STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO, KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

dokumen-dokumen yang mirip
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

Ciri Litologi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Subsatuan Punggungan Homoklin

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

// - Nikol X - Nikol 1mm

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

BAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ACARA IV POLA PENGALIRAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

07. Bentangalam Fluvial

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

BAB II GEOLOGI REGIONAL

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO, KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA Roni Cahya Ciputra 1* M Arba Azzaman 1 Srijono 2 1 Program S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 2 Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta *corresponding author: ronicahya@gmail.com ABSTRAK Travertin merupakan batuan karbonat yang terbentuk di darat akibat pelepasan CO 2 pada air jenuh karbonat. Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Air Terjun Moramo merupakan tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara yang tersusun oleh travertin yang masih aktif. Air Terjun ini terletak pada perbatasan morfologi pegunungan tinggi dan morfologi karst. Batuan dasar dari endapan travertin adalah metabatugamping dan marmer Formasi Laonti di bagian hulu serta batulempung pasiran Formasi Boepinang di hilir. Karakterisasi morfologi travertin serta contoh petrografi yang diambil pada tiga titik, masing-masing di bagian belakang dan depan dam dilakukan untuk mengetahui genesa batuan. Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo adalah makrodam dengan jarak antardam yang membesar ke arah hilir akibat pengaruh kelerengan. Pada bagian depan dam, terdapat kenampakan sarang larva yang menggantung serta kenampakan nodular, dengan banyak lumut, ranting, serta dedaunan yang telah terkerakkan oleh kalsit dan mengeras. Fasies yang terlihat pada travertin baik secara megaskopis maupun mikroskopis adalah fasies phytoherm (bryophytes). Secara megaskopis, dam tersusun oleh perulangan gelap-terang melengkung atau kurang teratur karena adanya gangguan substrat lain. Laminasi terang tersusun oleh kristal kalsit memanjang-bercabang, sedangkan gelap tersusun oleh mikrit. Bagian depan dam memiliki penyusun yang lebih kristalin dibandingkan bagian belakang dam yang lebih bersifat mikritik. Berdasarkan hal tersebut travertin di Air Terjun Moramo termasuk travertin meteogen dari air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst dengan pengaruh biogenik berupa lumut yang terjebak pada saat pengendapan bersama daun dan ranting tumbuhan serta sarang larva serangga air. Kata kunci : Air Terjun Moramo, karst, morfologi makrodam, meteogen, phytoherm bryophytes 1. Pendahuluan Air Terjun Moramo merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara dengan kondisi geologi yang unik karena tersusun oleh travertin yang masih aktif terbentuk. Air terjun ini memiliki tujuh tingkatan utama yang terbagi menjadi sekitar 34 tingkatan kecil dengan tinggi 0,3 3 meter. Penelitian mengenai travertin pada daerah ini belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi travertin Air Terjun Moramo dari segi morfologi maupun petrografi, sehingga jenis, fasies, dan genesanya dapat diketahui. Travertin sendiri adalah batuan karbonat yang terendapkan di darat secara kimiawi akibat reaksi pelepasan CO2 pada air yang jenuh karbonat, baik pada suhu yang panas maupun dingin Proses ini dapat terjadi pada rembesan air, mata air, atau di sepanjang aliran sungai (Pentecost, 2005). Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Beberapa penulis seperti Pedley (1990), Riding (1991), Ford dan Pedley (1996), serta Gandin dan Capezzuoli (2008) memiliki penyebutan travertin meteogen disebut dengan tufa, 1182

sedangkan travertin termogen disebut travertin. Perbedaan kedua jenis travertin ini secara petrologi dan petrografi telah dirangkum oleh Ciputra dkk (2017) pada Tabel 1. Pada penelitian ini istilah travertin akan digunakan dalam pengertian umum, sedangkan untuk penyebutan jenis travertin akan digunakan istilah travertin meteogen dan termogen. Sebagai morfologi konstruktif, travertin menarik karena morfologinya akan mencerminkan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan travertin menurut Ozkull dkk (2002) dan Pedley (1990), dan Pentecost (2005) dapat dirangkum menjadi lima, yakni lingkungan mound dan fissure ridge, lereng, fluvial, lakustrin, serta shrub flat dan rawa. Lingkungan lereng dibagi lagi menjadi lereng halus, lereng berteras atau dam, dan air terjun. 2. Geologi Regional Sungai Biskori, di Daerah Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lengan tenggara Sulawesi bagian selatan (Surono, 2013). Surono (2013) membagi satuan morfologi lengan tenggara Sulawesi bagian selatan menjadi lima satuan (Gambar 1), yaitu Satuan Pegunungan, Satuan Perbukitan Tinggi, Satuan Perbukitan Rendah, Satuan Dataran Rendah dan Satuan Karst. Daerah penelitian terletak di perbatasan dua satuan morfologi. Bagian barat laut dari lokasi penelitian termasuk dalam satuan morfologi Perbukitan Tinggi. Sedangkan bagian tenggara termasuk dalam Satuan Karst. Sebagian besar batuan penyusunnya didominasi oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping berumur Mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi Tamborasi, dan bagian atas Formasi Meluhu. Sebagian batugamping penyusun morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Struktur geologi yang terbentuk di lengan tenggara Sulawesi diakibatkan oleh tumbukan antara keeping keeping benua, dan ofiolit yang terjadi sebelum Miosen Awal. Struktur geologi yang terbentuk akibat tumbukan tersebut antara lain sesar naik dan struktur imbrikasi serta lipatan (Surono, 2013). 3. Metode Penelitian Peta geomorfologi yang dibuat dalam penelitian ini mengacu pada pembagian morfologi menurut Surono (2013) dengan delineasi lebih rinci berdasarkan analisis peta topografi 1:25.000 dengan mempertimbangkan peta geologi lembar Kolaka 1:250.000 menurut Simandjuntak, dkk (1993). Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan berupa pengamatan morfologi bentukan travertin serta pengamatan petrologi batuan. Pengamatan dilakukan pada 3 STA yang mewakili tiga bagian dari tingkatan air terjun Moramo secara ketinggian yakni STA 1 pada bagian atas, STA 2 pada bagian tengah, dan STA 3 pada bagian bawah. Pada masing-masing STA dilakukan pengambilan sampel masing-masing 2 yakni pada bagian depan (1A, 2A, dan 3A) dan belakang dam (1B, 2B, dan 3B) (lihat Gambar 2). Keenam sampel ini kemudian dibuat sayatan tipis dan diamati menggunakan mikroskop polarisasi. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Morfologi Travertin Travertin ditemukan di daerah lembah, sepanjang aliran Sungai Biskori secara menerus (Gambar 3). Travertin ditemukan pada satuan morfologi karst menuju perbatasannya dengan satuan dataran. Sungai Biskori memiliki air dengan suhu dingin, di sekitarnya tidak terlihat adanya manifestasi panas bumi seperti adanya air panas, fumarol, dan lain-lain atau adanya intrusi batuan beku. Hal ini menandakan 1183

bahwa pelarutan batuan karbonat pada morfologi karst menjadi penghasil utama air jenuh kalsium karbonat yang berperan dalam pembentukan travertin. Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo merupakan morfologi dam atau lereng berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin sehingga membentuk kenampakan berteras. Karena adanya kolam yang berada dibelakangnya, morfologi travertin pada daerah penelitian tidak dapat disebut sebagai air terjun secara langsung. Morfologi ini menempati sebuah lereng yang masih dialiri oleh aliran Sungai Biskori sehingga aliran air pada tingkatan-tingkatan dam terus meluap dari kolam ke bagian tubuh dam. Tubuh dam sendiri berbentuk melengkung seperti busur, dan pada satu tingkatan yang sama dapat terbentuk beberapa busur dam. Sebaran morfologi dam travertin pada sistem ini seperti dapat dilihat pada Gambar 3 semakin sempit ke arah hulu. Pengamatan morfologi yang dilakukan pada ketiga STA dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa dam pada Air Terjun Moramo pada ketiga STA termasuk pada kategori makrodam karena memiliki jarak antardam lebih dari 1 meter (Pentecost, 2005). Perbedaan dari kriteria morfologi dam pada ketiga STA adalah ukuran dam pada sistem ini semakin menyempit ke bagian hilir, dengan ketinggian dam yang juga memendek. Selain itu, jarak antardam membesar ke arah hilir (Gambar 4). Perbedaan ini tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu pada saat proses pembentukan dam. Faktor tersebut adalah kelerengan. Pentecost (2005) mengemukakan bahwa jarak antardam akan semakin melebar semakin landai suatu lereng. Hal ini sesuai dengan keadaan pada Air Terjun Moramo, sehingga dapat diartikan bahwa permukaan awal sebelum travertin terendapkan memiliki kelerengan yang semakin landai ke bagian hilir. Kelerengan juga dapat mempengaruhi kecepatan air. Bagian hulu yang memiliki kecepatan air paling tinggi karena kelerengan yang lebih terjal akan membentuk kondisi hidrolika dimana proses pelepasan CO2 menjadi lebih besar. Proses yang dimaksud antara lain turbulensi dengan permukaan dasar sungai, keluarnya gas terlarut (aerasi) akibat penurunan tekanan air, serta meluasnya kontak air dengan udara akibat aliran yang berubah menjadi terpisah-pisah, tetesan, atau percikan air (Zhang dkk, 2001 dalam Pentecost, 2005). Hal ini dapat menyebabkan pembentukan travertin yang lebih masif pada bagian hulu yang lebih terjal sehingga membentuk tingkatan travertin dengan dam yang lebih tinggi, sementara pada bagian hilir yang memiliki kelerengan landai, dam terbentuk lebih pendek. Perbedaan lain yang tampak dari sistem dam ini adalah bagian hulu memiliki lebih banyak lengkungan atau busur dam pada satu tingkatan, sedangkan pada bagian hilir pada satu tingkatan hanya ada 1 2 busur saja. Hal ini secara relatif terbentuk karena adanya penghalang awal pada saat pertama terbentuk travertin. Bagian hulu memiliki lebih banyak penghalang yang kemudian menginisiasi pembendungan aliran sungai karena kelerengannya lebih terjal sedangkan pada bagian hilir, penghalang aliran sungai lebih sedikit, misalnya pohon. 4.2. Jenis dan Karakter Petrografi Travertin Secara megaskopis, travertin pada Air Terjun Moramo memiliki warna putih kecokelatan, terdiri atas perulangan gelap-terang dengan tebal 0,2 3,5 1184

cm. Laminasi tersusun oleh mineral karbonat (reaksi positif terhadap fizz test) yakni mikrit (gelap) dan kristal kalsit (terang) dengan porositas batuan sedang. Pada permukaan dam travertin dijumpai permukaan kasar yang merupakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit (Gambar 5A) serta ada pula jatuhan daun dan ranting yang ikut terkerakkan pada dinding dam (Gambar 5B). Kenampakan ini sangat umum dijumpai sebagai pengaruh yang tinggi pada saat pembentukan travertin pada lingkungan dam (Pedley, 1990). Selain itu, pada dinding dam dijumpai pula bentukan memanjang yang menggantung dan berlubang seperti sarang larva serangga air (Gambar 5B). Aktivitas larva pada lingkungan pengendapan travertin sangat umum dijumpai terutama tropis yang memiliki aliran air yang relatif hangat (Carthew dkk, 2003). Larva dapat meninggalkan rongga bekas penggalian yang kemudian terkalsifikasi dan mengkerak dengan bentuk yang menggantung (Carthew, 2006) seperti yang terlihat pada daerah penelitian. Permukaan berbentuk nodular (Gambar 5C) juga tampak pada beberapa bagian. Permukaan ini dapat terbentuk oleh kondisi aliran pada bagian tersebut membalut permukaan atau memercik (Carthew, 2006) Travertin ini tergolong travertin meteogen karena memiliki beberapa kriteria travertin meteogen menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) serta Capezzuoli dkk (2014) pada Tabel 1. Parameter yang terpenuhi antara lain proses deposisi utama yang biotik yang tinggi ditunjukkan oleh adanya lumut, daun, dan ranting yang terkerakkan serta adanya sarang larva serangga air. Parameter lain adalah perlapisan yang kurang laminar dan kurang teratur dengan tebal 0,2 3,5 mm, serta kenampakannya cenderung porous. Kenampakan petrografi dari masing-masing sampel travertin telah dirangkum pada Tabel 3. Penyusun pada travertin terdiri atas berbagai macam ukuran dan bentuk kristal kalsit, yakni dendrit (calcite dendrites), mikrit, dan mikrospar. Sparit syn-deposisi maupun hasil diagenesis tidak ditemukan pada sampel. Dendrit merupakan kristal kalsit dengan kenampakan bercabang seperti percabangan pada rumput atau semak, atau dapat pula bercabang membentuk kipas (Pentecost, 2005). Dendrit pada dijumpai pada sampel yang diambil pada bagian depan dam. Kenampakan dendrit yang diamati berbentuk seperti semak dan mengikuti di bawahnya (Gambar 6A), serta membentuk kenampakan yang menyerupai kipas (Gambar 6B). Terdapat pula dendrit yang terbentuk kurang teratur (Gambar 6C). Pada travertin meteogen, dendrit umumnya terbentuk akibat nukleasi kristal kalsit pada substrat, dalam hal ini lumut, sehingga kristal kalsit yang dihasilkan akan berbentuk bercabang seperti lumut pada kenampakan petrografis (Turner dan Jones, 2005). Nukleasi ini terjadi karena adanya EPS (extracellular polymetric substance) pada jaringan daun lumut. Proses ini masih berjalan hingga sekarang sehingga pada permukaan sering dijumpai lumut yang terkerakkan. Mikrit teramati pada setiap sampel petrografi. Mikrit memiliki ukuran mineral < 0,005 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010), pada kenampakan PPL berwarna coklat, relief rendah dan tidak ada pleokroisme. Sementara itu, mikrospar berukuran 0,005 0,030 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010). Mikrospar merupakan hasil neomorfisme dari mikrit. Pada kenampakan PPL, mikrospar berwarna putih, memiliki relief rendah tanpa pleokroisme. Mikrit ditemukan membentuk tersendiri setebal 0,1 0,5 mm, terkadang tidak kontinyu (Gambar 7A). Selain itu, mikrit bersama mikrospar menjadi pengisi utama pada sampel bagian 1185

belakang dam, beberapa membentuk yang laminar, namun kebanyakan mikrit dan mikrospar mengisi yang cukup tebal 1 2,5 mm dengan membentuk konfigurasi yang dendritik (Gambar 7B). Proses pembentukan konfigurasi dendritik yang tersusun oleh mikrit dan mikrospar sendiri kurang lebih sama dengan pembentukan kristal dendritik, hanya saja kristal hasil nukleasi yang terbentuk tidak besar dan hanya berukuran mikrit-mikrospar. Apabila proses pengkerakan terjadi lebih lanjut, konfigurasi ini akan lenyap karena kristal tumbuh semakin besar hingga berukuran sparit dan menjadi dendrit (Turner dan Jones, 2005). Pori pada travertin yang ditemukan antara lain pori interkristalin dan ireguler (Gambar 7A). Pori interkristalin ditemukan di sekitar batas perlapisan atau tersebar di dalam di sekitar mikrit dan mikrospar. Pori interkristalin yang berada di sekitar mikrit dan mikrospar terkadang memperjelas kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik (Gambar 7B). Sementara itu, pori yang ireguler tersebar acak dengan bentuk yang tidak teratur diduga terbentuk karena kesalahan pada saat preparasi sayatan tipis sehingga beberapa bagian dari sayatan batuan hilang meninggalkan pori ireguler. Perbandingan karakter petrografis pada sampel yang diambil antara lain sampel yang diambil pada bagian depan dam tersusun oleh yang tersusun oleh dendrit, tipis mikrit, serta mikrit dan mikrospar. Sementara itu travertin pada bagian belakang tersusun oleh material kerbonat yang lebih halus yang terdiri atas mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan mikrit tipis. Hal ini dapat dikarenakan bagian depan dari dam kecepatan aliran air lebih tinggi dan membentuk terjunan sehingga pelepasan CO2 lebih efektif terjadi dibandingkan pada bagian belakang dam sehingga nukleasi pada lumut dapat terjadi lebih lanjut menjadi kristal dengan ukuran lebih besar. Berdasarkan kenampakan megaskopis dan pengamatan petrografi, fasies travertin adalah fasies phytoherm (bryophytes) yang dapat dibagi lagi menjadi fasies phytoherm (bryophytes) untuk bagian depan dam dan micritic phytoherm (bryophytes) untuk bagian belakang dam. Fasies ini dicirikan oleh adanya tumbuhan, dalam hal ini lumut, yang terjebak saat pembentukan travertin. 5. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Travertin pada Air Terjun Moramo memiliki morfologi makrodam yang bertingkattingkat berbentuk busur yang terpengaruh oleh kelerengan. Sistem dam menerus dari bagian hulu hingga hilir, dengan tinggi dam yang mengecil dan jarak antardam membesar ke arah hilir. Selain itu pada bagian hulu pada satu tingkatan dapat terbentuk lebih banyak busur dam sedangkan pada bagian hilir hanya 1 2 saja. 2. Karakter petrografis dari travertin yang teramati antara lain yang tersusun oleh dendrit, mikrit, serta mikrit dan mikrospar untuk bagian depan dam, sedangkan bagian belakang dam tersusun oleh mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan mikrit tipis. 3. Travertin Air Terjun Moramo berjenis meteogen yang termasuk ke dalam fasies phytoherm (bryophytes) yang terbentuk akibat adanya lumut beserta daun dan ranting 1186

serta aktivitas larva yang terjebak pada saat pembentukan travertin oleh air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst. Acknowledgements Ucapan terima kasih diberikan kepada pihak yang membantu dalam pengambilan data, La Ode Amri Rizal, Muhammad Ridwan, Galdencia, dan Sidiq Al Mubaraq. Ucapan terima kasih juga diberikan Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan preparasi sayatan tipis secara mandiri di Laboratorium Geologi Pusat maupun pengamatan sayatan tipis di Laboratorium Geologi Optik. Daftar Pustaka Capezzouli, E., Gandin, A., dan Pedley M. 2014. Decoding tufa and Travertine (Fresh Water Carbonates) in the Sedimentary Record: The State of Art. Sedimentology, v.61, hal.1-21, doi: 10.1111/sed.12075 Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N.Drysdale. (2006). An environmental model of fluvial tufas in the monsoona; tropics, Barkly Karst, northern Australia. Geomorphology 73 (2006) p.78-100 Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N. Drysdale. (2003). Are current models of tufa sedimentary environments applicable to tropical systems? A case study from the Gregory River. Sedimentary Geology. Vol. 162 p. 199-218. Ciputra, R.C., M.I. Novian, dan Srijono. (2017). Petrogenesa Travertin Daerah Widuri, Desa Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharrjo, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer; New York, 976 p. Gandin, A, dan E. Capezzuoli. (2008). Travertine versus Calcareous Tufa: Distinctive Petrologic Features and Stable Isotopes Signatures. Italian Journal of Quarternary Sciences 21 (B) p. 125 136. Özkul, M, B Varol, dan M C Alcicek. (2002). Depositional Environments and Petrography of Denizli Travertine. Mineral Resources Exploration Buletin, 125 (2002) p.13-29 Pedley, H.M., (1990). Classification and Environmental Models of Cool Freshwater Tufas. Sedimentary Geology Vol. 68(1990) p.143-154 Pentecost, A. 2005. Travertine. Springer; Berlin, 446 p Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukido. (1993) Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi; Bandung Surono. (2013). Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Bandung Turner. E. C., dan Jones, B. (2005). Microscopic Calcite Dendrites in Cold-Water Tufa: Implications for Nucleation of Micrite and Cement. Sedimentology Vol. 52 hal. 1043-1066 1187

Gambar 3. Satuan morfologi bagian selatan lengan tenggara Sulawesi dari citra IFSAR (Surono, 2013 dengan modifikasi). Gambar 2. Titik pengambilan sampel pada masing-masing STA: di depan dam (A) dan di belakang dam (B) 1188

Gambar 3. Peta geomorfologi dengan sebaran travertin pada daerah penelitian serta lokasi STA pengambilan sampel travertin. Travertin ditemukan pada Satuan Karst. 1189

Gambar 4. Kenampakan morfologi travertin pada STA 1 pada bagian hulu, STA 2 pada bagian tengah, dan STA 3 pada bagian hilir. Pada STA 1 terlihat dam yang lebih tinggi dengan jarak antardam yang besar, serta pada satu tingkatan dapat terbentuk beberapa busur dam, sedangkan semakin ke hilir, tinggi dam semakin mengecil dengan jarak antardam yang membesar. 1190

Gambar 5. Kenampakan permukaan dam. (A) Kenampakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit. (B) kenampakan sarang larba dan daun yang terkerakkan oleh kalsit. (C) kenampakan permukaan berbentuk nodular. 1191

Gambar 6. Kenampakan kristal kalsit dendritik atau dendrit. (A) Dendrit berbentuk seperti semak. (B) Dendrit berbentuk kipas. (C) Dendrit dengan arah tidak teratur. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL). Keterangan: dt = dendrit, mi = mikrit, dan ms = mikrospar. Gambar 7. Kenampakan mikrit dan mikrospar pada sayatan tipis. (A) Perulangan mikrit dengan mikrit dan mikrospar, pori terlihat ireguler dan interkristalin. (B) Kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik, pori terlihat 1192

interkristalin di sekitar konfigurasi dendritik. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL). Keterangan:, mi = mikrit, dan ms = mikrospar. Tabel 1. Perbedaan karakter utama travertin menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) dan Capezzuoli dkk (2014) yang dirangkum dalam Ciputra dkk (2017) No. Parameter Karakter utama travertin (Gandin dan Capezzuoli, 2008; Capezzuoli dkk, 2014) Travertin Meteogen 1 Proses deposisi utama Biotik Abiotik 2 Mineral pembentuk Kalsit Kalsit, Aragonit Travertin Termogen 3 Ukuran kristal kalsit Mikritik-mikrosparitik, meskipun Makro (bladed, acicular) hingga tidak menutup kemungkinan untuk mikritik ukuran yang makro 4 Tekstur utama Porous, chalky, terdapat sisipan Kristalin tebal dan keras pasir-lempung lentikuler 5 Perlapisan / Jarang membentuk perlapisan / Membentuk perlapisan / yang yang laminar, kurang teratur laminar dan teratur 6 Ketebalan perlapisan Umumnya membentuk tipis Dapat terbentuk dengan sangat tebal (1 10 mm) (10 >100 mm) 7 Konten biologis Sangat besar (makrophytes hingga Bakteri dan sianobakteri microphytes), fauna 8 Porositas primer Tinggi Rendah Tabel 2. Kriteria morfologi travertin yang terbentuk pada masing-masing STA No. Kriteria Morfologi STA 1 (Atas) STA 2 (Tengah) STA 3 (Bawah) 1 Jumlah dam pada STA 7 3 3 2 Jumlah dam pada satu tingkatan 2 sampai 4 1 sampai 2 1 sampai 2 3 Lebar dam 5-15 m 10 m 10 m 4 Tinggi dam 1-3 m 0,5-1 m 0,3-0,5 m 5 Jarak antardam 1-4 m 3-6 m 5-10 m 6 Bentukan permukaan dam Permukaan kasar berbentuk nodular atau bentukan panjang menggantung akibat sarang larva, terdapat pula lumut dan daun yang terkerakkan Permukaan kasar berbentuk nodular atau bentukan panjang menggantung akibat sarang larva, terdapat pula lumut dan daun yang terkerakkan Permukaan kasar berbentuk nodular kecil atau bentukan menggantung pendek-pendek, serta lumut yang terkerakkan 1193

Tabel 3. Karakter petrografis travertin pada masing-masing sampel Parameter STA 1A (depan) STA 1B (belakang) STA 2A (depan) STA 2B (belakang) STA 3A (depan) STA 3B (belakang) Komposisi Mineral Utama Laminasi bervariasi, 0,2-1,5 mm Kristal kalsit dendritik Mikrit + Mikrospar Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Ada, ukuran 1-1,5 mm, tidak kontinyu, beberapa seperti kipas Ada, membentuk 1-2 mm; diselingi mikrit 0,1-0,2 mm Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu bervariasi, 0,2-1,5 mm Ada, ukuran 1-3,5 mm, tidak kontinyu, beberapa tidak teratur, beberapa seperti kipas Ada, membentuk 1-2 mm; diselingi mikrit 0,1-0,4 mm Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu Pori Interkristalin Interkristalin Interkristalin Interkristalin, ireguler bervariasi, 0,2-1,5 mm Ada, tetapi tidak banyak, ukuran 0,5-1,5 mm, tidak kontinyu, beberapa seperti kipas Ada, membentuk Interkristalin 1-2,5 mm; diselingi mikrit 0,1-0,2 mm tidak kontinyu Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu Interkristalin Sparit diagenesis Fasies Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) 1194