menyisihkan suspended solid. Pada umumnya, sedimentasi digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan air limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pada pengolahan air minum, terapan sedimentasi khususnya untuk: 1. pengendapan air permukaan, khususnya untuk pengolahan dengan filter pasir cepat. 2. pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring dengan filter pasir cepat. 3. pengendapan flok hasil penurunan kesadahan menggunakan soda-kapur. 4. pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan. Pada pengolahan air limbah, sedimentasi umumnya digunakan untuk: 1. penyisihan grit, pasir, atau silt (lanau). 2. penyisihan padatan tersuspensi pada clarifier pertama. 35

3. penyisihan flok / lumpur biologis hasil proses activated sludge pada clarifier akhir. 4. penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter. Pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sedimentasi ditujukan untuk penyisihan lumpur setelah koagulasi dan sebelum proses filtrasi. Selain itu, prinsip sedimentasi juga digunakan dalam pengendalian partikel di udara. Prinsip sedimentasi pada pengolahan air minum dan air limbah adalah sama, demikian juga untuk metoda dan peralatannya. Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan bentuk lingkaran, bujur sangkar, atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai lebar 10 hingga 70 meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentuk segi empat umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter, dan kedalaman lebih dari 1,8 meter. Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk berinteraksi. Klasifikasi ini dapat dibagi ke dalam empat tipe (lihat juga Gambar 3.1), yaitu: - Settling tipe I: pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara individual dan tidak ada interaksi antar-partikel - Settling tipe II: pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antar-partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan bertambah 36

- Settling tipe III: pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antarpartikel saling menahan partikel lainnya untuk mengendap - Settling tipe IV: terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap yang terjadi karena berat partikel Clear Water Region Kedalaman Discrete settling region Flocculant settling region Hindered settling region Waktu Compression region Gambar 3.1 Empat tipe sedimentasi 3.2. Tipe I tipe I merupakan pengendapan partikel diskret, yaitu partikel yang dapat mengendap bebas secara individual tanpa membutuhkan adanya interaksi antar partikel. Sebagai contoh sedimentasi tipe I antara lain pengendapan lumpur kasar pada bak prasedimentasi untuk pengolahan air permukaan dan pengendapan pasir pada grit chamber. Sesuai dengan definisi di atas, maka pengendapan terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya di sekitar partikel, yaitu gaya drag dan gaya impelling. 37

Massa partikel menyebabkan adanya gaya drag dan diimbangi oleh gaya impelling, sehingga kecepatan pengendapan partikel konstan. Gaya impelling diyatakan dalam persamaan: F 1 = (ρ S - ρ) g V (3.1) di mana: F 1 = gaya impelling ρ s = densitas massa partikel ρ = densitas massa liquid V = volume partikel g = percepatan gravitasi Gaya drag diyatakan dalam persamaan: F D = C D A c ρ (V s 2 /2) (3.2) di mana: F D = gaya drag C D = koefisien drag A c = luas potongan melintang partikel V s = kecepatan pengendapan Dalam kondisi yang seimbang ini, maka F D = F I, maka diperoleh persamaan: (ρ S - ρ) g V = C D A c ρ (V s 2 /2) (3.3) atau V s 2g ρ ρ V s = (3.4) CD ρ Ac bila V/A c = (2/3) d, maka diperoleh: 38

V s 4g ρs ρ = d (3.5) 3C ρ D atau V 4g 3C ( S g )d s = 1 (3.6) D di mana S g adalah specific gravity. Besarnya nilai C D tergantung pada bilangan Reynold. bila N Re < 1 (laminer), C D = 24 / N Re bila N Re = 1-10 4 (transisi), C D = 24 / N Re +3 / N Re 0,5 + 0,34 bila N Re > 10 4 (turbulen), C D = 0,4. Bilangan Reynold dapat dihitung menggunakan persamaan: N Re = ρdv s /μ (3.7) Pada kondisi aliran laminer, persamaan (3.6) dapat disederhanakan menjadi: g Vs 1)d 18υ 2 = (Sg (3.8a) atau V s g 18μ 2 = (ρ s ρ)d (3.8b) Persamaan (3.8a) atau (3.8b) merupakan persamaan Stoke's. 39

Pada kondisi aliran turbulen, persamaan (3.6) dapat disederhanakan menjadi: V s = 3,3 g (S 1) d (3.9) g Pada kondisi aliran transisi, persamaan (3.6) tidak dapat disederhanakan, sehingga perhitungan kecepatan pengendapannya harus dicari dengan cara coba-coba atau metoda iterasi. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menghitung kecepatan pengendapan bila telah diketahui ukuran partikel, densitas atau specific gravity, dan temperatur air: 1. Asumsikan bahwa pengendapan mengikuti pola laminer, karena itu gunakan persamaan Stoke's untuk menghitung kecepatan pengendapannya. 2. Setelah diperoleh kecepatan pengendapan, hitung bilangan Reynold untuk membuktikan pola aliran pengendapannya. 3. Bila diperoleh laminer, maka perhitungan selesai. Bila diperoleh turbulen, maka gunakan persamaan untuk turbulen, dan bila diperoleh transisi, maka gunakan persamaan untuk transisi. Metoda lain dalam menentukan kecepatan pengendapan adalah menggunakan pendekatan grafis (Gambar 3.2). Grafik tersebut secara langsung memberikan informasi tentang kecepatan pengendapan bila telah diketahui specific gravity dan diameternya pada temperatur 10 o C. 40

Gambar 3.2 Grafik pengendapan tipe I pada temperatur air 10 O C Contoh Soal 3.1: Hitung kecepatan pengendapan partikel berdiameter 0,05 cm dan specific gravity 2,65 pada air dengan temperatur 20 o C. Penyelesaian: 1. Asumsikan pola aliran laminer, gunakan persamaan (3.8a) atau (3.8b) dengan ρ w = 998,2 kg/m 3 dan μ = 1,002 10-3 N.detik/m 2 pada temperatur air 20 o C. 9,81 2 Vs = (2650 998,2) * 0,0005 = 0,22 m/detik -3 18 * 1,002x10 41

2. Cek bilangan Reynold: N Re = 998,2*0,0005*0,22 / 1,002x10-3 = 112 ------ transisi 3. Hitung nilai C D : C D = 24/112+3*112-0,5 +0,34 = 0,84 4. Hitung kecepatan pengendapan 4 * 9,81 2650 998,2 V s = 0,0005 = 0,11m/detik 3 * 0,84 998,2 5. Ulangi langkah 2, 3, dan 4 hingga diperoleh kecepatan pengendapan yang relatif sama dengan perhitungan sebelumnya (iterasi). Hasil akhirnya adalah N Re = 55, C D = 1,18, dan V s = 0,10 m/detik. Perhitungan kecepatan pengendapan di atas adalah perhitungan dengan kondisi diameter partikel hanya ada satu macam ukuran. Pada kenyataannya, ukuran partikel yang tersuspensi dalam air itu banyak sekali jumlahnya. Karena itu, diperlukan satu ukuran partikel sebagai acuan, sebut saja d o, yang mempunyai kecepatan pengandapan sebesar V o (lihat Gambar 3.3). V o disebut juga overflow rate. Dengan acuan tersebut, maka dapat dibuat pernyataan sebagai berikut: a. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih besar dari V o, maka 100% akan mengendap dalam waktu yang sama. b. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih kecil dari V o, maka tidak semua akan mengendap dalam waktu yang sama. 42

Vo Vo (a) (b) Gambar 3.3 Lintasan pengendapan partikel: a. Bentuk bak segi empat (rectangular) b. Bentuk bak lingkaran (circular) Jumlah dari keseluruhan partikel yang mengendap disebut penyisihan total (total removal). Besarnya partikel yang mengendap dapat diperoleh dari uji laboratorium dengan column settling test (Gambar 3.4). Over flow rate dihitung dengan persamaan: V o = H/t (3.10) H Titik sampling Gambar 3.4 Sketsa column settling test tipe I 43

Besarnya fraksi pengendapan partikel dihitung dengan: F o ( VdF (3.11) o 0 1 R = 1 Fo ) + V di mana: R = besarnya fraksi pengendapan partikel total F o = fraksi partikel tersisa pada kecepatan V o V = kecepatan pengendapan (m/detik) df = selisih fraksi partikel tersisa Berdasarkan persamaan (3.11), besarnya R tersusun oleh dua komponen, yaitu: 1. (1-F o ) = fraksi partikel dengan kecepatan > V o 2. 1 F o VdF = fraksi partikel dengan kecepatan < V o V o 0 Data yang diperoleh dari percobaan laboratorium adalah jumlah (konsentrasi) partikel yang terdapat dalam sampel yang diambil pada interval waktu tertentu. Konsentrasi pada berbagai waktu tersebut diubah menjadi bentuk fraksi. Fraksi merupakan perbandingan antara konsentrasi partikel pada waktu ke-t terhadap konsentrasi partikel mula-mula. Selanjutnya dihitung kecepatan pengendapan partikel pada tiap waktu pengambilan. Plot ke dalam grafik hubungan antara fraksi partikel tersisa dengan kecepatan pengendapan. Ambil nilai kecepatan pengendapan tertentu sebagai acuan (disebut juga waktu klarifikasi atau overflow rate = V o ). Dari nilai V o tersebut dapat diperoleh nilai F o, yaitu merupakan batas fraksi partikel besar yang 44

semuanya mengendap dan fraksi partikel lebih kecil yang mengendap sebagian saja. Besarnya fraksi partikel kecil dapat dicari dari luasan daerah di atas kurva sampai batas Fo (Gambar 3.5). Fraksi Fo tersisa Vo Kecepatan pengendapan Gambar 3.5 Grafik pengendapan partikel diskret Contoh soal 3.2: Suatu kolom pengendapan setinggi 150 cm dipakai untuk mengendapkan partikel diskret. Pada kedalaman 120 cm terdapat titik sampling untuk mengambil sampel pada waktu tertentu. Data tes yang diperoleh adalah sebagai berikut: Waktu (menit) 0,5 1,0 2,0 4,0 6,0 8,0 Fraksi konsentrasi partikel tersisa 0,56 0,48 0,37 0,19 0,05 0,02 Berapakah % total removal / pemisahan partikel diskret pada over flow rate 0.025 m 3 /detik-m 2? 45

Penyelesaian: 1. Hitung kecepatan pengendapan tiap pengambilan sampel dengan rumus: V s = h t h = kedalaman titik sampling (120 cm) t = waktu pengendapan (waktu pengambilan sampel) Waktu (menit) 0,5 1,0 2,0 4,0 6,0 8,0 Kecepatan pengendapan (m/detik) Fraksi konsentrasi partikel tersisa 0,04 0,02 0,01 0,005 0,003 0,002 0,56 0,48 0,37 0,19 0,05 0,02 2. Plot: Fraksi tersisa VS Kecepatan Fraksi tersisa 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 Kecepatan pengendapan (m/detik) 3. Hitung total removal pada kecepatan pengendapan 0,025 m/detik dengan persamaan ( ): R = ( 1 F ) + o 1 V o F o V o = 0,025 m/detik VdF 0 46

F o = fraksi partikel pada V o F o VdF = luasan di atas kurva antara 0 hingga F o 0 a. Cari F o dari V o yang diketahui Fraksi tersisa 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Fo = 0,51 Vo = 0,025 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 Kecepatan pengendapan (m/detik) b. Cari luas daerah di atas kurva. Kurva dibagi menjadi beberapa segmen dan dibuat dalam bentuk segi empat. Fraksi tersisa 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Fo = 0,51 Vo = 0,025 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 Kecepatan pengendapan (m/detik) c. Hitung luas daerah di atas kurva sebagai berikut: 47

df V V df 0,04 0,002 0,00008 0,04 0,0025 0,0001 0,08 0,003 0,00024 0,08 0,005 0,0004 0,08 0,0075 0,0006 0,08 0,01 0,0008 0,06 0,014 0,00084 0,05 0,019 0,00095 d. Jadi removal total adalah: V df = Σ V df = 0,00401 1 R = ( 1 0, 51) + x0, 00401 0, 025 R = 0,6504 ~ 65% Tujuan percobaan laboratorium sebagaimana pada Contoh soal 3.2 di atas adalah untuk mendapatkan persen pengendapan total bila telah ditentukan over flow rate-nya. Pada dasarnya, percobaan laboratorium dimaksudkan untuk mendapatkan nilai parameter tertentu yang akan digunakan sebagai dasar disain bangunan sedimentasi. Parameter yang akan dicari adalah over flow rate (V o ), dan waktu detensi (t d ) bila dikehendaki persen pengendapan dengan nilai tertentu. Untuk mendapatkan nilai dari parameter-parameter ini, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengulangi langkah 3a, 3b, 3c, dan 3d pada penyelesaian contoh soal 3.2 dengan nilai V o yang berbeda, misalnya 0,02 m/detik atau 0,03 m/detik, sehingga diperoleh R yang berbeda pula. Selanjutnya dicari hubungan antara V o dan R (dalam bentuk grafik) pada berbagai berbagai nilai yang berbeda tersebut. Grafik ini dapat dipakai untuk 48

mencari nilai V o pada R tertentu. Waktu detensi dapat dicari dengan persamaan: t d = H/V o, H adalah kedalaman bak. 3.3. Tipe II tipe II adalah pengendapan partikel flokulen dalam suspensi encer, di mana selama pengendapan terjadi saling interaksi antar partikel. Selama dalam operasi pengendapan, ukuran partikel flokulen bertambah besar, sehingga kecepatannya juga meningkat. Sebagai contoh sedimentasi tipe II antara lain pengendapan pertama pada pengolahan air limbah atau pengendapan partikel hasil proses koagulasi-flokulasi pada pengolahan air minum maupun air limbah. Kecepatan pengendapan partikel tidak bisa ditentukan dengan persamaan Stoke's karena ukuran dan kecepatan pengendapan tidak tetap. Besarnya partikel yang mengendap diuji dengan column settling test dengan multiple withdrawal ports (Gambar 3.6). H Sampling point / port Gambar 3.6 Sketsa kolom sedimentasi tipe II 49

Dengan menggunakan kolom pengendapan tersebut, sampling dilakukan pada setiap port pada interval waktu tertentu, dan data REMOVAL partikel diplot pada grafik seperti pada Gambar 3.7. H Waktu Gambar 3.7 Grafik isoremoval Grafik isoremoval dapat digunakan untuk mencari besarnya penyisihan total pada waktu tertentu. Tarik garis vertikal dari waktu yang ditentukan tersebut. Tentukan kedalaman H 1, H 2, H 3 dan seterusnya (lihat Gambar 3.8). H H 3 H 2 Keterangan gambar: H 1 : kedalaman di antara R B dan R C H 2 : kedalaman di antara R C dan R D H 3 : kedalaman di antara R D dan R E H 1 R A R B R C R D R E Waktu Gambar 3.8 Penentuan kedalaman H 1, H 2 dan seterusnya 50

Besarnya penyisihan total pada waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: R T H1 H2 H3 = RB + ( RC RB ) + ( RD RC ) + ( RE RD ) (3.12) H H H Grafik isoremoval juga dapat digunakan untuk menentukan lamanya waktu pengendapan dan surface loading atau overflow rate bila diinginkan efisiensi pengendapan tertentu. Langkah yang dilakukan adalah: a. Hitung penyisihan total pada waktu tertentu (seperti langkah di atas), minimal sebanyak tiga variasi waktu. (Ulangi langkah di atas minimal dua kali) b. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan waktu pengendapan (sebagai sumbu x) c. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan overflow rate (sebagai sumbu x) Kedua grafik ini dapat digunakan untuk menentukan waktu pengendapan atau waktu detensi (td) dan overflow rate (V o ) yang menghasilkan efisiensi pengendapan tertentu. Hasil yang diperoleh dari kedua grafik ini adalah nilai berdasarkan eksperimen di laboratorium (secara batch). Nilai ini dapat digunakan dalam mendisain bak pengendap (aliran kontinyu) setelah dilakukan penyesuaian, yaitu dikalikan dengan faktor scale up. Untuk waktu detensi, faktor scale up yang digunakan pada umumnya adalah 1,75, untuk overflow rate, faktor scale up yang digunakan pada umumnya adalah 0,65 (Reynold dan Richards, 1996). 51

Contoh Soal 3.3: Direncanakan sebuah bak pengendap untuk mengendapkan air limbah dengan SS 350 mg/l dan debit 7500 m 3 /hari. Uji laboratorium dilakukan terhadap air limbah tersebut dengan kolom pengendapan berdiameter 20 cm dan tinggi 300 cm. Pada setiap 60 cm terdapat port (sampling point). Hasil tes kolom adalah sebagai berikut: Kedalaman (cm) Waktu (menit) 10 20 30 45 60 90 60 240 170 125 100 50 40 120 270 195 165 150 110 60 180 275 250 215 160 135 90 240 285 240 225 190 155 125 300 >350 >350 >350 >350 >350 >350 Tentukan : Keterangan: Hasil tes yang tercatat pada tabel tersebut adalah kadar SS dalam mg/l. 1. Waktu detensi dan surface loading agar diperoleh 65 % pengendapan 2. Diameter dan kedalaman bak Penyelesaian: 1. Ubah data laboratorium menjadi % removal: Kedalaman Waktu (menit) (cm) 10 20 30 45 60 90 60 31 51 64 71 86 89 120 23 44 53 57 69 83 180 21 29 39 54 61 74 240 19 31 36 46 56 64 300 ~ ~ ~ ~ ~ ~ Keterangan: ~ pada kedalaman 300 cm, terjadi akumulasi lumpur. 52

2. Plot tabel di atas sehingga membentuk grafik isoremoval: 0 Kedalaman (cm) 60 120 180 240 300 31 51 64 71 86 89 23 44 53 57 69 83 21 29 39 54 61 74 19 31 36 46 56 64 20% 30% 40% 50% 60% 70% 0 20 40 60 80 100 Waktu pengendapan (menit) 3. Ambil waktu tertentu dan hitung removal total pada waktu tersebut. Misal t = 16 menit R T 205 85 50 40 20 = 20 + ( 30 20) + ( 40 30) + ( 50 40) + ( 60 50) + ( 70 60) 300 300 300 300 300 = 33,3 % 4. Dengan cara yang sama (no. 3), tentukan removal total pada t (waktu) yang lain, misal: 25, 40, 55, dan 80 menit. Hasilnya adalah: Waktu (menit) % R T 16 33,3 25 43,3 40 51,2 55 61,0 80 67,7 Plot hubungan % R T VS t 53

% RT 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 20 40 60 80 100 Waktu (menit) Untuk mendapatkan 65% pengendapan, diperlukan waktu 64 menit (lihat gambar di atas). 5. Hitung surface loading (overflow rate) pada waktu-waktu di atas dengan rumus SL = H/t, di mana SL adalah surface loading, H adalah tinggi kolom, dan t adalah waktu yang dipilih. Waktu (menit) Surface loading (m 3 /hari-m 2 ) % R T 16 270 33,3 25 172,8 43,3 40 108 51,2 55 78,5 61,0 80 54 67,7 Plot hubungan % R T VS surface loading % RT 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 50 100 150 200 250 300 Surface loading (m 3 /hari-m 2 ) 54

Surface loading yang diperlukan untuk menghasilkan pengendapan 65% adalah 62 m 3 /hari-m 2. 6. Berdasarkan pengolahan data dari hasil percobaan diperoleh: - td = 64 menit - Vo = 62 m 3 /hari-m 2 Untuk disain, nilai dari hasil percobaan dikalikan dengan faktor scale up. Jadi: td = 64 menit x 1,75 = 112 menit Vo = 62 m 3 /hari-m 2 x 0,65 = 40,3 m 3 /hari-m 2 7. Luas permukaan bak A S = Q/V o = (7500 m 3 /hari)/ 40,3 m 3 /hari-m 2 = 186 m 2 Bila bak berbentuk lingkaran, maka diameternya adalah 15,4 m Kedalaman bak = Volume bak / luas permukaan = td. Q / A = (112 menit x 7500 m 3 /hari) / 186 m 2 x 1hari/1440 menit = 3,14 meter 3.4. Tipe III dan IV tipe III adalah pengendapan partikel dengan konsentrasi yang lebih pekat, di mana antar partikel secara bersama-sama saling menahan pengendapan partikel lain di sekitarnya. Karena itu pengendapan terjadi secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan kecepatan yang konstan. Pada bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara massa partikel yang mengendap dengan air jernih. tipe IV merupakan kelanjutan dari sedimentasi tipe III, di mana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel hingga diperoleh konsentrasi lumpur yang tinggi. Sebagai contoh sedimentasi 55

tipe III dan IV ini adalah pengendapan lumpur biomassa pada final clarifier setelah proses lumpur aktif (Gambar 3.9). Tujuan pemampatan pada final clarifier adalah untuk mendapatkan konsentrasi lumpur biomassa yang tinggi untuk keperluan resirkulasi lumpur ke dalam reaktor lumpur aktif. Q + R Air jernih Q Tertahan (hidered) Transisi sludge blanket Kompresi Solid R Gambar 3.9 Pengendapan pada final clarifier untuk proses lumpur aktif Sebelum mendisain sebuah bak final clarifier, maka perlu dilakukan percobaan laboratorium secara batch menggunakan column settling test. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi lumpur pada to hingga t. Data yang diperoleh adalah hubungan antara tinggi lumpur dengan waktu (Gambar 3.10). 56

Zona III H Zona IV Waktu Gambar 3.10 Grafik hasil percobaan sedimentasi tipe III dan IV Pengolahan Data (hasil dapat dilihat pada Gambar 3.11): 1. Tentukan slope pada zona III (slope=kecepatan pengendapan, V o ) 2. Perpanjang garis lurus dari zona III dan zona IV 3. Tentukan titik pertemuan garis dari zona III dan zona IV, tentukan titik pusat lengkungan, dan buat garis singgung 4. Dengan mengetahui konsentrasi lumpur awal (C o ), tinggi lumpur awal (H o ), dan konsentrasi disain underflow (C u ), tentukan tinggi lumpur underflow H u. C o H o = C u H u (3.13) Underflow adalah lumpur hasil akhir pengendapan yang siap disirkulasikan ke reaktor lumpur aktif. 5. Buat garis horisantal dari H u hingga memotong garis singgung, maka diketahui t u (waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi C u ). 57

pusat lengkungan H H u t u garis singgung Waktu Gambar 3.11 Hasil pengolahan data sedimentasi tipe III dan IV Setelah pengolahan data tersebut, parameter yang diperoleh dapat digunakan untuk mendisain bak pengendap lumpur biomassa, yaitu: 1. Luas permukaan yang diperlukan untuk thickening, A t dengan menggunakan persamaan: A t = 1,5 (Q+Q R ) t u /H o (3.14) 2. Luas permukaan yang diperlukan untuk klarifikasi (sedimentasi), A c dengan menggunakan persamaan: A c = 2,0 Q/V o (3.15) di mana: Q = debit rata-rata harian sebelum resirkulasi, m 3 /detik Q R = debit resirkulasi, m 3 /detik 58

Selain dengan pendekatan waktu tercapainya konsentrasi underflow, disain final clarifier dapat juga menggunakan pendekatan konsep solid flux. Solid flux adalah kecepatan thickening solid per satuan luas, dinyatakan dalam kg/jam-m 2. 3.5. pada Pengolahan Air Minum Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air minum adalah pada perancangan bangunan prasedimentasi dan sedimentasi II. a. Prasedimentasi Bak prasedimentasi merupakan bagian dari bangunan pengolahan air minum yang berfungsi untuk mengendapkan partikel diskret yang relatif mudah mengendap (diperkirakan dalam waktu 1 hingga 3 jam). Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi pada bak prasedimentasi adalah teori sedimentasi tipe I karena teori ini mengemukakan bahwa pengendapan partikel berlangsung secara individu (masing-masing partikel, diskret) dan tidak terjadi interaksi antar partikel. b. II Bak sedimentasi II merupakan bagian dari bangunan pengolahan air minum yang berfungsi untuk mengendapkan partikel hasil proses koagulasi-flokulasi yang relatif mudah mengendap (karena telah menggabung menjadi partikel berukuran besar). Tetapi partikel ini mudah pecah dan kembali menjadi partikel koloid. Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi pada bak sedimentasi II adalah teori sedimentasi tipe II karena teori ini 59

mengemukakan bahwa pengendapan partikel berlangsung akibat adanya interaksi antar partikel. 3.6. pada Pengolahan Air Limbah Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air limbah: a. Grit chamber Grit chamber merupakan bagian dari bangunan pengolahan air limbah yang berfungsi untuk mengendapkan partikel kasar/grit bersifat diskret yang relatif sangat mudah mengendap. Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi pada grit chamber adalah teori sedimentasi tipe I karena teori ini mengemukakan bahwa pengendapan partikel berlangsung secara individu (masing-masing partikel, diskret) dan tidak terjadi interaksi antar partikel. b. Prasedimentasi Bak prasedimentasi merupakan bagian dari bangunan pengolahan air limbah yang berfungsi untuk mengendapkan lumpur sebelum air limbah diolah secara biologis. Meskipun belum terjadi proses kimia (misal koaguasiflokulasi atau presipitasi), namun pengendapan di bak ini mengikuti pengendapan tipe II karena lumpur yang terdapat dalam air limbah tidak lagi bersifat diskret (mengingat kandungan komponen lain dalam air limbah, sehingga telah terjadi proses presipitasi). 60

c. Final clarifier Bak sedimentasi II (final clarifier) merupakan bagian dari bangunan pengolahan air limbah yang berfungsi untuk mengendapkan partikel lumpur hasil proses biologis (disebut juga lumpur biomassa). Lumpur ini relatif sulit mengendap karena sebagian besar tersusun oleh bahan-bahan organik volatil. Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi pada bak sedimentasi II adalah teori sedimentasi tipe III dan IV karena pengendapan biomassa dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya pemampatan (kompresi). 3.7. Partikel di Udara Pada dasrnya teori sedimentasi di air berlaku pula untuk sedimentasi partikel di udara, dengan mengganti sifat fisik air menjadi sifat fisik udara, misalnya densitas dan viskositas. Pada tabel 3.1 disajikan sifat fisik udara. Tabel 3.1 Sifat Fisik Udara Temperatur o C 0 20 25 Sumber: Nevers (1995) viskositas, μ gr/cm-detik 0,000172 0,000182 0,000185 densitas, ρ kg/m 3 1,292 1,204 1,184 61

3.8. Rangkuman 1. diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu: pengendapan partikel diskrit (tipe I), pengendapan partikel flokulen (tipe II), pengendapan zona (tipe III), dan pemampatan partikel terendapkan (tipe IV). 2. Kecepatan pengendapan partikel diskret tergantung pada pola aliran pengendapan (dinyatakan dengan bilangan Reynold: laminer, transisi, atau turbulen) 3. Uji laboratorium dengan column settling test bertujuan untuk mendapatkan besarnya penyisihan (pengendapan) secara batch. Uji ini dapat digunakan untuk partikel diskret maupun partikel flokulen. Berdasarkan hasil percobaan ini, dapat ditentukan overflow rate dan waktu detensi untuk perancangan bak pengendap. 4. Uji laboratorium untuk pengendapan tipe III dan IV digunakan untuk dasar perancangan bak pengendap kedua dari proses lumpur aktif dan thickener. 5. Prinsip dasar sedimentasi dapat diterapkan pada pengendapan partikel untuk proses pengolahan air bersih, pengolahan air limbah, dan untuk pengolahan buangan gas. 62

3.9. Soal-soal 1. Jelaskan langkah-langkah penentuan waktu detensi dan over flow rate / surface loading bila dikehendaki removal partikel sebesar X % : a. pada sedimentasi partikel diskret b. pada sedimentasi partikel flokulen Lengkapi dengan persamaan-persamaan yang digunakan. 2. Hitunglah kecepatan pengendapan partikel berikut : - diameter partikel : 0,09 cm - densitas partikel : 2400 kg/m 3 - densitas air : 996 kg/m 3 - viskositas air absolut (μ) : 0,8004. 10-2 gr/cm. det. - viskositas air kinematik (ν ) : 0,8039 10-2 cm 2 /det. -percepatan gravitasi : 980 cm/det 2 3. Hitung kecepatan pengendapan partikel di air berikut: a. diameter partikel 0,045 cm, specific gravity 2,6, temperatur air 25 o C. b. diameter partikel 0,045 cm, specific gravity 0,9, temperatur air 25 o C. c. diameter partikel 0,09 cm, specific gravity 2,6, temperatur air 25 o C. 63

4. Hitung kecepatan pengendapan partikel di udara berikut: a. diameter partikel 0,004 cm, specific gravity 1,6, temperatur udara 32 o C. b. diameter partikel 0,004 cm, specific gravity 0,6, temperatur udara 31 o C. c. diameter partikel 0,009 cm, specific gravity 1,6, temperatur udara 30 o C. 5. Pengendapan tipe I yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan kolom pengendapan berdiameter 10 cm diperoleh data sebagai berikut: Kecepatan pengendapan (m/menit) 3,30 1,65 0,60 0.30 0,22 0,15 Fraksi partikel terendapkan 0,45 0,54 0,65 0,79 0,89 0,97 Hitunglah overflow rate bila diinginkan penyisihan / removal sebesar 65% 6. Analisis pengendapan partikel diskret dalam kolom pengendapan dengan pengambilan sampel dari kedalaman 2 meter menghasilkan data kandungan partikel sebagai berikut: Waktu sampling (menit) 0 5 10 15 20 25 30 Kandungan partikel (mg/l) 800 525 425 325 250 175 125 (T= 29 O C, Sg= 2,65) 64

a. Tentukan % removal total partikel pada overflow rate sama dengan kecepatan pengendapan partikel berdiameter 0,005 cm b. Tentukan % removal partikel yang berdiameter > 0,005 cm c. Tentukan % removal partikel yang berdiameter < 0,005 cm 7. Pada analisis tes kolom pengendapan, digunakan sampel dengan kadar SS = 1200 mg/l. Kedalaman titik sampling masing-masing 0,5 ; 1,0 ; 1,5 ; dan 2,0 meter. Kadar SS (mg/l) dari tiap titik sampling pada interval waktu tertentu adalah sebagai berikut : Kedalaman (meter) Waktu (menit) 10 20 30 45 60 90 0,5 790 700 485 360 295 220 1,0 920 810 675 590 430 330 1,5 1020 860 750 640 610 550 2,0 1800 1900 2010 2070 2110 2150 Berapa % total removal pada over flow rate 0,67 l/det.m 2. Hitung pula waktu pengendapannya! 65

3.10. Bahan Bacaan 1. Reynolds, Ton D. dan Richards, Paul A., Unit Operations and Processes in Environmental Engineering, 2 nd edition, PWS Publishing Company, Boston, 1996. 2. Tchobanoglous, George, Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, and Reuse, 3 rd edition, Metcalf & Eddy, Inc. McGraw-Hill, Inc. New York, 1991. 3. Peavy, Howard S., Donald R. Rowe, dan George T., Environmental Engineering, McGraw-Hill Publishing Company, 1985 4. Sincero, Arcadio P. dan Gregorio A. Sincero, Environmental Engineering, Prentice Hall, 1996 5. Nevers, Noel De, Air Pollution Control Engineering, McGraw Hill, Inc. New York, 1995. 66