2017 PENALARAN ILMIAH SISWA SMA PADA SEKOLAH YANG MENGGUNAKAN KTSP DENGAN KURIKULUM

dokumen-dokumen yang mirip
2015 PENALARAN ILMIAH (SCIENTIFIC REASONING) SISWA SEKOLAH BERORIENTASI LINGKUNGAN DAN SEKOLAH MULTINASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

RANCANGAN ALAT UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS VII SMP N 1 AMBARAWA TAHUN AJARAN

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Depdiknas (2006) mengungkapkan bahwa dalam pendidikan, siswa

2014 IDENTIFIKASI KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH YANG MUNCUL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM PADA MATERI NUTRISI KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Taniredja (Fira, 2013: 5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nur Fildzah Amalia, 2015

I. PENDAHULUAN. dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau. antisipasi kepentingan masa depan (Trianto, 2009:1).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan. antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, strategi pembelajaran dan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

Oleh : Sri Milangsih NIM. S BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Persepsi ini menyebabkan guru terkungkung dalam proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rena Ernawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAGAIMANA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PAUD?

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Judul. Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik pada Pembelajaran Subkonsep Fotosintesis di SMP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata bios yang berarti

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam upaya mengembangkan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICTION, OBSERVATION AND EXPLANATION

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI KEMAMPUAN AKADEMIK SISWA SMA NEGERI 5 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 299 Bandung

IMPLIKASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari diajarkannya matematika di setiap jenjang pendidikan. Selain itu, untuk

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi di SMA menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal.

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TERHADAP PENCAPAIAN LITERASI KUANTITATIF SISWA SMA PADA KONSEP MONERA

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fatia Indrianti,2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum berperan penting dalam menciptakan pendidikan yang efektif bagi masyarakat. Di dalamnya dijelaskan tentang tujuan, isi, dan segala perencanaan yang menentukan arah dan proses pendidikan. Sebagai suatu rencana, kurikulum perlu penerapan pada dunia nyata. Kurikulum diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kurikulum dan pembelajaran tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan yang saling memengaruhi. Dalam penerapannya, kurikulum membutuhkan praktisioner yang akan menjalankan rencana rencana yang tertulis dalam dokumen kurikulum tersebut. Maka dari itu, guru adalah faktor penting dalam implikasian kurikulum karena guru yang berinteraksi langsung dengan siswa. Guru berperan mengembangan kurikulum itu sendiri. Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan dari masyarakat, maka dunia pendidikan harus melakukan inovasi dalam pendidikan. Inovasi pendidikan akan berjalan dan mencapai sasarannya jika progam pendidikan tersebut dirancang dan di implementasikan sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan dan pengembangan dari waktu ke waktu. Harapannya, kurikulum mampu menyusun suatu pedoman pengajaran yang membentuk manusia manusia yang mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungannya, baik secara internal maupun eksternal demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Kurikulum sering dikaitkan dengan mutu pembelajaran, artinya melalui kurikulum yang baik akan menghasilkan mutu pembelajaran yang baik pula. Pembelajaran bukan lagi didasarkan pada penuntasan materi, melainkan pada proses dan hasil yang diukur dari kemampuan yang telah dicapai oleh siswa. Latar inilah yang melahirkan kurikulum 2004 (KBK)

2 dan dilanjutkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), selain itu, kurikulum 2013 juga memperlihatkan keberlanjutan penggunaan KBK (Triwiyanto, 2015). Menurut Mulyasa (2015a) hakikat implementasi KTSP adalah suatu proses penerapan ide, konsep dan kebijakan kurikulum dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga siswa mampu menguasai seperangkat kompetensi tertentu sabagai hasil interaksi dengan lingkungan. Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP tahun 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu (Triwiyanto, 2015). Pada kurikulum 2013 ditetapkan pembelajaran dengan pendekatan scientific. Proses pembelajaran dengan pendekatan scientific dilakukan dengan cara mempelajari konten dari khusus ke umum (induktif) yang mencakup tiga ranah yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor. Penerapan pendekatan ilmiah menggunakan ketiga ranah tersebut dalam pembelajaran membutuhkan 5M (mengamati, menanya, mencoba, mengolah, dan menyajikan). Langkah-langkah 5M tersebut dapat ditemukan siswa berupa soal dalam pembelajaran. Pada mengamati dan menanya timbul ranah afektif (sikap) pada siswa. Pada kesiapan percobaan timbul ranah psikomotorik (keterampilan) sehingga siswa berperan serta dan terjun secara langsung dalam permasalahan. Sedangkan pada tahap mengolah dan menyajikan timbul ranah kognitif (pengetahuan) dimana siswa menggunakan pemikirannya untuk memecahkan masalah. Dengan pembelajaran 5M tersebut, siswa dapat lebih aktif memahami masalah yang ada, itu sesuai dengan tujuan kurikulum 2013, sehingga siswa lebih kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Selain itu, mendorong dan menginspirasi siswa memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. Pengembangan kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap dalam menghadapi masa depan. Maka dari itu kurikulum 2013

3 disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Perkembangan kurikulum ini bertujuan untuk mendorong peserta didik agar mamapu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan ini diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Siswa akan kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di jamannya memasuki masa depan yang lebih baik (Djatmiko, 2014). Pendidikan biologi pada sekolah tingkat menengah dan atas termasuk dalam kurikulum sekolah (van Mil, Boerwinkel, & Waarlo 2013). Dengan demikian, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak lagi sekedar proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan suatu proses yang seyogyanya melibatkan siswa berfikir bagaimana suatu konsep diperoleh dan diaplikasikan dalam kehidupan dalam sehari-hari. Hal ini juga diutarakan oleh National Research Council (NRC) bahwa dalam pembelajaran sains siswa dilibatkan dalam proses kognitif yang melambangkan cara berfikir saintis seperti mengajukan pertanyaan yang berorientasi ilmiah, mencari sejumlah bukti sebagai respon terhadap pertanyaan, menyusun penjelasan berdasarkan bukti yang diperoleh, menghubungkan penjelasan dengan pengetahuan ilmiah, serta mengkomunikasikan dan membuktikan penjelasan (NRC, 2000, dalam (Dolan & Grady 2010)) sehingga pada akhirnya siswa mampu melek terhadap sains. Istilah melek sains (literasi sains) sebagai tujuan pembelajaran meliputi pemahaman siswa tentang hakikat sains dan juga penalaran ilmiah (scientific reasoning) siswa (Lawson, 2009, dalam (Piraksa, Srisawasdi, & Koul 2014). Kemampuan siswa untuk bernalar terhadap bukti-bukti yang diperoleh serta berpartisipasi dalam argumentasi ilmiah kini telah dipertimbangkan sebagai tujuan utama dari perbaikan pendidikan sains

4 (Furtak et al., 2010). Beliau juga mengungkapkan bahwa perbaikan pendidikan tersebut melibatkan perkembangan berpikir, bernalar, dan keterampilan memecahkan masalah untuk mempersiapkan siswa berpartisipasi dalam membuat serta mengevaluasi klaim pengetahuan, penjelasan, model, dan desain eksperimen ilmiah. Hal tersebut tampak pada upaya perbaikan pendidikan melalui kurikulum 2013 yang menekankan pada proses berpikir dan pengalaman belajar siswa saat memperoleh konsep-konsep ilmiah. Dalam perbaikan pendidikan sains nasional pun saat ini pembelajaran sains ditekankan pada proses perolehan pengetahuan, sehingga siswa tidak hanya sekadar menerima informasi dari guru, tetapi siswa harus mampu menemukan konsep-konsep sains tersebut melalui serangkaian kerja ilmiah yang melibatkan siswa berpikir untuk memecahkan masalah, menemukan bukti/ fakta yang diperlukan serta menghubungkan fakta-fakta tersebut sehingga membentuk suatu pengetahuan. Oleh karena itu, jelas bahwa kemampuan penalaran merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pendidikan sains, terlebih lagi penalaran ilmiah melibatkan latihan yang tidak hanya relevan dalam kelas sains tetapi juga dalam dunia nyata dimana individu harus membuat keputusan tentang kehidupan hariannya (Varma 2014). Pentingnya penalaran ilmiah telah diungkapkan oleh beberapa peneliti. Ding, Wei, & Mollohan (2016) menyebutkan bahwa penalaran ilmiah merupakan salah satu keterampilan berpikir yang memiliki peran penting di dalam sains, teknologi, dan matematika. Penalaran ilmiah juga seperti yang disarikan oleh (Piraksa, Srisawasdi, & Koul 2014), berperan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak dengan cara yang berhubungan dengan inkuiri, berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa, dan berperan penting dalam proses perubahan konseptual. Menurut Karplus & Butts (1977), penalaran ilmiah memiliki dua pola penalaran, yaitu pola penalaran konkrit dan pola penalaran formal. Contoh pola penalaran konkrit diantaranya adalah class inclusion, conservation, serial ordering(kemampuan siswa dalam mengurutkan

5 sekumpulan data), and reversibility. Sementara pola penalaran formal meliputi theoretical reasoning (kemampuan siswa dalam menerapkan teori untuk menginterpretasikan data), combinatorial reasoning, functionality (kemampuan siswa dalam menganalisis hubungan fungsional)and proportional reasoning, control variables(kemampuan siswa dalam mengontrol variabel), and probabilistic(kemampuan siswa dalam memprediksi berdasarkan data), dan correlational reasoning. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penalaran ilmiah seseorang dapat dilatih dan dikembangkan melalui faktor-faktor seperti kegiatan pembelajaran inkuiri (Chinn & Malhotra, 2002, dalam McDonald, 2014; Dolan & Grady, 2010; Chen & She, 2015), pembelajaran dengan representasi (Sutopo & Waldrip, 2014), diskusi kelas (Atwood et al., 2010, dalam Waldrip, Prain, & Sellings, 2013), serta pertanyaan yang diberikan terhadap siswa (Cliat & Shaw s, 1985, dalam Waldrip, Prain, & Sellings, 2013). Faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan penalaran ilmiah yaitu diantaranya metode pembelajaran yang digunakan di kelas, seperti yang dikemukakan oleh Lawson (2004) bahwa metode pembelajaran dapat serta dalam mengembangkan penalaran ilmiah. Pembentukan dalam mengembangan penalaran ilmiah siswa bervariasi sesuai dengan dengan masalah khusunya karena kedekatan emosional mereka dengan isu-isu dan asal sosial budaya mereka, tentang jenis permasalahan juga sangat relevan untuk mengintegrasikan ke dalam sosio-penalaran ilmiah (Simonneaux & Simonneaux, 2009). Faktor lain yang mempengaruhi penalaran ilmiah siswa yaitu keadaan sekolah atau sarana dan prasarana yang terdapat pada sekolah tersebut. Menurut Zimmerman, (2000) yang mempengaruhi pengembangan keterampilan penalaran ilmiah fokusnya pada strategi penalaran dan pemecahan masalah yang terlibat dalam eksperimen dan evaluasi bukti, penelitian tentang strategi dalam pembelajaran telah mengalami pertumbuhan yang sangat besar. Salah satu pendekatan yang mempengaruhi perkembangan penalaran ilmiah yaitu melibatkan investigasi concepts pada anak-anak dan orang dewasa pada fenomena di berbagai konten ilmu

6 pengetahuan khususnya biologi. Melalui aktivitas pembelajaran yang direncanakan guru akan mampu merangsang siswa untuk dapat bernalar ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterampilan penalaran ilmiah dapat dikembangkan melalui latihan (Chen & She, 2015). Kegiatan memecahkan suatu masalah merupakan cara yang sering dilakukan dan sangat menonjol dalam penegmbangan penalaran ilmiah siswa karena dampaknya terhadap perubahan dan peningkatan emosional, kognitif siswa, dan pengembangan psikomotor (Alshamali & Daher, 2016). Faktor lain yang mempengaruhi penalaran ilmiah yaitu proses assesmen dalam pembelajaran, kultur (budaya) daerah tertentu, dan latar belakang siswa seperti bakat, minat, dan motivasi yang terdapat dalam diri siswa. Menurut Lawson (2011) bahwa pendidik (guru) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan penalaran ilmiah siswa. Penalaran ilmiah juga dipengaruhi kurikulum yang diterapkan pada sekolah yang berkaitan dengan seorang pendidik/ guru yang mengajar di kelas, walaupun kurikulum terus berganti tetapi jika guru dalam mengajar masih saja ada yang menggunakan metode yang klasik, maka kemampuan penalaran siswa tidak tergali. Jadi kalau kemampuan penalaran siswa ingin tercapai, maka seorang guru harus kreatif dan bekerja keras untuk menggali kemampuan penalaran ilmiah siswa. Pada penelitian ini akan dibahas tentang pengembangan penalaran ilmiah siswa dalam KTSP dengan kurikulum 2013. Penalaran ilmiah dapat didefinisikan sebagai kumpulan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pratik atau latihan ilmiah, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan pengumpulan dan analisis bukti, dan juga kemampuan yang digunakan untuk mengajukan argumen berdasarkan bukti yang diperoleh. Dalam penelitian ini, kemampuan penalaran ilmiah diidentifikasi melalui kemampuan siswa dalam mengajukan argumen tentang masalah yang terdapat pada materi, yang dianalisis berdasarkan aspek kelengkapan komponen dan kekuatan argumen. Aspek kelengkapan komponen argumen dapat diukur dengan soal uraian yang disertai alasan

7 dan bukti dan diases menggunakan modifikasi rubrik Dawson & Venville, (2009) yang mengelompokan kemampuan argumentasi siswa menjadi level 1, level 2, level 3, level 4, dan level 5,dengan pembagian komponen argumen menjadi claim, data, warrant, backing, qualifier, dan rebuttal berdasarkan pada argumentasi Toulmin s. Sedangkan aspek koherensi argumen diukur menggunakan rubrik koherensi argumen yang dikembangkan oleh peneliti, dimana argumen siswa dikelompokkan menjadi argumen kurang koheren, cukup koheren, dan koheren berdasarkan validitas konsep, rasionalitas jawaban, serta relevansi antara claim dengan grounds (data, warrant, dan backing). Hal ini serupa dengan rubrik Choi, et al., (2010) argumen siswa dapat dikelompokan menjadi lima level yaitu, level 1, 2, 3, 4, dan 5. Pemilihan materi juga dapat memicu siswa untuk bernalar serta mengajukan argumen terkait dengan masalah tersebut, karena salah satu tujuan pendidikan sains adalah agar siswa dapat mengerti dan mampu bertindak terhadap isu personal dan isu sosial (Keskin, 2013). Pada saat ini terdapat sekolah yang sudah melaksanakan kurikulum 2013 dan ada juga yang masih menggunakan kurikulum KTSP, yang mana kedua-duanya memiliki aspek kemampuan penalaran dalam pencapaian tujuan proses belajarnya. Maka dari itu Peneliti tertarik melakukan penelitian pada dua sekolah yang masing masing memiliki kurikulum yang berbeda yaitu SMA At Tawazun yang menggunakan kurikulum KTSP dan SMA Negeri 1 Kalijati yang menggunakan kurikulum 2013. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah khusus dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah pengembangan penalaran ilmiah siswa pada sekolah yang menggunakan KTSP dan yang menggunakan kurikulum 2013?. Dari masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian seperti berikut: 1. Bagaimanakah proses pembelajaran pada sekolah yang menggunakan KTSP dengan sekolah yang menggunakan kurikulum 2013?

8 2. Bagaimanakah kelengkapan komponen argumen siswa pada sekolah yang menggunakan KTSP dan yang menggunakan kurikulum 2013? 3. Bagaimanakah kekuatan argumen siswa pada sekolah yang menggunakan KTSP dan yang menggunakan kurikulum 2013? 4. Bagaimanakah perbedaan penalaran ilmiah siswa pada sekolah yang menggunakan KTSP dengan sekolah yang menggunakan kurikulum 2013? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah menganalisis perbedaan sekolah yang menggunakan KTSP dengan sekolah yang menggunakan kurikulum 2013 dalam pengembangan penalaran ilmiah siswa dan perbedaan proses pembelajaran di kelas pada sekolah yang menggunakan KTSP dengan sekolah yang menggunakan kurikulum 2013. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Manfaat teori Penelitian ini memberikan kontribusi mengenai penalaran ilmiah yang saat ini belum banyak diteliti di Indonesia. Dengan adanya kajian terhadap lingkungan sekolah yang berbeda, maka penelitian ini juga memberikan kontribusi informasi mengenai peran dari suatu lingkungan dan kegiatan sekolah terhadap perkembangan penalaran ilmiah siswa. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini diantaranya: a. menambah wawasan tentang capaian penalaran ilmiah siswa yang teridentifikasi melalui komponen serta kekuatan argumen siswa; b. memperoleh gambaran tentang penalaran ilmiah siswa dari tingkatan kelas pada sekolah yang menggunakan KTSP dengan yang menggunakan kurikulum 2013 dengan materi tiap tingkatan

9 yang berbeda, serta hal-hal yang dapat berpengaruh terhadap penalaran ilmiah; c. hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk bernalar; d. hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi peneliti yang serupa maupun mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan penalaran ilmiah. E. Struktur Organisasi Tesis Tesis ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: 1. Bab I Pendahuluan Dalam bab tersebut dijabarkan latar belakang masalah yang mendasari penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi tesis. 2. Bab II Kajian Pustaka Dalam bab tersebut dijabarkan tentang konsep-konsep penalaran ilmiah, penalaran ilmiah sebagai argumentasi, pengembangan rubrik untuk mengukur penalaran ilmiah, materi tentang bakteri, sistem sirkulasi darah pada manusia, dan pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan, serta hasil temuan penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan peneliti. 3. Bab III Metode Penelitian Dalam bab tersebut dijabarkan tentang metode penelitian yang digunakan, lokasi dan subjek penelitian, instrumen yang digunakan, tahapan pengumpulan data yang dilaksanakan, langkah analisis data yang ditempuh, serta jadwal pelaksanaan penelitian. 4. Bab IV Temuan dan Pembahasan Dalam bab tersebut dijabarkan tentang temuan penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data penalaran ilmiah siswa kelas X, XI, dan XII di sekolah yang menggunakan KTSP dan kurikulum 2013,

10 serta pembahasan temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terdapat pada Bab I. 5. Bab V Simpulan dan Rekomendasi Dalam bab tersebut dijabarkan tentang simpulan yang merupakan hasil penting penemuan mengenai penalaran ilmiah siswa, serta rekomendasi yang diajukan peneliti bagi pihak sekolah, guru, dan peneliti lain yang tertarik untuk melanjutkan penelitian.

11 Ding, Lin, Xin Wei, and Katherine Mollohan. 2016. 'Does Higher Education Improve Student Scientific Reasoning Skills?', International Journal of Science and Mathematics Education, 14: 619-34. Dolan, Erin, and Julia Grady. 2010. 'Recognizing students scientific reasoning: A tool for categorizing complexity of reasoning during teaching by inquiry', Journal of science teacher education, 21: 31-55. Furtak, Erin Marie, Ilonca Hardy, Christina Beinbrech, Richard J Shavelson, and Jonathan T Shemwell. 2010. 'A framework for analyzing evidence-based reasoning in science classroom discourse', Educational Assessment, 15: 175-96. Piraksa, Chakkrapan, Niwat Srisawasdi, and Rekha Koul. 2014. 'Effect of Gender on Student's Scientific Reasoning Ability: A Case Study in Thailand', Procedia-Social and Behavioral Sciences, 116: 486-91. van Mil, Marc HW, Dirk Jan Boerwinkel, and Arend Jan Waarlo. 2013. 'Modelling molecular mechanisms: a framework of scientific reasoning to construct molecular-level explanations for cellular behaviour', Science & Education, 22: 93-118. Varma, Keisha. 2014. 'Supporting scientific experimentation and reasoning in young elementary school students', Journal of science education and technology, 23: 381-97. Zimmerman, Corinne. 2000. 'The development of scientific reasoning skills', Developmental Review, 20: 99-149.