PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA SKRIPSI VINA MUHIBBAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN VINA MUHIBBAH. 2007. Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Pengukuran ukuran linear tubuh dan sifat-sifat karkas merupakan cara untuk menilai produktivitas ternak. Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak yang menjadi salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu perusahaan peternakan penggemukan sapi potong yang berada di Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi jantan hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) sebanyak 25 ekor dan dibagi kedalam 3 kategori skor kondisi tubuh (kurus, sedang, dan gemuk) sebagai perlakuan. Jumlah ulangan sapi yang dipakai dari masing-masing kategori kondisi tubuh adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan 7 ekor (kurus). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan data yang diperoleh dianalisa dengan prosedur General Linier Model (GLM). Hasil yang menunjukkan perbedaan nyata diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang berbeda menghasilkan bobot potong (P<0,05), tebal lemak pangkal ekor (P<0,01), bobot karkas, tebal lemak punggung (P<0,05) dan luas urat daging mata rusuk (P<0,05) yang berbeda. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi tubuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap bobot hidup sapi karena adanya perbedaan perlemakan dan perdagingan. Ukuran linear tubuh ternak dan persentase karkas tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kondisi tubuh. Ukuran linear tubuh yang sama dikarenakan sapi tersebut sudah mengalami dewasa tubuh dan termasuk dalam kelompok ternak dengan ukuran kerangka yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam pendugaan bobot badan dan bobot karkas berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh. Kata-kata kunci : Skor Kondisi Tubuh, Ukuran Linear Tubuh, Sifat-Sifat Karkas
ABSTRACT Body Linear Measurements and Carcass Characteristics on Different Beef Cattle Body Condition Muhibbah, V., R. Priyanto, and H. Nuraini This study was aimed to examine the influence of beef cattle condition score on body linear measurements and carcass characteristics. The experiment used 25 cross bred bulls of Taurindicus cattle (Bos taurus X Bos indicus). They were grouped into three categories of condition score. These three categories are lean (n = 7), medium (n = 9), and fat (n = 9). The experiment was set up in a completely randomized design and the data was analyzed using General Linear Model (GLM) procedure. The results indicated that the body condition score had significant influences (P<0,05) on slaughter weight, anal fold fat thickness, weight carcass, 12 th rib fat thickness and eye muscle area at the 12 th rib. This means that body condition score will influence beef cattle body weight due to differences in muscling and fatness. The threatment did not have significant influence on body linear measurements and percentage of carcass. Therefore, the estimation of beef cattle body weight based on linear measurements should be corrected against body condition in order to improve the accuracy of prediction. Keywords: Body Condition Score, Body Linear Measurements, Carcass Characteristics
PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA VINA MUHIBBAH D 14103039 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA Oleh VINA MUHIBBAH D 14103039 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 23 Februari 2007 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Rudy Priyanto NIP. 131 622 682 Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si NIP. 131 845 347 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Vina Muhibbah, dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 25 Mei 1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Shodiqin, S.Ag dan Suprianah. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1991 di SDN Banjarsari dan diselesaikan pada tahun 1997. Penulis pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bandar Kedung Mulya sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh pada tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMU Negeri 1 Jombang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kepramukaan dan OSIS merupakan organisasi yang diikuti penulis selama menempuh pendidikan. Selama di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan antara lain Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM-D), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D). Penulis merupakan mahasiswa daerah sehingga penulis juga aktif dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Jombang sebagai Bendahara selama penulis berada di IPB.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi yang Berbeda. Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang memberikan kontribusi dalam pemenuhan daging nasional. Peningkatan dalam berbagai manajemen pemeliharaan sangatlah perlu dilakukan. Penilaian produktivitas adalah salah satu cara mengukur tingkat keberhasilan peternakan. Bobot badan merupakan indikator penting dalam manajemen peternakan. Prediksi bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan ukuran linear tubuh ternak tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Hal tersebut menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kondisi tubuh ternak terhadap parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi. Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini semoga bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan peternakan Indonesia. Bogor, Februari 2007 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i ABSTRACT... ii RIWAYAT HIDUP... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan dan Manfaat... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Penggemukan (Finishing) Sapi Potong... 3 Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong... 4 Pertumbuhan Jaringan Otot dan Lemak... 6 Skor Kondisi Tubuh... 6 Parameter Tubuh... 8 Sifat-Sifat Karkas... 9 Bobot Karkas... 9 Persentase Karkas... 9 Tebal Lemak Punggung... 10 Luas Urat Daging Mata Rusuk... 10 METODE... 12 Lokasi dan Waktu... 12 Materi... 12 Metode... 12 Prosedur Penelitian... 12 Peubah yang diamati... 14 Rancangan Percobaan... 15 HASIL DAN PEMBAHASAN... 16 Keadaan Umum Perusahaan... 16 Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda... 20 Bobot Potong... 21 Ukuran-ukuran Linear Tubuh... 23 Tebal Lemak Pangkal Ekor... 24 Sifat-sifat Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda... 25
Bobot Karkas... 26 Persentase Karkas... 27 Tebal Lemak Punggung... 28 Luas Urat Daging Mata Rusuk... 29 KESIMPULAN DAN SARAN... 32 UCAPAN TERIMAKASIH... 33 DAFTAR PUSTAKA... 34 LAMPIRAN... 37
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong... 5 2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong... 13 3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi... 17 4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur... 18 5. Bahan Baku dan Persentase Penggunaannya pada Konsentrat... 18 6. Rataan Produktivitas Peternakan Sapi... 19 7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda... 21 8. Rataan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda... 26
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda... 22 2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda... 24 3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda... 27 4. Tebal Lemak Punggung pada Kondisi Tubuh Berbeda... 29 5. Luas Urat Daging Mata Rusuk pada Kondisi Tubuh Berbeda... 30
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Analisis Ragam Bobot Potong... 37 2. Analisis Ragam Tinggi Badan... 37 3. Analisis Ragam Panjang Badan... 37 4. Analisis Ragam Lingkar Dada... 37 5. Analisis Ragam Tebal Lemak Pangkal Ekor... 38 6. Analisis Ragam Bobot Karkas... 38 7. Analisis Ragam Persentase Karkas... 38 8. Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung... 38 9. Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk... 39 10. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Potong... 39 11. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Pangkal Ekor... 39 12. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Karkas... 40 13. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Punggung... 40 14. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Luas Urat Daging Mata Rusuk... 40
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein. Data Dirjen Peternakan (2005) menyebutkan bahwa produksi daging sapi 463.800 ton dan daging sapi merupakan sumber daging yang paling digemari masyarakat Indonesia setelah daging unggas. Peningkatan produktivitas sapi bisa dilakukan dengan cara pemeliharaan dan budidaya yang baik. Ukuran keberhasilan manajemen pemeliharaan sapi adalah dengan melihat produktivitas sapi tersebut. Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan (Kadarsih, 2003). Peternak umumnya menggunakan bobot hidup sapi sebagai ukuran keberhasilan pemeliharaan dan pertumbuhan sapi yang telah dipelihara apakah sesuai dengan harapan. Bobot hidup juga merupakan salah satu penentu harga seekor sapi dalam bidang pemasaran. Keterbatasan dalam penentuan bobot badan sapi dilapangan adalah minimnya fasilitas timbangan ternak sehingga peternak harus melakukan penaksiran bobot badan secara subjektif. Beberapa formula telah dikembangkan untuk memprediksi bobot badan berdasarkan ukuran linear tubuh. Formula yang telah dikenal antara lain formula Schoorl yang menggunakan lingkar dada dan formula Winter yang menggunakan lingkar dada dan panjang badan sebagai faktor penduganya. Namun demikian, pendugaan bobot badan berdasarkan formulasi-formulasi tersebut menghasilkan keakurasian yang rendah karena perbedaan bangsa ternak dan latar belakang nutrisi ternak sehingga menghasilkan skor kondisi ternak yang beragam. Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi wilayah yang beragam menyebabkan sistem pemeliharaan yang dilaksanakan berbeda-beda tergantung potensi wilayah tersebut. Perbedaan penggunaan bangsa atau tipe ternak serta pakan yang digunakan akan menyebabkan bobot hidup yang dicapai juga berbeda-beda meskipun ukuran kerangka ternak relatif sama. Perbedaan sistem manajemen, penggunaan pakan dan bangsa ternak akan mengakibatkan adanya keragaman kondisi ternak (Wulandari, 2005). Alat timbangan seekor sapi tidak praktis digunakan di lapangan terutama pada peternakan rakyat dengan skala usaha yang kecil, sehingga cara penaksiran
bobot badan yang akurat sangat perlu untuk diketahui. Skor kondisi merupakan salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan dalam menilai produktivitas dan prediksi bobot badan sapi. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan skor kondisi sapi terhadap parameter tubuh dan sifat sifat karkas. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mambandingkan parameter tubuh dan sifatsifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda. Manfaat penelitian ini adalah peternak dapat mempertimbangkan kondisi tubuh untuk menduga bobot badan sapi berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh. Hipotesis Skor kondisi tubuh sapi potong yang berbeda akan menunjukkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong yang berbeda pula.
TINJAUAN PUSTAKA Penggemukan (Finishing) Sapi Potong Program penggemukan (finishing) sapi potong menurut Parakkasi (1999) bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas dengan jalan membentuk lemak seperlunya. Program finishing untuk sapi yang belum dewasa bersifat membesarkan sambil menggemukkan atau memperbaiki kualitas karkas. Intensifikasi menurut Parakkasi (1999) bertujuan untuk lebih mengefisienkan produksi dengan meminimalkan waktu pemeliharaan. Sapi potong yang dipelihara secara intensif pertumbuhannya akan lebih tinggi dari pada sapi yang dipelihara secara ekstensif sehingga lebih cepat mencapai bobot potong yang diinginkan (Phillips, 2001). Pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Phillips (2001) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem dimana sapi dipelihara dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat berprotein tinggi dan juga dapat ditambah dengan memberikan hijauan. Sistem pemeliharaan semi intensif adalah sapi selain dikandangkan juga digembalakan di padang rumput, sedangkan sistem ekstensif pemeliharaannya dipadang penggembalaan dengan pemberian peneduh untuk istirahat sapi. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sistem intensif biasanya dilakukan pada daerah yang banyak tersedia limbah pertanian sedangkan sistem ekstensif diterapkan pada daerah yang memiliki padang penggembalaan yang luas. Penggunaan lahan menurut Blakely dan Bade (1991) untuk sistem intensif lebih efisien dari pada sistem ekstensif sehingga pemeliharaan secara intensif cocok dipakai didaerah padat penduduk. Keuntungan dari sistem pemeliharaan intensif adalah dapat menggunakan bahan pakan berasal dari hasil ikutan industri pertanian dibanding dengan pemeliharaan dilapangan. Neumann dan Snapp (1969) menambahkan bahwa pemeliharaan intensif pada program finishing dapat menekan jumlah kematian dan dapat menghasilkan feses yang lebih banyak dari pada sistem pastura atau ekstensif. Kekurangan dari sistem ini menurut Parakkasi (1999) yaitu mudah sekali penyebaran penyakitnya, investasinya juga banyak dan sering ditemukan permasalahan akan limbah peternakan yang dihasilkan. Kekurangan yang lain sistem penggemukan
secara intensif antara lain banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, peralatan serta modal yang cukup besar (Phillips, 2001). Pakan yang digunakan pada pemeliharaan intensif biasanya konsentrat penuh atau 60% konsentrat dan 40% hijauan (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa rasio pemberian pakan dalam sistem intensif yaitu 95% konsentrat dan 10-15% hijauan makanan ternak. Berdasarkan Parakkasi (1999) sapi dewasa (finish-sedang) dapat mengkonsumsi pakan bahan kering sebesar 1,4 % bobot badan sedangkan untuk sapi steer sampai 3 % bobot badan. Lama pemeliharaan program penggemukan (finishing) sangat singkat yaitu kurang dari satu tahun. Perbedaan lama waktu penggemukan berbeda-beda dipengaruhi oleh umur, kondisi, bobot awal penggemukan, jenis kelamin, kualitas bakalan dan mutu pakan serta bangsa sapi. Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan bahwa untuk program penggemukan finishing, waktu penggemukan dimulai dengan bobot badan awal antara 325-400 kg sampai dicapai bobot potong antara 500-625 kg yaitu kurang dari enam bulan pemeliharaan. Waktu penggemukan semakin lama menurut Hafid (1998) memiliki kecenderungan meningkatkan persentase lemak karkas dan menurunkan persentase komposisi daging dan tulang, selain itu cenderung menurunkan persentase total non karkas, persentase komposisi kepala, kaki dan jantung. Penggemukan sapi sering memanfaatkan kondisi pertumbuhan kompensasi. Pertumbuhan ini terjadi setelah sapi mengalami pertumbuhan negatif. Pertambahan bobot badan yang dicapai saat kondisi pertumbuhan ini bisa mencapai dua kali pertumbuhan normal (Phillips, 2001). Penggemukan selama dua bulan menurut Hafid (1998) pada sapi yang memanfaatkan pertumbuhan kompensasi menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi, konsumsi yang rendah, konversi pakan yang lebih efisien, meningkatkan bobot potong dan nilai ekonomis sapi lebih menguntungkan. Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong Pertumbuhan adalah proses bertambah besar dan tinggi seekor ternak serta terjadinya peningkatan bobot badan sampai ukuran dewasa tubuh tercapai (Lawrie,1998). Perubahan ukuran-ukuran meliputi bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, komponen tubuh (otot, lemak, tulang), organ dan
komponen kimia juga dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan (Field dan Taylor, 2002). Pertumbuhan menurut Hafez (1969) termasuk proses pertambahan sel (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Proses pertumbuhan berdasarkan Field dan Taylor (2002) terbagi atas dua tahap yaitu pertumbuhan prenatal dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) terjadi saat embrio, meliputi pembelahan sel dan pertambahan jumlah sel tubuh serta terjadi perubahan fungsi sel menjadi sistem-sistem organ tubuh. Embrio juga mengalami perkembangan sel menjadi lebih besar sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang lebih banyak. Pertumbuhan setelah lahir (postnatal) menurut Gall (1969) meliputi beberapa aspek yaitu proses pematangan organ reproduksi, peningkatan dimensi dan linear, pertambahan bobot badan, pertambahan masa organ dan perbanyakan sel. Phillips (2001) menjelaskan bahwa laju pertumbuhan ternak setelah lahir berbentuk sigmoid yaitu terjadi peningkatan bobot badan secara signifikan dari lahir sampai pubertas dan cenderung tetap setelah periode pubertas tercapai. Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan bahwa sapi mencapai waktu pubertas dipengaruhi umur, bobot badan dan bangsa. Waktu pencapaian pubertas pada beberapa bangsa persilangan dapat diketahui pada Tabel 1. Tabel 1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong. Bangsa Bobot Badan (kg) Umur (hari) Simmental Cross 333 358 Limousin Cross 339,5 384 Brahman Cross 356 429 Sumber: Neumann dan Lusby (1986) Pada awal dewasa kelamin, pertumbuhan otot bagian leher atau tengkuk dan rongga dada relatif cepat. Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin, hormon, pakan, gen, iklim dan kesehatan induk (Phillips, 2001). Sapi tipe besar laju pertumbuhannya lebih besar dari pada sapi tipe kecil (Neumann dan Lusby, 1986). Perbedaan laju pertumbuhan ini mengakibatkan bobot potong untuk sapi tipe besar akan lebih tinggi dari pada sapi tipe kecil. Perkembangan adalah perubahan konformasi tubuh dan bentuk serta perubahan macam-macam fungsi tubuh sehingga dapat digunakan secara penuh
(Lawrie,1998). Pertumbuhan dan perkembangan sangat ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, manajemen pakan dan manipulasi exogenous. Pertumbuhan Jaringan Tulang, Otot dan Lemak Pertumbuhan bagian tubuh hewan mengalami peningkatan yang berbeda tetapi laju pertumbuhannya sama. Setiap kenaikan bobot tubuh terjadi perbedaan proporsi organ dan jaringan otot, tulang dan lemak. Semua zat makanan dalam pertumbuhan hewan akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk pertumbuhan tulang, jaringan otot kemudian lemak. Pertumbuhan tulang sangat penting bagi pertumbuhan ternak karena pertumbuhan dan perkembangan tulang akan menentukan ukuran tubuh ternak (Field dan Taylor, 2002). Tulang tumbuh secara kontinyu dengan laju pertumbuhan yang relatif lambat sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga rasio antara otot dan tulang meningkat selama pertumbuhan (Parakkasi, 1999). Otot mencapai pertumbuhan maksimal kemudian terjadi pertambahan bobot otot terutama karena deposisi lemak intra muscular. Perbedaan pertumbuhan jaringan otot, tulang dan lemak akan mengakibatkan perubahan komposisi karkas (Field dan Taylor, 2002). Jaringan lemak tumbuh lambat pada awal pertumbuhan tetapi setelah mencapai dewasa kelamin jaringan ini tumbuh lebih cepat melebihi kecepatan pertumbuhan otot dan tulang. Nutrisi pakan cukup maka pada pertumbuhan selanjutnya lemak akan disimpan dibawah kulit (subkutan), diantara otot (intermuskular) dan didalam otot (intramuskular atau marbling). Selama fase penggemukan lemak merupakan jaringan dengan jumlah dan penyebaran yang berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi proporsi jaringan otot dan nilai karkas (Field dan Taylor, 2002). Skor Kondisi Tubuh Suatu sistem penilaian secara umum yang telah dikembangkan untuk menduga rataan kondisi sapi dalam suatu pemeliharaan merupakan definisi skor kondisi tubuh menurut Encinias dan Lardy (2000). Sistem ini membantu peternak dalam penilaian suatu kondisi ternak dengan mengevaluasi nilai perlemakan serta penonjolan kerangka. Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian secara visual yang mempertimbangkan frame size atau bentuk tubuh (Phillips, 2001).
Perguruan tinggi Pertanian Scotlandia Timur adalah pelopor pembuatan sistem scoring (Rutter et al., 2000). Kondisi tubuh dinilai dari satu (sangat kurus) sampai lima (sangat gemuk). Penggunaan metode ini pertama kali dikemukakan tahun 1917 digunakan untuk memprediksi rasio antara nilai lemak dan bukan lemak pada sapi (Phillips, 2001). Pengelompokan skor kondisi tubuh pada tahun 1976 dibagi menjadi lima kategori dengan mempertimbangkan metode palpasi pada spinous processus dan pangkal ekor sangat berhasil diterapkan pada domba. Pembagian lima point kategori skor kondisi pada umumnya berdasarkan nilai perlemakan dan perdagingan sapi. Skor kondisi tubuh dapat menentukan hubungan antara penampilan produksi dan reproduksi dengan manajemen pakan yang telah diterapkan. Sapi yang memiliki skor kondisi yang bagus menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih besar karena merupakan refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986). Kondisi tubuh juga sangat menentukan hasil potongan komersial, karkas dan penampilan sapi. Sapi dengan kondisi yang lebih gemuk akan menghasilkan potongan karkas yang lebih besar. Sapi kurus dapat diperbaiki nilai produktivitasnya dengan meningkatkan kualitas pakan (Apple, 1999). Penilaian produktivitas dan laju pertumbuhan hanya dengan ukuran bobot badan kurang akurat dalam memberikan informasi bobot badan yang sebenarnya dikarenakan adanya perbedaan isi perut. Sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg kotoran per hari (Neumann dan Lusby, 1986). Keuntungan dari penggunaan skor kondisi tubuh menurut Rutter et al. (2000) adalah mudah untuk dipelajari, cepat, sederhana, murah, tidak memerlukan peralatan khusus dan cukup akurat untuk beberapa situasi manajemen dan penelitian. Skor kondisi tubuh pada umumnya digunakan untuk penilaian sapi betina. Skor kondisi juga berhubungan dengan frame size sapi dan menurut Vargas et al. (1999) heifer dengan large frame size cenderung memiliki skor kondisi tubuh yang rendah. Wulandari (2005) dalam laporannya menjelaskan perbedaan score kondisi tubuh sapi dapat diakibatkan adanya perbedaan ketersediaan pakan dan tata laksana pemeliharaan.
Parameter Tubuh Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Indikator penilaian produktivitas ternak dapat dilihat berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering dipergunakan dalam menilai produktivitas antara lain tinggi badan, lingkar dada dan panjang badan. Bobot badan juga merupakan indikator penilaian produktivitas dan keberhasilan manajemen peternakan (Blakely dan Bade, 1991). Bobot badan merupakan bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang ditimbang sesaat sebelum sapi dipotong (Natasasmita dan Mudikdjo,1979). Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih, 2003). Sapi seharusnya dipotong pada waktu yang optimum bagi peternak, yaitu saat bobot badan dan komposisi tubuh yang dihasilkan seimbang dengan pakan dan biaya yang dikeluarkan (Phillips, 2001). Perbedaan bobot badan dewasa sapi pedaging yang berbeda-beda akan menghasilkan tingkat kegemukannya yang berbeda pula pada umur dan makanan yang sama (Parakkasi, 1999). Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah disimpan oleh tubuh. Perbedaan tersebut akan menjadikan komposisi tubuh atau frame size ternak berbeda (Field dan Taylor, 2002). Ukuran-ukuran linear tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan secara linear. Kadarsih (2003) menyatakan bahwa ukuran linear tubuh yang dapat dipakai dalam memprediksi produktivitas sapi antara lain panjang badan, tinggi badan, lingkar dada. Ukuran linear tubuh menurut Minish dan Fox (1979) dapat mengidentifikasi pola atau tingkat kedewasaan fisiologis ternak sehingga dapat dijadikan parameter penduga bobot badan ternak. Penentuan frame size menurut Field dan Taylor (2002) dapat ditentukan berdasarkan nilai parameter tubuh ternak tersebut. Tebal lemak
pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak dapat menduga besarnya komposisi karkas (Pratiwi, 1997). Sifat-sifat Karkas Usaha sapi potong bertujuan menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa dikonsumsi menjadi tinggi. Menurut Lawrie (1998) karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dihilangkan kepala, kaki bagian bawah (carpus sampai tarsus), kulit, darah, organ dalam (jantung, hati paru-paru, limpa, saluran pencernaan dan isi, saluran reproduksi). Sapi potong menurut Kauffman (2001) terdiri atas non karkas termasuk kulit (38% Bobot Badan), lemak karkas (17%), Tulang karkas (10%) dan daging karkas (35%). Bobot Karkas Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas. Penggunaan bobot karkas perlu dikombinasikan dengan indikator-indikator lainnya agar evaluasi karkas menghasilkan penilaian yang akurat. Hal tersebut dikarenakan bobot karkas dipengaruhi oleh variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis dalam pertumbuhan jaringan. Keragaman tersebut dapat diperkecil dengan mengkombinasikan bobot karkas dengan tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk dalam mengevaluasi karkas (Johnson et al., 1992). Bobot karkas juga sangat dipengaruhi oleh bobot potong, berdasarkan Herman et al. (1983) semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah. Bobot karkas untuk sapi persilangan Brahman mencapai 225 kg (Taylor et al., 1996). Kauffman (2001) menjelaskan bahwa bobot karkas sebagian besar dipengaruhi oleh bobot otot dan perototan sangat menentukan kondisi tubuh ternak. Brahman Cross relatif menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi karena ukuran saluran pencernaan sapi tersebut relatif lebih kecil (Brahmantiyo, 1996). Persentase Karkas Persentase karkas juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan bangsa (Phillips, 2001). Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa sapi jantan memiliki persentase karkas yang lebih rendah tetapi rasa dagingnya kurang disukai oleh konsumen karena dagingnya lebih keras bila dibandingkan dengan sapi kastrasi.
Persentase karkas bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot potong (Herman et al., 1983). Brahmantiyo (1996) menjelaskan bahwa sapi yang memiliki bobot badan berbeda tetapi persentase karkasnya sama maka hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan bobot non karkas yang dihasilkan. Tebal Lemak Punggung Indikator yang sangat penting untuk menentukan perlemakan karkas adalah menggunakan tebal lemak subkutan atau lemak punggung (Taylor et al., 1996). Penilaian banyaknya lemak yang menutupi karkas (lemak sub kutan) dilakukan dengan mengukur tebal lemak punggung diatas ¾ urat daging mata rusuk antara rusuk 12 dan 13 (Ockerman, 1985). Tebal lemak punggung sapi dengan bobot badan 625 kg sebesar 5,08 cm. Sapi Brahman cross dengan bobot karkas 225 kg memiliki tebal lemak punggung sebesar 4,1 mm (Taylor et al., 1996). Hasil penelitian Ngadiyono (1988) tebal lemak punggung sapi Brahman Cross dan Australian Comercial Cross lebih tinggi dari pada sapi Simmental Ongole meskipun pakan diberikan sama untuk ketiga bangsa sapi tersebut menunjukkan adanya efek heterosis akibat persilangan dengan sapi-sapi Bos taurus yang punya tebal lemak punggung yang relatif tinggi. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa ketebalan lemak punggung 0,50 inchi pada sapi yang memiliki frame size yang berbeda dicapai pada bobot yang berbeda pula. Steer memiliki ketebalan lemak punggung yang lebih tinggi (0,64 inchi) dibandingkan dengan sapi jantan (0,5 inchi). Hal tersebut menjelaskan bahwa ketebalan lemak punggung seekor sapi dipengaruhi pula oleh frame size sapi, jenis kelamin atau kondisi sapi, dan bobot badan. Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk diukur pada irisan melintang daging (Longissimus dorsi et lumbarum) antara rusuk 12 dan 13 dengan menggunakan plastik grid dalam satuan inchi kuadrat atau dengan menggunakan planimeter (Ockerman, 1985). Luas urat daging mata rusuk sering dipakai sebagai indikator perdagingan pada karkas tetapi lebih akurat digunakan sebagai indikator pelengkap dalam estimasi produktivitas karkas dari pada indikator tunggal (Johnson et al.,