Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

semakin majunya teknologi teknologi yang terus ditemukan. Selain itu hal ini juga

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan informasi semakin besar. Dan informasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PRESENTASI KEPRIBADIAN CAPRES. Keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat kita sebagai suatu kebutuhan, dari hanya sekedar untuk tahu

I. PENDAHULUAN. Media massa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Pemasaran merupakan segala kegiatan usaha untuk membujuk,

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan dan demokrasi sekarang ini dalam pemilihan umum

BAB 1 PENDAHULUAN. menerapkan konsep, strategi dan teknik-teknik public relations salah satunya

Bab I. Pendahuluan. proses pengambilan keputusan antara lain dengan melalui kampanye politik sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Dangdut merupakan musik asli Indonesia yang memiliki banyak peminat.

BAB 1 PENDAHULUAN. media elektronik televisi; hal ini dapat diamati dari munculnya berbagai macam stasiun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, politik merupakan kegiatan yang dekat

BAB I PENDAHULUAN. Menjelang pemilihan presiden yang digelar pada 9 Juli 2014, para kandidat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. media cetak seperti majalah, koran, tabloid maupun media elektronik seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. media massa karena sifatnya yang lebih efisien dan cepat. Media massa kini tidak

BAB I PENDAHULUAN. hati, sikap, perasaan pikiran, ide, gagasan maupun informasi kepada orang lain

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

BAB I PENDAHULUAN. partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

BAB I PENDAHULUAN. bergantung kepada dirinya sendiri, melainkan membutuhkan kehadiran orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. juga mampu membentuk opini publik melalui tayangan yang disajikannya, seperti

BAB I PENDAHULUAN. kepada khalayak. Media adalah salah satu unsur terpenting dalam komunikasi. Pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membuat setiap orang melakukan berbagai bentuk komunikasi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang tetap eksis selama bertahun-tahun hingga saat ini. Pada harian

BAB I PENDAHULUAN. pemilihan umum melalui penggunaan media berbayar (surat kabar, radio, TV, dll)

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya perekonomian. Keadaan inilah yang mendorong perusahaanperusahaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perkembangan teknologi dan informasi yang lajunya begitu cepat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan umat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini, peran media massa sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. seseorang. Komunikasi tidak saja dilakukan antar personal, tetapi dapat pula

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. massa di indonesia. Dalam kehidupan manusia, informasi menjadi hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. penontonnya apa yang disebut Simulated Experiece, yaitu pengalaman yang

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi semakin tinggi, maka beragam upaya dengan teknologi. pendukungnya pun semakin canggih. Manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

BAB I PENDAHULUAN. jenis kelamin, pendidikan, maupun status sosial seseorang. Untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan pencitraan menjadi point penting dalam penunjang karir perpolitikan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat dibutuhkan manusia, dan manusia tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbitnya. Keberagaman suatu majalah tersebut ditentukan berdasarkan target

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi dewasa ini telah memunculkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini, media massa tidak akan mungkin berdiri statis di tengah-tengah, media

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini disarikan kesimpulan penelitian Analisis Wacana Kritis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

PENDAHULUAN Latar belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS ISI PESAN DALAM KARIKATUR DI INTERNET SEBAGAI KRITIK SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. proses dimana komunikasi tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh. audiens, pusat dari komunikasi massa adalah media.

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA

Marketing Politik; Media dan Pencitraan di Era Multipartai, oleh Roni Tabroni Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Televisi dapat dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) Mass communication is

BAB I PENDAHULUAN. praktek politik masa lalu yang kotor. Terlepas dari trauma masa lalu itu, praktek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada

BAB I PENDAHULUAN. orang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Media massa (media cetak, media elektronik dan media bentuk baru)

BAB 4 KESIMPULAN. Nonton bareng..., Rima Febriani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Globalisasi sebagai sebuah fenomena saat ini semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seolah-olah hasrat mengkonsumsi lebih diutamakan. Perilaku. kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. membuat pemirsanya ketagihan untuk selalu menyaksikan acara-acara yang ditayangkan.

Bab V. Kesimpulan. 1. Product tidak berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Pemilih, dengan. persentase pengaruh sebesar -0,0029 atau -0.

DI BALIK POLITIK PENCITRAAN. Oleh. Yoseph Andreas Gual

BAB I PENDAHULUAN. proses kehidupannya, manusia akan selalu terlihat dalam tindakan tindakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perkembangan dunia televisi di Indonesia menunjukkan. tersebut, tidak bisa dilepaskan dari dunia iklan.

BAB I PENDAHULUAN. luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari

BAB I PENDAHULUAN. bagian internal dari sistem tatanan kehidupan sosial manusia dan

BAB IV PENUTUP. menjadi peserta pemilu sampai cara mereka untuk hadir tidak hanya sekedar menjadi

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

negeri namun tetap menuntut kinerja politisi yang bersih.

I. PENDAHULUAN. melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Marketing politik adalah salah satu kegiatan yang penting dilakukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. efektifnya orang-orang bekerja sama dan mengkoordinasikan usaha-usaha mereka

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas,

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam kehidupannya sehari hari.banyak masyarakat yang mencari

BAB I PENDAHULUAN. sebuah informasi yang ingin didapatkan. Media yang tersedia kini beragam, mulai

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

Transkripsi:

Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer Ria Rahmatul Istiqomah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Angkatan IV Email : bintangmbojo@yahoo.com Abstract : Politics and culture are elements that open so they can do the interpenetration for embedding code that forms a cultural political behavior utilization of popular culture in a political behavior is considered as a new strategy in the world of politics. Political victory in the 2004 election victory of the battle is a portrait image of the political stage. Media as the reference potential voters to recognize the figure kandidit. Kandidit image depends on the construction of the image in the media. It is therefore an attempt to be popular in droves by the political elite in order to gain political legitimacy from the people. Keywords: kampenye politics, mass media, popular culture Abstraksi : Politik dan budaya merupakan unsur yang terbuka sehingga keduanya dapat melakukan interpenetrasi untuk melakukan penyatuan kode yang membentuk suatu perilaku politik cultural Pemanfaatan budaya populer dalam sebuah perilaku politik dianggap sebagai strategi baru dalam dunia politik. Kemenangan politik pada pemilu 2004 adalah potret kemenangan pertarungan citra dipanggung politik. Media menjadi rujukan calon pemilih untuk mengenali sosok kandidit. Citra kandidit bergantung pada konstruksi citra di media. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Kata Kunci : Kampenye Politik, Media Massa, Budaya Populer 90

Ria Rahmatul Istiqomah, Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer Pendahuluan Apa yang terjadi apabila budaya populer masuk ke dalam ranah politik? Dua unsur yang sepertinya sangat bertolak belakang untuk dapat dipadukan, namun fenomena tersebutlah yang telah terjadi hari ini. Politik dan budaya merupakan unsur yang terbuka sehingga keduanya dapat melakukan interpenetrasi untuk melakukan penyatuan kode yang membentuk suatu perilaku politik kultural. Namun dalam interpenetrasi politik kultural ini, budaya seakan berada dalam posisi yang dimanfaatkan untuk dapat memenuhi kebutuhan politik. Pemanfaatan budaya populer dalam sebuah perilaku politik dianggap sebagai strategi baru dalam dunia politik. Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi kepentingan politis para aktor politik. Debat televisi antar calon presiden dan wakil presiden pada pemilu tahun 2004 adalah saat yang menentukan bagi perkembangan lanskap komunikasi politik dan media di Indonesia. Debat tersebut kemudian juga diikuti oleh debat-debat calon kepala daerah di tingkat lokal menjelaskan bahwa pentingnya senyum kemenangan, wajah ramah, dan segar, komposisi bedak di pipi semir dan sisir rambut yang rapi dan klimik, dan sedikit kerdip mata ke penonton dan bila perlu ditambahkan kemampuan menyanyi. Penampilan diri yang kokoh dan penuh percaya diri ini menjadi tanda kesiapan sang politisi. Pemilu 2004 menandai wewangian dan penuh aura kemewahan yang menjadi sarana komunikasi citra elit politik dan antar elit politik dan massa. Pemilu 2004 menandai kemenangan politik citra dan realitas politik menjadi peristiwa media yang didramatisi sebagai panggung pertunjukan yang melibatkan aktor-aktor. Pemilu-pemilu sebelumnya memang menggunakan media pencitraan tetapi baru pada pemilu 2004 sebuah foto atau gambar lebih bernilai daripada retorika dan pidato kampanye yang membosankan. Kemenangan pemilu 2004 menjadi potret kemenangan pertarungan citra dipanggung politik. Media menjadi sumber rujukan calon pemilih untuk mengenali sosok kandidat. Citra kandidat bergantung pada konstruksi citra di media. Karena politik adalah persepsi maka media mulai ikut mendikte, mendominasi dan menyimpulkan penilaian orang akan sosok kandidat. Politisi yang sukses selalu mengeksploitasi teknologi komunikasi. Sebut saja Theodero Rooselvelt mempromosikan kariernya politiknya dengan membuat perintis awal dalam seni manajemen kesan dimedia massa yang dikutip dalam komunikasi politik Indonesia pasca reformasi dalam buku budaya Populer sebagai komunikasi massa Idi Subandi Ibrahim hal 209. Kemudian kemenangan Barrack Obama ketika menjalani pemilihan presiden Amerika pada tahun 2008. Ketika masih berstatus sebagai calon presiden dari Partai Demokrat, dengan cerdas Obama mencoba merangkul masyarakat Amerika melalui pendekatan kultural melalui wadah iklan politik. Sebagai contoh, ketika masih dalam masa kampanye Presiden pada tahun 2008, Obama menggunakan musik populer sebagai media dan wadah kampanye politiknya. Ia memanfaatkan artis artis populer dalam bidang musik untuk menciptakan sekaligus merekam sebuah lagu easy listening yang berjudul yes we can!, sebuah judul lagu yang sebenarnya juga merupakan jargon dari kampanye Obama itu sendiri. Lagu tersebut akhirnya dipublikasikan melalui media video clip agar dapat dipublikasikan kepada khalayak melalui situs pengunduh video seperti Youtube, Metacafe, dan lain sebagainya. Melalui strategi ini, Obama sukses mengajak generasi muda untuk tertarik dengan isu politik dan pada akhirnya mangarahkan mereka untuk mendukung dirinya terpilih sebagai presiden Amerika ke-44. (http://toiletpribadi.blogspot.com/2011/12/ kampanye-politik-dan-budaya-populer.html, diakses tanggal 19 juli 2012). Masih memanfaatkan musik populer, pada cover majalah Rolling Stone edisi bulan July 2008 wajah Obama terpampang bersama headline majalah yang berjudul A New Hope. Jika diperhatikan, penampakan Obama di cover majalah Rolling Stone terlihat aneh. (http://budaya-pop. blogspot.com/fenomena-budaya-pop-dalam-politik. html, diakses tanggal 19 Juli 2012). Pasalnya Rolling Stone merupakan majalah yang membicarakan mengenai isu musik populer di Amerika bahkan internasional. Namun bisa bisanya Obama yang bergerak dalam ranah politik, dibicarakan oleh sebuah majalah yang bergerak dalam bidang musik populer. Obama telah sukses memanfaatkan media cetak yang tidak berkecimpung dalam ranah politik dan intelektual, bahkan majalah ini bersegmentasi pada orang orang yang apatis terhadap dunia perpolitikan seperti seniman, musisi dan lain sebagainya. Hal ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dimana Obama dapat menjangkau ranah yang sebenarnya jauh dari jangkauannya. (Ibid dari artikel http://toiletpribadi. blogspot.com/2011/12/kampanye-politik-dan-budaya-populer.html, diakses tanggal 19 juli 2012) Perlu ditegaskan pula bahwa keberhasilan 91

JURNAL INTERAKSI, Vol II No.2, Juli 2013 : 90-97 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempromosikan karir politiknya adalah berkat drama politik yang dimediakan dan ditelevisikan, yang dimulai saat pengunduran dirinya posisi MenkoPolkan menurut Hidayat (2005) pemilu telah menciptakan mode of power production yang kian mengandalkan gelembung politik. Melalui kampanye dan menajemen persepsi realitas SBY telah digelembungkan menjadi citra unggulan yang dipertarungkan merebut investasi dukungan suara dibursa politik. Ketika politisi menjadi aktor dan para selebritis berduyun-duyun memasuki panggung politik maka maka para elit politik puan kian semakin rajin membaca puisi, main gitar dan bernyanyi. Pidato politik kini melai diselingi dengan lantunan suara politisi. Ketika rentan musibah meniba bangsa ini, Presiden SBY merespon mengajak bangsa Indonesia bersabar dengan melantunkan lagu Untuk kita renungkan yang diiringin dentingan gitar dari si pencipta lagu Ebit G.Ade. (Ibid dari artikel http://budaya-pop. blogspot.com/fenomena-budaya-pop-dalam-politik. html, diakses tanggal 19 Juli 2012) Kemudian baru-baru ini baru saja kita menyaksikan sebuah pertunjukan dan pemilukada DKI Jakarta, dimana kesemua calon gubernur DKI Jakarta berlomba-lomba menarsiskan diri dimedia demi meraup keuntungan dan simpati masyarakat/warga Jakarta. Pemilukada DKI Jakarta menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat Indonesia karena Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan, disamping itu juga Jakarta merupakan pusat bisnis dan keuangan sehingga kerja-kerja kepemerintahan serta transaksi bisnis terkosentrasi di Jakarta. Jakarta yang memiliki jumlah penduduk 9.607.787 jiwa menurut data BPS hasil sensus penduduk 2010 merupakan pusat muncul bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa asing. Sehingga Jakarta menjadi perwajahan ataupun representasi dari budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Begitu juga dengan sisi perpolitikan pemerintahahnya, kesuksesan pemilukada Jakarta pun menjadi bagian terpenting dalam perpolitikan pemerintahan Indonesia. Para calon kandidat tersebut secara glamor dan besar-besaran melakukan kampanye politik baik dengan menggunakan media massa maupun non media. Berbagai poster,baliho dipasang dan dipajang disetiap sudut kota Jakarta, berbagai kegiatan sosialpun digencarkan dan terakhir dengan menggunakan media televisi sebagai ajang narsisme bagi bakal calon 92 gubernur DKI Jakarta. Debat-debat maupun talkshow yang diadakan oleh media televisi yaitu TV One dan Metro TV menjadi kesempatan emas bagi para kandidat untuk bersolek dan berpose didepan kamare agar bisa menarik perhatian masyarakat. Kala mereka terlihat malu-malu dan isi debat lebih mirip koor dan saling umbar pujian, media setengah memaksa mereka untuk bertarung dalam debat tersebut supaya meningkatkan rating acara debat tersebut. Mungkin media berharap debat yang berlangsung tersebut bisa seramai para komentator bayaran stasiun televisi. Namun, kenyataannya para calon tersebut adalah orang timur yang merasa debat sama dengan pertengkaran yang tabu untuk dibicarakan. Media pun selalu mencari akal supaya hasil debat seperti yang mereka inginkan. Caranya mengganti berbagai format. Sejauh ini debat memang mendorong calon yang paling populerlah yang bakal memenangkan pertarungan dalam pemilihan gubernur tersebut, terlepas dari kemampuannya. Budaya populer salah satunya dimanfaatkan sebagai kendaraan yang diarahkan kedalam ranah politik oleh para aktor untuk dapat memenuhi kebutuhan politik mereka. Penggunaan budaya populer sebagai alat politik dirasa cukup cerdas, melihat budaya populer sangat identik dengan generasi muda, maka dengan adanya unsur pop culture dalam sebuah iklan politik sebuah kampanye yang bersifat politis dapat terkemas secara lebih menarik dan jauh dari kesan high context yang sudah melekat dalam dunia perpolitikan. Harus disadari benar bahwa perpolitikan kita sekarang ini sedang berlangsung dalam arena masyarakat massa (mass society). Memang, dalam masyarakat massa, politik telah kehilangan auranya. Dunia politik dan pemilihan presiden-wakil presiden yang dulu dimitoskan serba angkuh, angker, serta menjunjung tinggi kewibawaan, kini tidak lebih sebagai produksi hiburan yang menyenangkan. Dalam masyarakat massa semacam ini, fenomena pesan-pesan politik tidak perlu lagi diletakkan dalam parameter bermakna atau tidak, melainkan lebih diposisikan pada sudut pandang menghibur atau membosankan. Dalam paper ini penulis ingin memaparkan bagaimana meleburnya gejala politik dalam budaya populer dalam proses politik dilevel simbolik dengan melihat berbagai unsur komunikasi politik yang sedang dimainkan dipanggung politik oleh para juru kampanye atau partisipan partai politik pada pemilukada DKI Jakarta. Apakah masyarakat sebenarnya hanyalah komoditas politik yang diperlukan

Ria Rahmatul Istiqomah, Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer untuk mendulang suara, setelah itu mereka dilupakan seperti halnya angin lalu saja? Pembahasan Kampanye Politik dan Budaya Populer Budaya populer sendiri adalah konsep yang populer. Pada awalnya budaya populer adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari budaya elite. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah menjadi sebuah konsep netral. Dalam buku Jurnal Polysemia: budaya popular dan demokrasi yang ditulis oleh Wisnu Martha (hal 17) mengatakan bahwa budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat. Dalam dunia semacam ini, tren ini ditekankan oleh suatu media massa yang konvensi untuk mendukung perpolitikan. Gaya baru dari komunikasi politik yaitu politisi menjadi bintang atau politik menjadi serangkaian yang dotonton dan warga menjadi penonton. Logika dari hal diatas adalah dieksplorasi dalam literatur antara politik dan pemasaran (Lees-Marshment 2001; lihat juga Scammell 1999) mengatakan bahwa politik tidak hanya memanfaatkan praktik dan teknik pemasaran tetapi politik adalah pemasaran. Sebagai logika pemasaran itulah harus membentuk konsepsi representasi. Konstruksi diri sebagai pencitraan sebagai usaha para politisi untuk menjual diri mereka kepasar untuk mengkomunikasikan pesan mereka. Menurut Neil Postman (Dalam jurnal Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation John Street) mengatakan bahwa tokoh-tokoh politik dapat muncul di mana saja, kapan saja, melakukan apa-apa, tanpa pikir aneh, sombong, atau dengan cara apapun keluar dari tempat dan mereka telah berasimilasi ke dalam budaya televisi dan menjadi selebriti politik. Sesungguhnya persinggungan antara dunia politik dan budaya pop telah menjadi pembahasan yang menarik bagi pengkaji komunikasi politik. James E.Comb dalam buku PolPop:Political And Popular Culture in American menyebut fenomena ini sebagai polpop (pembauran antar politik dan pop culture). Peristiwa politik dianggap layaknya opera sabun atau melodrama ditelevisi yang diperan-peran tertentu dimainkan oleh para aktor di pentas hiburan. Peristiwaperistiwa politik yang dimediakan pun dipandang sebagai opera politik sebagaimana kampanye pun dianggap sebagai ritual drama. Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat terhadap sosok elit. Perkembangan politik ternyata tak bisa menghindar dari kemajuan teknologi komunikasi dan pergeseran selera masyarakat. Kanal budaya pop menjadi sarana komunikasi antara elit politik dan massa. Budaya pop, politik, dan komunikasi politik mengalami konvergensi (bertemu) satu sama lain. Misalnya, kampanye politik sudah lumrah melibatkan artis pop, musik pop/dangdut, dan program televisi dipenuhi dengan politisi artis pop. Politisi yang serius pun (seperti tentara!) harus berhadapan dengan sorotan yang terus-menerus dari media pop atas kinerja pribadi dan politiknya. Dalam Politics And Popular Culture, Street (1997) melukiskan genre politik ini sebagai soal penampilan (a matter of performance). Politik memiliki kaitan yang erat dengan budaya pop. Permainan di depan pemirsa televisi menjadi bentuk seni pertunjukan. Menurut Street, politik sebagai budaya pop adalah menciptakan khalayak. Orang akan tertawa dengan lelucon, memahami kecemasan, dan berbagi harapan dengan politisi, baik media pop maupun politisi menciptakan karya fiksi pop yang menggambarkan dunia impian rakyat. (Lihat, J.Street.1997. Politic and Popular Culture. Combrigde : Politic Press) Di era kedigdayaan televisi, politik dan laku politisi menjadi panggung hiburan. Di era ini, politisi lebih suka tampil di media dan membuat sensasi berita. Lebih suka retorika daripada karya, lebih doyan fashion ketimbang vision. Televisi tampil sebagai media utama kanal komunikasi elit politik sekaligus kanal gosip politik. Dominic Strinati (dalam An Introduction to Theories of Popular Culture, 1995: 6) menyatakan bahwa masyarakat massa terdiri dari orangorang yang mengalami atomisasi. Inilah orang-orang yang mengalami kekurangan hubungan dalam makna dan moralitas yang penuh. Orang-orang ini tidak dapat dipandang secara murni dan sederhana sebagai atomatom kecil yang mengalami isolasi, namun pertalian di antara mereka sepenuhnya bersifat kontraktual, berjarak dan sporadis ketimbang bercorak komunal dan terintegrasi dengan baik. Inilah yang mengakibatkan budaya massa dengan berbagai formulanya, seperti musik, lagu populer, sinetron sebagai tontonan yang serba menghibur tanpa harus berpikir serius, serta berita-berita selebritis yang sangat sensasional dalam format info- 93

JURNAL INTERAKSI, Vol II No.2, Juli 2013 : 90-97 tainment, sedemikian sangat digemari. Dalam hal ini politik politik sebagai permainan tanda benar-benar telah merubah watak kehidupan politik dalam masyarakat mukhtahir. Pertarungan politik lebih banyak sebagai pertarungan citra di ruang publik. Kerja politisi menjadi lebih banyak berurusan dengan kerja memperbaiki penampakan luar saja atau presentasi diri. Pada saat budaya popular menjadi sarana pendukung tujuan politik dan dunia politik melebur kedalam budaya pop, maka pada saat itu batas-batas antara seni, politik dan propaganda menjadi kabur. Terutama dengan dukungan media dan terutama televise, realitas politik dilapangan nyata sering kali menjadi kalah menarik dibandingkan dengan realitas politik yang dimediakan. Bahkan tak jarang perang politik itu hanya heboh dimedia atau dalam semarak pentas kampanye, tetapi dibalik itu diruang-ruang berac kantor gubernur ataupun presiden tak terjamah oleh media. Sebuah iklan kampanye politik memperlihatkan warna-warni jenis iklan mulai dari menghadirkan sosok anak muda, kepedulian terhadap nasib warga Jakarta, potret permasalahan warga Jakarta seperti kemiskinan, banjir, macet, pengangguran dan sebagainyanya. Kampanye tidak lagi hadir dari pangung ke panggung dengan mengumpulkan massa dan berorasi didepan ribuan simpatasisannya. Tetapi gayagaya seperti yang dikalakukan oleh calon kandidat Jakarta dibawah ini menandakan adanya perubahan lanskap komunikasi politik. Berikut ini bentuk-bentuk kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. 94 Dalam kondisi ini, para kandidat yang berkampanye akan masuk kedalam kondisi mulai dari kemasan fisik sampai dengan gaya bicara seorang kandidat bisa tampil seperti seorang VJ MTV yang berbicara dengan gaya santai dan gaul. Berbeda jauh dari kesan membosankan yang selama ini dipertontonkan oleh para politisi kita. Hal ini bisa dilihat dari gambar yang ditampilkan diatas, dimana para kandidat berlombalomba menarik hati warga Jakarta dengan menggunakan berbagai bentuk dan model kampanye. Selain itu penggunaan simbol-simbol seperti yang sering digunakan oleh para kandidat misalnya penggunaan baju, topi, bahasa-bahsa gaul yang digunakan mengandung makna dan simbol-simbol tersendiri. Seperti yang seiring baju kotak-kotak yang sering digunakan oleh calon kandidat nomor 3 Jokowi mengandung makna yang mendalam. Berdasarkan penjelesannya dalam sebuah iklannya yang bertemakan Jakarta Baru yang berdurasi 1 menit 34 detik itu (maaf tidak bisa saya tampilkan karena berbentuk video), ia menjelaskan bahwa filosofi penggunaan baju kotak-kotak dalam setiap kampanyenya tersebut adalah warna-warni ibu kota seperti beragam etnis,suku,agama,ras,pekerjaan jangan membuat kita hidup terkotak-kotak tetapi harus bersatu dalam keragaman tanpa membedakan orang. Lain lagi dengan Foke penggunaan simbol baju betawi yang sering ia gunakan dalam setiap tampilannya saat berkampanye. Ia ingin memberikan makna dan gambaran bahwa dia

Ria Rahmatul Istiqomah, Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer merupakan putra asli betawi dan siap melestarikan budaya betawi. Demokrasi memang memberikan hak bagi siapapun yang ingin menyampaikan aspirasinya sekalipun dengan menggunakan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan politik untuk mengkonsololidasikan diri dan memanfaatkan kampanye sembari mendendangkan dengan menyajikan ilusi-ilusi spektakuler dalam membangun dan mengembangkan Jakarta yang mereka inginkan. Iklan menyajikan kita dengan citra yang kemudian membuatnya tampak seperti yang sesungguhnya. Debat Kandidat Sebagai Panggung Hiburan Sebagai figur fantasi dalam budaya pop politisi juga menjadi pemimpin simbolik. Sebagai pemimpin simbolik mereka merepsesntasikan tidak hanya politik saja melainkan juga nilai, gaya hidup dan keglamoran dunia politik. Debat kandidat ditelevisi tidak dimaksudkan sepenuhnya untuk membangun ruangruang bagi pemerkayaan wacana demokrasi tetapi untuk pentas mempromosikan diri atau menjadi ajang publisitas. Bahkan tak jarang fenomena selebritisasi politik ini membuat perdebatan politik di televisi tampak naïf dan konyol karena kehebatan penampilan seseorang tidak dengan sendirinya di iringi dengan kecerdasan dalam beragumentasi. Politik debat kandidat ditelevisi tidak ayal sebagai bentuk periklanan citra sebagai propaganda politik. Pada masa kampanye calon kandidat gubernur DKI Jakarta ini yang dijual bukan saja hanya nomor, tanda, gambar atau warna tetapi yang dijual adalah figur-figur yang dianggap bisa merepsentasikan kepemimpinan yang di inginkan oleh warga/masyarakat Jakarta. Maka tak heran ledakan iklan politik dari masing-masing kandidat sangat berlebihan. Televisi seakan-akan telah menjelma menjadi kanal politik dalam ruang keluarga Indonesia. Menariknya siaran live, tidak hanya karena pada unsur partisipasi dan kehadiran stasiun tersebut pada event yang dimaksud, tapi pada asumsi yang dimunculkan, bahwa apa yang kita saksikan tak termediasi, tak terkontaminasi dan akurat. Oleh karena itu kemampuan Live Report sangat penting. Live Report menggabungkan konsep program berita dan reality show. Para kandidat biasanya berada dalam posisi untuk bertindak menampakkan fantasi-fantasi mereka dengan membuat kehebohan saat ditanyai oleh panelis dalam debat kandidat. Mereka sengaja mendramatisasi fantasi-fantasi ataupun kehebohan mereka dengan menciptakan visi-visi retoris. Visi tersebut hampir selalu muncul dalam setiap propaganda. Setiap pidato atau penyampaian singkat keinginan mereka dalam mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta mereka selalu menampilkan diri sebagai sosok yang bersahaja, ramah dan peduli terhadap nasib warga Jakarta, tak heran bila para pendukung atau simpatisan maupun tim sukses dari masing-masing meraka yang hadir pada saat debat kandidat tersebut menyeruakan sorakan-sorakan dan yel-yel indah untuk mendukung kandidatnya masing-masing. Inilah gambar suasana saat debat Kandidat putaran pertama yang disiarkan langsung di TV One. Dalam debat yang digelar KPU DKI, di Hotel Gran Melia, Jl Rasuna Said, Jaksel, Minggu, (24/6/2012) makin akhir makin memanas. Dalam pernyataan akhir, Cagub Fauzi Bowo mengingatkan seluruh pasangan calon agar jangan sesumbar berjanji karena masalah Jakarta kompleks. Menanggapi itu, Alex Noerdin justru menyindir Foke yang. pernah berjanji membenahi Jakarta. Pernyataan Foke itu tentu saja ditunjukan pada semua pasangan calon yang tak henti mengumbar janji selama ajang debat. Namun, rupanya presenter yaitu TV One Alfino sengaja memancing pertanyaan kepada kandidat lain dan langsung berkata ya bagaimana dengan kandidat lainnya,apakah anda semuanya merupakan orangorang yang hanya bisa mengubar janji? dan tak ayal 95

JURNAL INTERAKSI, Vol II No.2, Juli 2013 : 90-97 yang lebih merasa tersindir adalah Alex Noerdin, Cagub asal Sumatera Selatan yang dalam kampanyenya selalu berjanji dapat menyelesaikan permasalahan Jakarta dalam 3 tahun, langsung menjawab Memang tidak boleh asal berjanji, tapi dulu 5 tahun yang lalu ada yang berjanji tapi sampai sekarang tidak ditepati, sindir Alex pada calon incumbent Fauzi Bowo. Bahkan sebelumnya dalam debat cagub dan cawagub DKI Jakarta, beberapa pasangan calon terlibat saling serang melalui pemaparan visi dan misi. Salah satunya adalah serangan Cagub Hendardji Soepandji yang menyindir Foke bahwa Jakarta jangan lagi Berkumis (Berantakan, Kumuh dan Miskin). Hal itu ditanggapi Foke dengan menantang Hendardji mengeluarkan data soal fenomena Berkumis, yaitu data soal prevalensi DBD. Debat kandidat yang secara resmi digelar oleh KPU DKI ini sejak awal memang berlangsung riuh dan memanas. Tidak saja di antara para kandidat, tetapi juga di antara para supporter yang sejak awal meramaikan debat yang ditayangkan secara live di TV One tersebut. Di sela-sela perdebatan, tim pendukung Fauzi Bowo beberapa kali meneriakkan yel-yel, satu putaran number one is the best. Yel-yel itu disambut oleh para pendukung Hidayat-Didik yang berjumlah sekitar 10 orang dengan teriakan, Ya Allah ampun ya Allah, Begitu juga dengan tim pendukung calon gubernur dan wakil gubenur lain yang turut meramaikan suasana. Peristiwa yang dapat disajikan dalam format debat live on camera, bila kejadian tersebut memiliki nilai berita yang besar atau yang luar biasa, peliputannya ditunjukan secara langsung kepada pemirsa dengan durasi yang disesuikan dengan kebutuhannya ( Arifin 2006 : 61). Dalam kaitan dengan penyajian format debat dalam format live ini dapat dilihat pada awal sampai akhir tayangan ketika debat itu dimulai. Rasa ingin tahu warga dalam suasana hinggar binggarnya debat tersebut mendorong jurnalis untuk menyajikan berita dalam format live on camera. Disamping itu terlihat pula bahwa ada unsur sensasional dan dramatisasi yang melekat pada debat kandidat tersebut. Debat yang mengandung unsur konflik karna ada percekcokan atau pertentangan antar individu merupakan sebuah nilai berita yang memiliki daya tarik yang signifikan Dalam situasi demikian, kedudukan khalayak pun menjadi dua jenis, yakni sebagai produk yang dijual kepada para pemasang iklan serta sebagai khalayak yang waktu luangnya terus diekploitasi dengan cara mendorong mereka untuk mengkonsumsi muatan pesan yang di produksi. Sebuah industri televisi memang kini sepenuhnya eksis untuk 96 membentuk fantasi-fantasi tersebut, seperti keahlian yang menyediakan artefak propaganda bagi mereka yang menyertai visi retoris masing-masing kandidat. Industry televise inilah yang kemudian disebut Gary Yanker sebagai seni propaganda yang melahirkan seniman propaganda dalam memposisikan kandidat dan membangun citra di pentas drama politik, (lihat Garry yanker,pop art. New York; Danial house,inc. seperti yang dibahas dalam nimmo dan comb 1983). Produsen TV maupun presenter debat kandidat sengaja memainkan peran gandanya dalam membentuk gaya atau dari para kandidat tersebut. Menurut Dan Nimmo dan James E.Comb (1983) propaganda kampanye bertujuan untuk memediakan dua fantasi yang tumpah tindih dan saling berkaitan erat. Pertama propaganda mengkostruksikan fantasi tentang kandidat, kualitas, kualifiaksi, kemudian yang kedua adalah memediakan realitas-realitas tentang sifat dasar dari dunia tersebut. Propaganda tersebut telah menghasilkan sebuah citra, dimana Daniel Boorstin dalam karya klasiknya, The Image A; Guide to Presudo Even in America mengatakan bahwa citra menjadi lebih penting daripada substansi. Citra telah menggantikan pengalaman dan wacana sebagai cara untuk memahami dunia sosial. Dan kini kita dipertontonkan dalam sebuah dunia citra yang spektakuler dan menakjubkan. Dan kata citra kini merujuk pada kesan public yang dibentuk dan difabrikasikan (dibuat-buat). Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondongbondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga dituntut untuk bisa menjadi icon populer dimata publik. Penutup Berbaurnya politik dalam budaya pop telah menyebabkan batas antara periklanan citra dan propaganda politik menjadi kabur didalam kemasama estetika iklan ataupun debat kandidat yang manipulatif yang mungkin saja telah berhasil dimanfaatkan oleh para perancang iklan dan pemilik sumber daya modal dan kuasa untuk kepentingan yang tidak begitu jelas

selain dari kuasa kepentingan capital itu sendiri. Selama ini publik sering merasa sia-sia berhadapan dengan kampanye politik. Dalam pentas politik mereka belum diperlakukan sebagai warganegara tetapi lebih sebagai komoditas politik untuk menyemarakan latar pentas kampanye dan mendulang suara dalam pemilu. Selain itu ada masalah dengan terpaan yang berlebihan bombardiran kampanye oleh citra yang sama. Kemudian ada kekurangan debat yang real terhadap isu yang hanya diliputi oleh retorika lisan dan visual. Maka bertolak dari kesadaran bahwa pseudoevent dalam dunia politik yang dimediakan itu telah mempengaruhi proses komunikasi politik antara dan massa, dan masyarakat semakin diberdayakan dari kemungkinan manipulasi citra politik yang dikemas dimedia. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Garry, Yanker. 1983. Pop Art. New York; Danial house,inc. seperti yang dibahas dalam Nimmo dan Comb James, E Combs. 1982. Polpop: Political and popular Culture in American. Brucnkic. Ohio: King s Court Communication J.Street.1997. Politic And Popular Culture. Combrigde : Politic Pres Lees-Marshment, J. (2001) The marriage of politics and marketing, Political Studies, 49:4, 692 713. Orrin Klapp. 1949. Symbolic Leader: Public Drama dan Public Men. New York; Miverna press Scammell, M. (1999) Political marketing: lessons for political science, Political Studies, 47:4, 718 739 Strisnati Dominic. 2009. Popoular Culture. Yogjakarta ; A. Ruzz Media Wisnu Martha Adiputra. 2006. Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Internet http://budaya-pop.blogspot.com/fenomena-budayapop-dalam-politik.html, diakses tanggal 19 Juli 2012 http://toiletpribadi.blogspot.com/2011/12/kampanyepolitik-dan-budaya-populer.html, diakses tanggal 19 juli 2012 Ria Rahmatul Istiqomah, Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer 97