Ensefalopati Hipertensi pada Anak dengan Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokal Arif Sigit Ananto 1, Elvi Suryati 2 1 Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2 Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Hipertensi ensefalopati adalah sindrom neurologi akut yang ditandai satu atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran dan kejang yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah yang tinggi. Hipertensi ini merupakan bagian dari hipertensi urgensi, yaitu ketika tekanan darah pada anak persentil 95 + 12 mmhg atau 140/90 mmhg dengan tanpa kerusakan atau komplikasi minimum pada organ yang berkaitan. Kejadian hipertensi anak di Indonesia dapat berkaitan dengan kasus GNAPS (Glomerulonefritis Akut pasca Streptokokus). Anak dengan GNAPS 1,8% nya mengalami hipertensi dan 9,2% nya mengalami hipertensi ensefalopati. Kasus yang ditemukan adalah An. A, laki-laki 12 tahun, dengan keluhan nyeri kepala hebat, confusion, mual dan muntah sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien sempat kejang sebanyak 3x selama ± 3menit. Delapan hari SMRS pasien demam yang tidak terlalu tinggi disertai dengan banyaknya luka koreng yang muncul pada tubuh pasien. Pemeriksaan fisik didapatkan TD 160/110 mmhg (lebih dari persentil 99), edema wajah, refleks patologis dan tanda rangsang meningeal negatif. CT scan kepala dengan gambaran lesi iskemik pada serebellum bilateral dan subkortikal occipitalis kanan. Pemeriksaan kimia darah leukosit 10.500/μl, ureum 15 mg/dl, kreatinin 0,58 mg/dl. Pemeriksaan urinalisis warna kuning, jernih, keton 3+, darah samar 300 Ery/μi. Pemeriksaan anti streptolisin O (ASTO) (+) dan CRP (+/24). Dari penemuan klinis yang didapat, pasien didiagnosis dan ditatalaksana sesuai dengan penanganan ensefalopati hipertensi dengan GNAPS. Kata kunci: Glomerulonefritis, hipertensi ensefalopati, kejang Encephalopathy Hypertension in Children with Acute Glomerulonephritis Post Streptococcal Abstract Encephalopathy hypertension is an acute neurological syndrome, characterized by one or more clinical manifestations such as headache, vomiting, impaired vision, decreased awareness and seizures associated with increased high blood pressure. This hypertension is part of urgency hypertension, when blood pressure in children 95th percentile + 12 mmhg with no damage or minimum complication in related organs. The incidence of pediatric hypertension in Indonesia is related with case of ASPGN (Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis). Children with ASPGN 1,8% had hypertension and 9,2% had hypertension encephalopathy. An. A, 12 year old male omplaining of severe headache, confusion, nausea and vomiting since 5 hours before entering the hospital. The patient had seizures for 3 times, ± 3 minutes. Two days later, fever patients were not too high accompanied by many of sores that appear on the patient s body. Physical examination found blood pressure 160/110 mmhg (more than 99th percentile), facial oedema, negative of pathological reflexes and meningeal signs. CT head scan showing ischemic lesions on the bilateral cerebellum and right occipital subcortical. Chemical examination of blood leukocytes 10.500/μl, ureum 15 mg/dl, creatinine 0,58 mg/dl. Yellow, clear urinalysis, ketones 3+, faint blood 300 Ery/μi. Anti-streptolysin O (ASTO) (+) dan CRP (+/24). From the clinical findings obtained, the patient was diagnosed and managed according to management of encephalopathy hypertension with ASPGN. Keywords: Encephalopathy hypertension, glomerulonefritis, seizure Korespondensi: Arif Sigit Ananto, S.Ked., alamat 085789629229, e-mail arifsigit1810@gmail.com Jl. Dr. Soetomo, Panengahan, Tanjung Karang Pusat No. 27, HP Pendahuluan Hipertensi ensefalopati adalah sindrom neurologi akut yang ditandai satu atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran dan kejang yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah yang tinggi. 1,2 Anak dengan riwayat hipertensi dapat berkembang menjadi hipertensi ensefalopati ketika tekanan darahnya >180/110 mmhg, tetapi kebanyakan anak dengan atau tanpa riwayat hipertensi yang tekanan darahnya >220/120 mmhg lebih beresiko. 3 Medula Volume 9 Nomor 3 Oktober 2019 478
Kejadian hipertensi anak di Indonesia, berkaitan dengan kasus GNAPS (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococus). Albar memberikan penjelasan mengenai kejadian tersebut melalui penelitiannya pada pasien GNAPS yang berumur 2,5-15 tahun. Pada pasien GNAPS ini didapatkan 1,8% mengalami hipertensi dan 9,2% mengalami hipertensi ensefalopati. 4 Ensefalopati hipertensi merupakan bagian dari hipertensi urgensi, yaitu ketika tekanan darah pada anak persentil 95 + 12 mmhg atau 140/90 mmhg dengan tanpa kerusakan atau komplikasi minimum pada organ yang berkaitan. 5,6 Jika sudah terjadi kerusakan atau komplikasi pada organ target, maka sudah termasuk bagian dari hipertensi emergensi. 5 Anak dengan ensefalopati hipertensi harus segera diturunkan tekanan darahnya. Penurunan tekanan darah ini dimaksudkan agar komplikasi seperti perdarahan serebri, edem serebri serta retinopati dapat dihindari. 1,7,8 Selain itu penurunan tekanan darah secepatnya umumnya memberikan prognosis yang baik sehingga tidak menimbulkan gejala sisa. 9 Kasus An. A, laki-laki 12 tahun, diantar keluarganya dengan keluhan nyeri kepala hebat, confusion, mual dan muntah sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Ibu pasien mengatakan bahwa sebelumnya sempat kejang sebanyak 3x selama ± 3menit. Dalam 8 hari ini pasien juga dikeluhkan adanya demam yang tidak terlalu tinggi disertai dengan banyaknya luka koreng yang muncul pada tubuh pasien. Pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TB 152 cm, BB 45 kg, gizi normal, TD 160/110 mmhg (lebih dari persentil 99), frekuensi nadi 96 kali/menit, pernafasan 26 kali/menit, suhu 36,4 C, edema wajah, visus ODS (Oculi Dekstra Sinistra) normal, pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Semua refleks patologis dan tanda rangsang meningeal negatif. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan pemeriksaan CT scan kepala. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hb 11,1 g/dl, jumah leukosit 10.500/μl, trombosit 263.000/μl, pemeriksaan ureum 15 mg/dl, kreatinin 0,58 mg/dl, pemeriksaan ASTO (+), dan CRP (+/24). Pemeriksaan urinalisis didapatkan warna kuning, jernih, keton 3+, darah samar 300 Ery/μi. Sedangkan pada pemeriksaan CT scan kepala hasilnya berupa gambaran lesi iskemik pada serebellum bilateral dan subkortikal occipitalis kanan. Hasil dari pemeriksaan penunjang tersebut menunjukan bahwa sudah terjadinya komplikasi dari ensefalopati hipertensi. Selain itu diagnosis juga mengarah kepada glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi tatalaksana nonmedikamentosa yaitu pembatasan konsumsi garam, protein serta menjaga ballance cairan yang masuk dan keluar. Sedangkan tatalaksana medikamentosanya pada hari pertama berupa pemberian nifedipine 10 mg/6jam secara sublingual, ramipril tablet 5 mg/24jam, injeksi furosemid 20 mg/24jam, dan seftriakson 1 g/12jam. Pada hari kedua tekanan darah pasien masih dalam persentil 99, sehingga pada pemberian medikamentosanya ditambahkan klonidin 12 mcg/jam selama 8 jam pertama, 24 mcg/jam pada 8 jam kedua, dan 35 mcg/jam pada 8 jam berikutnya (568 mcg/24jam). Pada hari ketiga dan keempat pemberian klonidin 25 mcg/jam (600 mcg/24jam). Pada hari kelima klonidin diturunkan menjadi 20 mcg/jam selama 12 jam pertama dan 15 mcg/jam pada 12 jam berikutnya (420 mcg/24jam). Pada hari keenam pemberian klonidon kembali diturunkan dalam 10 mcg/jam selama 12 jam pertama dan 5 mcg/jam pada 12 jam berikutnya (180 mcg/24jam). Pada hari ketujuh pemberian klonidin dihentikan karena tekanan darah pasien sudah masuk persentil 50, sedangkan pemberian nifedipin, ramipril dan furosemid tetap dilanjutkan. Pembahasan An. A, umur 12 tahun datang dengan nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah. Nyeri dirasakan makin bertambah sehingga membuat pasien gelisah. Keluhan yang dirasakan pasien tersebut merupakan gejala Medula Volume 9 Nomor 3 Oktober 2019 479
dari peningkatan tekanan intrakranial. 1,2 Peningkatan ini terjadi karena mekanisme breakthrough of cerebral autoregulation. Ketika tekanan darah melampaui batas, maka pembuluh darah otak akan melakukan vasodilatasi untuk mempertahankan homeostasis cerebral blood flow (CBF). Namun ketika terjadi kegagalan cerebral autoregulation maka vasodilatasi yang terjadi akan semakin menyebar sehingga nantinya akan terjadi ekstravasasi cairan plasma. Ekstravasasi ini memberikan gambaran edema cerebri, dengan manifestasi klinis berupa peningkatan tekanan intrakranial. 7,10,11 Pasien juga mengeluhkan kejang beberapa kali sebelum masuk rumah sakit.kejang yang terjadi sebelum 24 jam ini merupakan gambaran dari acute ischemic injury pada otak. 12,13 Menurut teori over autoregulation, saat tekanan darah meningkat melampaui batas autoregulasi mengakibatkan terjadinya spasme berat pada arteriol. Spasme ini memberikan efek turunnya CBF, sehingga pompa Na + /K + -ATPase akan terganggu. Akibatnya sodium intravaskuler meningkat dan memicu keluarnya glutamat dan membukanya calcium channel. Kalsium ini membuat sel apoptosis melalui mitochondrial injury. Selain itu keluarnya glutamat juga menjadi pemicu terjadinya kejang akut. 14,15 Diagnosis dari kasus ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang baik dari laboratorium maupun CT scan. Gejala klinis ensefalopati hipertensi yang sering ditemukan berupa nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran dan kejang. 1 Kecurigaan akan adanya ensefalopati hipertensi ditemukan dari anamnesis dimana pasien mengalami sakit kepala hebat, disertai mual dan muntah serta kejang yang terjadi sebelum 24 jam. Pada riwayat pribadi, pasien mengaku sebelumnya sempat demam selama 8 hari yang disertai banyaknya koreng yang muncul pada tubuhnya. Selain itu pasien merupakan anak yang tinggal di dalam asrama dengan higienitas tempat yang kurang. Diagnosis ensefalopati hipertensi dari GNAPS makin kuat saat dilakukan pemeriksaan fisik karena ditemukannya edema pada daerah periorbital dan juga peningkatan tekanan darah yang mencapai 160/110 mmhg (lebih dari persentil 99). 3,4 Pengukuran tekanan darah pada pasien dilakukan pada keempat ekstremitas, dengan mempertimbangkan jenis kelamin, tinggi badan dan usia untuk menggolongkannya kedalam persentil sesuai tabel tekanan darah dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 16 Tekanan darah An. A masuk diatas persentil 99+12 mmhg. Keadaan ini tergolong dalam hipertensi urgensi. Hipertensi ini terbagi dalam hipertensi refrakter, hipertensi akselerasi, hipertensi maligna dan hipertensi ensefalopati. Hipertensi refrakter dijumpai ketika tekanan darah > 200/100 mmhg, meskipun sudah diberikan pengobatan. Hipertensi akselerasi yaitu ketika diastolik > 120 mmhg disertai dengan kelainan funduskopi. Hipertensi maligna adalah hipertensi akselerasi yang diastoliknya > 120-130 mmhg dan kelainan funduskopi beserta papil edema, tekanan intrakranial meningkat atau gagal ginjal akut. Hipertensi ensefalopati merupakan peningkatan tekanan darah dengan keluhan neurologis yang bersifat reversibel bila penurunan tekanan darah segera dilakukan. 5 Pemeriksaan penunjang yang mengarah ke diagnosis hipertensi ensefalopati adalah dari CT scan kepala. Gambaran lesi iskemik pada cerebellum bilateral dan subkortikal occipitalis kanan sesuai dengan keluhan pasien dimana ketika terjadi peningkatan tekanan darah yang sampai over autoregulation dapat mengakibatkan kematian sel yang berujung terjadinya iskemia. 14,15 Sedangkan pemeriksaan penunjang yang mengarahkan diagnosis GNAPS adalah pemeriksaan titer ASTO, CRP, pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan urinalisis. Pada pemeriksaan titer ASTO (+) dan CRP (+/24) memberikan informasi bahwa pasien terinfeksi bakteri streptococcus. Pemeriksaan darah leukosit 10.500/μl, sedikit meninggi sebagai kompensasi adanya infeksi. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan gambaran hematuria dan protreinuria (darah samar 300 Ery/μi, keton 3+). 17 GNAPS terjadi karena adanya proses kompleks imun yaitu reaksi antigen antibodi didalam darah yang bersirkulasi di kapiler glomerulus. Reaksi ini memicu aktivasi dari Medula Volume 9 Nomor 3 Oktober 2019 480
sistem komplemen yang akan mengakibatkan lesi dan peradangan, serta menarik trombosit dan leukosit polimorfonuklear (PMN). Pelepasan enzim lisosom dan fagositosis juga akan merusak endotel kapiler dan membran basalis glomerulus. kerusakan ini bisa berakibat terjadinya kebocoran kapiler glomerulus sehingga menyebabkan sel darah merah dan protein keluar bersama urin (hematuria dan proteinuria). Agar kebocoran tidak semakin parah maka sel endotel, sel mesangium, dan sel epitel terpicu untuk terus berproliferasi. 18 Tatalaksana non medikamentosa pada pasien ini adalah dengan bed rest selama 10-14 hari. Untuk diet dengan edema ringan, pemberian garam hanya dibolehkan 0,5-1 g/hari sedangkan protein terbatas 0,5-1 g/kgbb/hari. Untuk ballance cairan diusahakan agar cairan masuk sama dengan jumlah urin yang sudah ditambahkan insible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) dan kebutuhan cairan saat terjadi kenaikan suhu 1 0 C dari normal (10mL/kgBB/har). 19 Terapi medikamentosa yang harus disegerakan adalah penangan ensefalopati hipertensi. Pemberian empat golongan anti hipertensi dilakukan pada hari kedua setelah gagalnya terapi dengan tiga golongan anti hipertensi pada hari pertama (nifedipine 10 mg/6jam secara sublingual, ramipril tablet 5 mg/24jam, injeksi furosemid 20 mg/24jam). Golongan obat yang dipilih sebagai tambahan obat yang keempat adalah klonidin, yaitu obat antihipertensi golongan alfa bloker. Pemberian klonidin dilakukan secara tapering off (hari kedua 568 mcg/24jam, hari ketiga dan keempat 600 mcg/24jam, hari kelima 420 mcg/24jam, hari keenam 180 mcg/24jam, hari ketujuh klonidin dihentikan) agar tidak terjadi rebound hypertension. 19,20 Pemberian antibiotik untuk kasus GNAPS ini adalah seftriakson yaitu antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Antibiotik ini mampu melakukan pengikatan lebih dari satu penicillin binding protein (PBP) sehingga menghambat transpeptidase tahap akhir dari sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. 21 Meskipun menurut Unit Kerja Koordinasi (UUK) nefrologi, pemberian antibiotik ini kurang sesuai dimana seharusnya obat golongan penisilin (amoksisilin 50 mg/kgbb terbagi dalam 3 dosis) yang menjadi pilihan, namun sifat spektrum sefalosporin yang luas mencakup bakteri gram positif dan negatif bisa dipertimbangkan. Seftriakson diberikan melalui parenteral dengan dosis 1 g/12jam. 22 Prognosis pada pasien ini baik jika penanganan ensefalopati hipertensi segera tertangani. Keterlambatan pengobatan akan memperburuk kondisi pasien bahkan bisa mengakibatkan perdarahan intracranial, retinopati hipertensi hingga pasien mengalami koma dan meninggal. Sebaliknya penanganan yang segera dilakukan akan mengurangi gejala sisa dan komplikasi tersebut. 23 Simpulan An. A, laki-laki 12 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala hebat, confusion, mual dan muntah sejak 5 (SMRS). Riwayat sebelumnya kejang sebanyak 3x selama ± 3 menit dan demam selama 8 hari. Kemudian pasien ditatalaksana dengan empat golongan anti hipertensi yaitu nifedipine 10 mg/6jam, ramipril tablet 5 mg/24jam, injeksi furosemid 20 mg/24jam, klonidin drip 600 mcg/24jam serta antibiotik seftriakson 1 g/12jam. Daftar Pustaka 1. Chang HA, Seung AH, Young HK, Sun JK. Clinical characteristics of hypertensive encephalopathy in pediatric patients. Korean Pediatr. 2017; 60(8): 266-271. 2. Bert JH, Van DB, Gregory YHL, Jana BH, Antoine C, Alexandre P, et al. ESC council on hypertension position document on the management of hypertensive emergencies. European Heart Journal. 2019; 5; 37-46. 3. Oseph BM, Kushak S, Namita, Daniel H, Aditya S, Snigdha S, et al. New developments in hypertensive encephalopathy. Current Hypertension Reports. 2018; 20: 13. 4. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among indonesian children. Pediatrica Indonesiana. 2005; 45:264-69. 5. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo L, et al. The seventh report of joint national committee on prevention, detection, Medula Volume 9 Nomor 3 Oktober 2019 481
evaluation, and treatment of high blood pressure. The JNC Report JAMA. 2003; 289; 2560-72. 6. Margaret RMD, Anita KH, Angela LK. High blood pressure in children and adolescents. University of Michigan Medical School. 2018; 98: 8. 7. Ahsan NV, Moosa, Mamata E, Manikum M. Journal of Child Neurology. 2011; 2(8); 1033-1035. 8. Mei HH, Huei SW, Kuang LL, Jing LH, Shao HH, Ming LC, et al. Experience of chilhood hypertensive encephalopathy over an eight year period. Chang Gung Med. 2008; 31(2) 9. Erica FS, Ritvavannine, Toumas R, John CS. Hypertensive encephalopathy presenting as status epilepticus in three year old. The Journal of Emergency Medicine. 2012; 42(6):141-145. 10. Ville L, Ritvavanninen, Thomas. Raised intracranial pressure and brain edema. Handbook of Clinical Neurology. 2018; 145. 11. Yang SH, Liu R. Cerebral autoregulation. Primer on cerebrovascular disease. 2017. 12. Sara G, Edoardo F, Chiara S, Vittoria C, Michele A, Salvatore MC. Hypertension, seizures, and epilepsy: a review on pathophysiology and management. Neurological Science. 2019. 13. Tomas B, Petra S, Neha MK, Jay M, Robert M, Brown J. Seizures following ischemic stroke: frequency of occurrence and impact on outcome in a long term population based study. J Stroke Cerebrovasc Dis.2016; 25(1):150-156 14. Venketesubramanian N, Chan BP, Chang HM, Chua HC, Gan RN, Hui F, et al. Brain attack: needing resuscitation. Singapore Med. 2011; 52(8); 620 15. Hao H, Yang MC, Fei Z, Shithing T, Ji-dong X, Lv-li L, et al. Down-regulated Na+/K+ ATPase activity in ischemic penumbra after focal cerebral ischemia/reperfusion in rats. Int Clin Exp Pathol. 2015; 8(10): 12780-12717. 16. Flegal KM, Wei R, Ogden CL, Freedman DS, Johnson CL, Curtin LR. Characterizing extreme values of body mass index for age by using the 2000 centers for disease control and prevention growth charts. Am Clin Nutr.2009; 90: 1314-20. 17. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Nordstand A, McShan WM, Ferretti JJ, et al. Nelson textbook of pediatrics. Philadelpia: WB Saunders. 2010. 18. Rasyd H, Wahyuni S. Immunomechanisms of glomerulonephritis. The Indonesian Journal of Medical Science.2009. 19. Syarifuddin R, Husein A, Jusli A. Konsensus glomerulonefritis pasca streptokokus. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2012. 20. Joseph AG, Sean MT, James J, Craford. Alpha 2 adrenergic receptor agonists: a review of current clinical applications. Anesth Prog. 2015; 62: 31-38. 21. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi ke-12. Jakarta:EGC; 2014 22. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Unit Kera Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015. 23. Sugiyanto E. Hipertensi dan komplikasi serebrovaskuler. Cermin Dunia Kedokteran. 2007; 157: 173-79 Medula Volume 9 Nomor 3 Oktober 2019 482