LAPORAN PENELITIAN SURVEI PERILAKU BERISIKO DAN PERILAKU PENCEGAHAN TERTULAR HIV DI LAPAS KEROBOKAN, DENPASAR, BALI



dokumen-dokumen yang mirip
KUESIONER PENELITIAN

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

DETERMINAN STATUS HIV PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK: PENELITIAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB I PENDAHULUAN. Akibat pesatnya pembangunan fisik dan pertambahan penduduk di suatu kota

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Afrika Selatan), D joma (Afrika Tengah), Kif (Aljazair), Liamba (Brazil) dan Napza

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU MENGENAI HIV / AIDS PADA SISWA SISWI KELAS DUA DAN TIGA SALAH SATU SMA SWASTA DI KOTA BANDUNG TAHUN 2006

PERAN FAKTOR INTRINSIK DALAM KEIKUTSERTAAN PENGGUNA NARKOBA SUNTIK PADA PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI KABUPATEN BADUNG TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

ABSTRAK KUALITAS HIDUP KLIEN TERAPI METADON DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). Acquired

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WARGA BINAAN KASUS NARKOBA DALAM PENCEGAHAN HIV DAN AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

Konseling & VCT. Dr. Alix Muljani Budi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Sugiarto Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu Jambi

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS dan penularannya di dunia meningkat dengan cepat, sekitar 60 juta orang di dunia telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN PENDERITA HIV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAHURIPAN KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA. Nur Lina 1, Kusno Prayitno 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

EFEKTIVITAS PROMOSI KESEHATAN DENGAN METODE PEER EDUCATOR TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG HIV/AIDS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. 1 HIV yang tidak. terkendali akan menyebabkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency

ABSTRAK PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA ANGKATAN 2010 TENTANG HIV/AIDS

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Kesimpulan Rekomendasi Lampiran

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

Nizaar Ferdian *) *) mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Koresponden :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan jumlah kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

LAPORAN PENELITIAN SURVEI PERILAKU BERISIKO DAN PERILAKU PENCEGAHAN TERTULAR HIV DI LAPAS KEROBOKAN, DENPASAR, BALI Tim Peneliti: Tim Peneliti: Dr. Anak Agung Gede Hartawan (Pokja Lapas KPA Provinsi Bali) Dr. Anak Agung Sagung Sawitri (Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) Dr. Ni Wayan Septarini (PS Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana) Didukung oleh: KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL 2009

KATA PENGANTAR HIV dan AIDS di Provinsi Bali selalui menempati peringkat ke dua hingga ke 5 di Indonesia. Pola penularan HIV yang dominan adalah melalui dua cara yaitu melalui penggunaan narkotika suntik serta hubungan seksual berisiko. Lembaga Pemasyarakatan diperkirakan merupakan salah satu populasi yang rawan terhadap penularan HIV termasuk dalam hal ini adalah Lapas Kerobokan sebagai Lapas terbesar di Bali. Saat ini belum ada data pasti tentang situasi perilaku berisiko di Lapas Kerobokan maupun Lapas lain di Indonesia. Dengan adanya studi perilaku berisiko tertular HIV di Lapas Kerobokan, diharapkan dapat diketahui dengan pasti besaran masalah serta karakteristik perilaku berisiko tertular HIV. Diharapkan agar data tersebut dapat digunakan untuk kepentingan perencanaan program penanggulangan HIV di Lapas Kerobokan di masa mendatang. Lebih jauh, diharapkan data ini dapat digunakan oleh pihak-pihak lain di luar Lapas Kerobokan yang mungkin membutuhkannya. Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu, tim peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. KPA Nasional atas dukungan dana penelitian 2. Made Setiawan, Ph.D; Prof. DN. Wirawan; Prof. Budi Utomo; dr. Suriadi Gunawan; Endang Sedyaningsih; Abby Rudick; serta Suzzanne Blogg atas bantuan konsultasinya dalam pengembangan proposal, pelaksanaan penelitian serta penulisan laporan 3. Kepala Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali beserta jajarannya serta Kepala Lapas Kerobokan atas perkenan untuk melakukan studi di Lapas Kerobokan; memberikan data dasar, serta masukan-masukannya dalam penulisan laporan. 4. Staf Klinik LP serta tamping Klinik LP yang telah membantu dalam proses wawancara serta memberikan informasi kunci terkait situasi Lapas Kerobokan. 5. Pewawancara yang telah melakukan tugas wawancara dengan sabar. 6. Warga binaan yang telah bersedia menjadi responden dan memberikan informasi yang berharga dalam penelitian ini 7. Serta berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu Besar harapan kami agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan para pemegang kebijakan untuk kepentingan masyarakat luas. Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Untuk itu, kami sangat mengharapkan masukan dan kritik yang konstruktif guna penyempurnaan laporan ini dan mohon maaf jika ada kesalahankesalahan yang tidak kami sengaja dalam pelaksanaan penelitian ini. Tim Peneliti ii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. i DAFTAR ISI.. iii DAFTAR TABEL. iv DAFTAR GRAFIK v DAFTAR LAMPIRAN vi ABSTRAK vii BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan Penelitian. 4 1.2.1 Tujuan umum. 4 1.2.2 Tujuan khusus...... 4 1.2.3 Justifikasi dan Implikasi Kebijakan... 5 BAB 2 PENJELASAN TEORETIK PERTANYAAN PENELITIAN ATAU HIPOTESIS. 6 2.1 Tinjauan Teoretik. 6 2.2 Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya... 7 BAB III METODE PENELITIAN.. 11 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 11 3.2 Desain.. 11 3.3 Populasi dan Sampel. 11 3.4 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel... 12 3.5 Alat dan Cara Pengumpulan Data 14 3.6 Analisis Data 15 3.7 Aspek Kerahasiaan.. 16 3.8 Ethical Clearance. 16 BAB IV. HASIL PENELITIAN 17 4.1 Karakteristik Responden. 17 4.2 Kegiatan Pembinaan. 19 4.3 Pengetahuan Responden... 19 4.4 Perilaku Berisiko dan Perilaku Pencegahan Tertular HIV... 21 4.4.1 Perilaku Pemakaian Narkotika dan Narkotika Suntik.. 22 Pemakaian Narkotika... 22 iii

Pemakaian Narkotika Suntik... 24 4.4.2 Perilaku Berhubungan Seks Berisiko 28 4.4.3 Tekanan teman Sesama Warga Binaan dalam Berperilaku Berisiko.... 4.4.4 Membuat Tattoo, Memasang Aksesoris, serta Berbagi Alat Cukur... 4.4 Kontribusi Program Penanggulangan HIV di LP Kerobokan... 31 4.5 Perbandingan dengan Hasil Angket... 34 BAB 5. PEMBAHASAN... 37 5.1 Perilaku Menyuntikkan Narkotika... 37 Besaran Masalah... 37 Kemungkinan Penularan HIV di Lapas Kerobokan melalui Penasun 39 Kontribusi Program Penanggulangan HIV... 40 Catatan Penting Dalam Perilaku Berisiko Tertular HIV Melalui Jarum Suntik... 5.2 Perilaku Berhubungan Seks Berisiko... 44 5.3 Perilaku Berbagi Alat Cukur, Membuat Tattoo Serta Aksesoris... 46 5.4 Proses Sampling dan Pengumpulan Data... 47 5.5 Kelemahan Studi... 48 BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 50 6.1 Kesimpulan... 50 6.2 Rekomendasi... 51 DAFTAR PUSTAKA... 52 LAMPIRAN-LAMPIRAN... 54 30 30 42 iv

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran... 13 Tabel 4.1 Karakteristik Responden di Lapas Kerobokan, 1 Juni-30 November 2009... Tabel 4.2 Kegiatan Pembinaan yang Diikuti Responden.... 19 Tabel 4.3 Deskripsi Jawaban Benar Responden.... 20 Tabel 4.4 Jenis dan Cara Pemakaian Narkotika di Lapas Kerobokan... 24 Tabel 4.5 Karakteristik Perilaku Menyuntikkan Narkotika di Lapas... 26 Tabel 4.6 Perilaku Penggunaan Narkotika dan Berhubungan Seks di Lapas yang Dilakukan oleh Teman Warga Binaan...... Tabel 4.7 Hambatan-hambatan Berperilaku Aman Selama di Lapas..... 33 Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Survei Melalui Metode Wawancara dan Angket 34 Tabel 4.9 Perbandingan Karakteristik Responden Melalui Metode Wawancara dan Angket... Tabel 4.13 Hasil Survei Melalui Metode Angket... 36 18 29 35 v

DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 10 Grafik 4.1 Sumber Informasi HIV... 21 Grafik 4.2 Prevalensi Berisiko Tertular HIV di Lapas Kerobokan... 22 Grafik 4.3 Distribusi Prevalensi Pemakai Narkotika dan Pemakai Narkotika Suntik Berdasarkan Blok... Grafik 4.4 Jenis Narkotika, Sumber dan Akses Jarum... 27 Grafik 4.5 Perilaku Membuat Tattoo dan Aksesoris di Lapas Kerobokan. 31 Grafik 4.6 Cakupan Program Penyuluhan di Lapas Kerobokan... 32 25 vi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Penelitian.. 54 Lampiran 2 Rekapitulasi Jumlah Populasi dan Distribusi Sampel Per Juni 2009 68 Lampiran 3 Rekapitulasi Jumlah Populasi dan Distribusi Sampel Per November 2009... Lampiran 4 Hasil Penelitian..... 70 Lampiran 5 Bagan Penelusuran Penasun Berdasarkan Jenis Kasus Tangkapan, Riwayat Dipenjara, Mengikuti Pembinaan serta Blok.. 69 72 vii

ABSTRACT Background. Bali Province always rank the second to fifth in term of HIV and AIDS cases in Indonesia. HIV epidemic in this province is mainly driven through sexual and blood transmission. Prison Kerobokan-the biggest prison in Bali-is estimated as one place with high transmission of HIV due to the existence of risk behavior among the prisoners. The study tried to measure the size and characteristics of the risk behavior. Method. A cross sectional survey was applied since June to December 2009 in Kerobokan prison. The study was involving 230 respondents among 608 prisoners who were chosen by systematic random sampling from 14 blocks. Structured interviewed was conducted by independent trained interviewers in separate rooms in the prison health clinic. Main variables in the questionnaires include demographic characteristics, specific characteristics, and risk behaviors including injecting drugs; having sex; tattoing, piercing; and sharing shaving tool. Data analysis was conducted descriptively in to univariate and bivariate analysis. Result. Respondents were mainly on productive age, male, non Balineese, and having high school education. Respondents were narcotics (52.2%) and non narcotic (47.8%) cases, with 1-72 months length of in prison, and 3-342 months length of adjudg. About 69% respondents had low awareness on HIV. The risk behavior exist was injecting drug use (7.4%), having sex (3%), tattoing (17.8%), piercing (7.3%) and sharing shaving tool (11.3%). Only 0.08% IDUs who started injecting while in prison. IDUs were distributed in 7 (53.8%) blocks in which more than 10 (58.8%) IDUs tend to consentrate in 1 block. IDUs injected 0-3 times per day, around 50% sharing needles on the last week and last injection with 1-10 friends. However, mostly (93.8%) had cleaned the needle, either with bleach (93.3%; 66.7%) or water (80.0%; 22.2%) in the last week and last injection. Accessing bleaching and needles were considered as an obtacles by all IDUs. Regarding sex, only 1 among 7 respondents admitted to have vaginal sex in the last week. Among 7 respondents, half were not used condom, but they denied the difficulty in condom access. None of IDUs were having sex. Tattoing were more popular than piercing (36.9% vs. 7.4%), mostly done by certain friend (97.6% vs. 82.4%), mostly said not sharing needles (85.4% vs.52.5%). HIV prevention program had reach proportion of 46% for promotion, 76.5% for methadone program, 57.0%-82.4% for VCT program among respondents. All methadone substation users were still injecting drug. Recommendation. The existence of HIV risk behaviors and the obstacles to undergo safe behavior in Kerobokan prison need to be addressed in several ways. Deep exploration on needle and bleaching distribution strategy, continuos, wide and systematic health promotion, evaluation and development strategy for methadone treatment were alternatives to be considered. viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2006 diperkirakan terdapat sebanyak 170.000 220.000 orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia (Depkes RI, 2007). Sementara sejak tahun 1987 sampai dengan Desember 2008, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV dan AIDS yang dilaporkan mencapai 16.110 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 3372 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008). Pola epidemi HIV dan AIDS di beberapa provinsi di Indonesia tidaklah sama. Hingga saat ini terdapat 9 provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi HIV melebihi rata-rata prevalensi nasional sebesar 7,72 per 100.000 penduduk, dengan urutan 5 terbesar adalah Papua, DKI Jakarta, Bali, Riau dan Kalimantan Barat (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008). Pola penularan HIV yang dominan sampai saat ini adalah melalui penggunaan jarum suntik dan hubungan seksual berisiko. Di Provinsi Bali, prevalensi HIV saat ini diperkirakan sebesar 33,75/100.000 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008). Data kumulatif kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sejak 1987 hingga Desember 2008 menunjukkan terdapat sebanyak 2510 orang yang telah terinfeksi, dimana sebanyak 236 dilaporkan meninggal dunia (Dinkes Provinsi Bali, 2008). Pola penularan HIV di Bali secara umum juga didominasi melalui penggunaan narkotika dengan jarum suntik serta hubungan seksual berisiko. Warga binaan dari suatu lembaga pemasyarakatan (LP) merupakan salah satu populasi yang rawan terhadap penularan HIV ((Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008). Menurut estimasi KPA Provinsi Bali (2006), diperkirakan terdapat sebanyak 50 orang yang terinfeksi HIV di LP di Bali atau merupakan 1,2% dari total estimasi orang yang terinfeksi HIV pada tahun tersebut. LP Kerobokan adalah LP yang terbesar di Bali dan sampai saat ini diketahui merupakan salah satu penyumbang kasus HIV di Bali. Kegiatan sero survai telah dilakukan pada warga binaan di LP ini secara berkesinambungan sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 oleh Dinkes Provinsi Bali. Kegiatan pengamatan tersebut menunjukkan hasil berturut-turut: 18,7% (2000), 9,63% (2001), 10,2% (2002), 10,7% (2003), 6,3% (2004), 4,5% (2005), 3,4% (2006), 6% (2007), serta 1

7% (2008). Data tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan prevalensi HIV sampai tahun 2006 dan kemudian meningkat lagi di tahun berikutnya. Sebagian besar warga binaan yang telah diketahui HIV+ di klinik LP dan terpilih sebagai sampel dalam sero survei merupakan pemakai narkotika suntik (penasun), sedangkan sebagian yang positif lainnya belum diketahui faktor risikonya. Dibandingkan dengan hasil sero survei di beberapa LP lainnya di Bali, kejadian HIV+ di LP Kerobokan relatif lebih tinggi. LP Kabupaten Buleleng menunjukkan prevalensi HIV pada tahun 2004-2008 berkisar antara 0%-5,13%, sementara di LP Kabupaten Klungkung 0 4,17%, dan di Kabupaten Bangli 0 8,7%. Di LP Gianyar, Tabanan, dan Karangasem menunjukkan prevalensi HIV+ di LP berkisar 0-4% (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2004-2008). Per 27 Februari 2008, proporsi warga binaan yang terkait kasus narkotika di LP Kerobokan tercatat hampir separuh (416 orang; 49,94%) dari total kasus lainnya, sementara proporsi kasus narkotika suntik diperkirakan sekitar 69 orang (16,6%) dari total kasus narkotika. Angka tersebut bisa saja lebih rendah karena diperoleh melalui informasi warga binaan, sementara pencatatan formal memang tidak dilakukan. Demikian pula jika dibandingkan dengan hasil survei cepat (Sumantera dkk., 2001), bahwa tahun 2001 terdapat total 287 warga binaan, dengan jumlah kasus narkotika sebesar 97 orang (37,8%) dan jumlah pemakai narkotika suntik sebanyak 40 orang (41,2%). Jumlah warga binaan yang terkait kasus narkotika suntik amat penting, karena tingginya warga binaan yang terkait kasus narkotika suntik juga merupakan ancaman terjadinya perilaku pertukaran jarum suntik di LP. Hasil studi cepat (rapid assessment and response) situasi pemakaian narkoba suntik di Denpasar dan sekitarnya (Sumantera dkk, 2001) menunjukkan bahwa responden warga binaan di LP Kerobokan memiliki perilaku berisiko tertular HIV terkait dengan jarum suntik, antara lain menyuntik dengan alat yang digunakan oleh orang lain, menyuntik dengan jarum yang telah dipakai oleh orang lain ataupun pasangan seksual, mengambil cairan dari sendok yang telah dipakai penasun lain, serta memakai air atau cairan pemutih bekas penasun lain. Selain itu, merujuk studi yang sama, separuh responden di LP mengaku melakukan aktivitas seksual setidaknya seminggu sekali dalam 6 bulan terakhir dan sepertiga responden mengaku memiliki pasangan seks lebih dari dua. 2

Tingginya kejadian HIV+ di LP Kerobokan serta adanya perilaku-perilaku yang berisiko terinfeksi HIV di kalangan warga binaan LP Kerobokan, mendorong munculnya upaya-upaya penanggulangan HIV dan AIDS oleh berbagai pihak yang terkait. Upaya-upaya yang dimulai pada tahun 2001 berupa penyediaan cairan pemutih dilanjutkan dengan berbagai kegiatan lain seperti penyebarluasan informasi tentang HIV dan AIDS dan aspek lainnya, harm reduction, VCT, serta layanan methadon Kegiatan testing sukarela dan rahasia atau voluntary counseling and testing (VCT) di LP telah dimulai sejak Februari 2004. Layanan tersebut dilakukan di klinik LP yang memiliki 2 dokter dan dibantu 2 orang konselor VCT. Jumlah warga binaan LP yang menggunakan layanan VCT semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara temuan kasus HIV+ dari klinik LP berturut-turut: 44% (2004); 16,4% (2005); 11,1% (2006); 11,4% (2007); serta 10,42% (2008). Jika dikaji, ternyata rasio jumlah kasus HIV+ melalui penularan seksual dan jarum suntik adalah: 0:12 (2004); 0:10 (2005); 1:5 (2006); 3:6 (2007); dan 4:6 (2008). Kedua data tersebut menunjukkan proporsi kasus HIV+ relatif stabil dalam 3 tahun terakhir dan dijumpai pola penurunan jumlah penderita HIV+ dari kelompok penasun sementara jumlah penderita HIV+ melalui penularan seksual meningkat. Program harm reduction di LP telah dimulai sejak 2001 melalui kegiatan penyediaan cairan pemutih, sedangkan layanan methadon dimulai Agustus 2005 dengan jumlah kumulatif klien sampai akhir Pebruari 2008 sebanyak 150 orang dengan jumlah klien aktif 31 orang. Dari total 69 penasun yang tercatat di klinik LP, sebanyak 13 orang (18,8%) mengaku telah berhenti menggunakan heroin, sementara 31 orang (44,9%) aktif di Program Methadon, sehingga sebanyak 25 orang (36,2%) masih merupakan penasun aktif di LP. Beberapa kegiatan lain seperti penyuluhan tentang HIV dan AIDS serta pengadaan kondom di klinik LP telah pula dilakukan. Penyuluhan dilakukan sebanyak 2 kali dalam sebulan dengan peserta sekitar 10 warga binaan setiap kali pertemuan. Selain itu, dilakukan penyuluhan dengan jumlah peserta yang cukup banyak (50-100 orang sekali penyuluhan) sebanyak 3 kali dalam setahun. Dengan kegiatan ini diharapkan semua warga binaan pernah mendapat penyuluhan. Untuk petugas LP dilakukan pelatihan HIV/AIDS yang diberikan selama 3 hari secara bertahap. Sampai saat ini, separuh petugas LP (70 orang) sudah mendapatkan pelatihan. 3

Sementara penyediaan kondom dilakukan dengan cara meletakkan kotak berisi kondom di sekitar areal klinik LP. Setiap hari isi kotak tersebut dilihat dan selalu diisi kondom lagi. Dalam satu bulan rata-rata kondom yang terambil dari kotak sebanyak 200 sachet. Sehingga dalam setahunnya bisa 2400 sachet yang terambil dari kotak kondom. Setelah studi cepat situasi perilaku berisiko oleh Sumantera dkk (2001) sampai saat ini belum pernah dilakukan suatu studi yang terstruktur terhadap perilaku berisiko terinfeksi HIV di LP Kerobokan. Dengan adanya berbagai program penanggulangan HIV di LP Kerobokan, ada kemungkinan situasi perilaku berisiko terinfeksi HIV telah berkembang menjadi perilaku yang kurang ataupun tidak berisiko terinfeksi HIV. Hal ini didukung informasi dari petugas penyuluh HIV di LP bahwa banyak warga binaan penasun dinyatakan telah memanfaatkan cairan pemutih untuk penyucian jarum suntik, berusaha tidak berbagi jarum, serta menggunakan metode selain menyuntik. Sebaliknya, informasi lain menunjukkan masih ada warga binaan penasun yang sering berbagi jarum, ada yang enggan memanfaatkan layanan methadon, ada yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dan melakukan anal seks. Selain itu pengamatan petugas LP juga menunjukkan bahwa kegiatan tato serta body piercing di kalangan napi LP juga cukup populer dilakukan walaupun tidak diketahui dengan pasti tingkat sterilitasnya. Dengan situasi tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana gambaran perilaku berisiko maupun perilaku pencegahan terinfeksi HIV di LP Kerobokan setelah dilaksanakan berbagai program penanggulangan HIV? 1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan umum: Untuk mengetahui gambaran perilaku berisiko dan perilaku pencegahan terinfeksi HIV di LP Kerobokan. 1.2.2 Tujuan khusus: 1. Mengetahui jenis-jenis perilaku berinfeksi HIV pada warga binaan LP Kerobokan 4

2. Mengetahui prevalensi perilaku berisiko terinfeksi HIV melalui jarum suntik, hubungan seksual, dan cara lainnya termasuk tato, body piercing, serta pemakaian alat cukur yang tidak aman. 3. Mengetahui distribusi perilaku berisiko terinfeksi HIV berdasarkan karakteristik: lama di LP, masa pidana, status tahanan, jenis kasus, riwayat dan frekuensi di penjara, serta keikutsertaan dalam kegiatan pembinaan di LP. 4. Mengetahui perilaku pencegahan terinfeksi HIV dalam konteks hubungan seksual, pemakaian narkotika suntik, serta cara penularan lainnya. 5. Mengetahui distribusi perilaku pencegahan terinfeksi HIV berdasarkan karakteristik: lama di LP, masa pidana, status tahanan, jenis kasus, riwayat dan frekuensi di penjara, serta keikutsertaan dalam kegiatan pembinaan di LP 6. Mengetahui hambatan dalam melakukan perilaku pencegahan tertular HIV di LP 7. Mengetahui cakupan program penanggulangan HIV di LP 1.2.3 Justifikasi dan Implikasi Kebijakan Pemahaman terhadap faktor-faktor risiko spesifik dalam hal penularan HIV di LP dapat digunakan untuk menyusun upaya penanggulangan yang lebih terarah oleh Pokja HIV di LP, KPA Prov. Bali, dan KPA Kabupaten Badung. Studi ini secara tidak langsung juga merupakan evaluasi program penanggulangan HIV yang telah dilaksanakan sejak 2004 sehingga bermanfaat bagi Pokja HIV di LP maupun institusi penyelenggara program tersebut. 5

BAB 2 Penjelasan Teoretik Pertanyaan Penelitian atau Hipotesis 2.1 Tinjauan Teoritik Menurut teori Health Belief Model (HBM) (Rosenstock, Strecher, and Becker, 1994), perilaku seseorang dalam kesehatan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap sesuatu yang mempengaruhi perilaku tersebut. Terdapat 4 macam persepsi yaitu persepsi kerentanan, persepsi keparahan penyakit, persepsi terhadap keuntungan atau manfaat yang diperoleh serta persepsi terhadap hambatan dalam berperilaku tersebut. Pengetahuan seseorang terhadap sesuatu penyakit dan pencegahannya akan sangat mempengaruhi pembentukan persepsinya. Dalam kasus HIV dan perilaku pencegahannya, pengetahuan seseorang tentang cara penularan HIV akan mempengaruhi persepsinya terhadap kerentanannya tertular oleh HIV. Demikian juga pemahamannya terhadap gejala dan dampak HIV akan mempengaruhi persepsinya terhadap keparahan penyakit. Kedua hal tersebut akan mendorong seseorang untuk memikirkan suatu perilaku pencegahan terhadap HIV. Namun faktor-faktor manfaat ataupun hambatan dalam melaksanakan perilaku pencegahan tersebut akan sangat mempengaruhi. Misalnya kesulitan dalam mengakses jarum suntik, mahalnya kondom, perilaku petugas kesehatan akan menghambat perilaku pencegahan seseorang terhadap HIV. Demikian juga jika individu tersebut berpandangan akan minimnya manfaat yang dapat diperoleh dari perilaku yang akan dilakukannya, maka individu tersebut cenderung tidak ingin berperilaku lebih baik. Sementara itu Behavioral Model for Vulnerable Population (Gelberg et al., 2000) menyebutkan bahwa selain faktor individu, terdapat faktor sosial yang ikut menentukan perilaku seseorang. Sedangkan Bandura (1994) dengan teori Social Cognitive menunjukkan bahwa ada faktor demografis serta self efficacy yang menentukan perilaku seseorang. Self efficacy dimana seseorang memiliki kepercayaan diri untuk mengontrol setiap perilaku yang terkait dengan kesehatan. Sedangkan teori The Transtheoretical Model (TTM) adalah tahapan-tahapan yang dilalui oleh seseorang untuk mencapai perilaku tertentu. Tahapan tersebut ada 5 yaitu pra-kontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, serta memelihara perilaku. Tahapan pra kontemplasi diawali dengan pemahaman terhadap sesuatu yang baru yang menimbulkan kesadaran perlunya 6

suatu perubahan. Tahapan tersebut diikuti suatu penguatan kesadaran (kontemplasi) yang menjadikan perilaku tersebut menjadi lebih permanen. Menurut teori ini, suatu perilaku bisa saja pada akhirnya tidak berlanjut menjadi perilaku yang permanen karena berbagai sebab. Namun suatu pemahaman yang diperoleh pada tahap pra kotemplasi tidak akan hilang, sehingga proses yang berulang-ulang terjadi adalah kontemplasi dan penguatannya. 2.2 Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya Sampai saat ini, ada banyak studi-studi yang dilakukan di penjara di dunia. Secara umum beberapa perilaku yang dinyatakan merupakan perilaku berisiko di dalam seting penjara adalah perilaku yang terkait hubungan seksual, perilaku yang terkait pemakaian narkotika suntik, perilaku tato dan body piercing, serta kejadian lain seperti suatu perkosaan, perkelahian yang mengakibatkan luka, kesengajaan melukai sesama napi. Dua perilaku berisiko terinfeksi HIV yang paling dominan di penjara menurut beberapa studi di negara lain adalah pemakaian jarum suntik bergantian serta perilaku seks berisiko (Eshrati et al., 2008; Moseley & Tewksbury, 2006). Terkait dengan penggunaan jarum suntik narkotika di penjara, pada umumnya penasun memang tetap melakukan kebiasaannya tersebut walaupun dengan frekuensi yang tidak sesering sewaktu berada di luar penjara (AIDS calgary, 2007). Studi lain menunjukkan bahwa selain jarum suntik, napi juga memiliki kebiasaan untuk memakai sendok atau wadah pencampur heroin yang sama (Sumantera, 2001; Rotily dkk., 1996). Sedangkan terkait pola penularan melalui hubungan seksual, studi oleh Rotily et al. (1996) menunjukkan pola multiple partner dan tidak menggunakan kondom sebagai faktor risiko seksual. CDC dalam MMWR (2006) menyebutkan adanya risiko yang lebih tinggi pada napi yang melakukan hubungan seks homoseksual. Hal ini juga diperkuat banyaknya bukti bahwa laki-laki cenderung melakukan hubungan seks sesama jenis selama di LP (Kantor, 2006). Sementara itu, perempuan yang umumnya hanya berkisar 5-10% dari total penghuni penjara, dilaporkan memiliki prevalensi HIV yang lebih tinggi daripada laki-laki di banyak penjara di US dan Kanada (Kantor, 2006; AIDS Calgary, 2007; UNAIDS, 2004). Dikatakan bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk suatu kekerasan seksual ataupun perkosaan selama di penjara, baik oleh petugas LP maupun oleh narapidana yang pria 7

(UNAIDS, 2004). Perempuan yang dipenjara umumnya memiliki latar belakang terkait dengan pemakaian narkotika maupun transaksi seks, dan juga memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah (UNAIDS, 2004). Disisi lain, laki-laki umumnya cenderung lebih berisiko terinfeksi karena perilaku yang lain yaitu membuat tato atau melakukan body piercing selama di penjara (AIDS calgary, 2007). Karakteristik individu, selain jenis kelamin, yang ditemukan terkait dengan perilaku berisiko selama di LP antara lain sosial ekonomi sehingga umumnya memiliki tingkat pendidikan yang juga rendah (AIDS Calgary, 2007). Sementara CDC (2006) menambahkan beberapa faktor individu yang lain yaitu berusia >26 tahun saat wawancara, dipenjara lebih dari 5 tahun, berkulit hitam, memiliki indeks massa tubuh <25.4 kg/m 2 saat masuk penjara. Sedangkan Kantor (2006) menambahkan riwayat pernah dipenjara, serta karena perkosaan, juga merupakan faktor perilaku berisiko terinfeksi HIV di penjara. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa perilaku berisiko terinfeksi seringkali muncul setelah berada di LP, sehingga warga binaan yang di awal masuk penjara menunjukkan hasil serum darah HIV negatif, justru menjadi HIV+ setelah keluar dari penjara (CDC, 2006). Studi lain membuktikan bahwa terdapat persamaan jenis serotipe (sequencing) virus HIV pada serum darah serta riwayat klinis yang sama pada beberapa tahanan yang HIV+ di suatu LP, sehingga menunjukkan bahwa memang terjadi penularan HIV di LP (Kantor, 2006). Salah satu studi menyebutkan tahanan umumnya merasa depresi dengan kondisinya selama di LP. Lama dipenjara, vonis yang dijatuhkan, keluarga, kesepian, merupakan hal-hal yang memungkinkan individu tersebut mengalami depresi (Meyers, 2004). Dengan kondisi penularan HIV di LP, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis berupa layanan kuratif maupun pencegahan. Kantor (2006) mengidentifikasi setidaknya ada 8 kegiatan yang telah dijalankan di berbagai LP di dunia. Kegiatan pendidikan kesehatan, penyediaan kondom, penyediaan jarum suntik, substitusi methadon, penyediaan cairan pemutih, serta layanan medis bagi warga LP yang terinfeksi HIV telah banyak di lakukan selama di LP. Disamping itu ada kegiatan yang ditujukan pasca keluar dari LP serta kegiatan penelitian yang terkait HIV dan penularannya di LP. Walaupun telah banyak dilakukan berbagai upaya tersebut, namun tidak semua kegiatan dapat mencapai hal yang diharapkan karena berbagai faktor. 8

Beberapa konsep program yang seharusnya dijalankan di LP antara lain adalah membutuhkan pemahaman staf LP bahwa LP mempunyai prioritas yang berbeda dengan organisasi yang lain, keterlibatan staf sangat diperlukan dalam program penanggulangan HIV di LP, program harus memperhatikan mereka yang datang mengunjungi warga binaan di LP, berkelanjutan sampai dengan setelah WB keluar dari penjara, mempromosikan dan mendorong agar WB mau menjalani VCT, menyelenggarakan program pencegahan yang bersifat memperkuat/memberdayakan serta secara cultural dapat diterima (AIDS action, 2001, AIDS Calgary 2007). Beberapa studi menunjukkan bahwa program pertukaran jarum suntik cukup efektif untuk menurunkan penularan HIV di kalangan penghuni LP (Kantor, 2006; Smith, 2008). Sementara studi lain menunjukkan penyediaan pemutih tidak terlalu efektif dalam menurunkan penularan HIV di LP. Sementara untuk penyediaan kondom, beberapa LP memang telah menyediakan namun banyak LP terutama di level provinsi di Kanada tidak disediakan. Apalagi penyediaan peralatan khusus untuk membersihkan gigi secara pribadi sehingga meminimalkan kemungkinan penularan HIV pada sesama warga di LP (AIDS Calgary 2007). Saat ini, masih ada kekuatiran menyangkut penyediaan kondom serta jarum suntik di banyak LP karena akan disalahgunakan. Dalam jumlah kecil (WHO, 2004), hasil studi menunjukkan beberapa penyalahgunaan tersebut, misalnya kondom dipakai untuk menyimpan obat-obat narkotika sebelum ditelan, jarum dipakai untuk menyerang napi yang lain, berbuat kejahatan lagi, untuk bunuh diri dll (Kantor, 2006). Dengan kedua dasar tersebut dikembangkan kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut: 9

Pengetahuan (penularan/pencegahan) Demografis (umur, sex, pendidikan, suku) Lama di penjara Masa Pidana Status Tahanan Jenis Kasus Riwayat/Frekuensi di penjara Partsisipasi dalam kegiatan Perilaku berisiko: - dalam pemakaian narkotika suntik - dalam perilaku seksual - dalam perilaku lain Perilaku pencegahan: - dalam pemakaian narkotika suntik - dalam perilaku seksual - dalam perilaku lain Hambatan berperilaku pencegahan: - dalam pemakaian narkotika suntik - dalam perilaku seksual Kontribusi program: - dalam pemakaian narkotika suntik (methadon, bleaching) - dalam perilaku seksual (kondom) Gambar 3.1. Kerangka Konsep 10

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di LP Kerobokan Kabupaten Badung, Bali. Penelitian berlangsung selama 8 bulan yaitu dimulai Bulan Juni 2009 dan berakhir Bulan Januari 2010. 3.2 Desain Desain studi adalah cross sectional. 3.3 Populasi dan Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus cross sectional deskriptif, dengan menggunakan proporsi perilaku berisiko tertular HIV melalui jarum suntik, hasil studi Sumantera dkk (2001) di LP Kerobokan. Dengan proporsi perilaku menyuntik dengan alat yang telah digunakan orang lain sebesar 15,8%; presisi sebesar 5%; tingkat kemaknaan 95% diperoleh jumlah sampel minimal sebesar 203 orang. Dengan pertimbangan akan dilakukan analisis silang terhadap beberapa karakteristik, jumlah sampel semula ditetapkan sebanyak 300 orang. Saat pengambilan data sampel, per Juni 2009 terdapat sebanyak 608 warga binaan yang memenuhi kriteria populasi. Kriteria populasi, yaitu warga binaan yang belum akan dibebaskan sampai dengan Bulan November 2009. Kriteria ini ditetapkan untuk mengantisipasi kemungkinan cepatnya mobilisasi populasi keluar lapas (terutama karena dibebaskan atau dipindah ke lapas lain). Dari populasi ini selanjutnya dilakukan pemilihan acak sistematik dengan mempertimbangkan proporsi jenis kelamin dan proporsi jenis kasus. Rasio sampel laki-laki dibanding perempuan adalah 8:1, sementara rasio proporsi kasus kriminal dan kasus narkotika adalah 50%;50%. Selengkapnya rekapitulasi distribusi sampel berdasarkan proporsi tersebut terdapat di lampiran 2. Dalam perjalanan penelitian, dengan pertimbangan untuk melakukan verifikasi data prevalensi yang diperoleh melalui wawancara serta dengan pertimbangan jumlah sampel melebihi 200 telah dianggap mencukupi, dilakukan perubahan metode pengambilan data 11

melalui angket terhadap 200 warga binaan yang telah dipilih secara acak sistematik dari daftar populasi yang terbaru di Bulan November 2009. Rekapitulasi proporsi pengambilan sampel dengan metode angket tercantum dalam lampiran 2. Untuk kedua metode ini, ditetapkan kriteria substitusi sampel adalah mengambil sampel yang berada satu nomor di bawah sampel terpilih jika pada saat wawancara atupun pengisian angket, sampel tersebut tidak berhasil dijumpai. Jika sampel tersebut tetap tidak dijumpai, substitusi dilakukan dengan cara mengambil responden yang berada di atas sampel terpilih. 3.4 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Demografis: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, suku 2. Karakteristik warga binaan: lama ditahan, masa pidana, status tahanan, jenis kasus, riwayat dan frekuensi dipenjara, serta partisipasi dalam kegiatan pembinaan. 3. Perilaku berisiko: jenis perilaku berisiko terkait penggunaan jarum suntik, jenis perilaku berisiko terkait hubungan seks, jenis perilaku berisiko lainnya 4. Perilaku pencegahan: jenis perilaku pencegahan terkait penggunaan jarum suntik, jenis perilaku pencegahan terkait hubungan seks, serta jenis perilaku pencegahan melalui cara lainnya 5. Hambatan dalam berperilaku pencegahan 6. Kontribusi program penanggulangan HIV di LP Definisi operasional beberapa variabel yang diteliti disajikan dalam tabel berikut: 12